Anda di halaman 1dari 20

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan DOI: http://dx.doi.org/10.20957/jkebijakan.v4i1.

20059
Vol. 4 No. 1, April 2017: 28-47
ISSN : 2355-6226
E-ISSN : 2477-0299

INSTRUMEN KEBIJAKAN UNTUK MENGATASI KONFLIK DI


KAWASAN HUTAN KONSERVASI

Handian Purwawangsa1*
1Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
*Email : Handie79@gmail.com

RINGKASAN

Setiap taman nasional memiliki tipologi konflik yang berbeda-beda. Konflik di Taman
Nasional (TN) Leuser khususnya yang berada di Kabupaten Langkat disebabkan oleh
kebijakan pemerintah yang mengizinkan perusahaan untuk melakukan pembinaan habitat
dengan cara menebang pohon. Perambahan yang berujung konflik di Taman Nasional (TN)
Tesso Nilo utamanya disebabkan oleh adanya kekosongan aktivitas rill dilapangan sebagai
akibat dari adanya perpindahan pemegang hak konsesi. Penyebab konflik yang terjadi di
Taman Nasional (TN) Bukit Duabelas, disebabkan karena aktivitas perladangan dan
perkebunan masyarakat sudah berjalan sebelum Taman Nasional ditetapkan. Penyebab konflik
di Taman Nasional (TN) Kutai adalah adanya deposit batubara yang ingin dikuasai oleh
sekelompok oknum masyarakat dan penyebab konflik di Taman Nasional (TN) Halimun salak
adalah adanya perbedaan persepsi antara para sesepuh adat dengan pemerintah dan adanya
perluasan areal taman nasional yang sebelumnya merupakan areal hutan produksi milik
perhutani. Masing-masing lokasi taman nasional memiliki akar permasalahan konflik yang
berbeda, sehingga memerlukan instrumen kebijakan yang berbeda pula. Instrumen yang dapat
digunakan diantaranya adalah instrumen regulasi, instrumen administrasi, instrumen fiskal,
instumen ekonomi dan instrumen administrasi.

Kata kunci : akar permasalahan, instrumen, kebijakan, konflik, taman nasional,

PERNYATAAN KUNCI  Adanya perbedaaan persepsi antara


 Kawasan konservasi yang ditetapkan oleh masyarakat lokal/adat dengan pemerintah
pemerintah, sebagian merupakan areal eks merupakan salah satu penyebab utama
HPH yang sebelumnya sudah mengalami adanya konflik tata batas di taman nasional
perambahan  Adanya konsolidasi sosial antara perambah,
 Adanya perluasan areal Taman Nasional pemodal dan pihak-pihak lain yang terkait,
tanpa melihat dulu kondisi eksisting akan mempersulit penanganan karena
dilapangan dapat menambah beban sosial dengan adanya konsolidasi, maka mereka
bagi taman nasional dapat menggalang kekuatan dan melakukan

28
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

perlawanan sosial ketika proses penertiban keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
dilaksanakan. ekosistemnya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa
 Tipologi konfilik disetiap taman nasional yang termasuk ke dalam hutan konservasi
berbeda-beda, sehingga perlu penanganan adalah kawasan hutan suaka alam, kawasan
yang berbeda pula. hutan pelestarian alam dan taman buru.
Berdasarkan data yang terdapat di dalam Statistik
REKOMENDASI KEBIJAKAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015,
a. Perlu intervensi kebijakan berupa peninjauan luas hutan konservasi yang ada di Indonesia
ulang pemberian izin untuk pembuatan jalan adalah 27.429.555,99 ha, yang terdiri dari hutan
koridor yang melewati taman nasional konservasi di daratan dan di laut.
b. Untuk mengatasi persekongkolan antara Meskipun hutan konservasi memiliki fungsi
oknum masyarakat adat, pendatang, pemodal lingkungan yang sangat penting, namun dari
dan aparat, bisa dikukan dengan dua cara luasan hutan konservasi yang berada di wilayah
yaitu jalur ligitasi dan non ligitasi. daratan yang luasnya mencapai 22.8 juta ha,
c. Untuk mengatasi konflik tata batas taman sekitar 2.7 juta ha telah mengalami perambahan
nasional dengan masyarakat perlu dilakukan serius, sangat terdegradasi atau diubah
evaluasi ulang terhadap penentuan batas peruntukannya dan sulit untuk dipulihkan
taman nasional, terutama untuk masyarakat kembali (Purwanto, 2015). Luasan tersebut, jauh
yang sudah bermukim sebelum taman lebih besar, jika dibandingkan dengan kerusakan
nasional ditetapkan kawasan konservasi pada tahun 2009 yang hanya
d. Untuk mengatasi pengelolaan kawasan mencapai 460.407 ha yang terdiri dari taman
konservasi yang kurang intensif dan nasional 315.424 hektar (1,9% dari luas taman
mengatasi adanya pembiaran, perlu adanya nasional) dan non taman nasional seluas 144.983
pembenahan internal seperti: pengembangan hektar (11,7% dari luas kawasan non taman
organisasai kelembagaan, pemantapan nasional) (Wiratno, 2015).
kebijakan pengelolaan, peningkatan kapasitas Beberapa contoh kasus kerusakan hutan
personil dan penambahan staf, penyusunan konservasi yang sudah terjadi diantaranya
prosedur kerja (SOP) dan petunjuk teknis, adalah di kawasan Besitang, di (TN) Gunung
peningkatan sarana dan prasarana, Leuser, Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut,
pengukuhan tata batas kawasan, penataan dikawasan (TN) Tesso Nilo-Riau, yang diduduki
zonasi, dan pembangunana pusat data. perambah sawit dari wilayah perbatasan
Kegiatan-kegiatan ini dapat disinergikan Sumatera Utara-Riau, perambahan kopi di TN
dengan rencana pengelolaan KPH. Bukit Barisan Selatan, eks peserta program
PHBM di (TN) Gunung Ciremai-Jawa Barat,
I. PENDAHULUAN pendudukan di (TN) Kutai, Kalimantan Timur,
Berdasarkan Undang-undang No 41 tahun dan perambahan coklat di (TN) Rawa Aopa
1999, Hutan Konservasi diartikan sebagai Watumohai-Sulawesi Tenggara (Wiratno, 2012).
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang Adanya konflik yang berujung perambahan
mempunyai fungsi pokok pengawetan dan menyebabkan kerusakan kawasan hutan

29
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

konservasi bisa dilihat dari berbagai sudut menyelesaikan konflik adalah dengan
pandang seperti faktor lemahnya pengawasan, menggunakan instumen hukum, dengan
sejarah pemukiman/pendudukan, hak-hak ulayat mengabaikan akar permasalahan yang
masyarakat setempat, pertumbuhan penduduk, sesungguhnya dari konflik yang ada.
pemodal, meningkatnya akses akibat Penyeragaman instrumen kebijakan untuk
pembangunan jalan, dan sarana prasarana menyelesaikan tipologi konflik yang berbeda
pendukungnya, lemahnya pendampingan kepada tidak akan efektif untuk menyelesaikan
masyarakat terhadap akses pasar, modal, dan permasalahan, karena hanya bersifat sementara,
sarana prasarana pendukung kegiatan berpotensi untuk menimbulkan bentrok fisik,
produksinya (Nurrochmat, et al. 2012). Konflik dan tidak dapat mengakomodir kepentingan
di kawasan hutan konservasi adalah perpaduan berbagai pihak secara proporsional
dari berbagai faktor-faktor internal dan Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
eksternal. Menurut Robin (1996), pada dasarnya menentukan tipologi konflik dikawasan hutan
konflik hadir karena adanya perbedaan tujuan, konservasi, mengetahui akar permasalahan
dan jika perbedaan tersebut menimbulkan perambahan dikawasan hutan konservasi dan
masalahan, maka akan dianggap sebagai konflik merumuskan instrumen kebijakan dalam
kepentingan. mengatasi perambahan dikawasan hutan
Untuk mengatasi konflik diatas, tentu saja konservasi berdasarkan akar permasalahan yang
diperlukan instrumen kebijakan yang tepat sesuai ada.
dengan akar masalah di setiap lokasi kawasan
konservasi. Untuk membuat kebijakan yang II. METODOLOGI
tepat, diperlukan kajian tentang akar masalah Metode yang akan digunakan adalah studi
yang ada disetiap kawasan konservasi yang literatur yang bersumber dari Kementerian
mengalami perambahan. Menurut Sembiring Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jurnal, dan
(2010) perumusan instrumen kebijakan dalam hasil penelitian, serta sumber-sumber lain yang
mengatasi kerusakan kawasan konservasi perlu relevan. Data yang dikumpulkan dianalisis
menekankan pada kepentingan dan kebutuhan, dengan perpaduan antara metode kuantitatif dan
bukan pada posisi dan fakta serta melakukan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan melalui
komunikasi yang konstruktif untuk pembacaan terhadap tabel frekuensi.
mengembangkan pemahaman bersama daripada Kelemahan metode ini yang hanya membaca
kritik-kritik negatif dan memperkuat argumen data dilengkapi dengan analisis kualitatif.
masing-masing pihak atau stakeholder. Sementara Analisis kualitatif yang memberikan penekanan
Nurrochmat (2017) dan Nurrochmat, et al. pada pendeskripsian atau penggambaran
(2017) menekankan pentingnya menemukan berbagai fakta dan hubungan antar variabel yang
irisan dari kepentingan intrinsik dari masing- ditemukan di lapangan akan memberikan
masing stakeholder untuk menggesesr kontestasi berbagai penjelasaan yang muncul dari fakta-
menjadi kolaborasi. fakta kuantitatif.
Dalam banyak kasus, instrumen kebijakan
yang dipakai oleh pemerintah untuk

30
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

III. SITUASI TERKINI Oleh karena itu, meskipun sejak tahun 2006-
2007 telah dilakukan penegakan hukum dan
a. Tipologi Konflik di Taman Nasional
sekitar 17 orang termasuk satu tokoh perambah
Gunung Leuser
telah dipenjarakan, termasuk menumbangkan
Pada awalnya konflik yang berujung
1000 Ha kebun sawit, namun permasalahan
perambahan di (TN) Gunung Leusur khususnya
perambahan di lapangan belum dapat
yang berada di Kabupaten Langkat dipicu oleh
diselesaikan dengan baik. Hal tersebut
kesalahan kebijakan dimasa lalu, dimana
disebabkan karena penegakan hukum tidak
pemerintah memberikan izin pembinaan habitat
dibarengi dengan pendekatan partisipatif dan
dengan cara menebang pohon kepada PT. Raja
penggalangan dukungan masyarakat setempat
Garuda Mas selama 7 tahun. Meskipun akhirnya
(yang tidak turut merambah) untuk turut
izin tersebut dihentikan, namun dampaknya
menjaga kawasan. Selain itu terdapat
sangat luar biasa, dimana kawasan eks Garuda
kekosongan penegakan hukum sejak akhir 2007
Mas menjadi wilayah yang terbuka. Hal tersebut
sampai 2010 dan baru pada akhir tahun 2011
diperparah lagi dengan lokasinya yang
dilakukan lagi, namun belum mampu
berdekatan dengan desa-desa dan jalan lintas
menyelesaikan persoalan secara tuntas, walaupun
Medan-Aceh, maka masyarakat mulai
telah didukung oleh TNI, Polri, dengan
menggarap kawasan ini, dengan tanaman karet.
penumbangan sawit dan penanaman kembali.
Gelombang pendudukan semakin membesar
sejak 1990an dan 1999 terjadi pendudukan
b. Tipologi Konflik di Taman Nasional
kawasan oleh beberapa keluarga pengungsi asal
Tesso Nilo
Aceh Timur. Lemahnya pengelolaan dan
(TN) Tesso Nilo seluas 83.068 ha
pengawasan dari pemerintah, menyebabkan para
sebelumnya merupakan bagian dari Kawasan
pengungsi semakin bertambah dan mulai
Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang
berbaur dengan perambahan dari masyarakat di
dialokasikan untuk kegiatan IUPHHK-
sekitar kawasan yang mulai didukung oleh para
HA/HPH PT. Dwi Marta dan PT. Nanjak
pemodal kuat. Selain karet, para perambah juga
Makmur. Pada tahun 1995, izin HPH PT.Dwi
mulai menanam kelapa sawit.
Marta dicabut dan pengelolaan dipindahkan
Dalam kasus di (TN) Leuser, karena
kepada PT.Inhutani IV. Pada tahun 2002
lemahnya pengawasan dan adanya pembiaran
Menteri Kehutanan mencabut izin Inhutani IV
dari pemerintah, maka para pengungsi,
dan meminta Gubernur Riau untuk mengawasi
perambah, pemodal dan pihak-pihak lain yang
dan mengamankan pelaksanaan keputusan
terkait, telah melakukan konsolidasi sosial,
tersebut. Pada tahun 2004 kawasan tersebut
sehingga diantara mereka sudah terjalin
ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional Tesso
kerjasama yang saling menguntungkan.
Nilo. areal PT. Nanjak Makmur seluas 44.492 ha
Akibatnya penangan menjadi lebih sulit, karena
dicabut.
dengan adanya konsolidasi, maka mereka dapat
Meskipun secara formal tidak ada
menggalang kekuatan dan melakukan
kekosongan izin, namun pada kenyataannya di
perlawanan sosial ketika proses penertiban
lapangan pihak yang memperoleh izin tidak
dilaksanakan.

31
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

melakukan kegiatan. Selama periode 1998-2002 RAPP yaitu koridor Baserah sejauh 50 km pada
PT. Inhutani IV tidak melakukan kegiatan di tahun 2001 dan Koridor Ukui-Gondai sejauh 28
lapangan dan sejak tahun 2003 PT. Nanjak yang dibangun pada tahun 2004. Adanya kedua
Makmur juga tidak melakukan kegiatan di koridor tersebut mempermudah akses perambah
lapangan. Tidak adanya kegiatan dari kedua untuk memasuki kawasan (TN) Tesso Nilo.
pemegang izin tersebut menyebabkan areal yang Berdasarkan kajian WWF, kerusakan di (TN)
menjadi konsesinya menjadi open akses, sehingga Tesso Nilo cukup mengkhawatirkan, dimana
mendorong masyarakat untuk merambah areal dari tahun 2002 sampai dengan 2007 atau selama
tersebut untuk berbagai kepentingan, baik untuk lima tahun, telah terjadi kenaikan luas
mengambil kayu secara illegal atau merubah perambahan seluas 7.791 ha dari 977 ha menjadi
fungsinya menjadi perkebunan karet atau sawit. 8.768 ha. Rata-rata luas perambahan per tahun
Faktor lain yang menjadi penyebab 1.558 ha, atau per bulan 129,8 ha, yang berarti
perambahan adalah adanya koridor yang dalam sehari terjadi perambahan rata-rata seluas
dibangun melewati TN Tesso Nilo oleh PT. 4,3 ha (Diantoro, 2011).

Sumber : Balai TN Tesso Nilo dalam 2011


Gambar 1. Peta Koridor PT.RAPP

Faktor lain yang menjadi penyebab (TN) Tesso Nilo dan dengan modus pengalihan
perambahan di (TN) Tesso Nilo adalah adanya hak lahan kepada para pendatang. Gambar
kelompok atau individu yang mengatasnamakan Modus perambahan pada Gambar 2.
adat yang kemudian melakukan jual beli kawasan

32
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Sumber : Balai TN Tesso Nilo


Gambar 2. Modus Perambahan di TN Tesso Nilo

c. Tipologi Konflik di Taman Nasional mereka tidak meminta pelepasan. Berdasarkan


Bukit Dua Belas hasil pertemuan antara masyarakat, KKI Warsi
dan pihak TN Bukit Duabelas, diperoleh
(TN) Bukit Duabelas dibentuk pada Tahun
kesepakatan sebagai berikut :
2000 seluas 60.500 ha yang merupakan
1. Terhadap usulan Zona Khusus seluas 2.777
perubahan fungsi dari hutan produksi tetap dan
Ha di 6 Desa (Desa Bukit Suban, Desa
hutan produksi terbatas eks HTI PT Sumber
Pematang Kabau, Desa Lubuk Jering, Desa
Hutani Lestari, kawasan suaka alam (cagar
Jernih, Desa Semurung, dan Desa Baru),
biosfer) Bukit Duabelas, dan Areal Penggunaan
Kec. Air Hitam, Kab.Sarolangun, yang telah
Lain. Tujuan utama dari pembentukan taman
melakukan kegiatan perladangan/
nasional ini adalah untuk untuk melindungi hak-
perkebunan di dalam kawasan TN Bukit
hak suku Anak Dalam. Di sekitar TN khususnya
Dua Belas, perlu dibentuk Tim yang
dibagian Selatan terdapat 6 desa yang dihuni
dikoordinasikan oleh Balai (TN) Bukit
oleh masyarakat dari suku Melayu, dan telah
Duabelas, dengan melibatkan KKI-WARSI,
tinggal disana sebelum TNBD di tetapkan.
perwakilan 6 desa di Kecamatan Air Hitam,
Aktivitas utama penduduk yang berdiam di
Persatuan Desa Penyangga (PDP),
kawasan tersebut adalah budidaya karet. Dengan
Kecamatan dan Kabupaten.
demikian kegiatan perladangan dan perkebunan
2. Perlu dipertimbangkan penetapan Daerah
di kawasan konservasi ini sudah berlangsung
penyangga (TN) Bukit Duabelas. Di
sebelum ditetapkan sebagai taman nasional.
Kab.Sarolangun, di Kecamatan Air Hitam.
Terkait dengan hal tersebut, tokoh-tokoh di 6
Terdapat 6 dari 9 desa yang layak ditunjuk
desa dengan difasilitasi oleh KKI-Warsi
sebagai Desa Penyangga TN Bukit Duabelas.
meminta areal perkebunan mereka yang masuk
Untuk itu, perlu dipertimbangkan
kedalam areal PNDB dijadikan Zona Khusus,
Kecamatan Air Hitam sebagai Kecamatan

33
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

Konservasi Daerah Penyangga, sehingga jasa hektar. Pada tahun 1982, Menteri Pertanian
lingkungan dan wisata alam dapat kemudian mendeklarasikan kawasan Suaka
dikembangkan di ke 6 desa penyangga Margasatwa Kutai seluas 200.000 hektar sebagai
tersebut. taman nasional, dalam Kongres Taman nasional
3. Dalam rangka meningkatkan pengelolaan di Se-Dunia di Bali melalui SK Menteri Pertanian
tingkat lapangan, petugas-petugas TN Bukit No. 736/Mentan/X/1982.
Dua Belas perlu lebih banyak ditugaskan ke (TN) Kutai yang saat ini berada di wilayah
lapangan, sehingga pendekatan kepada administratif Kab.Kutai Timur, Provinsi Kaltim,
masyarakat baik Suku Anak Dalam maupun merupakan contoh yang sangat tepat untuk
masyarakat desa-desa penyangga, dapat menggambarkan dampak dari pertumbuhan
dilakukan lebih intensif dan komprehensif. kota-kota (Balikpapan-Bontang-Sangatta-
4. Pemerintah perlu memikirkan suatu Samarinda), yang menjadi kota industri, terhadap
kebijakan terpadu lintas sektor di pusat dan eksistensi dan meningkatnya ancaman bagi
daerah, dalam pengembangan masyarakat kelestarian taman nasional. (TN) Kutai juga
Suku Anak Dalam, yang berada di dalam satu-satunya taman nasional yang dikelilingi oleh
kawasan (TN) Bukit Duabelas, dengan raksasa pertambangan yaitu, Kaltim Prima Coal
mempertimbangkan tujuan pengelolaan di Utara, sebelah timur oleh poros jalan
taman nasional, tujuan-tujuan konservasi, Bontang-Sangatta, PT Tambang Damai di
dan program pengembangan kesejahteraan sebelah Selatan. Saat ini, tutupan hutan alam nya
Suku Anak Dalam (orang rimba) dan tinggal 30%. Walaupun demikian, survai terakhir
Masyarakat Desa-desa Daerah Penyangga, yang dilakukan oleh Tim (TN) Kutai, dipimpin
dengan mempertimbangkan aspirasi Dr Yaya dari Fahutan Unmul, didukung
masyarakat. pendanaan dari OCSP-USAID, pada tahun
2010, masih ditemukan tidak kurang dari 2.000
d. Tipologi Konflik di Taman Nasional individu orangutan.
Kutai Kasus yang mencuat adalah permintaan
Penunjukan kawasan TN Kutai telah melalui pelepasan kawasan di 7 Desa (2 Kecamatan) dari
sejarah panjang. Pada tahun 1936, Pemerintah kawasan (TN) Kutai. Usulan dari Pemkab Kutai
Kerajaan Kutai menetapkan kawasan ini sebagai Timur ini memohon 23.000 ha kawasan di 7
Suaka Margasatwa melalui Keputusan Zelf desa tersebut untuk dilepaskan. Kajian Tim
Bestuur No. 80-22/1936 dengan luas 306.000 Terpadu 2007, menemukan fakta bahwa
hektar. Selanjutnya, Menteri Pertanian sebagian besar dari ke-7 Desa di 2 Kecamatan,
menetapkan sebagai Suaka Margasatwa Kutai dengan penduduk pada tahun 2008 sejumlah
dengan SK No. 110/UN/1957 tanggal 14 juni 6.037 KK (25.791 jiwa) tersebut menyatakan
1957. Pada tahun 1971, Menteri Pertanian pada prinsipnya menerima opsi Zona Khusus.
melalui SK Nomor 280/Kpts/Um/VI/1971, Namun demikian, masih ada sekelompok
mencabut sebagian areal Suaka Margasatwa masyarakat yang meragukan dapat diterapkannya
Kutai seluas 106.000 hektar, sehingga luas Suaka konsep Zona khusus tersebut, khususnya
Margasatwa Kutai berkurang menjadi 200.000 masyarakat di Desa Teluk Pandan. Tim juga

34
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

menemukan bahwa yang bermukim di 7 Desa Perselisihan mengenai pemukiman dan


tersebut bukan hanya penduduk dari sekitar perladangan yang berpindah-pindah dimulai
kawasan, namun telah bercampur dengan sejak Kasepuhan dipimpin oleh Abah Anom
pendatang bahkan dari Jawa. pada tahun 1983 yang memindahkan Kasepuhan
Tim Terpadu juga menemukan motif upaya ke Cipta Rasa yang termasuk dalam Blok Datar
pelepasan kawasan di tujuh Desa tersebut Putat. Abah Anom dianggap telah menyerobot
sebenarnya untuk kepentingan eksploitasi lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka
tambang batubara. Tim Terpadu menemukan areal yang tadinya merupakan hutan utuh.
potensi batubara di areal seluas 23.000 Ha Permasalahan diselesaikan dengan
tersebut tidak kurang dari 2,1 milyar metrik ton. menyelenggarakan musyawarah yang
Memang sebagian besar dari TN Kutai memiliki mempertemukan pihak Kasepuhan dengan
potensi batubara yang sangat besar. Dalam Perhutani. Hasilnya, masyarakat Kasepuhan
kondisi seperti ini, maka Zona Khusus tidak masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di
akan pernah laku dan diterima. Dalam konsep wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari
Zona Khusus, maka mereka hanya memiliki hak karuhun yang belum ‘memerintahkan’ untuk
untuk bertani dan berkebun, dan bukan untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan
mengeksploitasi batubaranya. tanahnya seluas hampir 16.000 m2 di Ciarca
untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta
e. Tipologi Konflik di Taman Nasional Rasa (Blok Datar Putat). Tapi pihak kehutanan
Halimun Salak mengizinkan incu putu untuk menggarap
Konflik kehutanan di kawasan TN Gunung wilayah di Ciraca tersebut dengan sistem
Halimun dimulai sejak tahun 1970-an, ketika hak tumpang sari.
pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat Permasalahan yang terjadi dengan Perhutani
itu terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan tidak hanya mengenai persoalan lahan. Menurut
milik Perhutani dan hutan adat milik Wa UGS, permasalahan muncul ketika
Kasepuhan. Pada tahun 1974, kawasan Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan
Kasepuhan dengan dipimpin oleh Ki Ardjo Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi.
berpindah ke daerah Ciganas, Desa Sirna Rasa. Padahal menurut peraturan adat Kasepuhan, di
Akan tetapi kawasan ini sudah termasuk dalam dalam kawasan hutan titipan (leuweung titipan)
kawasan Perhutani. Persoalan mulai terjadi saat tidak boleh ada kegiatan ekonomi termasuk
aparat keamanan melihat incu putu (masyarakat untuk produksi massal, bertentangan dengan
adat) Kasepuhan mulai membuka huma dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang
membabat bukit-bukit di daerah penyangga. memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk
Namun hal ini tidak menjadi persoalan yang kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini
berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan tidak sampai menimbulkan konflik yang keras,
antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan karena bisa diselesaikan dengan baik, dan
pemerintah daerah setempat terjalin dengan Perhutani memindahkan lokasi hutan
baik. (Marina dan Darmawan, 2011). produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain
itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan

35
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

incu putu (masyarakat adat Kasepuhan) untuk maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk
menggarap hutan produksi dengan sistem dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan
tumpang sari. pertanian pun menjadi terbatas. Pengelolaan
Pemerintah mengeluarkan SK. Menteri Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Kehutanan No.282 tahun 1992 yang mengacu dilakukan dengan sistem zonasi, sesuai dengan
pada UU pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun
Konservasi dan Sumberdaya Hayati No.5/1990 2006, mengenai Pedoman Zonasi Taman
yang menetapkan kawasan Gunung Halimun Nasional. Zonasi-zonasi tersebut adalah zona
seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona
nasional di bawah pengelolaan sementara Balai lain sesuai kebutuhan.
Taman Nasional (BTN) Gunung Gede Masyarakat adat sendiri menganggap bahwa
Pangrango dengan nama Taman Nasional sistem zonasi yang dibuat oleh taman nasional
Gunung Halimun. Sejak berlakunya surat sama artinya dengan sistem pengelolaan hutan
keputusan tersebut, pihak Balai Taman Nasional secara adat, terutama untuk zona inti dan hutan
mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan tutupan Kasepuhan. Namun, permasalahannya
oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan adalah ketika kebun, ladang, sawah dan
pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat- pemukiman masyarakat diklaim sebagai zona
obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat rimba dan zona rehabilitasi taman nasional.
sekitar kawasan. Masyarakat adat tidak boleh tinggal dan berada
Selain itu, pengusiran secara halus pun di kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi
dilakukan kepada masyarakat yang wilayah karena zona rimba berfungsi sebagai kawasan
pemukimannya masuk dalam zona-zona taman yang mendukung zona inti dan zona rehabilitasi
nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat berfungsi untuk pemulihan ekosistem hutan.
Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh Pentingnya kawasan kebun, sawah, dan ladang
kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan
nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta hidup, membuat masyarakat tetap berada di sana
Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dan mengolah lahan seperti biasanya walaupun
dalam kawasan taman nasional, kawasan harus dengan cara ”sembunyi-sembunyi” karena
Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam takut ditangkap.
kawasan taman nasional, zona rimba dan zona Pada tahun 2007 terjadi juga penangkapan
rehabilitasi, ’hanya’ kawasan lahan garapan warga terhadap warga Kasepuhan yang tinggal di
saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan Kampung Cibalandongan karena mengambil
sawah. kayu dari kebun miliknya sendiri, karena
Keadaan bertambah parah saat pemerintah dianggap telah merusak kawasan taman nasional.
mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. Warga tersebut ditahan selama 10 bulan penjara.
175/kpts-II/ 2003, tentang perluasan kawasan Setelah itu, ada pula warga Kampung Lebak
TN Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 Nangka pada tahun 2008 juga ditangkap karena
hektar. Banyak lahan garapan maupun mengambil kayu di kebun sendiri. Padahal
pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat sebelum adanya taman nasional, lahan kebun

36
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

termasuk pohon yang di dalamnya adalah milik masalah yang dominan adalah bahwa
warga, karena sejak wilayah tersebut masih perambahan atau kegiatan masyarakat di
dimiliki oleh Perhutani, warga boleh menggarap kawasan konservasi sudah ada sebelum kawasan
lahan tersebut dan menanam pohon kayu- konservasi ini ditetapkan. Selain itu, perluasan
kayuan dengan sistem tumpang sari. taman nasional atau kawasan konservasi juga
Prabowo, et al. (2010) meneliti konflik di kerap dilakukan pada areal-areal yang sudah
dalam Taman Nasional Gunung-Halimun Salak terbuka dan dirambah oleh masyarakat. Dalam
yang menggunakan tiga teori untuk melakukan konteks ini, pemerintah seolah ingin mengatasi
analisis koflik sumberdaya lahan dan perambahan kawasan hutan dengan cara
menghasilkan berbagai alternatif solusi. Teori menjadikan kawasan yang dirambah menjadi
tersebut antara lain teori konflik dari Fisher et al. kawasan konservasi. Disatu sisi, tingkat
(2000), teori hak pemilikan dari Schlager dan ketergantungan masyarakat dalam memenuhi
Ostrom (1992), dan teori akses dari Ribot dan kebutuhan dasar cukup tinggi (Munawaroh,
Peluso (2003). 2011).
Dengan meningkatkan status dari hutan
IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF produksi atau hutan produksi terbatas menjadi
SOLUSI/PENANGANAN kawasan konservasi sepertinya pemerintah
berupaya mengurangi akses masyarakat terhadap
Berdasarkan tipologi perambahan yang terjadi
hutan dan mengeluarkan kegiatan masyarakat
di 5 kawasan konservasi yang dibahas dalam
dari hutan. Setelah masyarakat keluar, maka
makalah ini, dapat di simpulkan bahwa setiap
kawasan hutan yang rusak akan di rehabilitasi
kawasan konservasi memiliki akar permasalahan
sehingga kondisinya akan membaik (Tabel 1).
yang berbeda, namun ada beberapa akar masalah
yang muncul hampir disemua lokasi. Akar

Tabel 1. Rumusan akar masalah pada setiap kawasan konservasi


No Kawasan Konservasi Akar Masalah
1 Gunung Leuser  izin pembinaan habitat dengan cara menebang
pohon yang log nya dijual kepada PT Raja
Garuda Mas.
 Pengelolaan kawasan yang kurang intensif dan
adanya pembiaran
 Adanya persekongkolan antara oknum
masyarakat, pendatang, pemodal dan aparat
 Kegiatan perambahan sudah ada sebelum taman
nasional ditetapkan
2 Tesso Nillo  Adanya kevakuman kegiatan dari pemegang
konsesi
 Pembuatan jalan kolidor yang melewati kawasan
TNTN
 Adanya persekongkolan antara oknum
masyarakat, pendatang, pemodal dan aparat

37
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

 Kegiatan perambahan sudah ada sebelum taman


nasional ditetapkan
3 Bukit dua belas  Kegiatan budidaya masyarakat sudah berlangsung
sebelum taman nasional ditetapkan
4 Kutai  Adanya deposit batubara di kawasan taman
nasional
5 Gunung Halimun Salak  perbedaan persepsi, kepentingan, tatanilai, dan
akuan hak kepemilikan.
 Kegiatan budidaya masyarakat sudah berlangsung
sebelum taman nasional ditetapkan

Penggunaan pendekatan teori akses dari dengan berbagai keterbatasan baik SDM,
Ribot dan Peluso (2003), secara umum diartikan peralatan, dana dan kapasitas teknis berhadapan
“Kemampuan seseorang atau institusi untuk dengan meminjam istilah (Wasono, et al. 2014)
memperoleh manfaat dari sesuatu” dalam masyarakat yang masih memiliki nilai konservasi
konteks hutan konservasi, maka kemampuan rendah dan miskin serta sudah lama beraktivitas
untuk memperoleh manfaat dari kawasan bahkan sudah ada sebelum kawasan konservasi
konservasi. Dengan demikian akses lebih tersebut ditetapkan. Dapat dikatakan bahwa
merupakan “bundle atau kumpulan kekuatan” “power” KLHK relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan “bundle hak”. Konsep dibandingkan dengan “power” masyarakat yang
akses dibangun berdasarkan siapa yang bisa atau pada akhirnya terjadi pembiaran. Hal ini
tidak bisa memperoleh manfaat? merupakan konsekuensi logis ketika pemerintah
Dengan demikian, meskipun pemerintah menetapkan kawasan hutan yang sudah
secara formal memperoleh hak terhadap dirambah atau sudah menjadi kegiatan sosial
kawasan konservasi, namun belum mempunyai ekonomi masyarakat menjadi kawasan
power untuk dapat memperoleh manfaat dari konservasi. Dengan demikian terjadi apa yang
hak yang dimilikinya. Dengan kata lain, disebut oleh Schlager dan Ostrom dalan teori
meskipun suatu kawasan dijadikan sebagai property right (1992) sebagai pemilik bukan lah
kawasan konservasi, belum tentu dapat satu-satu nya pihak yang dapat mengurangi
mengeluarkan masyarakat yang telah beraktivitas sumberdaya dan melakukan investasi jangka
di kawasan tersebut, sepanjang masyarakat panjang.
mempunyai power untuk terus memperoleh Adanya pembiaran bisa menyebabkan para
manfaat dari kawasan tersebut. pihak yang memanfaatkan kawasan konservasi
Dengan menggunakan teori bahwa “akses” secara illegal seperti oknum masyarakat yang
adalah power, dapat menjelaskan juga akar mengatasnamakan adat, pendatang, pemodal dan
masalah selanjutnya yaitu pengelolaan kawasan aparat melakukan konsolidasi. Dengan adanya
konservasi yang kurang intensif dan adanya konsolodasi maka mereka dapat membuat
pembiaran. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya “institusi” atau aturan main sendiri, yang pada
petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan intinya terjadi benefit share diantara mereka.
Kehutanan (KLHK) yang berada di lapangan, Dengan demikian diantara mereka akan terjadi

38
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

proses saling melindungi dan mengakumulasi property, power dan public choice dari Schmid (1997).
kekuatan. Akibatnya adalah perambahan atau Dasar-dasar kepemilikan pada intinya adalah
kegiatan illegal akan semakin massif dan upaya bagaimana suatu dapat diklaim dan pengajuan
penertiban akan semakin sulit untuk dilakukan. kerjasama sumber daya milik publik bisa diklaim
Untuk menjelaskan adanya izin pembinaan sebagai milik pribadi, dalam proses nya selalu
habitat dengan cara menebang pohon kepada berhubungan dengan “pengorbanan” baik itu
PT Raja Garuda Mas, bisa dijelaskan melalui alokasi tenaga kerja, waktu, uang atau
pendekatan state capture, yaitu upaya sekelompok sumberdaya lainnya. Dalam konteks Indonesia
orang di dalam atau diluar pemerintahan yang misalnya, seseorang yang pertama kali membuka
mempengaruhi isi peraturan dan atau areal hutan perawan, maka dia dan keturunannya
pengambilan keputusan sehingga bisa mengklaim dan diakui secara sosial sebagai
menguntungkan mereka dan pada waktu yang pemilik areal tersebut. Konsep kepemilikan
sama merugikan kepentingan publik. Akibatnya, adalah konsep sosial, karena merupakan
mereka dapat menjalankan misi buruknya kesepakatan diantara para pihak yang terlibat,
melalui regulasi yang sah. sebagai suatu konsep sosial, maka dari satu
State capture dalam pengelolaan sumberdaya tempat ke tempat lain bisa berbeda, meskipun
alam dapat mengakibatkan alokasi sumberdaya ada pula konsep kepemilikan yang bersifat
alam untuk kelompok usaha tertentu saja, pajak formal. Konsep kepemilikan yang ideal adalah
yang dibayarkan lebih rendah dari seharusnya, diakui secara sosial dan formal.
izin usaha dapat diperluas/diperpanjang Dalam konteks pengelolaan kawasan
walaupun tidak sesuai dengan ketentuan atau konservasi, tentu saja ada perbedaan yang
syarat kinerja usaha- terutama terhadap dampak mendasar, antara konsep kepemilikan lahan yang
sosil dan lingkungan-dapat diperlonggar. Namun dianut oleh masyarakat dengan pemerintah.
pada saat yang sama terjadi keputusan-keputusan Membuka hutan perawan dari sudut pandang
transaksional dengan biaya tinggi yang harus pemerintah dianggap sebagai perambahan dan
dibayarkan perusahaan (Kartodiharjo, 2016). illegal, sedangkan menurut persepsi masyarakat
Akar masalah lain yaitu Pembuatan jalan hal tersebut ,merupakan bentuk pengorbanan
kolidor yang melewati kawasan (TN) Tesso Nilo untuk memiliki lahan yang pada awalnya
juga dapat di jelaskan dengan pendekatan state dianggap sebagai common-pool resources/
capture, dengan kata lain perusahaan melakukan sumberdaya milik bersama. Dengan demikian,
”lobi” kepada pengambil kebijakan agar dapat ketika pemerintah berusaha melakukan
membangun koridor jalan panen yang melewati penertiban kegiatan illegal di kawasan
(TN) Tesso Nilo dengan imbalan tertentu. konservasi, masyarakat bisa berpikir sebaliknya,
Dengan demikian, meskipun secara aturan sah, yaitu pemerintah yang melakukan perampasan
namun secara lingkungan sangat merugikan, lahan. Dalam kontek ini administrasi lahan yang
karena membuka akses bagi perambahan ke dapat membedakan lahan masyarakat dan negara
(TN) Tesso Nilo. menjadi penting (Wiliamson, 2001).
Perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai
dan akuan hak milik dapat didekati dengan teori

39
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

Instrumen kebijakan dalam mengatasi sangat penting dan mutlak dalam implementasi
Konflik di kawasan hutan konservasi suatu kebijakan. Sementara instrument informasi
berdasarkan akar permasalahan yang ada cara-cara politik intervensi yang secara formal
Instumen kebijakan adalah alat yang dapat mempengaruhi tindakan sosial dan ekonomi
digunakan untuk mengatasi masalah dan melalui informasi (Krott, 2005). Dalam konteks
mencapai tujuan (Konsult, 2010). Krott (2005) kebijakan kehutanan, kompilasi dan pengolahan
mengemukakan beberapa jenis instrument yang data untuk tujuan pengambilan keputusan
sering digunakan dalam analisis kebijakan sangat penting bagi semua pemangku
kehutanan, diantaranya adalah instrument kepentingan yang terlibat dalam pembuatan
regulasi, instrument administrasi, instrument kebijakan kehutanan. Dalam konteks penerapan
ekonomi dan instrument informasi. Menurut kebijakan dikawasan konservasi, merumuskan
Krott (2005), instrument regulasi terdiri atas kebijakan yang dapat mengakomodir
semua intervensi politik (peraturan) yang secara kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah
resmi mempengaruhi aksi sosial ekonomi adalah tidak mudah, karena seringkali nilai-nilai
melalui regulasi yang mengikat. dan kepentingan keduanya berbeda (Diver,
Instumen ekonomi adalah cara-cara politik 2017).
cara-cara politik intervensi yang secara formal Berkenaan dengan instrument kebijakan yang
mempengaruhi tindakan sosial ekonomi melalui bisa dilaksanakan untuk mengurangi kerusakan
pertukaran nilai ekonomi (Krott, 2005). dikawasan konservasi bisa dilihat pada Tabel 2.
Instrumen administrasi merupakan instrument
kebijakan yang terkait dengan birokrasi dan
mekanisme tata kelola yang keberadaannya

Tabel 2. Akar masalah dan rekomendasi instrumen kebijakan


No Akar masalah Rekomendasi instrument Jenis instrument
Kebijakan
1 Izin pembinaan habitat dengan Mengevaluasi aturan melalui Instrumen regulasi
cara penebangan pohon analisis konten kebijakan dan
analisis konsistensi dan gap
implementasi
2 Pengelolaan kawasan konservasi Peningkatan kapasitas aparatur Regulasi, administrasi,fiskal
kurang intensif dan adanya dan memperkuat peran
pembiaran masyarakat sekitar hutan.
3 Adanya persekongkolan antara Dilakukan penegakan hukum Regulasi,fiscal,administasi
oknum bagia para oknum,pemodal dan
cukong. Untuk masyarakat lokal
dilakukan pembinaan dan
penerapan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat
4 Kegiatan perambahan sudah Penataan ulang dan evaluasi Regulasi
ada sebelum taman nasional penetapan kawasan hutan Informasi
ditetapkan berdasarkan fungsi

40
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

5 Adanya kevakuman kegiatan Meningkatkan pengawasan Administrasi, ekonomi


dari pemegang konsesi terhadap pemegang
konsesi.Memberlakukan reward
dan punishment yang
proporsional
6 Pembuatan jalan koridor Mengevaluasi aturan melalui Instrumen regulasi
melewati (TN) Tesso Nilo analisis konten kebijakan dan
analisis konsistensi dan gap
implementasi
7 Adanya deposit Melakukan analisis kelayakan Regulasi,
tambang/batubara finansial dan ekonomi. ekonomi,informasi
Meningkatkan pengawasan dan
penegakan hukum
8 Perbedaan Penataan ulang dan evaluasi Regulasi
persepsi,kepentingan, tatanilai penetapan kawasan hutan Informasi
dan akuan hak milik berdasarkan fungsi

Rekomendasi Teknis yang akan datang, perlu intervensi kebijakan


Mengatasi permasalahan pemberian izin berupa pelarangan pembinaan habitat dengan
cara menebang pohon. Oleh karena instrument
pembinaan habitat dengan cara penebangan
kebijakan berupa evaluasi regulasi perlu
pohon
dilakukan.
Menurut Nurrochmat et al 2016, salah satu
fungsi kebijakan yang paling penting adalah
Mengatasi permasalahan pengelolaan
untuk memberikan rumusan mengenai berbagai
kawasan konservasi kurang intensif dan
pilihan (opsi) tindakan dan prioritas yang
adanya pembiaran
diwujudkan dalam program-program, agar
Menurut Badan Penelitian dan
efektif mencapai tujuan tertentu. Sumberdaya
Pengembangan Kehutanan (2015), langkah yang
hutan yang lestari tidak dapat dicapai hanya
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan
dengan mempraktikan teknik pengelolaan
di atas adalah dengan melakukan pembenahan
sumberdaya secara benar, tetapi perlu didukung
internal dan eksternal. Pembenahan internal
oleh dan dapat dicapai melalui kebijakan yang
yang bisa dilakukan diantaranya adalah
sesuai. Kebijakan yang tidak sesuai dapat
pengembangan organisasai kelembagaan,
mendorong terjadinya eksploitasi berlebih
pemantapan kebijakan pengelolaan, peningkatan
sumberdaya alam.
kapasitas personil dan penambahan staf,
Oleh karena itu, kebijakan pemberian izin
penyusunan prosedur kerja (SOP) dan petunjuk
pembinaan habitat dengan cara penebangan
teknis , peningkatan sarana dan prasarana,
pohon perlu dievaluasi , karena telah
pengukuhan tata batas kawasan, penataan
menyebabkan terbukanya kawasan dan dapat
zonasi, dan pembangunana pusat data. Hal ini
dijadikan modus oleh perusahaan untuk
erat kaitannya dengan instrument administrasi
melakukan penebangan illegal. Oleh karena itu
dan fiskal.
untuk mengatasi terulangnya kejadian dimasa

41
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

Pembenahan ekternal yang bisa dilakukan Mengatasi adanya kevakuman kegiatan dari
adalah dengan cara memperkuat kemitraan, pemegang konsesi
penggalangan sumber dana para pihak, Berdasarkan teori principal dan agen,
peningkatan konsultasi dan koordinasi, permasalahan mendasar dalam pengelolaan
pembangunan media komunikasi bersama, hutan adalah bagaimana agar agen bertindak
pengamanan kawasan, penegakan hukum, sesuai dengan kepentingan principal. Dalam
pengendalian kebakaran hutan dan lahan, kontek kebijakan lingkungan instrument adalah
penyuluhan kehutanan, pengembangan jasa alat untuk mencapai tujuan dari kebijakan.
lingkungan, pembangunan pusat riset, Kevakuman sering terjadi dalam kondisi
pengembangan wisata alam, pengembangan pemegang konsesi masih memiliki izin, namun
daerah penyangga serta pemberdayaan karena potensi hutan tidak lagi menguntungkan
masyarakat. secara ekonomi, maka perusahaan tidak
Contoh kawasan konservasi yang telah melakukan kegiatan operasional dilapangan.
melakukan kemitraan atau kolaborasi dalam Kalau pun ada intensitas nya sangat kecil
pengelolaan kawasan konservasi adalah sehingga membuat kawasan konsesinya menjadi
diantaranya Taman Nasional Kayan Mentarang open akses.
(TNKM). Kolaborasi antara pengelola TNKM Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah
dengan masyarakat adalah melegalkan kegiatan dapat menggunakan instrument ekonomi,
tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak berupa pengenaan pajak atau denda kepada
yang bermukim di dalam kawasan. Perjanjian perusahaan yang tidak melakukan kegiatan yang
kesepakatan tersebut tertuang dalam Forum optimal dilapangan. Menurut Bowers (2003),
Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah salah satu syarat yang diperlukan adalah bahwa
penampung aspirasi masyarakat adat tentang pajak atau denda yang diberikan kepada
perlindungan hutan, kelestarian hutan, perusahaan harus lebih besar dari biaya yang
perlindungan hak adat serta kesejahteraan dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengelola
masyarakat adat. areal konsesinya sesuai dengan peraturan
Selanjutnya, perwakilan para pemangku perundangan yang berlaku. Dilain pihak,
kepentingan TNKM yang terdiri dari FoMMA, perusahaan juga harus memberikan reward atau
pemerintah pusat dan daerah menyatu dalam subsidi pada perusahaan yang mengelola areal
bentuk forum Dewan Penentu Kebijakan konsesinya dengan baik.
TNKM.
Taman Nasional lainnya yang juga Mengatasi masalah pembuatan jalan koridor
mengimplemntasikan kolaborasi (TN) Bunaken melewati TN Tesso Nilo
dengan Dewan Pengelola (TN) Bunaken Sama hal nya dengan kebijakan pembinaan
(DPTNB), (TN) Gunung Gede Pangrango dan habitat dengan cara menebang pohon, kebijakan
(TN) Gunung Halimun Salak (Gede Pahala) izin pembuatan jalan koridor melewati taman
serta (TN) Komodo dengan Komodo nasional juga perlu di evaluasi kembali.
Collaborative Management Board. (Falah, Kebijakan tersebut telah menyebabkan
2012). terbukanya akses jalan bagi para perambah dan

42
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

mengganggu kelestarian taman nasional. Oleh dalam perambahan atau okupasi kawasan
karena itu untuk mengatasi terulangnya kejadian konservasi. Untuk memberantas kegiatan illegal
dimasa yang akan datang, perlu intervensi tersebut perlu dilakukan tindakan tegas dan
kebijakan berupa peninjauan ulang pemberian penegakan supermasi hukum. Jika oknum-
izin untuk pembuatan jalan koridor yang oknum tersebut di tindak, maka kegiatan illegal
melewati taman nasional. Jika pun izin tetap akan berkurang atau berhenti sehingga
diberikan, maka pemohon izin harus melakukan kerusakan tidak terus meluas.
langkah-langkah strategis untuk mencegah Untuk menyelesaikan konflik dengan
perambahan kawasan konservasi. masyarakat asli yang sudah terlanjur merambah
kawasan konservasi, sebaiknya dilakukan
Mengatasi adanya persekongkolan antara pendekatan non ligitasi, misalnya dengan
oknum mengedepankan pengelolaan hutan bersama
Dalam kerangka hukum Indonesia, model masyarakat atau kolaborasi. Menurut Wakka et al
penyelesaian konflik dibedakan menjadi (2015) pengelolaan kolaborasi timbul karena
dua,yaitu melalui jalur ligitasi (peradilan negara) dalam mengelola kawasan konservasi tidak bisa
atau melalui jalur nonligitasi.(Natsir, 2012). dilakukan sendiri oleh pengelola atau pemangku
Kelebihan jalur ligitasi adalah keputusan serta dengan memperhatkan prinsip kesetaraan
pengadilan bisa dilaksanakan secara paksa dan keadilan. Penelitian Arifandi dan Sihaloho
sehingga terdapat kepastian hukum bagi (2015) menunjukan bahwa resolusi konflik
pemenang. Adapun kekurangannya adalah isi dengan menggunakan sistem pengelolaan hutan
keputusan pengadilan bersifat menang atau bersama masyarakat cukup efektif dalam
kalah. Dengan demikian akan timbul menyelesaikan konflik dimana terjadi penurunan
kekecewaan dari pihak yang kalah, sehingga pencurian kayu, meningkatkan keterlibatan
dalam pelaksanaan putusan tersebut sangat masyarakat dalam mengawasi dan melindungi
mungkin terjadi konflik. Disisi lain, penyelesaian hutan serta terbentuk usaha-usaha mandiri yang
konflik melalui jalur nonligitasi keputusan yang dijalankan oleh masyarakat.
dicapai berdasarkan konsensus semua pihak
sehingga tercapai keadilan bagi semua pihak Mengatasi masalah kegiatan perambahan
yang berkonflik. Kelemahan dari sistem ini sudah ada sebelum taman nasional
adalah keputusan tidak dapat dipaksakan, ditetapkan
sehingga sangat tergantung dari komitmen kedua Menurut Dungio dan Gunawan (2009)
belah pihak dalam melaksanakan keputusan atau masalah tata batas dengan lahan masyarakat
konsensus bersama (Sulastriono, 2014). merupakan salah satu masalah krusial dalam
Terkait persekongkolan antara oknum pengelolaan kawasan konservasi. Untuk
masyarakat adat, pendatang, pemodal dan aparat, mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan evaluasi
kedua pendekatan penyelesaian konflik bisa ulang terhadap penentuan batas taman nasional.
dilakukan. Penyelesaian melalui jalur ligitasi bisa Untuk wilayah yang sudah dikelola oleh
dilakukan terhadap para oknum masyarakat adat, masyarakat sebelum taman nasional ditetapkan
pendatang, pemodal dan aparat yang terlibat sebaiknya dikeluarkan dari areal atau di enclave.

43
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

Untuk perluasan taman nasional juga perlu di permanen dan terjadinya kerusakan akuiver air
tinjang ulang, apakah areal perluasan sesuai tanah.
secara fisik dan sosial ekonomi untuk dijadikan Jika diareal konservasi terdapat cadangan
sebagai kawasan konservasi. Penelitian Hakim tambang, maka langkah pertama adalah
(2016) menunjukan bahwa dalam penetapan melakukan evaluasi apakah kawasan konservasi
kawasan (TN) Gunung Halimun Salak, banyak tersebut masih utuh atau sudah terbuka. Jika
areal yang tidak memenuhi preferensi untuk kawasan konservasi tersebut sudah terdegradasi
dijadikan kawasan konservasi. Hal tersebut atau merupakan eks kawasan hutan produksi
menjadi pemicu konflik dan perambahan. Oleh yang sudah rusak, bisa dipertimbangkan untuk
karena itu, areal-areal yang tidak sesuai untuk diubah fungsinya menjadi hutan produksi atau
dijadikan kawasan konservasi perlu lindung. Setelah fungsinya dirubah, maka
dipertimbangkan untuk dikeluarkan dan langkah selanjutnya adalah proses pinjam pakai
fungsinya dirubah ke penggunaan lain. kawasan dengan memenuhi persyaratan-
persyaratan yang berlaku.
Mengatasi adanya deposit tambang/ Meskipun demikian, sebelum membuat
batubara di kawasan konservasi keputusan, perlu dilakukan kajian yang
Sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan mendalam dari aspek lingkungan sosial dan
yang diperjelas dengan Peraturan Presiden ekonomi. Pada prinsipnya semua sumberdaya
Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan yang ada dapat dipergunkan untuk sebesar-
Kawasan Hutan lindung Untuk Penambangan besarnya kemakmuran rakyat tanpa melupakan
Bawah Tanah Pasal 2 ayat (1) dan (2) disebutkan kelestariannya.
bahwa di dalam kawasan hutan lindung dapat
dilakukan kegiatan penambangan dengan Untuk mengatasi permasalahan Perbedaan
metode penambangan bawah tanah, penggunaan persepsi,kepentingan, tatanilai dan akuan
kawasan ini dilakukan tanpa mengubah hak milik
peruntukan dan fungsi pokok kawasan hutan Pengelolaan kawasan konservasi pemerintah
lindung.Penambangan bawah tanah di hutan seringkali menghadapi perbedaaan persepsi,
lindung adalah penambangan yang kegiatannya kepentingan,tatanilai dan akuan hak dengan
dilakukan di bawah tanah (tidak langsung masyarakat. Permasalahan tersebut cukup sulit
berhubungan dengan udara luar) dengan cara untuk dipecahkan karena masing-masing pihak
terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa memiliki pandangan dan argumen yang sangat
sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau berbeda. Salah satu contoh adalah pemerintah
terowongan buntu (adit) termasuk sarana dan menganggap masyarakat melakukan
prasarana yang menunjang kegiatan produksi di perambahan, disisi lain masyarakat
hutan lindung.Pertambangan bawah tanah di berpandangan pemerintah yang melakukan
dalam kawasan hutan lindung dilarang perampasan tanah mereka, karena mereka
mengakibatkan turunnya permukaan tanah, merasa sudah menggarap atau mendiami areal
berubahnya fungsi pokok hutan secara tersebut sebelum areal tersebut dijadikan
kawasan konservasi.

44
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Untuk mengatasi hal tersebut, perlu Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan


dilakukan evaluasi ulang terhadap penentuan Kehutanan, Vol 6 No.1 April 2009,
batas taman nasional (instumen regulasi). Untuk Halaman 43-46
wilayah yang sudah dikelola oleh masyarakat Falah, F. 2012. Kajian efektifitas pengelelokaan
sebelum taman nasional ditetapkan sebaiknya kolaboratif Taman Nasional Kutai. Jurnal
dikeluarkan dari areal atau di enclave. Untuk Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 10 (1):
perluasan taman nasional juga perlu di tinjang 37-57.
ulang, apakah areal perluasan sesuai secara fisik Hakim, N., Murtilaksono, K., Rusdiana O. 2016.
dan sosial ekonomi untuk dijadikan sebagai Konflik Penggunaan Lahan di Taman
Nasional Halimun Salak Kabupaten Lebak
kawasan konservasi. Sebaliknya bagi masyarakat
Jenkins, M.I. 1978. Policy Analysis. Oxford:
yang terbukti telah melakukan okupasi atau
Martin Robertson
perambahan perlu diberikan tindakan tegas.
Kartodiharjo, H. 2016. Negara dan Sumberdaya
Alam. Kompas 29 September 2016.
REFERENSI Kementerian Lingkungan Hidup dan
Arifandy, I.A., Sihaloho, M. 2015. Efektifitas Kehutanan. 2015. Statistik Lingkungan
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Hidup dan Kehutanan tahun 2015.
Sebagai Resolusi Konflik Sumberdaya Kementerian Lingkungan Hidup dan
Hutan. Jurbal Sosiologi Pedesaan Agustus Kehutanan. Jakarta.
2015, Hal 147-158. Konsult. 2010. Policy Instrumen. The Institute
Badan Penelitian dan Pengembangan of Transport Studies,University of Leed.
Kehutanan. 2015. Sintesa Hasil Litbang Krott, M. 2005. Forest Policy. Springer
2010-2014. Model Pengelolaan Kawasan Marina, I and Dharmawan, A.H. 2011. Analisis
Konservasi Berbasis Ekosistem. Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan
Departemen Kehutanan.Jakarta. Konservasi. Jurnal Transdisiplin Sosilogi,
Bowes, J. 2003. Instumen Choice for Sustainable Komunikasi, dan Ekologi Manusia. April
Development in the Forestry Sector. 2011. Halaman 90-96.
Forest Policy and Economic. Elsevier. Merino, L.P. 1996. Analysis of the Social
Diantoro, D.D. 2011. Perambahan Kawasan Element in Forestry certification.
Hutan pada Konservasi Taman nasional Conference on Economic, Social and
(Studi kasus Taman Nasional Tesso Political Issues in Certification of forest
Nilo,Riau). Jurnal Mimbar Hukum volume Management. Malaysia 12-16 May
23, Nomor 3, Oktober 2011 halaman 431- Nasir, M.M. 2012. Resolusi Konflik Terhadap
645. Penguasaan Lahan dan Pengelolaan
Diver, S. 2017. Negotiating Indigenous Sumberdaya Alam, Epistema Institute.
Knowledge an the Science-Policy Jakarta.
Interface Insights from Xaxli Community. Munawaroh, E., Saparitia, R., Purwanto, Y.
Environmental Science and Policy. Vol 2011. Ketergantungan Masyarakat pada
73. Page 1-11. Elsevier. Hasil Hutan Non Kayu di Malinau,
Dungio, H., Gunawan, H. 2009. Telaah Sejarah Kalimanatan Timur: Suatu Analisis
Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional di Etnobotani dan Implikasinya bagi

45
Handian Purwawangsa Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di Kawasan Hutan Konservasi

Konservasi Hutan. Jurnal Penelitian Schmid, A. 1987. Property,Power and Public


Hayati. Edisi Khusus page 51-58. Choice.
Nurruchmat, D.R., Ekayani, M., Darusman, D. Sembiring, E., Basuni, S., Soekmadi, R. 2010.
2016. Kebijakan Pembangunan Resolusi konflik pengelolaan Taman
Kehutanan dan Lingkungan. IPB Press. Nasional Teluk Cendrawasih di
Bogor. Kabupaten Teluk Wondana. Jurnal
Nurrochmat, D.R., Budiaman, A., Hasan, M.F., Manajemen Hutan Tropika. (16)2: 84-91.
Suharjito, D., Hadianto, A., Ekayani, M., Stephen, P., Robbin, 1996. Perilaku Organisasi :
Susarmalik., Purwawangsa, H., Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Alih
Mustaghfirin., Ryandi, E.D. 2012. Bahasa Hadyana Pujaatmaja. Edisi
Ekonomi Politik Kehutanan: Mengurai Keenam. PT. Bhuana Ilmu Popular.
Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan. Jakarta.
INDEF. Jakarta Suharto, E. 2010. Analisis Kebijakan Publik,
Nurrochmat, D.R. 2017. Startegi Kebijakan Panduan Praktis Mengkaji Kebijakan
Pembangunan Kehutanan dan Sosial.Bandung. Penerbit Alfabeta.
Lingkungan Berkelanjutan. Orasi Ilmiah Sulastriono. 2014. Penyelesaian Konflik
DGB. Fakultas Kehutanan IPB. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis
Nurrochmat, D.R., Nugroho, I.A., Hardjanto., Pranata Adat. Jurnal Media Hukum Vol.21
Purwadianto, A., Maryudi, A., Erbaugh, No.2 Desember. 2014.
J.T. 2017. Shifting Contestation Into Varughese,G., Ostrom ,E. 2001. The Contested
Cooperation: Strategy to Incorporate Role of Heterogeneity in Colective Action
Different Interest of Actors in Medicinal : Some Evidence from Community
Plants in Meru Betiri National Park, Forestry in Nepal. World Development
Indonesia. Journal Forest Policy and Jurnal. Vol 29, No 5. Elsevier.
Economic (2017) FORPOL–1389- Verbist, B., Pasya, G. 2004. Perspektif Sejarah
9341/Oktober 2017, ELSEVIER In Press Status Kawasan Hutan, Konflik dan
Prabowo, S.A., Basuni, S., Suharjito, D. 2010. Negosiasi di Sumberjaya Lampung. Jurnal
Konflik tanpa henti: permukiman dalam Agrivia vol 26 No 1. ISSN 0126-0537.
Kawasan Taman Nasional Halimun Salak. Wakka, A.B., Muin, N., Purwanti, R. 2015.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika. (16)3: 137- Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman
142. Nasional Batimurung
Purwanto. 2015. Konflik lahan di Kawasan Bulusaraung,Provinsi Sulawesi Selatan.
Konservasi. Infosheet No.7 September Jurnal Penelitian Kehutanan Walacea Vol
2015. Tropenbos Indonesia. 4 No 1 April 2015, Halaman 41-50.
Ribot, C.J., Peluso, N.L. 2003. A Theory of Williamson, I. P., 2001. Land Administration “
Acces. Rural Sociology. June 2003. Page best practice” Providing the land Policy
153. Administration. Land Use Policy page
Schlager, E., Ostrom, E. 1992. Property-Rights 297-307. Pergamon.
Regimes and Natural Resources: A Warsono., Soetrisno., Januar, J. 2014. Strategi
Conceptual AnalysisLand Economics, Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan
Vol. 68, No. 3. (Aug., 1992), pp. 249-262. Konservasi Taman Wisata Alam Gunung

46
Vol. 4 No. 1, April 2017 Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Baung Dalam Upaya Mengurangi Barisan Selatan), Hotel Grand Kemang –


Perambahan Hutan. Jurnal Sosial Jakarta,, 21 Mei 2015.
Ekonomi Pertanian Vol 7 No. 2. Wiratno. 2010. Working Dokumen , Pokja
November 2014. Penanganan Perambahan di Kawasan
Wiratno. 2015. Bahan Pelatihan Penyelesaian Konservasi.
Perambahan di Tropical Rainforest http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2
Heritage of Sumatera (TN Gunung 012/01/tipologi-konflik-konflik-sosial-
Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit di.html.

47

Anda mungkin juga menyukai