Anda di halaman 1dari 3

Diagnosis Banding

1. Eritema Multiforme Mayor (EMM)

Eritema multiforme mayor merupakan diagnosis banding utama SJS. Penting untuk
membedakan dua penyakit ini karena penyebab, prognosis dan pengobatan yang berbeda. Kedua
penyakit ini boleh dibedakan secara klinis. Eritema multiforme (EM) pertama kali dideskripsikan
dengan istilah eritema eksudativum multiforme oleh Ferdinand von Hebra pada tahun 1866
sebagai kondisi mukokutaneus akut yang dapat sembuh sendiri dan seringkali berulang, ditandai
oleh lesi kulit terutama pada ekstremitas, dengan lesi target konsentris yang khas pada kulit dan
membran mukosa.1,2 Pada pasien dengan EMM memiliki lesi target yang khas dengan atau tanpa
erosi. Dibedakan dengan pasien SJS, distribusi lesi berupa macula purpura dan erosi lebih sering
pada badan dan wajah.3 Terdapat consensus yang membedakan EMM dan SJS-NET yaitu
mendefinisikan EM sebagai detachment kurang dari 10% luas permukaan tubuh disertai lesi
target tipikal atau lesi atipikal meninggi yang terlokalisasi, sedangkan SSJ didefinisikan sebagai
detachment kurang dari 10% luas permukaan tubuh disertai penyebaran secara luas makula
keunguan atau eritematosa, atau lesi target atipikal yang datar.4,5

2. Lupus Erimatosus Bulosa

Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) Bulosa merupakan suatu penyakit autoimun yang jarang
terjadi dan muncul sebagai manifestasi pada kulit akibat reaksi autoimunitas terhadap kolagen
tipe VII. Lesi kulit primer akan muncul tiba-tiba dan akan menyerupai lesi kulit, lesi oral, dan
histopatologis dengan pemfigoid bulosa dan dermatitis herpetiformis.6 Dari berbagai lesi kulit
yang diobservasi pada SLE, jarang ditemukan erosi serta lesi yang terlihat mirip dengan lesi
erimatosus bulosa lainnya. Belum ada kasus lupus erimatosus bulosa yang dilaporkan mirip
dengan SJS-NET, namun pada beberapa kasus EEM serta lesi SJS-like dengan hemoragik berat,
krusta nekrosis, ulserasi oral, vesikobulosa multiple, dan lesi nekrotik pada badan dan
ekstremitas telah dilaporkan, sering dengan denominasi sindrom Rowell. Dalam semua kasus,
erosi buccal telah menunjukkan progresivitas. Oleh itu, telah dinyatakan bahwa dengan adanya
riwayat SLE merupakan faktor risiko terjadinya drug-induced SJS-NET.3

3. Generalized Bullous Fixed Drug Eruption


Didapatkan dalam suatu studi retrospektif, dimana dua dari empat kasus didiagnosa sebagai
generalized bullous fixed drug eruption (GBDFE). Kedua kelainan ini dikarakterisasi secara
histology dengan adanya penebalan nekrosis epidermis dan juga merupakan drug-induced,
namun tidak ada perbandingan yang jelas. Akan tetapi, manifestasi klinis tipikal dari GBFDE
berbeda dari NET, dimana GBFDE dikarakterisasi dengan adanya episode erosi, penglibatan
yang minimal dari membrane mukosa, erosi yang luas tanpa bercak, gejal konstitusi yang
sedang, tidak melibatkan visceral, mempunyai prognosis yang baik, serta waktu respon yang
pendek antara ingesti dari obat yang terlibat serta onset reaksi, yaitu kurang dari dua hari.6

4. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)

SSSS dibedakan secara klinis dari SJS-NET terutama oleh epidemiologi dan dari selaput
lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan hanya
lapisan epidermis. SSSS adalah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri
khas berupa terdapatnya epidermolisis. Gambaran SSSS umumnya menyerang anak <5 tahun,
mulainya kelainan kulit pada wajah, leher, aksila, dan lipat paha. Mukosa umumnya tidak
dikenai, organ dalam tidak diserang dan angka kematian lebih rendah. Bagi perbandingan antara
SSSS dan SJS-NET, pada pemeriksaan frozen section pada SSSS, letak celah terdapat di stratum
granulosum sedangkan pada NET letak celah terdapat di subepidermal. Pada NET terdapat sel-
sel nekrosis di sekitar celah dan banyak terdapat sel radang.7

5. Akut Pustular Obat

(AGEP) merupakan reaksi kulit yang berat, biasanya terkait dengan obat yang ditandai
dengan pembentukan pustula steril akut dengan dasar eritematosa, demam dan neutrofilia.
Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), juga bisa
menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP merupakan erupsi yang terdiri dari
non-follicularly centered pustules yang sering dimulai di leher dan daerah intertriginosa.3

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan diagnosis, tetapi untuk


evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana keadaan yang mengancam jiwa. Pemeriksaan yang
dilakukan meliputi hematologi rutin, urea serum, analisis gas darah, dan gula darah sewaktu.
Pemeriksaan histopatologis kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding, dan umumnya
diperlukan untuk kepentingan medikolegal. Dilakukan uji kultur bakteri dan kandida dari tiga
area lesi kulit pada fase akut. Diagnosis kausatif dilakukan setelah minimal 6 minggu setelah lesi
kulit hilang dengan uji tempel tertutup dan uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte
proliferation assays (LPA) yang dapat digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat
yang diduga menjadi pencetus.7,8

1. Roujeau JC. Erythema Multiforme. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New
York: McGraw-Hill; 2012. p.431-9.
2. Michaels B, Del Rosso JQ. The role of systemic corticosteroid therapy in erythema
multiforme major and Stevens-Johnson syndrome: a review of past and current opinions.
JCAD 2009; 2(3): 51-5.
3. Nicolas Bachot and Jean-Claude Roujeau. Differential Diagnosis of Severe Cutaneous
Drug Eruptions. Department of Dermatology. 2003.
4. Bajaj P, Sabharwal R, PK Mohammed R, Garg D, Kapoor C. Erythema multiforme:
classification and immunopathogenesis. J Adv Med Dent Scie 2013; 1(2):40-7.
5. Sokumbi O, Wetter DA. Clinical Features, Diagnosis and Treatment of Erythema
Multiforme: a review for the practicing dermatologist. International Journal of
Dermatology 2012; 51:889-902.
6. Endah Ayu, Harum Sasanti. Manifestasi Sistemik Lupus Erimatosus Bulosa di Mulut dan
Permasalahannya. Departemen Ilmu Penyakit Mulut, FKUI. Jakarta; 2006.
7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. 2015. Penerbit: Badan Penerbit
FKUI.
8. Panduan Praktis Klinis PERDOSKI. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin
Indonesia. Jakarta. 2017.

Anda mungkin juga menyukai