Anda di halaman 1dari 24

BLOK AESTHETIC DENTISTRY 1

RESUME
CASE STUDY 6

Dosen Pembimbing:
drg. Pratiwi Nur Widyaningsih, M.BioMed

Disusun oleh:
Selma Junita G1B016005 Wahyu Nurhani G1B016025
Saskia Happy Safrila G1B016015 Silvia Nur Fatmawati G1B016026
Findy Naisha F. G1B016017 Tyas Firzani G1B016027
Reine Zhafirah G1B016022 Indes Rosmalisa G1B016030
Farah Fadhilah G1B016023 Ridwan Mutaqin G1B016047

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2019
SKENARIO
Seorang ibu datang ke RSGMP UNSOED bersama anak perempuanya
(4,5 th) untuk memeriksakan gigi depan atas anaknya yang berlubang cukup luas.
Pasien ingin gigi anaknya tersebut disembuhkan. Saat datang gigi tidak terasa
sakit. Pada pemeriksaan intraoral terlihat gigi 51/61 terdapat karies di sisi mesial
yang meluas hingga menghabiskan separuh lebar gigi dan tepi insisal dengan
kedalaman menyisakan selapis tipis dentin. Terdapat gumboil dengan diameter
±1,5 mm pada mukosa gingiva labial sebelah apikal gigi tersebut. Saat diperkusi
pasien tidak menangis. Pemeriksaan dengan menggunakan CE membuat pasien
menangis.
A. Cara Diagnosis
1. Pemeriksaan Subjektif
CC : Pasien datang bersama orang tua dengan keluhan gigi depan
anak berlubang cukup luas dan ingin disembuhkan.
PI : Pasien saat ini tidak sedang merasa sakit.
PMH : Tidak ada keterangan
PDH : Tidak ada keterangan
FH : Tidak ada keterangan
SH : Pasien anak perempuan berumur 4,5 tahun.
2. Pemeriksaan Objektif
a. Intraoral :
1) Intraoral terdapat karies pada sisi mesial gigi 51/61 yang meluas
hingga menghabiskan separuh lebar gigi dan tepi insisal dengan
kedalaman menyisakan selapis tipis dentin.terdapat gumboil
dengan diameter ±1,5 mm pada mukosa gingiva labial sebelah
apical gigi tersebut.
2) Perkusi : - (negative)
3) Palpasi : Tidak ada keterangan
4) Vitalitas: - (negative)
b. Ekstraoral : Tidak ada keterangan

1
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus tidak ada keterangan, namun
pemeriksaan penunjang radiografi disarankan karena terdapat gumboil
pada periapikal gigi 51/61.
B. Diagnosis
Diagnosis pasien anak pada kasus tersebut adalah nekrosis pulpa
disertai abses periapikal. Diagnosis tersebut ditentukan karena sudah terdapat
gumboil dengan diameter kurang lebih 1,5 mm pada bagian mukosa ginggiva
labial sebelah apikal gigi tersebut. Pemerikasaan objektif juga
memperlihatkan bahwa pada saat dilakukakn perkusi pasien tidak merasakan
sakit dan pada saat inspeksi terlihat ggi 51 dan 61 terdapat karies di sisi mesial
yang meluas hingga menghabiskan separuh lebar gigi dan tepi insisal dengan
kedalaman menyisakan selapis tipis dentin.
C. Klasifikasi Karies
Pengelompokan atau klasifikasi karies digunakan untuk mempermudah
mendeteksi penyakit karies gigi, banyak klasifikasi karies, yaitu:
1. Klasifikasi G.V Black
Karies menurut G.V Black diklasifikasikan menjadi (Tarigan, 1995):
a. Kelas I merupakan karies yang terjadi pada oklusal gigi (pit dan fisur)
dari gigi posterior dan terjadi pada foramen caecum dari gigi anterior.
b. Kelas II merupakan karies yang terjadi pada bagian proksimal gigi
(mesial dan distal) dari gigi posterior yang umumnya meluas ke bagian
oklusal.
c. Kelas III adalah kelompok karies yang terdapat pada bagian proksimal
gigi anterior namun belum mencapai margo incisalis (insisal gigi).
d. Kelas IV merupakan karies kelanjutan dari karies kelas III yang telah
meluas dari proksimal gigi ke bagian margo incisalis (insisal gigi).
e. Kelas V merupakan karies yang terdapat pada bagian 1/3 leher gigi
anterior atau permukaan halus dan fasial gigi posterior pada
permukaan labial, lingual, palatal atau bukal gigi.

2
f. Kelas VI merupakan karies yang terdapat pada incisal edge dan cusp
oklusal pada gigi posterior yang disebabkan oleh abrasi, atrisi, atau
erosi.
Kasus yang terjadi pada pasien merupakan karies klasifikasi G.V. Black
kelas IV karena karena karies terjadi pada media melibatkan insisal 51/61
yang merupakan gigi anterior.
2. Klasifikasi G.J. Mount
Klasifikasi karies G.J. Mount merupakan klasifikasi kombinasi antara site
(letak) dan size (ukuran) yang dapat diklasifikasikan menjadi (Graham,
2009):
Berdasarkan site (letak)
a. Site 1 : karies terletak pada pit dan fissure
b. Site 2 : karies terletak pada area kontak gigi (proksimal) pada gigi
anterior atau posterior.
c. Site 3 : karies terletak pada daerah servikal gigi yang termasuk
enamel/permukaan akar terbuka
Berdasarkan size (ukuran)
a. Size 0 : lesi dini
b. Size 1 : kavitas minimal dan belum melibatkan dentin
c. Size 2 : adanya keterlibatan dentin dengan gigi masih kuat mendukung
prosedur restorasi.
d. Size 3 : kavitas berukuran lebih besar sehingga preparasi kavitas
diperluas agar restorasi dapat digunakan untuk melindungi struktur
gigi yang tersisa.
e. Size 4 : karies menyebabkan kehilangan sebagian besar struktur gigi
seperti cups/sudut insisal.
Kasus yang terjadi pada pasien merupakan karies klasifikasi G.J. Mount
2.2 yang berarti karies terjadi pada site (letak) 2 yang merupakan terjadi
pada area kontak gigi (proksimal) anterior dengan size (ukuran) 2
dikarenakan pada kasus disebutkan bahwa adanya keterlibatan dentin.

3
3. Klasifikasi stadium karies (Tarigan, 2002)
a. Karies superfisial merupakan karies yang baru mengenai enamel.
b. Karies media merupakan karies yang mengenai enamel dan telah
mencapai setengah dentin
c. Karies profunda adalah karies yang mengenai enamel dan mencapai
lebih dari setengah dentin serta kadang kavitas mengenai pulpa.
Kasus yang terjadi pada pasien merupakan karies profunda karena karies
sudah mencapai pulpa.
4. Klasifikasi karies menurut WHO (World Health Organization)
Klasifikasi WHO berdasarkan bentuk dan kedalaman lesi karies dibedakan
dalam skala empat titik yaitu sebagai berikut :
a. D1. Lesi email gigi yang terdeteksi secara klinis dengan tidak adanya
kavitas permukaan.
b. D2. Secara klinis terdeteksi lesi pada enamel.
c. D3. Kavitas yang dapat dideteksi secara klinis pada dentin.
d. D4. Lesi karies memanjang ke dalam pulpa (Dwiandhono, 2018).
Berdasarkan skenario klasifikasi karies menurut WHO, kasus ini termasuk
ke dalam D3 dikarenakan kavitas dapat dideteksi secara klinis pada dentin.
D. Rencana Perawatan
Rencana perawatan yang akan dilakukan pada kasus ini yaitu pasien
pertama kali dilakukan pemeriksaan radiografi periapikal untuk melihat lesi
gumboil dengan diameter ±1,5 mm pada mukosa gingiva labial sebelah apikal
gigi 51/61. Pada kasus ini akan dilakukan perawatan saluran akar (PSA) non
vital gigi desidui. Perawatan saluran akar merupakan perawatan yang
bertujuan untuk meringankan rasa sakit dan mengontrol sepsis dari pulpa dan
jaringan periapikal serta mengembalikan keadaan gigi yang sakit agar dapat
diterima secara biologis oleh jaringan sekitarnya (Bachtiar, 2016). Pada
kunjungan pertama dilakukan pembersihan jaringan jaringan karies, setelah
itu dikarenakan adanya gumboil pada kasus ini akan dilakukan trepanasi
gumboil dengan pembukaan atap pulpa atau access opening sampai dengan

4
tahapan pemberian medikasi pada saluran akar. Selanjutnya pada kunjungan
kedua setelah 1 minggu, dilakukan obturasi saluran akar jika tidak ada
keluhan terhadap kunjungan sebelumnya. Restorasi pasca perawatan saluran
akar dijadwalkan pada kunjungan ketiga dengan menggunakan restorasi GIC
tipe III yang sebelumnya sudah diberikan basis dengan menggunakan ZnPO4
terlebih dahulu.
Indikasi dilakukan perawatan saluran akar non vital desidui yaitu
sebagai berikut.
1. Gigi sulung dengan diagnosa pulpitis irreversibel atau nekrosis pulpa.
2. Mahkota gigi masih dapat direstorasi
3. Pada gambaran radiografi terdapat resorpsi akar kurang dari sepertiga
apikal masih diindikasikan untuk perawatan pulpektomi
4. Gigi sulung dengan peradangan pulpa yang meluas namun akar dan tulang
alveolar bebas dari resorpsi patologis sehingga jaringan periodontal masih
sehat
5. Gigi sulung dengan adanya abses periapikal
6. Perdarahan yang berlebihan pasca perawatan pulpotomi atau pulpotomi
yang tidak berhasil
7. Kerusakan jaringan periradikular yang minimal sehingga tidak terdapat
kegoyongan gigi (Ahmed, 2014).
Kontra-indikasi untuk perawatan saluran akar non vital desidui yaitu
sebagai berikut.
1. Resorpsi patologis akar eksternal yang melibatkan lebih dari sepertiga
apikal
2. Gigi dengan mahkota yang sudah tidak dapat di restorasi
3. Keterlibatan jaringan periradikular dari gigi sulung yang meluas ke bagian
tooth bud dari gigi permanen
4. Resorpsi internal yang berlebihan
5. Pasien dengan penyakit sistemik seperti penyakit jantung bawaan,
hepatitis, atau leukemia

5
6. Pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid jangka panjang dan mengalami
gangguan sistem kekebalan (Clinical Affairs Committee, 2014).
E. Tahapan Kerja
1. Lakukan rongent untuk mengetahui letak pasti abses periapikal
2. Isolasi dengan menggunakan rubberdam.
3. Membersihkan karies dengan menggunakan steel bur atau carbide bur.
4. Irigasi dengan menggunakan salin.
5. Membentuk dinding proksimal (Re-walling).
6. Akses opening dengan menggunakan endo access bur sampai dengan
pulpa. Preparasi divergen kearah insisial dengan cara mengaplikasikan bur
tegak lurus sumbu gigi setelah masuk 1-1,5 mm maka arahkan bur sejajar
dengan sumbu gigi (Taqwim, A., 2019)

Gambar 1. Outline form


Sumber: Garg dan Garg (2011)

Gambar 2. Cara Aplikasi Bur pada Access Opening


Sumber: Sumber: Ingle dkk (2008)

6
7. Trepanasi dilakukan dengan cara membuka atap pulpa sampai dengan
saluran akar terlihat. Lakukan spulling kemudian menggunakan campuran
iod gliserin dan saline steril (Alphianti, 2014).
8. Ekstirpasi pulpa dengan menggunakan jarum ekstirpasi atau barbed
broach. Alat ini didesain dengan dilengkapi duri yang tajam yang
bertujuan untuk menarik jaringan organik pada saluran akar.

Gambar 3. Barbed Broach


Sumber: Margreaves dan Cohen (2011)

Gambar 4. Pengambilan pulpa


Sumber: Garg dan Garg (2011)

9. Negosisasi saluran akar dengan menggunakan k-file nomor 6, 8, dan 10


serta mencari apical patency yang bertujuan untuk melihat hambatan pada
bagian apikal. Glide path akan terbentuk jika negosiasi dan apical patency
telah dilakukan. Glide path bertujuan untuk memastikan tidak adanya
hambatan di saluran akar (Dwiandhono, I., 2019)
10. Working length
Pengukuran Panjang kerja dilakukan dengan 2 cara
a. Radiografi

7
1) Langsung
2) Perbandingan
PGS : PGF = PAS : PAF
PGS= PAS x PGF
PAF

Panjang kerja = PGS – 2 mm


(Taqwim, A., 2019)
b. Apex Locator
11. Cleaning dan Shaping
Tindakan cleaning dan shaping melibatkan pembersihan dan
preparasi saluran akar. Preparasi dapat dilakukan pada kasus ini yaitu
Teknik Konvensional. Setelah didapatkan working length, preparasi
diawali dengan memasukkan k-file yang berukuran 6, 8, dan 10 secara
berurutan sampai k-file tersebut masuk sesuai dengan working length. K-
file diaplikasikan dengan cara watch winding, yaitu file diputar 60° – 90°
setiap putarannya dengan arah searah jarum jam dan diputar kembali
berlawanan arah jarum jam. Langkah selanjutnya dihaluskan dengan
menggunakan headstroam file dan diirigasi. Headstroam diaplikasikan
dengan cara reaming, yaitu memutar file searah jarum jam sampai dengan
terasa sempit kemudian file ditarik ke insisal.

8
Gambar 5. Ukuran K-file dan H File
Sumber: Garg dan Garg (2011)

Gambar 6. K-File
Sumber: Margreaves dan Cohen (2011)

Gambar 7. Gerakan Watch Winding


dengan Clockwise dan anticlockwise
Sumber: Garg dan Garg, 2011

9
Gambar 8. Bentuk Preparasi Teknik Konvensional
Sumber: Margreaves dan Cohen (2011)
Metode preprasi konvensional lebih mudah cara kerjanya tanpa harus
preparasi dengan mengurangi panjang kerja namun teknik konvensional
memiliki kekurangan yaitu tidak bisa mempertahankan apikal kontriksi,
tidak bisa mendapatkan bentuk saluran akar tapered, digunakan K-file
dengan standar ISO 0,02 dengan diameter ujung tip 15 sampai dengan 40
dan hasil preparasi menjadi besar.
12. Melakukan irigasi saluran akar
Irigasi saluran akar merupakan tindakan memasukkan cairan tertentu
dengan tujuan membersihkan saluran akar dari dentin, jaringan nekrotik
dan biofilm (Widyastuti,2017).. Larutan irigasi yang ideal harus
mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Memiliki spektrum antibakteri yang luas dan efektivitas tinggi
terhadap bakteri anaerob
b. Membersihkan smear layer dan debris dentin
c. Melarutkan sisa jaringan pulpa yang nekrotik atau yang vital
d. Memiliki tegangan permukaan yang rendah sehingga dapat mencapai
tubulus dentin
e. Bersifat biokompatibel (Haapasalo dkk., 2010).
Bahan irigasi diharapkan mampu melarutkan sisa jaringan pulpa vital
dan nekrotik merupakan karena anatomi saluran akar yang kompleks
sehingga sulit untuk dicapai secara keseluruhan sehingga pembersihan

10
saluran akar secara mekanis, yakni instrumentasi dengan file tidak dapat
menjamin saluran akar bersih dan bebas dari sisa jaringan pulpa nekrotik.
Jaringan pulpa nekrotik dieliminasi dari saluran akar sebelum cleaning
and shaping dilakukan akan tetapi masih terdapat sisa jaringan pulpa
yang melekat pada dinding saluran akar yang dapat menjadi sumber
nutrisi bakteri sehingga bakteri akan kembali menginvasi saluran akar
yang telah dirawat dan dapat terjadi infeksi sekunder yang menyebabkan
kegagalan perawatan saluran akar (Schafer, 2007). Beberapa bahan irigasi
yang tersedia di pasaran diantaranya : saline, EDTA, NaOCl,
Chlorhexidine dan sebagainya.
Saline memiliki kemampuan hanya sebatas membersihkan debris sisa
preparasi dan tidak bias berperan sebagai antimikroba. Saline biasanya
digunakan sebagai bahan irigasi yang digunakan sebagai penjeda antara
bahan irigasi satu dengan lainnya pembilas kahir saluran akar setelah
preparasi (Widyastuti, 2017). Bahan irigasi EDTA memiliki sifat
melarutkan dentin dan mampu membantu dalam memeperbesar saluran
akar yang sempit. EDTA merupakan bahan irigasi chelator yang sering
digunakan dalam perawatan saluran akar. Bahan irigasi chelator sangat
penting dalam pembersihan saluran akar karena dapat menghilangkan
debris dentin dan smear layer (Peters dkk., 2011).
Bahan irigasi chlorhexidine mampu membunuh bakteri dengan
konsentrasi 2% (Widyastuti, 2017). Penggunaan chlorhexidine sering
digabungkan dengan larutan irigasi lain untuk mendapatkan efek yang
optimal atau digunakan sebagai pembilas terakhir karena efek
substantivitas atau antimicrobial yang lebih panjang. Hal ini disebabkan
sifat kationik chlorhexidine yang dapat mengikat dengan dentin dan
enamel gigi (Schafer, 2007).
Bahan irigasi sodium hipoclorit (NaOCl) juga sering digunakan
karena memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum luas, melarutkan
jaringan pulpa nekrotik dan menonaktifkan endotoksin. NaOH merupakan

11
suatu zat yang terdapat dalam larutan NaOCl akan mendegradasi asam
lemak dan mengubahnya menjadi fatty acid salts (soap) dan glycerol
(alcohol), yang mengurangi tegangan permukaan NaOCl. Selain itu,
NaOH juga akan menetralkan asam amino dan membentuk air dan garam.
Asam hipoklorit, HOCl- yaitu suatu zat yang terdapat dalam larutan
NaOCl, yang ketika berkontak dengan jaringan organik, akan bertindak
sebagai pelarut, dan melepaskan klorin yang dikombinasikan dengan
gugus amino protein serta menghasilkan chloramines. Reaksi
chloramination antara klorin dan gugus amino (NH) membentuk
chloramines yang mengganggu metabolisme sel (Kandaswamy dkk.,
2010).
Kekurangan NaOCl adalah memiliki efek sititoksik bila terkena
jaringan periapikal, bau, dan rasa tidak enak, kecenderungan
menyebabkan korosif serta dapat menyebabkan reaksi reaksi alergi
(Walton dkk., 2008). Selain itu larutan NaOCl tidak dapat melarutkan
bahan anorganik sehingga tidak efektif dalam menghilangkan smear layer
secara keseluruhan karena smear layer mengandungi bahan organik dan
anorganik sehingga untuk eliminasi smear layer dalam saluran akar,
penggunaan larutan NaOCl sering dikombinasikan dengan EDTA 17%
(Haapasalo dkk., 2010).
Irigasi saluran akar dapat dilakukan dengan berbagai teknik yang
dibagi berdasarkan 2 prinsip, yakni prinsip positive pressure dan prinsip
negative pressure. Teknik irigasi saluran akar yang menggunakan prinsip
positive pressure yaitu teknik secara manual yakni menggunakan syringe
plastic dan jarum. Dalam teknik ini, larutan irigasi dimasukkan ke saluran
akar dengan tekanan positif melalui jarum (Kurtzman, 2009).
Jarum yang digunakan dalam teknik ini terbagi dua jenis, yaitu jarum
ujung terbuka (open-ended) dan jarum ujung tertutup (close-ended).
Jarum ujung terbuka dapat memasukkan larutan irigasi lebih dalam dan
jauh dari ujung jarum sehingga penggantian larutan irigasi dalam saluran

12
akar lebih efisien namun dapat meningkatkan tekanan apikal sehingga
menyebabkan penetrasi larutan irigasi melewati apikal ke jaringan
periapikal. Jarum ujung tertutup dapat menghindari penetrasi larutan
irigasi ke jaringan periapikal karena lubang jarum berada di lateral (Gu
dkk., 2009).
Teknik irigasi saluran akar yang menggunakan prinsip negative
pressure adalah Endovac. Endovac memiliki tiga komponen, yaitu master
delivery tip, macrocannula dan microcannula. Dalam sistem negative
pressure ini larutan irigasi dialirkan ke dalam kamar pulpa secara terus-
menerus oleh Master delivery tip yang diletakkan pada bagian koronal
dan kemudian larutan irigasi akan mengalir ke bawah menuju apeks dan
kemudian disedot kembali dengan bantuan Macrocannula dan
Microcannula (Kurtzman, 2009).
Pada kasus diatas, irigasi setelah proses cleaning and shaping
menggunakan NaOCl 5,25 % selama 30 detik kemudian dibilas
menggunakan saline dengan prinsip positive pressure dan syringe jarum
lubang lateral yang sudah dibengkokkan untuk mencegah terjadinya
apical extrusion. Irigasi dilanjutkan menggunakan EDTA selama 30 detik
kemudian dibilas menggunakan saline dan dilanjutkan menggunakan
Chlorhexidine. Irigasi pada kasus ini harus dilakukan secara adekuat
karena adanya gumboil pada mukosa palatal bagian apikal gigi 51 dan 61
yang menunjukkan adanya invasi bakteri yang menyebabkan nekrosis
pulpa yang meluas sehingga menyebabkan inflamasi pada daerah
periapikal sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah,peningkatan
permeabilitas vaskuler, dan transmigrasi leukosit dari pembuluh darah ke
perivaskuler untuk memfagositosis dan membunuh mikroorganisme.
Peradangan terus menerus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan
sel-sel radang dan menghasilkan eksudat sehingga terjadi abses. Eksudat
mencari jalan keluar untuk drainase dan membuat lesi parulis pada
gingiva (Cohen dkk., 2011).

13
13. Mengeringkan saluran akar menggunakan paper point
Proses setelah irigasi adalah mengeringkan saluran akar menggunakan
paper point yang ukurannya sesuai dengan no K-file terakhir. Secara klinis
perlu paper point bekerja seperti kertas penyerap dan harus diberi waktu
dalam saluran akar agar dapat bekerja efektif. Paper point dapat dipegang
dengan pinset dan diukur sesuai dengan panjang kerja sehingga ujungnya
tidak terdorong secara tidak sengaja melalui foramen apikal. Paper point
dimasukkan secara perlahan sehingga mengurangi terdorongnya cairan
irigasi ke dalam jaringan apical (Nisha dkk.,2010).
14. Memberikan Intracanal Medicament
Tujuan pemberian medikamen intrakanal diantaranya untuk
mengurangi peradangan periradikuler, mencegah pertumbuhan bakteri,
membantu mengeliminasi eksudat periapikal, serta sebagai barier kimia
dan fisik apabila restorasi sementara bocor. Pada kasus-kasus tertentu
seperti nekrosis pulpa dan periodontitis apikalis, pemberian medikamen
intrakanal sangat diperlukan untuk memperoleh saluran akar yang steril,
sedangkan pada pulpa gigi yang masih vital atau pulpitis irreversibel, tidak
memerlukan medikamen intrakanal karena lebih menekankan pada
tindakan preparasi dan irigasi sehingga dapat diselesaikan dalam satu kali
kunjungan (Ingle dkk., 2008).
Medikamen yang digunakan dalam perawatan endodontik dapat dibagi
atas beberapa kelompok besar yaitu, essential oil, senyawa fenolik,
senyawa aldehida, senyawa halogen, steroid, kalsium hidroksida,
antibiotik, dan kombinasi. Senyawa fenolik meliputi: eugenol,kamforated,
monoparaklorofenol (CMCP), paraklorofenol (PCP), kamforated
paraklorofenol (CPC), chlorophenol champor menthol (CHKM),
metakresilasetat (kresatin), kresol, kreosote (Beechwood), dan timol.
Senyawa aldehida meliputi : formokresol, glutaraldehid, dan trikresol
formalin. Sementara senyawa halogen meliputi : sodium hipokhlorit
(NaOCl) dan iodine-potasium iodide (Mattulada, 2010).

14
No Jenis Intracanal Kelebihan Kekurangan Masa
Medikamen Aktif
1 Essential oil Menghambat impuls Disinfektan lemah 3 hari
(Eugenol) saraf interdental
2 Parachlorophenol Membunuh m.o Iritatif -
saluran akar
3 CHKM (Chloro Kemampuan Masa kerjanya 1 hari
Phenol Champor disinfektan yang kuat singkat
Mentol) dan spectrum Bau kurang enak
antibakteri yang luas
Iritatif rendah
4 Cresophene/Rock Memiliki efek Jika berlebihan 3-5 hari
les antiinflamasi dan dapat iritatif dan
bakterisid yang baik menyebabkan
inflamasi jaringan
periapikal dan
periodontal
5 Crestatin Bersifat antiseptic Efek antimikroba -
(Metakresil dan analgesik lebih rendah
Asetat) dibandingkan TKF
dan CHKM
6 TKF (Trikresol Cukup efektif sebagai Sangat toksik pada -
Formalin) disinfektan dan jaringan periapaikal
antimikroba Penggunaan
khususnya anaerob berlebih dapat
menyebabkan
periodontitis
7 Ca (OH)2 pH tinggi sehingga Difusi dan daya 7-14
bersifat antimikroba larut rendah hari

15
yang sangat baik Harus berkontak
Merangsang langusng dengan
apeksifikasi bakteri
8 NaOCl Efek bakterisid yang Masa kerjanya 2 hari
sangat baik singkat
Bila berlebihan
menyebabkan
korosi
Sumber : Garg dkk., 2010
Pada kasus ini intracanal medicament yang digunakan pada kunjungan
pertama adalah Cresophene karena memiliki efek anti inflamasi dan
bakterisid dengan masa aktif yang cukup lama sehingga sesuai untuk
kasus diatas karena adanya abses periapikal. Cara pengaplikasiannya
adalah sebagai berikut :
a. Cotton pellet steril dijepit dengan pinset, ditempatkan pada ujung
pipet yang berisi Cresophene kemudian di teteskan pada cotton roll
sampai tersisa sedikit serapan Cresophene pada cotton pellet
(Widyawati, 2016).
b. Letakkan cotton pellet di dalam kamar pulpa, diatasnya diberi kapas
kering steril tipis kemudian terakhir ditutup dengan pasta zinc oxide
eugenol (Cavit/caviton) sebagai restorasi sementara (Widyawati,
2016).
Pada kunjungan berikutnya dapat dievaluasi mengenai keluhan yang
masih ada pada pasien dan gumboil pada mukosa palatal sudah
menghilang atau belum, jika belum maka mengindikasikan bahwa
penggunaan Cresophene kurang efektif sehingga perlu diganti
menggunakan intracanal medicamentosa yang lain seperti Ca(OH)2.
15. Pembuatan Restorasi Sementara
Restorasi sementara adalah pengaplikasian bahan tumpatan yang tidak
tetap diatas kavitas yang nantinya akan dibongkar kembali pada

16
kunjungan berikutnya. Pembuatan restorasi sementara memiliki beberapa
tujuan diantaranya:
a. Memberi kesempatan pada obat-obatan yang diletakkan di bawahnya
untuk bekerja (sterilisasi beberapa waktu pada kavitas atau rust
therapy)
b. Menunggu kemungkinan adanya reaksi pulpa.
c. Memberi kesempatan pada obat di bawahnya untuk menstimulasikan
pembuatan dentin reparatif.
d. Mendapatkan penutupan yang kedap terhadap kontaminasi saliva dan
masuknya mikroorganisme (hermetic seal)
Pada kasus ini bahan restorasi sementara yang digunakan adalah Zinc
Oxide Eugenol yang diambil menggunakan glass plate kemudian
diapalikasikan pada kavitas setinggi 2-3 mm menggunakan plastic
instrument. Zinc Oxide Eugenol Cement adalah semen tipe sedatif yang
lembut. Biasanya disediakan dalam bentuk bubuk dan cairan, dan berguna
sebagai basif insulatif (penghambat). Powder atau bubuk memiliki
komposisi : Zinc Oksida 69%, resin putih 29,3%, Magnesium
Oksida(MgO) dalam jumlah kecil dan Zinc Asetat atau garam lainnya
sekitar 1% yang berfungsi untuk memperbaiki kekuatan. Liquid atau
cairan memiliki komposisi : Eugenol dari minyak cengkeh 85%, minyak
olive15% dan asam asetat sebagai akselerator (Sulastri, 2017).
Zinc Oxide Eugenol Cement sering digunakan sebagai tumpatan
sementara. Eugenol memiliki efek paliatif terhadap pulpa gigi dan ini
merupakan salah satu kelebihan jenis semen tersebut, kelebihan lainnya
adalah kemampuan semen untuk meminimalkan kebocoran mikro, dan
memberikan perlindungan terhadap pulpa. Bahan ini paling sering
digunakan ketika merawat lesi karies yang besar. Cara manipulasi Zinc
Oxide Eugenol Cement yaitu perbandingan powder dengan cairan
berkisar antara 4: 1 atau 6 : 1. Powder semen diletakkan pada glass plat
tipis, kemudian campur dengan powder kedalam cairan menggunakan

17
spatula semen hingga campur dan aduk tercapai konsistensi yang kental
seperti dempul (Sulastri, 2017).
Kunjungan Selanjutnya
16. Pengisian Saluran Akar
Melakukan prosedur pengisian saluran akar yaitu isi saluran akar dan
ruang pulpa dengan pasta antiseptik yaitu ZnO Eugenol dengan memakai
jarum lentulo menggunakan mikromotor low speed pada kunjungan
selanjutnya. Kriteria pengisian bahan pengisian saluran akar pada gigi
desidui antara lain (Bhawazir, 2003) :
a. Harus dapat diresorbsi
b. Tidak merusak jaringan periapikal & benih gigi permanen
c. Diresorbsi sesuai dengan kecepatan resorbsi akar
d. Bersifat antiseptik, radiopaque, dan bakterisid
e. Mudah diisikan dan tidak mengiritasi
f. Melekat pada dinding saluran akar
g. Tidak mengerut,hermetis, padat, keras
h. Mudah dikeluarkan bila diperlukan
i. .Tidak menyebabkan perubahan warna gigi
j. Mengeras dalam waktu agak lama.
Bahan yang biasa digunakan sebagai pengisi adalah: zinc oxide
eugenol, pasta iodoform dan pasta Ca(OH)2. Kriteria utama pengisian
bahan yang akan digunakan pada gigi desidui yaitu harus teresorpsi
bersamaan dengan resorpsi akar gigi, sehingga tidak mengganggu erupsi
gigi permanen. Bahan-bahan tersebut memiliki komponen dan fungsi
sebagai berikut (Ahmed, 2014) :
a. Zinc Oxide Eugenol (ZnOE)
Zinc oxide eugenol dikembangkan sebagai alternatif yang
berbasis gutta-percha (sealant chloropercha dan eucapercha) karena
mereka tidak memiliki stabilitas dimensi setelah pengaturan. ZnOE

18
merupakan salah satu bahan pengisi saluran akar yang banyak
digunakan untuk gigi sulung.
Penelitian yang dilakukan oleh Hashieh menunjukkan efek
yang menguntungkan dari ZnOE. Jumlah ZnOE yang dilepaskan
pada zona periapikal segera setelah pengisian adalah 10-4 dan
menurun menjadi 10-6 setelah 24 jam, dan mecapai 0 setelah 1 bulan.
Kelebihan dari bahan ini yaitu : mudah didapatkan, biaya relatif
murah, mempunyai efek antimikroba yang baik, tidak sitotoksik
untuk sel-sel yang berkontak langsung ataupun tidak langsung,
plastisitasnya baik, tidak toksisitas, merupakan materi radiopak,
memiliki anti inflamasi dan analgesik yang baik dan tidak
menyebabkan diskolorisasi pada gigi.
b. Kalsium Hidroksida (Ca(OH)2)
Kalsium Hidroksida telah digunakan dalam endodontik sebagai
bahan pengisi saluran akar, obat intra kanal atau sebagai sealer yang
dikombinasikan dengan bahan inti padat. Bubuk kalsium hidroksida
murni dapat digunakan sendiri atau bisa dicampur dengan larutan
garam normal. Penggunaan pasta kalsium hidroksida sebagai bahan
pengisi saluran akar didasarkan pada asumsi bahwa ia menghasilkan
pembentukan struktur keras atau jaringan pada foramen apikal.
Alkalinitas kalsium hidroksida merangsang pembentukan jaringan
mineral. Kelebihan penggunaan bahan ini yaitu biokompatibel (pH
antara 12,5-12,8, kelarutan rendah terhadap air, serta tidak dapat larut
dalam alkohol , efektif melawan mikroba anaerob pada pulpa gigi
nekrosis, kandungan alkaline pada CaOH mampu menghalangi
proses inflamasi dengan berperan sebagai buffer lokal dan dengan
mengaktivasi alkaline fosfatase yang penting dalam pembentukan
jaringan keras, efektif dalam waktu yang cukup lama.
c. Pasta Iodoform

19
Iodoform adalah senyawa yang secara tradisional telah
digunakan sebagai bahan intervisit atau pengisi saluran akar,
terutama pada gigi sulung. Rumus kimia untuk iodoform (CHI3)
menunjukkan bahwa senyawa ini berkaitan dengan kloroform
(CHCl3). Kedua komponen tersebut disensitisasi oleh reaksi yodium
dan natrium hidroksida dengan senyawa organik. Bahan ini
digunakan dalam obat-obatan sebagai bahan pengisi saluran akar
untuk reaksi penyembuhan luka pada sekitar awal abad kedua puluh,
tetapi sejak itu telah digantikan oleh bahan antiseptik yang lebih kuat.
Namun demikian, berdasarkan biokompatibilitas bahan ini,
resorbabilitas, dan efek antimikrobanya yang tahan lama, pasta
iodoform masih berhasil digunakan untuk perawatan setelah
pulpektomi pada gigi sulung. Kelebihan penggunaan bahan ini yaitu
memiliki kemampuan resorbsi yang baik dan sifat desinfektan, dapat
disisipkan dan di buang dengan mudah, tidak ada kerusakan pada
enamel benih gigi permanen yang terlihat dan kerusakan morfologi
yang lain dan mudah diisi ke dalam kanal pulpa.
Obturasi pada kasus ini dapat menggunakan sealer seperti:
a. Kalium Hidrosida dengan Iodoform
Pencampuran kalsium hodroksida dengan iodoform berfungsi untuk
mempercepat disosiasi ion untuk menambah kosistensi sebagai
antibakteri danmedia untuk meningkatkan radiopasitas. Selain itu,
pencampuran bahan tersebut mempunyai efek antibakteri dan
mengalami resorbsi dalam waktu 1- 2 bulan sehingga tidak
mengganggu gigi penggantinya, dan mudah dimasukkan dan
dikeluarkan (Wibowo, 2009).
b. Pasta Iodoform
Iodoform berbentuk kristal heksagonal berwarna kuning (Wibowo,
2009). Iodofrom telah lama digunakan sebagai bahan pengisi saluran
akar terutama pada gigi desidui. Rumus kimia untuk iodoform (CHI3)

20
menunjukkan bahwa senyawa ini berkaitan dengan kloroform
(CHCl3). Kelebihan pasta iodoform, yaitu
1) Memiliki kemampuan resorbsi yang baik dan sifat desinfektan.
2) Tidak ada kerusakan pada enamel benih gigi permanen yang
terlihat dan kerusakan morfologi yang lain.
3) Mudah diisi ke dalam kanal pulpa.
4) Kombinasi dengan CaOH menunjukkan sifat bakterisidal yang
baik (Magreaves dan Cohen, 2011).
Kekurangan pasta iodoform, yaitu
1) Dapat menyebabkan diskolorasi kuning kecoklatan pada
mahkota gigi yang mengganggu estetis (Magreaves dan Cohen,
2011).
17. Tutup dengan tumpatan sementara kemudian dilakukan rontgen untuk
melihat obturasi.
18. Basis dengan menggunakan Zinc phosphate jika tumpatan permanen
dengan GIC atau GIC tipe III jika tumpatan permanen menggunakan
komposit
19. Tumpatan Permanen dengan GIC tipe 2.1 atau komposit.
20. Keberhasilan perawatan dilihat dari:
A. Pemeriksaan subjektif tidak terdapat keluhan dan pasien tidak
merasakan sakit.
B. Pemeriksaan objektif palpasi negatif dan perkusi negatif.
C. Pemeriksaan penunjang dengan foto rontgen tidak terdapat inflamasi
apikalis dan gumboil hilang (Ingle dkk, 2008).

21
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, H.M.A., 2014. Pulpectomy Procedures in Primary Molar Teeth. European


Journal of General Dentistry: 3(1).
Alphianti, L.T., 2014 , Perawatan Apeksifikasi dengan Pasta Kalsium Hidroksida:
Evaluasi Selama 12 Bulan (Laporan Kasus), IDJ, 3(1): 52-59.
Bachtiar, Z.A., 2016, Perawatan Saluran Akar Pada Gigi Permanen Anak dengan
Bahan Gutta Percha, Jurnal PDGI, 65 (2) : 60-67.
Bawazir, O., 2003., Pulpectomy Technique For Primary Teeth, Pakistan Oral &
Dent. Jr.h, 3(2).
Clinical Affairs Committee, Pulp Therapy Subcommittee., 2014. Guideline on Pulp
Therapy for Primary and Immature Permanent Teeth. American Academy Of
Pediatric Dentistry: 37(15).
Cohen, S., Hargreaves, K., 2011, Pathways of the Pulp, Mosby, St. Louis
Dwiandhono, I., 2018, Karies dan Klasifikasi, Kuliah Tatap Muka, Universitas
Jenderal Soedirman, Fakultas Kedokteran, Jurusan Kedokteran Gigi.
Dwiandhono, I., 2019, Perawatan Saluran Akar, Kuliah Tatap Muka, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Garg, N., Garg, A., 2010, Textbook of Endodontics 2ndEd, Jaypee Brothers
Medical Publishers(P)Ltd, India.
Gu, L.S., Kim,J.R, Ling J, Choi, K.K., Pashley, D.H, Tay FR., 2009, Review of
Contemporary Irrigant Agitation Techniques And Devices, J Endod, 35(6):
791-804.
Haapasalo, M., Shen, Y., Qian, W., Gao,Y., 2010, Irrigation in endodontics, Dent.
Cli. N. Am, 254: 291-312.
Ingle, Bakland, Baumgartner, 2008, Ingle Endodontics 6, BC Decker, India.
Kandaswamy, D., Venkateshbabu, N., 2010, Root canal irigants, J Conserve Dent,
13(4): 256-64.
Kurtzman, G., 2009, Improving endodontic success through use of the EndoVac
irrigation system, Endodontic Practice, Hal : 17-20.

22
Margreaves, K.M., Cohen, S., 2011, Pathway Of The Pulp, ELSEVIER: Missouri.
Mattulada, I. K., 2010, Pemilihan Medikamen Intrakanal Antar Kunjungan yang
Rasional, Dentofasial., 9 (1) : 63-68.
Peters, O.A., Peters, C.I., 2011, Cleaning and Shaping of The Root Canal System. In:
Hargreaves KM, Cohen S Eds. Cohen’s Pathways of The Pulp, 10th ed,
Elsevier, China.
Schäfer, E., 2007, Irrigation Of The Root Canal, ENDO, 1(1): 11-27.
Sulastri, S., 2017, Bahan Ajar Keperawatan Gigi Dental Material, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Taqwim, A., 2019., Perawatan Pulpa pada Gigi Anak, Kuliah Tatap Muka,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Tarigan, R., 2004, Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti), EGC, Jakarta.
Wibowo, Y.I., 2009, Campuran Kalsium Hodroksida-Iodoform sebagai Bahan
Pengisi Saluran Akar untuk Perawatan Saluran Akar Gigi Desidui, MIKGI,
11(1): 39-42.
Widyastuti N.H., 2017, Penyakit Pulpa dan Periapikal Serta Penatalaksanaannya.,
Surakarta: Muhammadiyah Press University, pp : 121-138, 165-181, 205-210.
Widyawati, 2016, Buku Petunjuk Praktikum Pre Klinik Endodontik, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Baiturrahmah, Padang.

23

Anda mungkin juga menyukai