Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica
serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid). Demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok
penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.Demam tifoid ditandai antara lain
dengan demam tinggi yang terus menerus bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut
nadi yang relatif lambat, kadang gangguan kesadaran seperti mengigau, perut
kembung, splenomegali dan lekopeni.1
Di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, demam tifoid masih
tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan
untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Sebaliknya di negara
maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang misalnya, seiring dengan perbaikan
lingkungan, pengelolaan sampah dan limbah yang memadai dan penyediaan air bersih
yang cukup, mampu menurunkan insidensi penyakit ini secara dramatis. Di abad ke
19 demam tifoid masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama di
Amerika, namun sekarang kasusnya sudah sangat berkurang.1
Tingginya jumlah penderita demam tifoid tentu menjadi beban ekonomi bagi
keluraga dan masyarakat. Besarnya beban ekonomi tersebut sulit dihitung dengan
pasti mengingat angka kejadian demam tifoid secara tepat tak dapat diperoleh.
Insidensi demam tifoid secara tepat tidaklah diketahui mengingat tampilan
kliniknya yang bervariasi sehingga bila tanpa konfirmasi laboratorium, terbaurkan
dengan penyakit infeksi lainnya. Kultur darah sebagai pemeriksaan untuk mencari
kuman penyebab tidak selalu tersedia di setiap daerah dan setiap fasilitas kesehatan.
Di negara maju kasus demam tifoid terjadi secara sporadik dan sering juga berupa
kasus impor atau bila ditelusuri ternyata ada riwayat kontak dengan karier kronik. Di
negara berkembang kasus ini endemik. Diperkirakan sampai dengan 90 - 95 %
penderita dikelola sebagai penderita rawat jalan. Jadi data penderita yang dirawat di
rumahsakit dapat lebih rendah 15 – 25 kali dari keadaan yang sebenarnya.
Diseluruh dunia diperkirakan antara 16 – 16, 6 juta kasus baru demam tifoid
ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak
13 juta kasus setiap tahunnya.
Suatu penelitian epidemiologi di masyarakat Vietnam khususnya di delta
Sungai Mekong, diperoleh angka insidensi 198 per 100.000 penduduk7 dan di Delhi
India sebesar 980 per 100.000 penduduk. Suatu laporan di Indonesia diperoleh sekitar
310 – 800 per 100.000 sehingga setiap tahun didapatkan antara 620.000 – 1.600.000
kasus. Di Jawa Barat menurut laporan tahun 2000 ditemukan 38.668 kasus baru yang
terdiri atas 18.949 kasus rawat jalan dan 19.719 kasus rawat inap.
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8 % yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi loingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease)
adalahpenyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan
gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan
bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
limfe usus, dan Peyer’s patch.1

2.2 Epidemiologi
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di
negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di Negara maju.
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid
disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi.
Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat
di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun. 2 Diperkirakan
setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia.
Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang
rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid
bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian
demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara
berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah
yakni setiap tahun terdapat 0,2 – 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat;
Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000 penduduk di
Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik
dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia
diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih
sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong
penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis.
Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 – 1996 tercatat 550 kasus
demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 – 5,13%.6
Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini sering
merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.7

2.3 Etiologi
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C.
Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding
dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam
tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus
Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora,
motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-
410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C
selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella
mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak
terhadap laktosa atau sukrosa.9 Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di
lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada
suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es,
debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu,
dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya
tanpa merubah warna dan bentuknya.
Manusia merupakan satusatunya sumber penularan alami Salmonella typhi
melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam
tifoid atau karier kronis.3 Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang
menderita demam tifoid atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang
Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya
orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk
ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) - Antigen H = Hauch
(menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. - Antigen Vi = Kapsul;
merupakan kapsul yang meliputi tubuh kumandan melindungi O antigen terhadap
fagositosis
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
- Salmonella typhosa (satu serotype)
- Salmonella choleraesius (satu serotype)
- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multiple antibiotik.1 Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi
dari 1000 hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotype
typhi ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk
dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan
melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta
melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang lapisan
Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan sebagai
transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke dalam folikel
limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel
retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan
degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria
usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi
dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini
mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini
kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini
berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi
sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan
lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi langsung dari asam
empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1 bakteri /ml darah (sekitar 66 %
dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella
typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi
menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam
sirkulasi pasien tifoid.1

2.4 Patologi
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini
akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu :
 Fase 1 : Hiperplasia folikel limfoid
 Fase 2 : Nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan
mukosa dan submukosa
 Fase 3 : Ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan
perforasi dan pendarahan
 Fase 4 : Penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak
menyebabkan terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada
bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon
ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas
dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan
pertambahan usia.11

2.5 Patofisiologi
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat
kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati
barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2)
kondisi asam lambung.9
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103- 109
yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat
menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan
terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria
atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan
tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8 Sebagian kuman
yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan
lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman
keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik
usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi
pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan
menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan
tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah
menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria,
berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag.
Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam
fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada
ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah
melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9
Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system retikuloendotelial
(RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai
nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah,
sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis).
Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu
dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam empedu
dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi
epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lojong pada mukosa
diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan
perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1
Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan
kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat
berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan
gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya
manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan
substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan
nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum
tulang, dan panas. Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi
jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah
berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi,
terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe
mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi. Kelainan
utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu pertama),
nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar
dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan
perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tifoid yang
menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2

2.6 Gejala Klinik


Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan
tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila
terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan
menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi
harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala
sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan
kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat
ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri
kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di
tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada
minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu
tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada
kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung
singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda
klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan
alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat
Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak
dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada
waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan
jaringan-jaringan fibroblas. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati
akan mengakibatkan timbulnya relaps.5,6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina,
Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan
15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut
60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan
mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak. Penulis lain
melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau
(delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi,
muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan
kesadaran, kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian
tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering
dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada
pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
 Darah tepi perifer
 Anemia : Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe, atau perdarahan usus.
 Leukopenia :Namun jarang kurang dari 3000/ul
 Limfositosis relatif
 Trombositopenia : Terutama pada demam tifoid berat.
 Pemeriksaan serologi
 Serologi Widal : Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau
kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens.
 Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
 Pemeriksaan biakan Salmonella
 Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
 Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
 Pemeriksaan radiologik

Foto toraks : Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.

Foto abdomen : Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal
seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi
usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level,
bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen.1
2.8 Pemeriksaan Fisik
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan
malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu III suhu berangsurangsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu III.
2. Gangguan saluran cerna
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden),
lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya
kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar
dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga
konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal
bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah. Disamping gejala-gejala
diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala lain:

Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest
dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan
diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat
pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang
biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai
karakteristik notch (dicrotic notch).5,13
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis.

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.


a. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada
permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang
sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat .5 Pada 2
minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan limfositosis
relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul.
Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu.
Adanya leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada
penderita demam tifoid sering dijumpai anemia normositik normokrom. Anemia
normositik normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang.
Pada 20% penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak
termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang
berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system
eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.5

2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa


a. Pemeriksaan kultur
Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum
tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media
( kultur). Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting untuk
menentukan waktu pengambilan spesimen yang optimal. Salmonella typhi dapat
diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2 minggu pertama demam. Pada 90%
penderita demam tifoid, kultur darah positif pada minggu pertama demam dan
pada saat penyakit kambuh. Setelah minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi
yang dapat diisolasi dari darah menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat
ditemukan pada 50% penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30%
penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada penderita yang mendapat
pengobatan antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan
dengan kultur darah dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan
tidak dipengaruhi waktu pengambilan.2 Salmonella typhi lebih mudah diisolasi
dari tinja antara minggu ke-3 sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya
50% Salmonella typhi dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif
meningkat sampai minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan
ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi
dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi
dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif pada
minggu ke 2-3. Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi
sensitifitasnya rendah, yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan
diagnosis demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit, waktu
pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan
antibiotik.15
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah
pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang
pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu
berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat ditemukan
kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan
feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5
b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam
tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal
memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak
dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.14
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita
dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa
dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau
lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari
berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai
puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak
diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi
atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa
karena hanya menunjukan virulensi dari kuman.5
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu
pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir
minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat
tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun
perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan
menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibody bersilangan dengan
kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah
positif lebih banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella
typhi positif setelah minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat
imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain
dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H.
Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya
dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah
endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga
untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer antibodi pada
saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu
dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena specimen diambil terlalu dini
atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada
penderita gizi buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan.
Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan
dini, akan menyebabkan titer antibody tetap rendah atau tidak terbentuk akibat
berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji
Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat
apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa


lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella
typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang
dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan
sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
 semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki
antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa
antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang
lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).
 Semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella
typhi dan
 titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau
imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada
pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang
mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset
penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer
4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal
penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan
gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan
titer O bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh
terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena
serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi
bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif
palsu.17

Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen,
untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval
7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis
demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi
karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada
daerah endemik atau respon antibody tidak baik sebagai akibat pemberian
antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali pada fase
akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat
penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun
manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik
Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut off point) 16

Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Uji TUBEX3
Merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi
O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9
yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolosakarida
S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex
ini menunjukkan terdapat infeks Salmoneela serogroup D walau tidak secara
spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan
hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respons
terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9
dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4 -5 untuk infeksi primer dan
hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya
dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi igG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksiinfeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi :
1. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas
2. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan
antigen S. Typhi O9
3. Reagen B, yang mengandung partikel latex berwarna biru yang
diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk
melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L)
dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 L) reagen A.
Setelah itu dua tetes reagen B (50 L) ditambahkan ke dalam tabung. Hal
tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut
kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar
selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan
berdasarkan warna larutan campurang yang dapat bervariasi dari kemerahan
hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang
interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.
Ulangi pengujian apabila masih
meragukan lakukan pengulangan
beberapahari kemudian
4-5 Positif Menunjuk infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum


tidak mengandung antibodi terhadap O9,reagen B ini bereaksi dengan
reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet
(medan rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik
pada magnet rak,dengan membawa serta pewarna yang dikandung reagen

2. Uji Typhidot3
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. Typhi seberat 50 kD, yang terdapat
pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98&, spesifisitas sebesar 76,6%
den efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitivitas
dan spesifisitasnuji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89%
dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi
primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi
dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini yang dikenal
dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan
IgM spesifik yang ada pada serum pasien

2.10 Tatalaksana dan komplikasi3


Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
 Komplikasi intestinal : Perdarahan usus, ileus paralitik, pankreatitis
 Komplikasi ekstra-intestinal
- Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis
- Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis
- Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
- Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis
- Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis
- Komplikasi neuropsikiatrik / tifoid toksik
Komplikasi intestinal
1. Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis)
dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka
terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka
perforasi dapat terjadi.Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi
karenagangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar
25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapata perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis
dalam batas normal.

2. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejalaumum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid
dengan perfotasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada pada 50 % penderita dan pekak
hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di dalam abnomen.
Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan
bahkan dapat syok. Leukositosis dengan oergeseran ke kiri dapat menyokong
adanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO ? # posisi) ditemukan
udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada
demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah
perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam,
modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati
kuman S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif
dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas
dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi
usus dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube.
Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat
perdarahan intestinal.

Komplikasi ekstra intestinal


Komplikasi hematologi3
Komplkasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia,
peningkatan protrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan
fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dapat
ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering
dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsusm
tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem
retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid berjumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi
dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan
vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya
mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun
dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat dibeikan transfusi darah, substitusi
trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang
tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

Hepatitis Tifosa3
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan
demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. Typhi daripada S. Paratyphi.
Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria,amuba
maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu
histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan
dengan kanaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena
virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun
yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
Pankreatitis tifosa3
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis
sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun
zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi / CT
scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.

Miokarditis3
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis
biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis jarang
terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai
prognosis yang buruk.Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada
pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.

2.11 Tatalaksana
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap
dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian
yaitu:
 perawatan
 diet
 obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi
serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus
tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau.
Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada
penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi
aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil
dan buang air besar perlu mendapat perhatian. Mengenai lamanya perawatan di
rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat
tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakitnya
berjalan.

Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan
penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan
selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan
masa penyembuhan ini menjadi makin lama. Beberapa penelitian menganjurkan
makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan
memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat diberikan dengan
aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit,
vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose,
menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran
maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan. Ternyata pemberian makanan
padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya berat
badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat menekan
penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian
infeksi lain selama perawatan.

Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun
secara drastis(1-4%). Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim

Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan
peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah
dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai
daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam
tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini
belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat, di
samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain pihak kekurangan
kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik
(depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak
bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat
keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV,
dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonates sebaiknya dihindarkan,
bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.2,3

Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan
kimianya hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian
tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada
penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang
resisten terhadap tiamfenikol. Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.
Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang
kontroversial. Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus
yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan
timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome,
agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama
pada penderita defisiensi G6PD. Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari
sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari, oral, selama 10 hari untuk trimetoprim,
diberikan dalam 2 kali pemberian.

Ampisilin dan Amoksisilin


Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid,
terutama pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan
adanya Salmonella yang resisten terhadap ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya
lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan kloramfenikol, tetapi
lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksisitas. Kelemahannya dapat
terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang
sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat
yang tecapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan
karier (0-5%). Dosis yang dianjurkan: Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV
selama 10 hari Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari, Pengobatan demam tifoid yang
menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik bila
diberikan obat tunggal.

Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap
kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80
mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari.
Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.

Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan
perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid
secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan
gangguan kesadaran. Dexametason 1- 3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga
kesadaran membaik.2,3

Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39oC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.

Lain-lain
Transfusi darah Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Bedah Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi
usus.

Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4- 5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi,
sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak
demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan
tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.3
2.12 Pencegahan
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap
kebersihan penjual makanan.2,3 Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan
tercemar Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas
makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati
apabila dipanaskan setinggi 57°C beberapa menit atau dengan proses iodinasi/
klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu
negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene
pribadi.3

Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa
vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1

Vaksin Demam Tifoid Oral


Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non
patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus
pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya.
Tidak seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA.
Secara umum efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi
dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah.
Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty- 21a. Penyimpanannya pada suhu 2oC-
8oC. Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih.

Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam
sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37°C. Kapsul ke 4 pada hari
ke 7, diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka
karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan
bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif terhadap
Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon
mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah
pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5 tahun.
Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi Salmonella sebaiknya
diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi vaksin ini hanya 50-80%,
maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan
dan minuman.

Vaksin Polisakarida Parenteral


Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella
typhi, polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium
klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan.
Penyimpanan pada suhu 2°C-8oC, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa
dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada
daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi samping
lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat suntikan. Reaksi
sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot,
nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa
pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien
yang alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit
kronik progresif. Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga
dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.15

2.13 Prognosis
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.19 Relaps dapat timbul beberapa kali.
Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi
karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier
sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7 Umumnya
prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang berobat dan
istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:
- Hiperpireksia atau febris kontinua
- Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
- Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi.
Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan dan lebih
bervariasi. Demam adalah gejala yang paling konstan di antara semua penampakan
klinis.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun,
sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik
hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore
dan malam hari.
Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi
terus menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering
pecah-pecah /terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya
kemerahan dan tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba,
perut kembung. Anak nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang
ringan letak tidur pasif, acuh tak acuh (apatis) sampai berat (delirium, koma).
DAFTAR PUSTAKA

1. W. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit
FKUI, 2006: 1774-1779.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak
infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia:
h.367-75.
3. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
4. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4. .
5. Chin, James. Penularan Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta : Bakti
Husada, 2000 : 556-557.
6. Risky Vitria Prasetyo, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada
Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Soetomo.
Surabaya.2005
7. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
8. Sulistia G,Ganiswarna.dkk. Farmakologi dan Terapi cetakan ke 4. Gaya Baru,
Jakarta.FKUI ,2006.
9. Prof.DR.dr.Sri Rezeki S.Hadinegoro, SpA(K).Demam Tifoid pada Anak.
Medicastore.21/07/2008.
10. NN. Mengenal demam typhoid. Available from
:http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html
(updated 2008 November 1st, cited : 2009 July 28th).
11. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta :
Percetakan Infomedika, 2005: h.592-600.
12. NN. Demam typhoid. Available from :
http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-typhoid.html (updated 2008
November 13th, cited : 2009 July 28th).
13. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :
http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated
2008, cited : 2009 July 28th).
14. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

Anda mungkin juga menyukai