Anda di halaman 1dari 21

PELANGI SETELAH HUJAN

Maura, seorang gadis dengan sejuta keceriaan dalam hidupnya, selalu


menghadirkan banyak tawa buat orang – orang disekelilingnya, yang menghadirkan
banyak kehangatan untuk orang-orang tercintanya berubah menjadi pemurung dan
pendiam karena banyak peristiwa menimpa hidupnya secara berturut-turut. Akankah
Maura dapat menjadi gadis yang ceria kembali seperti sebelum banyak peristiwa yang
menimpa dirinya?

Pagi itu, seperti biasanya Maura bangun lebih petang agar bisa melakukan sholat
malam dan mengulang pelajaran yang kemarin malam telah ia pelajari. Ya, Maura
salah seorang murid kelas 12 di salah satu SMA elite di Surabaya. Maura belajar dengan
tekun hingga adzan shubuh berkumandang, ia langsung bangkit dari tempat tidurnya
untuk mengambil air wudhu lalu sholat berjamaah bersama kedua orangtuanya dan
seorang adiknya.

***

“Selamat pagi, Ma, Pa.” Ucap Maura saat menuju meja makan seraya mencium
pipi kedua orang tuanya. “Pagi juga, sayang.” Jawab Mama dan Papa secara bersamaan.
“Altair kemana, Ma?” tanya Maura.“Ada apa kakakku tercantik ini nyariin aku?” Goda
Altair yang baru turun dari lantai atas dengan wajah sok gantengnya. “Idih pede gila
kamu dek!” Kata Maura dengan tampang jijik. “Sudah-sudah buruan habiskan sarapan
kalian, nanti malah telat ke sekolah lho!” Kata Mama melerai perdebatan mereka
berdua.

“Yaudah deh, Ma, Pa. Maura langsung berangkat sekolah aja. Kamu bareng
nggak dek?” Pamit Maura kepada kedua orangtuanya seraya menawari adiknya
tumpangan. Maklum mereka bersekolah pada satu sekolah yang sama tetapi berbeda
tingkatan, Maura di kelas 12 sedangkan Altair baru duduk dikelas 10.

Setelah menerima tumpangan dari kakaknya, Altair langsung ikut berangkat


bersama Maura dengan mengendarai mobil yang sudah disiapkan sebelumnya oleh
supir ayahnya. Memang maura termasuk gadis yang beruntung, ia hidup ditengah
keluarga yang penuh kasih sayang dengan kesuksesan papa dan mamanya yang tidak
diragukan lagi. Rafio Aristama dan Lissa Aristama, keduanya seorang dokter dan juga
pemilik saham di salah satu Rumah Sakit elite kota terbesar kedua setelah Jakarta
tersebut, dan juga memiliki usaha otomotif yang terbilang cukup sukses. Mereka cukup
disegani oleh masyarakat sekitar, bukan hanya karena paras yang tampan dan cantik
atau harta yang melimpah tetapi juga karena keramahan dan kerendahan hatinya kepada
semua orang, bergelimang harta tidak membuat pasangan suami istri ini menjadi
angkuh dan tidak peduli akan sekitarnya, justru mereka sering berbagi terhadap
sekitarnya.

Maura Alecia Aristama, anak kedua dari 3 bersaudara keluarga Aristama, yang
kini duduk dibangku SMA kelas 12 di SMAN 5 Surabaya. Parasnya yang cantik karena
turunan dari mamanya, membuat Maura banyak menjadi bahan perbincangan hampir
semua teman lelaki di sekolahnya. Leandro Aristama, Anak pertama sekaligus kakak
dari Maura ini tak kalah mempesonanya dengan Maura. Paras yang tampan karena
turunan dari papanya ini juga banyak digila-gilai wanita disekelilingnya, sekarang ia
sedang melanjutkan Studi S2 Kedokteran di Jerman, ia ingin melanjutkan karir papa dan
mamanya. Altair Julio Aristama, anak ketiga dari keluarga Aristama ini juga tak kalah
dengan kedua kakaknya. Ia juga memiliki paras yang tampan warisan dari papanya,
sekarang ia masih duduk di bangku SMA kelas 10 dan memilih sekolah yang sama
dengan kakaknya, baru beberapa bulan saja ia menjadi siswa SMA sudah mampu
membuat teman-teman wanitanya tergila-gila kepadanya.

Seperti biasanya Maura sampai sekolah setelah 30 menit perjalanan, meski tidak
terlalu jauh dari rumahnya, ia tetap disuruh mengendarai mobil sendiri oleh papanya,
alasannya agar sekalian berangkat dengan adiknya. Padahal sebenarnya Maura tidak
terlalu suka menampakkan harta kekayaan papanya di depan masyarakat umum, tetapi
apa boleh buat toh semua itu tidak berniat untuk pamer kata papanya.

“Aku turun disini ya aja ya, kak!” Pinta Altair kepada kakaknya ketika mereka
sampai di depan koridor kelas 10. “Iyaudah deh sana pergi.. hus hus..” Usir Maura
dengan tampang jengkelnya. “Idihh jahad banget sih kak.” Gerutu Altair sambil berjalan
pergi.
Usai kepergian Altair, Maura buru-buru memarkirkan mobilnya. Maura menuju
parkiran berjajar dengan mobil Refan, Maura tersenyum sekilas dan mencari lahan
parkir untuk mobilnya. Refan Yoshida Widianto atau cukup akrab dengan Refan
Widianto, seorang cowok tampan blasteran Jepang yang sangat beruntung karena dapat
mengambil hati Maura dan mengalahkan ratusan cowok yang berbondong-bondong
ingin bersanding dengan Maura. Meski terkenal sedikit badboy di sekolah, entah
mengapa Maura memilih Refan sebagai tambatan hatinya. Refan merupakan kapten
basket SMAN 5 Surabaya, tidak usah ditanya bagaimana prestasinya selama ini,
pastinya ia dan teman-temannya sudah mengharumkan nama sekolah baik ditingkat
Surabaya maupun Jawa Timur.

“Selamat pagi, sayang.” Sapa Refan sambil mengusap pucuk kepala dengan
senyum manis yang dapat meluluhkan hati Maura. “Pagi juga, Fan. Ke kelas yuk, nanti
keburu bel.” Jawab Maura diIringi dengan ajakan ke kelas.

Refan menarik tangan Maura dengan lembut dan menggandengnya menuju kelas
12 IPA 1, kelas Maura. Yah Maura dengan Refan memang berbeda kelas sejak awal
mereka masuk SMA, Maura dengan otak yang super cerdas dapat memasuki kelas 12
IPA 1, sedangkan Refan dengan otak yang bisa dibilang cukup untuk menerima
pelajaran itu memasuki kelas 12 IPS 1. Mereka menyusuri koridor dengan dihiasi tawa,
menertawakan hal yang ntah dimana letak kelucuannya, membuat semua pasang mata
yang melihat mereka menatap iri akan keduanya. Begitulah para siswa SMALA
(julukan SMAN 5 Surabaya) menatap keduanya, ada yang iri dengan kebahagiaan
mereka, ada yang mengatakan mereka tak sebanding karena berbagai macam alasan,
ada juga yang memuja mereka sebagai best couple. Bagi Maura dan Refan hal tersebut
tidaklah berpengaruh apapun dalam hubungannya, mereka berdua menyikapi semua itu
dengan sikap biasa saja.

“Buruan masuk kelas, Ra.” Pinta Refan dengan nada yang lembut. “Kamu juga
buruan ke kelas, Fan. Eh, by the way nanti pulang sekolah jadi nggak nemenin aku cari
buku?” Tanya Maura sembari mengembangkan senyumnya. “Iya Maura sayang nanti
jadi kok.” Lagi-lagi Refan mengusap pucuk kepala Maura, yang diusap pun merona
malu. “Okedeh oke, buruan ke kelas Fan, bandel banget sih jadi anak.” Sambil mencubit
perut Refan. “Iya iya aku ke kelas, jangan nyubit dong sakit tauu...” Yang dicubit pun
merintih kesakitan dengan nada yang dibuat-buat dan buru-buru meninggalkan kelas
Maura sambil cengar-cengir nggak jelas. Setelahnya Maura langsung ke kelas menemui
Freya, Freya Salsabila, teman terdekat sekaligus sahabat Maura, tempat mencurahkan
seluruh isi hati Maura, seseorang yang selalu ada saat suka maupun duka. Bagi Maura,
Freya adalah segalanya setelah keluarganya.

***

“Ra, jadikan?” Refan memastikan kembali apa yang telah mereka berdua
bicarakan tadi pagi. “Iya Fan jadi kok, bentar ya aku mau beresin buku-buku dulu.”
Jawab Maura sambil menoleh ke arah Refan. “Sini aku bantuin, biar cepet selesai.”
Refan masuk ke kelas Maura dan membantunya membereskan buku. “Nah, sudah
selesai. Berangkat sekarang yuk keburu malem ntar.” Kata Refan.

“Oke oke, pakai mobil kamu kan? Mobilku udah dibawa Altair pulang.” Suara
Maura pasrah, karena memang benar ia telah memberikan kunci mobilnya kepada
Altair. “Iya iya, udah deh gausah pasang muka kaya gitu, makin jelek tauu..” Ledek
Rifan dibalas cubitan keras oleh Maura “Aduhhh sakit sayang, udah dong, janji deh gak
ngeledekin lagi.” Rintih Refan dan akhirnya Maura menghentikan aksi jahilnya. “Udah
ah buruan berangkat, dari tadi banyak omong deh kamu, Fan.” Kata Maura sambil
berlari menuju mobil Refan.

Yah beginilah hubungan Maura dan Refan yang hampir berjalan satu tahun ini,
memang belum lama, tetapi ini merupakan hal yang menakjubkan bagi seorang
playboy sekolah. Memang benar Refan dulu adalah seorang playboy yang ceweknya
bertebaran disana-sini, ntah mukjizat dari mana ketika ia berhasil menaklukan hati
Maura tak pernah terdengar kabar kalau Refan mempermainkan cewek lah, Refan
selingkuh lah, dan lain sebagainya. Seakan-akan Refan yang dulu telah lenyap,
digantikan dengan Refan sekarang yang muncul dengan pribadi baru, yang setiap
harinya memberikan kasih sayangnya kepada Maura, dan ia janji tak akan pernah
menyakiti Maura.

Acara ke toko buku telah selesai, kini mereka berdua telah berada di salah satu
restoran milik keluarga Refan yang terletak di pusat kota. Mereka menghabiskan waktu
makan malam berdua dengan diselipi candaan khas Refan yang dapat membuat Maura
tersenyum lebar seakan melupakan satu beban hidupnya yang paling berat, yang tak
ingin ia tunjukan kepada siapapun.

Maura pun kembali sadar dari lamunannya, lamunan yang paling menyayat
hatinya saat ia mencoba untuk membayangkan hal itu terjadi. Tidak, Maura tidak ingin
hal itu terjadi, sama sekali tidak ingin. Ia refleks menggeleng-gelengkan kepalanya,
Refan yang dari tadi mengamati perubahan raut muka dari kekasihnya tersebut merasa
bingung.

“Kamu kenapa sayang?” Terdengar nada khawatir dari Refan. “Eh, ga.. gapapa
kok..” Jawab Maura sedikit terbata-bata. “Yaudah habis ini aku anter kamu pulang ya,
bentar aku mau ke mama dulu.” Kata Refan sambil berjalan pergi. “Aku ikut ke mama
kamu, sekalian pamit pulang.” Maura langsung mengikuti Refan.

“Tante, Maura pamit dulu ya.. sudah malam takut mama papa nyariin.” Pamit
Maura sambil salam ke Tante Luna, mama Refan. “Iya sayang, hati-hati yaa.. salam ke
mama papamu ya.” Jawab lembut tante Luna. “Ma, Refan nganterin Maura pulang
bentar yah! Assalamualaikum.” Teriak Refan diiringi suara mesin mobil. “Jangan
ngebut-ngebut Refan!” Pinta mamanya.

***

Hari-hari Maura berjalan seperti biasanya, tawa bahagia tak henti-hentinya


mengalir dari wajah cantiknya, semakin hari semakin bertambah pula kecantikannya.
Tapi bagi Maura semakin hari semakin bertambah kekhawatirannya akan apa yang
selama ini ia takutkan itu terjadi. Maura sebisa mungkin menutupi semuanya kecuali
anggota keluarganya yang memang telah mengetahuinya.

“Maura sayang, kok mie-nya gak dimakan sih?” Protes Refan yang sedari tadi
memperhatikan Maura yang hanya mengaduk-aduk mie-nya. “Eh, a..apa Fan? Haduh
udah bel ya, buruan ke kelas yukk!” Maura terbata-bata karena memang ia tidak tau
harus ngomong apa ke Refan. “Kamu ngigau ya sayang? Kamu ngelamunin apasih, kok
serius banget? Sampe yang disini gak dianggep.” Tanya Refan penasaran. “E..enggak
ada apa-apa Fan, Cuma lagi pusing mikirin UN yang tinggal sebentar lagi.” Kata Maura
seadanya. “Ya ampun Maura, jangan terlalu dipikirin dong..” Refan menghembuskan
napas berat, berharap apa yang dikatakan Maura itu sesuai dengan apa yang ada
dipikirannya. “Ya kan aku takut aja, Fan.” Maura memasang wajah memelas. “Yaudah,
jangan takut lagi ya, kamu pasti bisa aku yakin.” Kata Refan menenangkan ketakutan
hati Maura. “Ke kelas yuk, istirahatnya udah abis.” Ajak Maura. “Siap, tuan putri!”
Jawab Refan dengan gaya yang membuat Maura tertawa terbahak-bahak.

***

Hampir setiap hari Maura pulang bersama Refan, urusan mobil ia serahkan
kepada Altair. Namun, ada yang berbeda dengan Maura kali ini, ia memutuskan untuk
pulang dengan mobilnya sendiri, tapi Altair yang mengemudikan.

“Fan, aku pulang sama Altair aja ya? Badanku rasanya capek dan butuh istirahat
di rumah.” Pinta Maura. “Kamu sakit, ra? Kita ke dokter yuk!” Refan sedikit panik
melihat wajah Maura yang pucat. “Udah, Kak Refan. Kak Maura gapapa cuma butuh
istirahat aja mungkin. Aku sama Kak Maura pamit pulang ya kak..” Altair yang
mengerti situasi buru-buru membawa Maura pulang ke rumah. “Hmmm, yaudah deh Al
jagain Maura ya, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya.” Pesan Refan kepada Altair.
“Oke kak, duluan ya..” Jawab Altair, dan langsung meninggalkan Refan sendirian.

Setibanya di rumah, Maura yang semula berjalan menyeret tiba-tiba pingsan dan
langsung jatuh, untung saja Altair dengan sigap menahan tubuh Maura agar tidak jatuh
ke lantai. Altair panik, ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia berteriak minta
tolong kepada Bi Nani untuk membantu membopong Maura ke sofa terdekat. Wajah
Maura pucat sekali, Altair menghembuskan napas berat, takut bila kakaknya tidak kuat
menghadapi cobaan ini. Ia buru-buru menelepon mama dan papanya untuk
mengabarkan keadaan kakaknya sekarang, ia juga menelepon ambulance untuk
membawa Maura ke Rumah Sakit. Altair sengaja tidak mengabari Refan karena ia tidak
mau pacar kakaknya tersebut khawatir akan kondisi kakaknya yang sekarang.

***

Maura kini telah berada di Ruang ICU, kondisinya cukup lemah dan masih
belum sadarkan diri. Mamanya, papanya, dan Altair masih setia menunggu di depan
Ruang ICU dengan perasaan yang cemas dan panik, mama Maura pun masih sedikit
terisak. Dokter Adi pun keluar dari Ruang ICU dan langsung diberikan pertanyaan
bertubi-tubi oleh Mama Maura.

“Dok, gimana keadaan anak saya? Apakah dia baik-baik saja? Dia masih bisa
diselamatkan?” Tanya mama Maura yang memang paling panik diantara mereka
bertiga. “Ibu sabar dulu ya, Anak ibu baik-baik saja, namun masih belum sadarkan diri.
Untuk penjelasan lebih lanjut mari ikut ke ruangan saya.” Jawab Dokter Adi dengan
tenang.

Dokter Adi, dokter spesialis penyakit dalam ialah rekan kerja Rafio Aristama
dan Lissa Aristama, mama dan papa Maura. Mereka memang bekerja untuk rumah sakit
yang sama tapi berbeda spesialis. Setiap Maura kambuh seperti ini pasti Dokter Adi lah
yang merawatnya. Memang ini bukan pertama kali Maura dibawa ke rumah sakit, tapi
menuru Dokter Adi kali ini yang paling parah. Biasanya Maura hanya pingsan dan akan
sadar beberapa waktu kemudian. Tapi kali ini hampir 12 jam ia belum sadarkan diri.

“Maura mengalami penyumbatan darah di otak yang sudah parah, kedua kakinya
tidak dapat berfungsi seperti biasanya. Biasanya masih bisa kita tangani dengan terapi
biasa tetapi kali ini apabila ia tidak segera dioperasi akan membahayakan nyawanya.”
Kata Dokter Adi dengan sangat hati-hati.

Tangis mama Maura pun pecah, memecahkan keheningan di ruang kerja Dokter
Adi, Rafio sang ayah juga nampak sedih tetapi ia menunjukkan sikap yang lebih tenang.
Bisa dibilang hal ini paling menyakitkan bagi mama Maura, melihat putri tercintanya
terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak alat medis yang menempel
ditubuhnya.

***

“Fre!” Sapa Refan kepada Freya, ia pun terlonjak kaget. “Eh elo Fan ngagetin
aja, jantung gue mau copot nih!” Jawab Freya sedikit kesal kepada Refan. “Gue mau
nanya, lo tau Maura dimana gak? Gue telfon gabisa, chat gadibales, dateng kerumahnya
gaada orang.” Tanya Refan dengan memasang wajah serius dan memohon Freya agar
memberitahu-nya.
Freya menghembuskan nafas berat, ia bingung harus memberitahu apa tidak,
keluarga Maura melarangnya untuk memberitahu Refan, tetapi melihat keseriusan
Refan ia menjadi tidak tega. Freya memang telah mengetahui semuanya, ia ditelfon
Altair setelah 2 jam Maura di rumah sakit, ia juga sangat sedih mendengar keadaan
Maura.

“Gue juga gatau Fan, dia gue telfon juga gapernah dijawab.” Jawab Freya
berbohong. “Seriusan lo gatau, Fre? Setau gue lo yang paling deket sama Maura” tanya
Refan lagi. “Iya serius Fan, kenapa gak lo coba nanya Altair aja?” Saran Freya. “Udah
gue cari dia, tapi kata temen kelasnya dia gamasuk dari dua hari yang lalu. Itu berarti
kan sama kayak Maura? Apa mungkin mereka lagi liburan? Atau lagi ada apa-apa?”
Kata Refan panjang lebar dan mencoba menebak-nebak kenapa Maura tidak datang ke
sekolah. “Entahlah Fan, gue juga gatau. Mending lo gausah panik deh, berdoa aja
semoga Maura baik-baik aja” Nasihat Freya.

***

Sekarang hari ketiga Maura berada di rumah sakit. Dan hari ini adalah jadwal
Maura untuk menjalankan operasi penyumbatan darah di otak. Di luar ruang operasi
sudah ada mama Maura, papa Maura, Altair, dan juga Freya. Mereka saling
menenangkan satu sama lain sambil terus berdoa agar Maura selamat dan baik-baik
saja.

Dalam suasana yang hening, terdengar suara berat cowok yang menghampiri
mereka. Leandro Aristama, kakak tertua Maura yang jauh-jauh datang dari Jerman ke
Indonesia demi dapat melihat keadaan adik tersayangnya yang sedang berjuang
melawan maut di ruang operasi. Lee sapaan akrab Leandro, rela meninggalkan
aktivitasnya di Jerman hingga mengambil jam terbang tengah malam.

“Ma, pa gimana keadaan Maura sekarang?” tanya Leandro dengan napas sedikit
ngos-ngosan akibat lari dari lobby ke ruang operasi. “Lee? Maura sekarang masih dalam
proses operasi.” Kata papanya. “Mama, papa yang tabah yah. Lee yakin Maura kuat kok
menghadapi ini semua.” jawab Lee sambil meyakinkan kedua orangtuanya.
Suasana kembali hening, semua kini sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kedua orang tua Maura kelihatan pucat terutama sang mama, ia bahkan belum makan
hampir dua hari karena memikirkan anaknya tersebut. Tak beda dengan keadaan mama
dan papanya, Altair pun tampak frustasi karena kakaknya yang tak kunjung sadar, ia
bahkan tak masuk sekolah demi menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Refan, pacar
kakaknya. Karena sampai detik ini Refan belum mengetahui keadaan Maura yang
sebenarnya. Lee, kakak Maura juga tampak sedih, sekian lama ia tidak bertemu dengan
adiknya, sekarang bertemu dalam keadaan adiknya yang terbaring lemah di ranjang
rumah sakit dan sedang bertaruh melawan maut. Freya yang sedari tadi mengikuti
aktivitas keluarga Aristama juga merasa iba, meskipun ia tak ada hubungan darah
dengan Maura, tetapi sebagai sahabat yang selalu ada di samping Maura ia bisa
merasakan kesedihan mendalam keluarga tersebut.

Tiba-tiba terdengar suara orang berlari, semakin lama semakin mendekat ke arah
ruang operasi. “Refan??” Freya shock melihat Refan berada disitu dengan nafas ngos-
ngosan. Refan tak menyahuti panggilan Freya, ia langsung menuju pintu ruang operasi.
Kalau saja tidak ada Lee mungkin ia sudah mengganggu konsentrasi dokter yang
sedang melangsungkan operasi. Lee mencoba menahan Refan agar tidak berbuat gaduh
di ruang operasi, tapi Refan tetap bersih kukuh untuk masuk.

“Fan, lo harus tenang! Dengan sikap lo kayak gini malah bikin dokter gabisa
konsen sama Maura!” Bentak Lee sambil masih menahan Refan yang terus berontak.
“Lepasin, kak! Gue cuman pengen liat Maura, gue nggak mau kehilangan dia kak!”
Berontak Refan dalam dekapan Lee. “Lo nggak bakal kehilangan Maura kalo lo
sekarang tenang dulu!” Suara Lee mengecil disertai dekapan yang mengendur. “Gue
sayang Maura kak, gue nggak mau Maura kenapa-napa kayak gini..” Refan pun tak lagi
berontak, badannya luruh ke lantai bersandar di pintu ruang operasi. Ia menangis tetapi
tidak menunjukkan isak tangisnya, Refan menangis dalam diam. Dan suasana kembali
hening.

Freya masih sibuk dengan fikirannya, ia masih bingung kenapa Refan berada
disini, darimana ia tahu keberadaan Maura?

***
Ternyata Refan telah mengikuti Freya sejak Freya keluar dari rumahnya, Refan
mengikuti kemanapun Freya pergi, mulai dari ke toko bunga untuk membeli sebuket
bunga, ke supermarket untuk membeli sekantong buah, hingga Freya pergi ke rumah
sakit. Refan bertanya-tanya sendiri untuk apa Freya ke rumah sakit? Apakah ada sanak
saudaranya yang sakit? Refan memutuskan untuk menunggu di mobil sampai Freya
keluar, hampir 3 jam tidak ada tanda-tanda Freya keluar dari rumah sakit tersebut.
Akhirnya Refan memutuskan untuk memasuki rumah sakit, ia datang ke bagian
resepsionis.

“Selamat sore, apakah ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang pegawai
wanita dengan ramah. Refan bingung mau bertanya apa kepada pegawai rumah sakit,
akhirnya ia bertanya asal-asalan. “Oiya mbak, ada pasien disini yang masih duduk
dibangku SMA?” Tanya Refan penasaran. “Sebentar ya mas, saya cek terlebih dahulu.”
lalu wanita tersebut membuka daftar pasien.

“Disini ada lima orang pelajar SMA” Jawab wanita tersebut setelah membuka
daftar pasien. “Apakah ada yang bernama Maura Alecia Aristama?” tanya Refan denga
suara sedikit berat, ia bingung kenapa ia menanyakan pertanyaan tersebut. “Oh putri Dr.
Rafio Aristama ya, mas? Iya Mbak Maura sedang dirawat disini, hari ini jadwal dia
menjalani operasi.” kata wanita tersebut dengan wajah sedikit sedih. “Operasi? Operasi
apa mbak? Dimana letak ruang operasinya?” Refan kaget bukan main, bisa-bisanya ia
tidak tahu kalau Maura punya penyakit parah. “Di lantai tiga, koridor sebelah utara
mas..”

Refan pun langsung menuju ke depan pintu lift tapi bagian resepsionis
mengatakan kalau lift sedang dalam proses perbaikan. Akhirnya Refan berlari melewati
tangga dengan tergopoh-gopoh.

***

Dokter telah selesai melakukan operasi sejak 2 jam yang lalu, kini kondisi
Maura sedikit membaik tapi tak kunjung sadar. Sejak 2 jam yang lalu pula Refan duduk
disebelah ranjang Maura sambil menggenggam erat tangan Maura dengan harapan
Maura segera bangun.

“Fan, kamu nggak makan dulu?” Tanya Tante Lissa, mama Maura. “Nggak
tante, nanti aja dulu. Refan masih mau di samping Maura.” Jawab Refan lemah. “Makan
dulu Fan, Maura udah baik-baik aja. Dia pasti marah kalo liat kamu belum makan kayak
gini” kata Tante Lissa sembari mengelus pundak Refan. Refan hanya membalasnya
dengan tersenyum.

***

Beberapa hari terakhir di SMAN 5 Surabaya ada yang berbeda, terasa lebih sepi
dari sebelumnya. Ketidakhadiran Maura, Refan, Dan Altair di sekolah lah yang
menyebabkan sekolah itu tampak sepi. Biasanya setiap pagi Maura dan Refan berjalan
melewati koridor dengan tertawa bersama. Altair pun demikian, biasanya pesonanya
saat pagi hari dapat membuat teman-teman wanita berteriak histeris meski tiap hari
mereka sudah bertemu, hari ini tidak ada yang demikian, Smala terlihat sangat
membosankan.

“Fre, cewek cantik sekolah kita lagi kemana?” Tanya Dani salah satu teman
kelasnya. “Gue nggak tau, mungkin lagi liburan bareng.” Jawab Freya sekenanya.
“Maksud lo bareng Refan gitu? Wow amazing sekalii..” Jawab Dani karena yang ia tahu
Refan akhir-akhir ini juga tidak masuk sekolah. “Ih ngaco, Dan otak lo! Ya liburan
bareng keluarganya lah, gatau lagi kalo Refan diajak. Udah ah jangan ganggu gue, lo
nggak liat gue lagi sibuk?” Kata Freya mulai malas dan pergi meninggalkan kelas. “Nah
kenapa lo jadi sewot sih Fre, woy lo mau kemana Fre, gue kan belum selese nanya-
nanya.” teriak Dani tetapi tidak digubris Freya.

***

Maura telah sadarkan diri dari kemarin malam, ini hari ketiga setelah operasi.
Keadaannya semakin hari semakin membaik meski iya didiagnosis lumpuh pada kedua
kakinya. Berita kesadaran Maura membuat Refan merasa bahagia dan lega meski ia
masih sedih karena Maura sekarang mengalami kelumpuhan dikedua kakinya. Meski
begitu Refan tidak berniat meninggalkan Maura, malah ia ingin terus disamping Maura,
menemaninya dalam keadaan apapun. Ia yakin Maura masih sangat membutuhkannya,
dan berharap Refan tidak akan pergi meninggalkannya.

“Maura sayang, makan dulu yuk” kata Refan sangat lembut. “Nggak ah, nggak
laper Fan.” tolak Maura. “Jangan gitu dong sayang, kamu masih belum pulih, harus
banyak-banyak makan biar cepet pulang kerumah. Emang kamu mau disini terus? Sini
aku suapin.” Refan berusaha membujuk Maura. “Iya... aku makan deh.” Maura akhirnya
pasrah.

Tiap hari Maura menjalankan terapi untuk kesembuhan kakinya. Kadang ia


ditemani Refan, Freya ataupun mamanya. Ia nampak begitu serius untuk melatih kedua
kakinya agar bisa berjalan normal, meski terkadang ada raut sedih yang tercetak dari
wajahnya. Baik Refan maupun Freya selalu menyemangati Maura, mereka tidak ingin
Maura terlalu larut dalam kesedihannya.

Ujian Nasional tinggal satu minggu lagi. Meski Maura tak masuk sekolah ia
selalu belajar di rumah ditemani guru lesnya. Menurut Maura ia harus tetap belajar
karena Ujian Nasional tinggal menghitung hari saja, meski ia sering disebut sebagai
murid paling cerdas. Ia tidak mau menyombongkan diri, meski ia cerdas bukan berarti
ia harus bersantai-santai dalam menghadapi UNAS.

***

Hari ini Maura sudah bisa bersekolah kembali. Sudah dua minggu lamanya ia
tidak pernah menginjakkan kakinya di sekolah tercintanya ini. Rasa senang juga haru
menyelimuti perasaaannya sekarang. “Senengkan sayang bisa kembali ke sekolah?”
Tanya Refan yang sedari tadi menuntunnya, karena meski Maura sudah bisa berjalan ia
masih masih membutuhkan seseorang untuk menemaninya. “Seneng banget, Fan.
Padahal aku sempat mikir kalau aku gabakal bisa sekolah lagi.” Kata Maura sambil
menerawang andaikan ia tidak bisa sembuh dari penyakitnya. “Maura... jangan
ngomong gitu dong. Bersyukur sama Allah kamu masih diberi kesehatan sampai saat
ini.” Nasihat Refan kepada Maura dan dibalas anggukan oleh Maura.

Berita tentang Maura sakit dan menjalani operasi beberapa waktu lalu cukup
cepat menyebar diseluruh penjuru sekolah. Siswa-siswa dan guru-guru telah mengetahui
berita itu, mereka turut sedih dan mendoakan Maura agar cepat sembuh, bahkan setiap
hari di rumah sakit Maura tidak pernah sepi karena hampir setiap orang yang mengenal
Maura menjenguknya secara bergantian. Dan hari ini ketika Maura kembali ke sekolah,
semua tampak bersorak gembira atas kedatangan Maura. Ada yang memberi Maura
bunga, ucapan selamat, bahkan kue-kue lucu yang membuat Maura tertawa haru.

***

“Selamat datang kembali di kelas 12 IPA 1, Maura...” Sambutan meriah dari


teman-temannya ketika ia sampai di kelas. “Ya ampun kalian kenapa repot-repot kaya
gini sih, bikin aku terharu aja.” Maura terkejut, karena ruangan kelasnya begitu ramai,
dan banyak poster bertuliskan “Selamat Datang Kembali, Maura!” dengan hiasan
berbagai macam pita dan balon. “Inikan ekspresi seneng kita ketika kamu udah balik
lagi ke sekolah, kita seneng banget, Raa..” Kata Freya yang mewakili suara dari teman-
temannya. “Iya-iya aku tau kok. Tapii..” Kata Maura membuat semua teman kelas
penasaran. “Tapi apa, Ra?” Tanya Dani yang sedari tadi paling antusias. “Tapi ini kayak
suasana ulang tahun anak PlayGroup tauuu..” Jawab Maura diikuti tawa lepas teman-
temannya. Maura merasa bahagia sekali, ia tidak menyangka kalau teman-temannya
akan seantusias ini menyambut kedatangannya kembali.

“Udah ya teman-teman seneng-senengnya udah cukup, sekarang Maura butuh


istirahat dulu, kasihan dia capek berdiri terus sejak turun dari mobil tadi.” Kata Freya
mebuyarkan kegaduhan teman-temannya. “Thanks ya, Fre. Lo tau banget kalo gue
capek berdiri.” Kata Maura sambil tersenyum lelah. “Yaelah, udah berapa tahun gue
kenal lo Ra? Ya pastilah gue bisa baca muka lo kalo capek kayak gimana.” Ejek Freya
kepada Maura, Maura pun hanya membalasnya dengan tertawa.

***

UNAS tingkat SMA sudah berjalan dua hari, dan ini adalah hari terakhir bagi
seluruh siswa SMA bebas dari rangkaian soal yang membuat kepala mereka
mengepulkan asap. Memang UNAS ialah hal yang menakutkan bagi para pelajar,
terutama siswa SMA. Meskipun sekarang sudah tidak menjadi penentu kelulusan,
mendapat nilai yang jelek adalah hal yang paling ditakuti.
“Huhhh.. akhirnya selesai juga ya, Ra. Otak gue kaya mendidih kena soal-soal
kaya gitu haha.” Kata Freya pada Maura. “Berlebihan banget sih lo, Fre” jawab Maura
lalu diiringi tawa keduanya. “Ra, ditungguin pangeran lo tuh.” Freya mengangkat
dagunya kearah yang disebut, otomatis Maura pun ikut menoleh. Memang benar ada
Refan disana. “Yaudah deh Fre, gue duluan ya!” Kata Maura sambil berdiri hendak
meninggalkan Freya. “Iyadeh, hati-hati ya Ra. Kalau mau ngerayain pasca UNAS
jangan lama-lama, kondisi lo kan masih labil.” Cerocos Freya panjang lebar. “Iya Freya
sayangggg. Bye byeee.” Maura pergi sambil tertawa terbahak-bahak, sementara Freya
masih kesal dengan panggilan yang diberikan Maura kepadanya.

Pulang sekolah kali ini Refan berkeinginan mengajak Maura pergi ke suatu
tempat, Refan berfikir Maura akan menyukai tempat yang ia kunjungi nantinya. “Fan,
langsung anterin pulang aja ya?” Pinta Maura kepada Refan. “Loh, kenapa buru-buru,
Ra? Kita jalan-jalan dulu aja ya?” Refan kaget tetapi tetap memutuskan untuk mengajak
Maura pergi. “Gausah deh Fan, lain waktu aja ya kita jalan-jalan.” Tolak Maura halus.
“Kamu kenapa, sayang? Ngerasain sakit lagi?” Tanya Refan panik. “Gapapa kok, Fan.
Mataku berat aja, mungkin butuh istirahat di rumah.” Jawab Maura tidak bohong, ia
merasakan kalau matanya sangat berat dan sedikit kabur pandangannya. “Iyadeh, kita
pulang. Aku takutnya nanti kamu kenapa-napa di jalan.” Refan akhirnya mengikuti
keinginan Maura untuk mengantarnya pulang. Refan mulai menyalakan mesin
mobilnya.

***

Mobil Refan telah sampai di depan rumah Maura sejak lima menit yang lalu
tetapi Maura tak kunjung turun, pandangannya pun kosong. Hal ini membuat Refan
bingung. “Maura sayang, kamu nggak mau turun?” Tanya Refan tetapi tidak ada
sahutan dari Maura. “Ra? Kamu gapapa kan?” Refan panik lalu terdengar suara isak
tangis, Maura menangis. “Fan, kamu masih disampingku kan? Aku nggak bisa lihat
apa-apa, semuanya gelap. Hiks hiks...” Tangis Maura bertambah keras, Refan pun ikut
menangis sambil mendekap tubuh Maura. Ia tidak mengerti cobaan apalagi yang
menimpa kekasihnya ini. Ia hanya bisa berharap Maura kuat menghadapi semua cobaan
ini.
Lee dan Altair langsung buru-buru ke depan rumah setelah Refan membunyikan
klakson berkali-kali. Lee tampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa melihat
keadaan adiknya sekarang. Maura masih tetap menangis dan menangis. Akhirnya
mereka berdua pun langsung masuk ke dalam mobil Refan dan menjalankan mobilnya
menuju rumah sakit.

***

Di depan ruang rawat sudah berkumpul keluarga Aristama dan juga Refan.
Mereka lagi-lagi dirundung kesedihan yang mendalam atas apa yang dialami Maura.
Anak putri satu-satunya dikeluarga mereka harus menjalani cobaan seberat ini. Mama
Maura tak henti-hentinya menangis, ia bahkan tak mempedulikan betapa banyak pasien
balita yang membutuhkan dirinya karena memang ia adalah dokter spesialis anak. Altair
tampak kacau, meskipun ia sering berselisih paham dengan Maura tetapi sebenarnya ia
sangat menyayangi kakaknya tersebut. Lee pun demikian, jadwalnya besok untuk
kembali ke Jerman harus dibatalkan karena ia harus menemani papa, mama, dan
adiknya, memberikan semangat kepada mereka, bahwa Maura akan baik-baik saja.
Bagaimana keadaan Refan? Tidak usah ditanya lagi ia kacau sekacau-kacaunya, ia tak
pernah membayangkan kalau Maura akan mengalami hal seperti ini untuk kedua
kalinya. Ia semakin yakin kalau Maura adalah orang yang tepat untuk dirinya,
bagaimanapun keadaan Maura ia harus tetap selalu disampingnya.

Ruang rawat terbuka, Dokter Adi keluar dan tersenyum santun. “Dok, Maura
kenapa lagi?” Tanya mama Maura dengan suara sedikit terisak. Kali ini dokter
menjelaskan dengan hati-hati. “Maura mengalami penyumbatan darah lagi, saya tidak
tahu apa penyebabnya padahal baru tiga minggu yang lalu Maura di operasi. Kali ini
menyerang syaraf matanya sehingga menimbulkan kebutaan, saya tidak dapat
memastikan kebutaan ini permanen apa masih bisa diselamatkan.” Ujar Dokter Adi
denan jelas dan tenang.

Mama Maura semakin terisak, Altair dan Lee juga menitikan air mata. Mencoba
merasakan pedih yang dirasakan oleh Maura. Refan lagi-lagi menangis dalam diam, ia
tak bersuara tapi air matanya mengalir deras membahasahi pipi dan rahang kerasnya.
Kesedihan menjadi satu, mereka mencoba kuat bersama-sama. Mereka berlima yakin
bahwa Maura kuat dalam menghadapi ini semua.

***

Hari ketiga Maura dirawat, tetapi belum ada tanda-tanda ia bisa melihat dengan
normal. Refan tak pernah jauh dari Maura, ia selalu berusaha berada di samping Maura.
Meski keluarga Maura bergantian menjaga, tetapi Refan tak pernah mau pulang, kecuali
untuk mengambil pakaian. Bahkan urusan mandi, Refan memilih mandi di rumah sakit.

“Hai, Mauraaaa..” sapa seseorang yang menjenguknya. “Freya? Lo Freya kan?”


Maura mencoba menebak. “Ah kamu Raaa, insting sahabat selalu kuat yah.” Freya
berjalan ke arah Maura dan memeluk sahabatnya tersebut, menyalurkan kekuatan demi
kekuatan agar Maura selalu kuat. Sedangkan Refan yang sedari tadi memperhatikan
kedua sahabat itu menyinggungkan senyum kecil. “Lo bisa aja sih, Fre.” Kata Maura
kepada Freya.

Meski UNAS telah dilaksanakan dan berangkat ke sekolah bukan merupakan


salah satu kewajiban bagi siswa kelas 12, tetapi masih ada beberapa yang bolak balik ke
sekolah untuk kepentingan administrasi ataupun persiapan daftar ke perguruan tinggi.
Tetapi Maura belum memikirkan hal tersebut. Ia tidak tahu dapat disembuhkan atau
tidak kebutaan yang dialaminya, tapi ia berharap meskipun ia tidak dapat melihat lagi,
orang-orang yang ia sayangi tidak akan pernah meninggalkannya sendirian.

***

Refan akhir-akhir ini sering melamun tanpa sebab, bahkan ketika diajak ngobrol
Altair ataupun Lee ia jarang menyahutinya. Refan berfikir bagaimana caranya ia bisa
menyembuhkan Maura. Beberapa jam lalu ia menelpon papanya yang ada di Jepang, ia
menanyakan bagaimana cara menyembuhkan kebutaan tanpa medis. Papanya
menyarankan agar Maura dibawa ke Jepang dan diobati disana. Karena menurut
papanya ketika berada di Jepang, Maura akan lebih fokus dengan pengobatannya. Refan
memikir berulang-ulang hal tersebut, karena membawa Maura ke Jepang bukanlah hal
yang mudah, belum lagi kalau mama dan papa Maura tidak mengizinkannya.
“Ma, menurut mama gimana kalau Refan bawa Maura ke Jepang?” Tanya Refan
kepada mamanya. “Kamu yakin bawa Maura kesana, Fan? Kamu udah siap nanggung
semua resikonya?” Kini giliran maamnya yang balik bertanya. “Refan juga belum yakin
ma. Tapi Refan ingin Maura sembuh dan bisa lihat lagi.” Kata Refan. “Mama tahu
sayang kalau kamu sayang banget sama Maura, mama sih nggak ngelarang selama
keluarga Maura mengizinkan.”Kata Luna kepada putranya.

Refan diam cukup lama, ia lagi-lagi memikirkan cara bagaimana minta izin
kepada keluarga Maura. “Ma, bantuin Refan minta izin ya? Pleasee..” Refan memohon
kepada mamanya. Luna hanya bisa menghembuskan napas berat. “Kita coba dulu ya.
Semoga keluarga Aristama bisa mengerti.” Jawab Luna. “Makasih, Maaaa. Refan
sayang mama deh.” Puji Refan kepada mamanya sembari memeluk mamanya. “Kamu
ini apa-apaan sih Fan. Pergi tidur sana, udah malem.” Tegur Luna. “Siap, nyonya
besar!” Refan melucu dan dibalas tawa oleh Luna.

***

Sudah 3 hari sejak Maura keluar dari rumah sakit. Kini Maura berubah seratus
delapan puluh derajat dari Maura yang dulu. Maura lebih sering mengurung diri di
kamar sambil mendengarkan musik, ia jarang mengeluarkan suara apabila tidak ada
yang memulai percakapan dengannya. Mata Maura memang belum bisa melihat seperti
sediakala. Mungkin hal ini yang menyebabkan Maura menjadi pemurung dan pendiam.

“’Maura sayang, makan dulu yuk?” Bujuk mamanya yang ketiga kalinya. Tetapi
tak ada tanggapan apa-apa dari Maura. Lissa merasa sangat terpukul melihat anaknya
seperti ini, ia bingung harus berbuat apa lagi agar Maura mau makan.

“Hai, Mauraaa? Kamu sudah makan belum?” Tiba-tiba ada Refan di samping
mama Maura. Maura hanya menggelengkan kepala begitu ditanyai oleh Refan. “Makan
dulu yuk, sayang? Mau aku suapin?” Refan menawari untuk menyuapi Maura. Tidak
ada respon apapun dari Maura, akhirnya Refan menyuapi Maura dan Maura mau
membuka mulutnya. Sedikit lega perasaan mama Maura setelah kedatangan Refan.

Ternyata di bawah ada Luna, mama Refan. Lissa pun sempat bingung kenapa
mama Refan ikut kesini. Akhirnya Lissa memutuskan untuk menemui Luna. “Apa
kabar, Lun?” tanya Lissa. “Alhamdulillah baik, Lis. Gimana keadaan Maura?” Luna
bertanya balik. “Ya begiulah Lun, sejak mengalami kebutaan Maura menjadi lebih
pendiam dan selalu murung. Aku juga bingung harus gimana lagi.” Lissa tampak sedih.
“Sabar ya, Lis. Mungkin Maura belum bisa menerima semua ini. Perlahan-lahan Maura
pasti bisa menerimanya. Luna mencoba menguatkan sahabatnya tersebut. Mereka
berdua memang bersahabat sejak SMA, dan masih berhubungan baik sampai sekarang.
Bahkan kedua anak mereka sekarang menjalin hubungan dekat.

“Lis, sebenarnya kedatanganku kesini cuma mau nganterin Refan minta izin ke
kamu.” Luna akhirnya terus terang. “Izin untuk apa, Lun?” Lissa bingung atas
pernyataan Luna. “Begini Lis, Refan kemarin bilang ke aku kalau dia ingin ngajak
Maura ke Jepang, di tempat suamiku untuk menjalani terapi kebutaan yang ia alami.
Aku juga nggak yakin kalau kamu akan memberi izin, tapi Refan cuma ingin Maura
bisa melihat seperti sediakala.” Luna menjelaskan panjang lebar. Kini Lissa yang
terdiam membisu, ia bingung harus menjawab apa. Satu sisi ia tak mau jauh dari Maura,
di sisi lain Lissa ingin Maura sehat seperti sediakala.

“Te, Maura sudah selesai makan. Sekarang ia sedang tidur.” Suara Refan yang
tiba-tiba membuyarkan lamunan Lissa. “Eh i..iya Fan, makasih ya udah telaten banget
ngerawat Maura.” Lissa mengucapkan terimakasih yang mendalam dan dibalas
anggukan penuh arti oleh Refan.

Suasana hening beberapa waktu akhirnya Lissa membuka suara. “Aku belum
bisa memutuskan saat ini, Lun. Beri aku waktu untuk berbicara dengan papa dan
kakaknya.” Putus Lissa kemudian. “Oke nggak masalah, Lis. Kami juga nggak mau
memaksa kamu. Kami hanya berniat melakukan yang terbaik untuk Maura. Jangan
pernah anggap kita orang lain, Lis.” Jelas Luna sebelum memutuskan untuk pamit.

***

Hari ini Maura didatangi oleh banyak tamu. Teman-teman satu kelas beramai-
ramai berkunjung ke rumah Maura. Mereka memberi semangat, dan selamat atas
kelulusan mereka semua, sekaligus mengucapkan salam perpisahan. Ya, akhirnya
dengan persetujuan keluarganya, Maura diizinkan pergi ke Jepang bersama Refan.
Maura yang awalnya murung, kini sudah tampak lebih baik. Ia sudah bisa tertawa meski
tak semanis dan secantik dulu. Maura yakin, kalau bersama Refan dirinya terasa aman
meski tinggal di negeri orang. Orangtuanya juga bisa mengunjunginya kapan pun
mereka mau. Penerbangan dijadwalkan besok siang jam 12 dengan pesawat Singapore
Airlines.

“Wah, Maura habis ini bakal jadi cewek Jepang nih..” Goda Freya kepada
Maura. “Apasih lo Fre, jangan berlebihan deh.” Kata Maura sambil merona malu. “Fan,
jagain sahabat gue baik-baik ya! Awas lo kalo nyakitin Maura disana.” Ancam Freya
kepada Refan. Refan pun hanya tersenyum disertai dengan gelengan dan anggukan,
gelengan yang berarti Refan tidak akan menyakiti Maura, anggukan berarti Refan akan
selalu menjaga Maura. Maura tampak bahagia, dikala banyak cobaan yang menimpa
dirinya.

***

Sesuai dengan jadwal, siang ini Maura terbang ke Jepang. Seluruh anggota
keluarga Maura mengantarnya sampai ke bandara. Mamanya menangis haru karena
harus berjauhan dengan anaknya, meski ia sudah merelakan karena ia mengerti Maura
disana untuk berobat agar bisa sembuh seperti sedikala. Papanya tampak lebih tegar
meski raut sedih tak dapat dipungkiri. Lee pun melepaskan Maura dengan senyum haru,
ia selalu berdoa agar adiknya selalu dibawah lindungan-Nya. Altair juga nampak sedih,
tapi semua disini mendoakan kesembuhan Maura. Semua berharap bahwa langkah yang
diambli Refan tak akan salah.

“Maura, yuk kita ke pesawat. Udah mau berangkat nih.” Refan mengajak Maura
dengan halus. “Ma, pa... Maura sama Refan pamit dulu ya? Mama baik-baik di rumah
ya, jangan sedih terus-terusan. Dek, kakak pergi dulu ya? Kamu jangan nakal sama
mama papa. Kak Lee, kakak kapan balik ke Jerman? Kalo ke Jerman hati-hati ya kak.
Maura pasti bakal kangen kalian semua.” Maura mengucapkan salam perpisahan, meski
ia tahu bakal kembali. Rasanya berat sekali meninggalkan Indonesia. “Kamu hati-hati
ya nak, jaga diri baik-baik, yang nurut juga sama Refan. Mama pasti kangen kamu,
Raa.” Maura pun memeluk mamanya dengan erat sebelum mereka berpisah.

***
Perjalanan hidup Maura tidaklah mudah, selalu banyak cobaan yang ia alami.
Tetapi ia mencoba untuk kuat, mengahadapi semua cobaan demi cobaan dengan
berpikiran positif. Meskipun terkadang Maura kesal kepada Tuhan, mengapa cobaan
yang menimpa dirinya tak ada henti-hentinya, ia merasa bahwa Tuhan itu tidak adil.
Tapi ternyata Maura salah. Masih banyak orang di sekelilingnya yang sayang dan peduli
kepadanya, masih ada mama, papa, adik, kakak, dan pastinya Refan yang selalu setia
disampingnya dikala Maura lemah. Tak lupa satu sabahatnya, Freya. Ia sangat
bersyukur diberi sabahat sebaik dan seperhatian Freya. Intinya Maura merasa beruntung
dikelilingi oleh orang-orang yang sayang kepadanya. Maura selalu percaya bahwa akan
ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah kesedihan yang ia alami.
Disini, di atas awan Maura berdoa agar dirinya senantiasa dikaruniai sehat dan
dikembalikan penglihatannya di Negeri Matahari Terbit, bersama seseorang yang
diharapkan bisa jadi masa depannya kelak.
NAMA : ASKIYAH AMALINA

NIM : 170321612540

OFFERING :B

PRODI : PENDIDIKAN FISIKA

ALAMAT

ASAL : KENONGO - TULANGAN - SIDOARJO

MALANG : BALEARJOSARI – BLIMBING - MALANG

Anda mungkin juga menyukai