Anda di halaman 1dari 14

PERUBAHAN KULIT DAN PENYAKIT-PENYAKIT PADA KEHAMILAN

PERUBAHAN-PERUBAHAN PADA KULIT YANG UMUM BERHUBUNGAN DENGAN KEHAMILAN

Kehamilan ditandai dengan perubahan endokrin, metabolisme, dan perubahan imunologi.


Perubahan yang dramatis ini menghasilkan banyak perubahan pada kulit, secara fisiologis juga
patologis. Daftar keseluruhan perubahan fisiologis dalam kulit dan jaringan lain ada pada tabel 107-1

Gangguan pigmen adalah perubahan fisiologis yang paling sering terjadi (lihat tabel 107.1).
Hiperpigmentasi dari areola, aksila, genitalia adalah yang paling sering dilaporkan pada kehamilan.
Linea nigra menunjukkan adanya perubahan warna menjadi lebih gelap yang reversibel pada linea
alba, sebuah bercak linier yang hipopigmentasi memanjang dari simfisis pubis sampai prosesus
xifoideus pada tulang sternum (gambar 107-1).
Melasma atau kloasma adalah temuan yang berhubungan yang terdiri dari hiperpigmentasi pada
wajah berupa bercak dengan bentuk yang tidak teratur, terdapat pada sekitar 70% pada wanita
hamil (gambar 107-2).

Kecenderungan ini diperburuk oleh pajanan sinar matahari dan oleh asupan kontrasepsi oral oleh
wanita yang tidak hamil. Melasma dapat berkurang postpartum, tetapi seringkali menetap, yang
memerlukan tantangan secara terapeutik.

Perubahan pada nevus melanositik biasanya dianggap normal selama kehamilan. Betapapun,
beberapa penelitian telah mempelajari secara objektif apakah dan bagaimana nevus berkembang
selama kehamilan. Pennoyer dkk memantau 129 nevus melanositik dengan fotografi pada kehamilan
dari 22 wanita Kaukasia yang sehat. Hanya 8 nevus (6,2%) berubah diameternya dari trimester I
hingga ke III, dengan tidak adanya perubahan yang berarti. Para peneliti menyimpulkan bahwa
perubahan signifikan yang terjadi pada ukuran nevus (tidak termasuk nevus pada perut wanita
hamil) tidak tampak sebagai bentuk dari kehamilan-kehamilan pada umumnya. Sampai penelitian
lebih lanjut dilakukan, setiap lesi pigmentasi pada wanita hamil yang mengalami perubahan secara
morfologi (ukuran, bentuk, dan warna) atau secara simtomatik (mulai dari gatal, berdarah atau
bersisik) harus dipertimbangkan untuk dilakukannya pemeriksaan histopatologi.

Perubahan struktural yang paling sering selama kehamilan adalah stria distensi, yang juga dikenal
dengan striae gravidarum atau stretch marks (gambar 107-3).

Tempat predileksi stria termasuk pada daerah yang paling cenderung meregang, termasuk
abdomen, pinggul, bokong dan payudara. Faktor genetik seperti riwayat keluarga, riwayat individu,
dan ras adalah faktor prediksi paling kuat dari risiko seseorang dalam hal berkembangnya stria
distensi, melebihi faktor-faktor bertambahnya berat badan saat kehamilan atau perubahan indeks
massa tubuh. Temuan ini sangat mendukung faktor predisposisi genetik terhadap kondisi ini.

Pruritus, keluhan yang sering selama kehamilan, mungkin fisiologis, tetapi dapat menyebabkan
perburukan suatu dermatosis yang telah ada sebelumnya atau onset dari suatu dermatosis spesifik
pada kehamilan. Sisa bab ini memberikan garis-garis besar dari kondisi yang relatif jarang yang
mungkin khas pada kehamilan. Ikhtisar dari kondisi ini dapat dilihat pada table 107-2
PENYAKIT KULIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO PADA JANIN SAAT KEHAMILAN

PEMFIGOID (HERPES) GESTASIONAL

Pemfigoid (herpes) gestational (PG) adalah suatu kedaan yang sangat gatal, dengan erupsi
vesikobulosa pada pertengahan sampai akhir masa kehamilan dan periode segera setelah
persalinan. PG secara klasik dimulai pada trimester ke-2 dan ke-3, dan bermanifestasi dengan
adanya lesi urtikaria yang sangat gatal yang timbul mendadak dengan dasar kulit yang normal atau
eritematosa. PG dihubungkan dengan peningkatan kejadian kelahiran dengan berat badan lahir
rendah dan kelahiran prematur. PG adalah diperantarai secara imunologis, dan deposit linier dari C3
dengan atau tanpa IgG ditemukan pada taut dermis-epidermis dengan imunofluoresens langsung
(DIF).
KOLESTATIK INTRAHEPATIK PADA KEHAMILAN

NOMENKLATUR DAN EPIDEMIOLOGI

Istilah obstetric cholestasis, cholestasis of pregnancy, recurrent jaundice of pregnancy, cholestatic


jaundice of pregnancy, idiophatic jaundice of pregnancy, prurigo gravidarum, dan icterus gravidarum
semuanya merujuk kepada kesatuan klinis yang sama, intrahepatic cholestasis of pregnancy (ICP),
yang ditandai dengan bentuk reversibel dari kolestasis pada akhir kehamilan. Svanborg dan Ohlsson
pertama kali menemukan ICP sebagai kesatuan yang berbeda, yang dipisahkan dari penyebab-
penyebab jaundice lainnya selama kehamilan pada tahun 1939. Jaundice berkembang pada sekitar 1
dari 1500 wanita hamil. Dengan insiden yang diperkirakan dari 70 kasus per 10.000 kehamilan di AS,
ICP merupakan urutan ke-2 setelah virus hepatitis dalam hal etiologi jaundice pada wanita hamil.
Kasus yang ringan dari ICP, dimana pruritus tidak berhubungan dengan jaundice, yang semula
dikenal sebagai prurigo gravidarum.

ICP adalah yang tersering di Scandinavia dan Amerika Selatan. Insiden tertinggi yang pernah
dilaporkan adalah di Chile (14%-16%), sedangkan tingkat rata-rata yang jauh lebih rendah dapat
dilihat diantara wanita hamil di AS (kurang dari 0,1%-0,7%), Canada (0,1%), Australia (0,2%-1,5%),
dan di Eropa pusat (0,1%-1,5%).

ETIOLOGI

Meskipun patogenesis yang pasti masih belum jelas, faktor yang saling mempengaruhi seperti
hormonal, genetik, lingkungan, dan faktor yang berhubungan dengan makanan diduga mencetuskan
kolestasis biokimiawi pada individu yang rentan. Peranan yang menonjol dalam perubahan hormon
dinyatakan melalui pengamatan berikut ini:

(1) ICP adalah penyakit pada akhir kehamilan (sesuai dengan periode dimana kadar hormon plasenta
tertinggi);

(2) ICP secara spontan akan berkurang pada saat persalinan ketika konsentrasi hormon sudah
menjadi normal;

(3) kehamilan kembar 2 dan 3, ditandai dengan meningkatnya konsentrasi hormone lebih besar lagi,
telah dihubungkan dengan adanya ICP;

(4) ICP akan terulang kembali pada kehamilan berikutnya pada perkiraan sekitar 45%-70% dari
pasien.

Variasi geografis dan pengelompokan keluarga mengindikasikan adanya predisposisi genetik. ICP
tampaknya merupakan kondisi poligenetik. Gen-gen kandidatnya termasuk yang bermutasi dalam
variasi bentuk-bentuk lain dari kolestasis yang diturunkan: ABCB4 (multidrug resistance gene3),
ABCB11 (Bsep), dan ATP8B1 (FIC1). Penurunan angka prevalensi terbaru di Chile, melaporkan angka
insiden yang lebih tinggi pada saat musim salju, dan melaporkan penurunan relatif dari kadar
selenium pada beberapa pasien ICP dimana semua point tertuju pada peran etiologi dari lingkungan
dan faktor yang berhubungan dengan makanan. Paling tidak satu penelitian menguatkan adanya
risiko yang lebih tinggi dari infeksi virus hepatitis C diantara wanita dengan ICP.
GAMBARAN KLINIS

Secara klasik pasien datang pada saat trimester ketiga dengan rasa gatal sedang sampai berat, yang
berlokasi baik pada telapak tangan dan telapak kaki maupun seluruh tubuh. Rasa gatal dimulai dari
trimester pertama dan kedua pada 10% dan 25% kasus, secara berturut-turut. Rasa gatal yang berat
sering dikaitkan dengan adanya ekskoriasi sekunder, walaupun lesi primer kulit selalu tidak
ditemukan. Awalnya, pasien dapat mengeluhkan hanya rasa gatal malam hari, dan gejala-gejalanya
secara umum lebih berat pada malam hari selama perjalanan penyakit. Gejala konstitusional seperti
lelah, mual, muntah atau tidak nafsu makan dapat menyertai keluhan gatal tersebut. Perkembangan
menjadi jaundice secara klinis, urin yang berwarna gelap, atau tinja yang berwarna terang, timbul
pada kira-kira satu dari lima pasien. Pruritus umumnya mendahului onset dari gejala-gejala ini kira-
kira 1-4 minggu sebelumnya.

PERJALANAN PENYAKIT

Tanda dari ICP adalah gejala dan abnormalitas biokimia yang terkait, secara khas akan hilang dalam
2-4 minggu setelah persalinan. Kekambuhan pada kehamilan berikutnya dapat muncul dengan
perkiraan 45%-70% pasien. Beberapa wanita mengalami kekambuhan ICP setelah terpajan dengan
kontrasepsi oral ataupun menggunakan alat-alat kontrasepsi lainnya seperti: estrogen sintetik dan
agen progestasional.

Keadaan wanita hamil biasanya baik, walaupun wanita dengan kasus-kasus yang berat merupakan
faktor predisposisi timbulnya pendarahan postpartum, yang secara sekunder sebagai akibat
menurunnya jumlah vitamin K. Selain itu, wanita yang mengalami ICP mempunyai kecenderungan
nantinya berkembang menjadi kolelitiasis atau penyakit kandung empedu. Risiko pada janin yang
ibunya mengalami ICP, termasuk meningkatnya angka prematuritas, distress janin intra partum,
kematian janin. Komplikasi ini secara umum berhubungan dengan kadar asam empedu yang lebih
tinggi dan dianggap disebabkan oleh adanya anoksia akut pada plasenta dan meningkatnya insidensi
dari cairan amnion yang bercampur dengan mekonium. Komplikasi janin seperti ini dapat dikurangi
dengan penanganan dan induksi persalinan setelah pematangan paru-paru janin telah didapatkan.

PENELITIAN LABORATORIUM

Peningkatan asam empedu dalam serum merupakan indikator tunggal yang paling sensitif dari ICP.
Pada wanita hamil yang sehat, jumlah total asam empedu (TBAs) hanya sedikit meningkat diatas
angka normal dan kadar setinggi 11.0 μM dapat dianggap normal pada akhir kehamilan. Indeks
biokimia yang jelas dari adanya ICP belum dapat dibuktikan.

Betapapun, Brites dkk mengidentifikasi tanda-tanda ICP berikutnya yang sering ditemukan, yaitu:

(1) Konsentrasi dari total asam empedu (TBA) serum lebih besar dari 11.0 μM (angka normal
4,6-8,7 μM);
(2) Perbandingan asam kolik dengan asam chenodeoxycholic lebih besar dari 1,5 (angka normal
0,7-1,5) atau proporsi asam kolik dari total asam empedu serum (TBAs) lebih besar dari 42%;
(3) Perbandingan konjugasi glisin dengan konjugasi urin kurang dari 1.0 (angka normal 0,9-2.0)
atau konsentrasi asam glikokolik lebih besar dari 2.0 μM (angka normal 0,6-1,5 μM). Derajat
pruritus dan keparahan penyakit secara keseluruhan berhubungan dengan konsentrasi asam
empedu.
Gangguan yang ringan pada pemeriksaan fungsi hati, termasuk peningkatan enzim transaminase,
fosfatase alkali, 5’-nukleotidase, kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan lipoprotein X biasanya
ditemukan. Diantara parameter-parameter ini, enzim transminase alanin yang sensitif secara khusus,
dimana peningkatan enzim ini bukan suatu tanda dari kehamilan yang sehat, tetapi sering ditemukan
pada penderita ICP. Enzim ϒ-glutamil transferase, yang biasanya rendah pada akhir kehamilan,
secara khas normal atau sedikit meningkat pada ICP. Fraksi langsung atau terkonjugasi dari bilirubin
adalah yang paling sering meningkat pada ICP. Albumin mungkin sedikit menurun, dimana α2-
globulin dan β-globulin lumayan meningkat. Betapapun, pemeriksaan fungsi hati yang rutin saja
tidaklah merupakan dasar yang cukup untuk mendiagnosis ICP.

Pemeriksaan biopsi kulit tidak membantu dalam mediagnosis ICP. Walaupun secara umum tidak
diperlukan, biopsi hati menunjukkan adanya kolestasis di dalam hati dengan pelebaran, kanalikulus
empedu yang tersumbat, dan tersimpannya pigmen-pigmen empedu pada sel-sel hati yang
sentrilobuler.

DIAGNOSIS BANDING

Perbedaan dengan penyebab-penyebab lain dari pruritus pada wanita hamil merupakan sebuah
tantangan. Penentuan dengan melihat adanya lesi-lesi primer menyebabkan diagnosis ICP semakin
jauh pada yang tidak memiliki lesi primer. Penyebab lain dari kerusakan hepar dan timbulnya
jaundice, seperti hepatitis virus dan non virus, obat-obatan, sumbatan hepatobilier, dan penyakit-
penyakit di dalam hepar lainnya (seperti sirosis primer kandung empedu) harus disingkirkan.
Akhirnya, harus diingat bahwa hipertiroid, reaksi alergi, polisitemia vera, limfoma, pedikulosis, dan
scabies, masing-masing dapat bermanifestasi sebagai rasa gatal yang menyeluruh pada wanita hamil
sama seperti wanita yang tidak hamil.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan bertujuan untuk menurunkan kadar asam empedu serum dan dengan demikian
memperpanjang kehamilan, memperbaiki gejala-gejala pada ibu dan menurunkan risiko pada janin.
Sebuah pendekatan interdisiplin yang ditandai dengan surveilans yang ketat pada janin penting
dalam penatalaksanaan ICP. Walaupun penanganan obstetri bervariasi, perlunya pengawasan
mingguan terhadap janin dimulai dari minggu ke-34 kehamilan sudah dapat diterima secara luas.
Selain itu, banyak penulis merekomendasikan induksi awal pada kehamilan, biasanya dilakukan
dalam kehamilan 37-38 minggu, tetapi pada kasus yang berat, dilakukan segera setelah terdapat
bukti adanya pematangan paru janin.

Pada kasus yang ringan, cukup meredanya gejala pada ibu dapat dicapai dengan menggunakan
emolien yang lembut dan anti pruritus topikal. Antihistamin dan fototerapi dengan UVB biasanya
efektif secara bervariasi. Beberapa percobaan yang tidak menggunakan kontrol menyatakan bahwa
resin yang mengalami pertukaran anion, kolestiramin, dapat dengan efektif menurunkan gejala pada
sampai 70% pasien dengan ICP ringan. Betapapun, kurangnya percobaan acak dari kolestiramin yang
menggunakan kontrol plasebo, menghalangi kesimpulan yang pasti tentang keefektifan obat ini.
Lebih jauh lagi, kolestiramin harus diberikan beberapa hari sebelum mendapatkan efeknya.
Kemampuan obat ini pada pengobatan kasus-kasus berat telah mengecewakan, dan, yang penting,
obat ini dapat mengendapkan vitamin K dan dengan demikian memicu terjadinya koagulopati.
Terapi sistemik lainnya seperti deksametason, S-adenosilmetionin, dan plasmaferesis telah
dilaporkan kadang-kadang dapat mengurangi gejala pada ibu. Betapapun, agen-agen ini tidak
membalikkan abnormalitas biokimia yang terkait, dan dengan demikian, tidak mengurangi risiko
pada janin.

Asam ursodeoksikolik (UDCA), yang secara alamiah menimbulkan asam empedu yang bersifat
hidrofilik, adalah satu-satunya pengobatan yang telah diperlihatkan untuk mengurangi gejala-gejala
pada ibu dan risiko pada janin. UDCA menggunakan efek hepatoprotektif dengan menambahkan
ekskresi asam empedu yang bersifat hidrofobik, metabolit progesteron sulfat, dan bahan
hepatotoksik lainnya. UDCA menurunkan kadar asam empedu dalam kolostrum, pembuluh darah,
dan cairan amnion. Hasil dari beberapa penelitian kecil yang acak, dengan kontrol plasebo,
menunjukkan bahwa jika digunakan pada dosis antara 450-1200 mg/hari, UDCA dapat ditoleransi
dengan baik dan sangat efektif dalam mengontrol abnormalitas dari fungsi hati maupun klinis yang
menegaskan adanya ICP. Peningkatan efektifitas dapat dicapai dengan pemberian bersama dengan
S-adenosilmetionin. Percobaan dengan menggunakan kontrol, secara acak, yang membandingkan
langsung UDCA baik dengan deksametason maupun dengan kolestiramin menunjukkan bahwa UDCA
memiliki keefektifan yang lebih besar.

PSORIASIS PUSTULAR PADA KEHAMILAN (IMPETIGO HERPETIFORMIS)

NOMENKLATUR

Von Hebra pertama kali menggunakan sebutan impetigo herpetiformis pada tahun 1872 untuk
menggambarkan erupsi pustular akut dengan onset biasanya terjadi pada trimester ke tiga
kehamilan. Sekarang secara umum dianggap sebagai varian dari psoriasis pustular yang disebabkan
oleh perubahan hormon selama kehamilan; betapapun, beberapa penulis mempertahankan bahwa
itu merupakan kesatuan gambaran klinis yang berbeda.

GAMBARAN KLINIS

Psoriasis pustular pada kehamilan ditandai dengan erupsi akut yang timbul pada awal pertama
kehamilan, tetapi secara umum pada trimester ke-3 dari kehamilan yang sebenarnya tidak banyak
ditemukan. Kondisinya bermanifestasi sebagai bercak eritematosa yang batasnya bertabur pustul
subkorneum (gambar 107-4).
Erupsi secara khas dimulai dari daerah fleksor tetapi menyebar secara sentrifugal dan kadang-
kadang menyeluruh. Lesi subungual dapat menyebabkan onikolisis. Walaupun jarang, keterlibatan
membran mukosa dapat menyebabkan erosi yang sangat nyeri. Wajah, telapak tangan, dan telapak
kaki jarang terlibat. Ruam dapat gatal ataupun nyeri. Onset dari erupsi biasanya diikuti dengan gejala
konstitusional seperti demam, menggigil, lemas, diare, mual dan artralgia. Walaupun jarang, tetanus,
delirium, dan kejang dapat terjadi jika hipokalsemianya berat.

Walaupun secara umum dianggap sebagai bentuk dari psoriasis pustular, tidak adanya riwayat
keluarga, penyembuhan gejala yang tiba-tiba pada saat persalinan, dan kecenderungan untuk
terulang kembali pada kehamilan berikutnya, membedakan kesatuan ini dengan psoriasis pustular
generalisata. Selain itu, faktor-faktor yang diketahui dapat memicu berkembangnya psoriasis
pustular, seperti infeksi, pajanan terhadap obat yang salah, dan pemberhentian mendadak dari
kortikosteroid sistemik, sebenarnya tidak ditemukan pada semua pasien-pasien dengan psoriasis
pustular pada kehamilan.

PENELITIAN LABORATORIUM

Pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran klasik dari psoriasis pustular. Perubahan yang
paling sering ditemukan pada laboratorium termasuk leukositosis, neutrofilia, peningkatan laju
sedimen eritrosit, anemia defisiensi zat besi, dan hipoalbunemia. Yang lebih jarang ditemukan
adalah penurunan kalsium, fosfat dan kadar vitamin D. Kadar parathormon serum jarang menurun.
Kultur dari isi pustul dan dari darah tepi hasilnya negatif kecuali jika terjadi infeksi sekunder.

PERJALANAN PENYAKIT

Psoriasis pustular pada kehamilan secara klasik terjadi pada trimester akhir, tetapi ada laporan-
laporan kasus bahwa penyakit ini terjadi pada saat lebih awal yaitu pada trimester pertama, pada
saat fase puerperium, pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi oral, dan pada wanita
postmenopause. Gejalanya selalu progresif sepanjang kehamilan. Tanda utama dari kelainan ini
adalah penyembuhan gejala yang cepat setelah persalinan. Rekurensi sering terjadi pada kehamilan
berikutnya dan ditandai dengan keadaan yang lebih berat dan onset yang lebih cepat pada masa
kehamilan. Beberapa laporan adanya eksarsebasi mensturasi berikutnya terjadi baik selama maupun
sesaat sebelum menstruasi terdapat dalam literatur.

Penyebaran penyakit yang lebih luas secara umum menandakan prognosis yang lebih buruk.
Komplikasi pada ibu yang mengancam jiwa kini jarang terjadi, tetapi disebabkan oleh hipokalsemia
berat dan sepsis bakteri. Komplikasi yang paling dikhawatirkan adalah insufisiensi plasenta dan
mengakibatkan bayi lahir mati atau kematian bayi pada saat neonatal. Untuk alasan ini, induksi
kehamilan lebih awal sering dipertimbangkan.
DIAGNOSIS BANDING

Box 107-1 memberian garis besar diagnosis banding pustular psoriasis pada kehamilan.

PENATALAKSANAAN

Penyembuhan setelah persalinan sudah merupakan norma. Bagaimanapun, dengan adanya


perjalanan penyakit yang progresif secara konsisten, penatalaksanaan diindikasikan untuk
menurunkan terjadinya risiko komplikasi ibu dan janin selama kehamilan. Pengobatan topikal
termasuk kompres basah dan kortikosteroid topical, tetapi jarang efektif sebagai terapi tunggal.

Kortikosteroid sistemik adalah terapi andalan selama kehamilan. Siklosporin, yang dikategorisasikan
sebagai kategori kehamilan “C”, telah dengan sukses digunakan pada dosis 5 mg/kg dan 10 mg/kg
per hari untuk mengobati kasus-kasus yang sulit disembuhkan dengan kortikosteroid sistemik dosis
tinggi. UVB berspektrum sempit dikombinasikan dengan steroid topikal telah dilaporkan sukses
digunakan. Infliximab, sebuah agen penghalang TNF-α telah dengan sukses digunakan tanpa efek
yang merugikan bagi janin. Walaupun pertimbangan yang hati-hati terhadap keuntungan dan risiko
blokade TNF selama kehamilan harus dipertimbangkan, agen-agen ini (termasuk etanercept,
infliximab, dan adalimumab) adalah Kelompok B dan dapat mempunyai peranan dalam
penatalaksanaan kasus-kasus yang sulit disembuhkan dengan terapi-terapi lainnya.

Pada semua kasus, status cairan dan elektrolit harus dimonitor dengan koreksi yang cepat jika ada
ketidakseimbangan. Pengawasan pada janin adalah penting oleh sebab perlambatan pada detak
jantung janin mungkin merupakan pertanda yang paling dini dari adanya hipoksemia janin. Fungsi
jantung dan ginjal ibu mungkin dapat dipengaruhi oleh progresifitas penyakit oleh sebab itu harus
diawasi dengan baik. Induksi pada kehamilan merupakan suatu pilihan ketika gejala penyakit tidak
berkurang walaupun sudah diberikan terapi suportif dan farmakologi. Terapi armamentarium dapat
diberikan setelah terminasi kehamilan atau sesudah persalinan pada ibu yang tidak menyusui dapat
diperluas untuk menyertakan psoralen oral dan PUVA, retinoid oral, klofazimin, metotreksat,
sulfapiridin dan sulfon.
PENYAKIT KULIT YANG TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO PADA JANIN PADA KEHAMILAN

PAPUL DAN PLAK URTIKARIA YANG GATAL PADA KEHAMILAN (ERUPSI POLIMORFI PADA
KEHAMILAN)

NOMENKLATUR DAN EPIDEMIOLOGI

Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy (PUPPP) adalah penyakit kulit yang tidak
berbahaya, yang sangat gatal, yang timbul hampir secara eksklusif pada primigravida selama akhir
kehamilan. Istilah PUPPP, diperkenalkan oleh Lawley dkk pada tahun 1979, merupakan sinonim dari
Bourne’s toxemic rash of pregnancy, Nurse’s late onset PP, toxic erythema of pregnancy, dan
polymorphic eruption of pregnancy (PEP). Erupsi polimorfik pada kehamilan, yang merupakan istilah
terbaru, adalah yang terbaik dalam menggambarkan spektrum klinis dari keseluruhannya, dan
disukai di seluruh Eropa. Insiden PUPPP berkisar antara 1 dalam 300 kehamilan dan 1 dalam 130
kehamilan.

ETIOLOGI

Patogenesisnya tetap tidak diketahui. Hubungan antara PUPPP dan kehamilan ganda dinyatakan
oleh lebih tingginya PUPPP daripada angka yang diharapkan dari kehamilan kembar dua ataupun tiga
pada kebanyakan tulisan yang dipublikasikan. Hubungan yang tidak dapat dijelaskan antara janin
laki-laki dan persalinan dengan operasi caesar telah dilaporkan.

Laporan yang menghubungkan PUPPP dengan naiknya angka berat badan ibu dan janin masih
diperdebatkan. Beberapa mempostulatkan bahwa peningkatan peregangan kulit abdomen
menyebabkan perubahan jaringan kolagen dan/atau jaringan elastis, dengan demikian memicu
reaktivitas imun ibu terhadap rangsang yang sebelunya bersifat non antigen. Selain itu, DNA janin
telah dideteksi pada kulit ibu yang terlibat dan diduga berhubungan secara etiologi dengan kondisi
ini. Meningkatnya imunokreatifitas reseptor progesteron telah dideteksi pada lesi PUPPP, yang
menyebabkan beberapa mempunyai peran terhadap aktivasi progesteron dari keratinosit.

GAMBARAN KLINIS

PUPPP secara khas timbul pada primigravida selama trimester akhir dari kehamilan (onset rata-rata,
35 minggu); bagaimanapun, kasus-kasus klasik PUPPP telah terjadi lebih awal pada kehamilan dan
segera setelah periode postpartum. Secara alami berbentuk polimorfi, lesi bisa berbentuk urtikaria
(yang paling sering), vesikel, purpura, targetoid, atau eksematosa pada gambaran klinisnya (gambar
107-5).
Secara khas lesi berukuran 1-2 mm berupa papul urtikaria yang eritematosa yang dikelilingi oleh
lingkaran yang berwarna pucat. Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik pada stria gravidarum,
dan memperlihatkan pengecualian pada daerah periumbilikus. Pruritus secara umum bersamaan
dengan erupsi dan lokasinya terdapat pada kulit yang terkena. Penyebaran yang cepat ke paha,
bokong, payudara, dan lengan sudah merupakan aturan baku. Keterlibatan telapak tangan, telapak
kaki, atau kulit diatas payudara merupakan pengecualian. Pruritus yang berat dapat mengganggu
tidur, tetapi tidak dilaporkan adanya gejala sistemik lainnya.

PENELITIAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan tidak ada yang abnormal. Pada pemeriksaan histopatologi,
walaupun tidak spesifik, secara umum termasuk parakeratosis, spongiosis, dan eksositosis pada
keadaan tertentu dari eosinofil (spongiosis yang bersifat eosinofilik).

Daerah dermis yang berdekatan dapat menjadi edematosa dan mengandung infiltrat perivaskular
dari campuran limfosit dengan sejumlah eosinofil dan neutrofil. Dengan penelitian direct
immunofloresence (DIF) menunjukkan tidak ada reaksi imun yang spesifik dan dengan penelitian
yang indirect immunofloresence tidak dilakukan.

PERJALANAN PENYAKIT

PUPPP kebanyakan mengenai primigravida pada trimester akhir, walaupun dapat timbul lebih cepat
pada trimester pertama. Terdapat beberapa laporan kasus yang terjadi segera pada periode setelah
persalinan. Secara khas durasi gejala-gejala ini adalah singkat, rata-rata 6 minggu. Bagaimanapun,
gejala yang berat jarang bertahan lebih dari 1 minggu. Remisi spontan dalam beberapa hari setelah
persalinan merupakan aturan baku. Rekurensi pada kehamilan berikutnya atau penggunaan
kontrasepsi oral jarang terjadi. Prognosis ibu dan janin tidak ada perbedaan. Ada sebuah laporan
kasus tentang keterlibat seorang bayi yang baru lahir.
DIAGNOSIS BANDING

Box 107-2 memberikan garis besar diagnosis banding dari PUPPP.

PENATALAKSANAAN

Meskipun tidak berbahaya pada ibu dan janin, pruritus biasanya hebat dan terjadi terus menerus.
Perbaikan gejala dari pruritus biasanya dapat dicapai dengan antipruritus topikal, antihistamin dan
kortikosteroid topikal. Penggunaan kortikosteroid oral yang singkat jarang dibutuhkan, tetapi dengan
efektif mengawasi gejala-gejala pada kebanyakan kasus yang sulit sembuh dengan terapi secara
topikal. Induksi kehamilan lebih awal jarang dipertimbangkan di instansi-instansi dimana pruritus
berat yang terus-menerus, tetapi secara umum dipertimbangkan sebagai sesuatu yang kurnag
penting. Proses meyakinkan pasien tentang PUPPP yang dapat sembuh sendiri dapat membantu
mengurangi kecemasan yang tidak perlu.

ERUPSI ATOPI PADA KEHAMILAN

NOMENKLATUR DAN EPIDEMIOLOGI

Ambros-Rudolph dkk telah mengusulkan istilah atopic eruption of pregnancy (AEP) untuk
menyatakan penyakit yang kompleks yang terdiri dari kesatuan-kesatuan yang berbeda sebelumnya,
yaitu prurigo of pregnancy (PP) dan pruritic folliculitis of pregnancy (PFP), sama seperti eczema in
pregnancy (EP), yang sebelumnya belum dipertimbangkan sebagai sebuah penakit kulit yang khas
pada kehamilan. PFP termasuk prurigo gestasionis Besnier, dan onset awal PP Nurse dan dermatitius
papular Spangler sekarang dipertimbangkan sebagai subset dari AEP.

AEP adalah kondisi gatal yang tidak membahayakan pada kehamilan yang ditandai dengan adanya
lesi eksematosa (AEP, jenis E) dan/atau erupsi papul (AEP, jenis P) pada individu dengan latar
belakang atopi pada dirinya sendiri ataupun pada keluarganya dan/atau peningkatan kadar IgE
serum. AEP merupakan 50% dari seluruh penyakit-penyakait kulit pada kehamilan. AEP dianggap
dipicu oleh adanya pergeseran ekspresi profil sitokin yang berhubungan dengan kehamilan yang
menyebabkan ekspresi khusus dari sitokin T-helper 2.
GAMBARAN KLINIS

Walaupun 20% dari pasien-pasien AEP datang dengan maraknya dermatitis atopi yang sudah ada
sebelumnya, sisanya mengalami erupsi atopi untuk yang pertama kalinya (atau setelah remisi yang
lama). Erupsi eksematosa yang klasik secara rimer mengenai permukaan fleksor dan pada wajah
terjadi pada 2/3 individu yang terkena (AEP, jenis E). Sisanya 1/3 datang dengan lesi papular (AEP,
jenis P) dan sebelumnya telah diklasifikasikan sebagai PP. Lesi apular atau jenis P adalah diskret,
gatal, berupa papul-papul yang ekskoriasi dengan predileksi di permukaan ekstensor (gambar 107.6),
dan jarang ditemukan adanya keterlibatan batang tubuh.

Tanda-tanda minor eksema, termasuk serosis atau hiperlinearis palmaris, mungkin dicatat pada
pasien-pasien dengan kedua subtipe tersebut.

Bentuk yang membedakan dari AEP adalah onset yang terdapat pada awal kehamilan (sebelum
trimester ketiga) dan riwayat atopi pada diri pasien dan/atau keluarganya.

PENELITIAN LABORATORIUM

IgE serum total adalah meningkat dalam 20%-70% individu dengan AEP. Pemeriksaan serologis
menyatakan tidak ada kelainan. Gambaran histopatologis tidak spesifik. Penelitian imunofluoresens
langsung maupun tidak langsung adalah negatif.

PERJALANAN PENYAKIT

Onset biasanya terjadi selama trimester kedua. Lesi memberikan respons yang cepat terhadap
terapi; bagaimanapun, rekurensi pada kehamilan berikutnya sering terjadi, konsisten dengan diatesis
atopi. Prognosis ibu dan janin adalah baik, walaupun dalam kasus yang parah.
DIAGNOSIS BANDING

Penyakit kulit pada kehamilan lainnya, khususnya ICP dan PUPPP harus disingkirkan, demikian juga
folikulitis oleh mikroba atau dermatitis kontak alergi yang terjadi pada wanita hamil.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan bertujuan untuk memperbaiki pruritus termasuk pemakaian emolien, kortikosteroid


topikal potensi sedang dan antihistamin. Benzoil peroksida mungkin membantu untuk lesi folikular
pada daerah batang tubuh dan fototerapi UVB dapat digunakan pada kasus-kasus yang berat.

Anda mungkin juga menyukai