Anda di halaman 1dari 11

1

SEORANG PENDERITA SLE DENGAN MANIFESTASI NEUROMYELITIS OPTIKA

Megawati

PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah merupakan penyakit inflamasi autoimun
kompleks yang menimbulkan reaksi inflamasi pada berbagai organ tubuh, serta sistem organ,
termasuk sendi, kulit, jantung, paru-paru, ginjal, dan sistem saraf dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang beragam. Penyakit ini
terutama menyerang wanita usia produktif dengan angka kematian yang cukup tinggi. Insidens
tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE
dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio wanita dan laki-laki antara 9-14 : 1
(Ikatan Reumatologi Indonesia, 2011; Suarjana, 2014; Hajighaemi, et al., 2016).
Keterlibatan neuropsikiatri dapat terjadi pada SLE disebut Neuropsikiatrik SLE (NPSLE)
yaitu gambaran klinis SLE yang ditandai beragam manifestasi neurologi sistem saraf pusat, perifer,
otonom, atau gangguan kejiwaan tanpa penyebab lain. Keterlibatan neuropsikiatri merupakan
komplikasi berat dari SLE yang berpengaruh besar terhadap morbiditas dan mortalitas, dikaitkan
dengan kualitas hidup yang lebih rendah dari waktu ke waktu, dengan prognosis yang buruk pada
pasien SLE (Magro-Checa, et al., 2016).
Neuromyelitis Optica (NMO) atau Devic Syndrom, penyakit inflamasi idiopatik dari sistem
saraf pusat, yang secara episodik mempengaruhi saraf optik dan sumsum tulang belakang, diawali
dengan gejala gejala suatu neuropati optika yaitu kehilangan penglihatan akut atau sub akut pada
satu atau kedua mata, kemudian diikuti oleh munculnya gejala transverse myelitis. Ini pertama kali
dijelaskan oleh Allbutt pada tahun 1870 dan kemudian oleh Devic pada tahun 1894, yang
mendefinisikannya sebagai NMO (Splendani et al., 2015). Tiga studi melaporkan kejadian NMO
per 100.000 populasi, tertinggi di Denmark pada 0,40 dan terendah di Kuba pada 0,053. Di
Denmark populasinya sebagian besar berkulit putih (> 99%). Di Kuba, populasinya termasuk kulit
putih yang sebagian besar berasal dari Spanyol, kulit hitam, dan orang-orang keturunan campuran.
Di India Spektrum gangguan NMO kemungkinan merupakan sekitar 20% dari semua gangguan
demielinasi. Usia rata-rata saat onset (32.6 - 45.7) dan waktu rata-rata untuk kambuh pertama (8-
12 bulan) serupa pada populasi yang berbeda. Distribusi jenis kelamin lebih banyak perempuan,
dengan rasio perempuan terhadap laki-laki 6,5 : 1 (Mealy et al., 2012; Marie & Gryba, 2013).

Laporan Kasus Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, 26 Februari 2020
2

Penegakan diagnosa dan tatalaksana penyakit SLE dengan manifestasi neuropsikiatri


sebaiknya dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga meminimalkan komplikasi yang akan
terjadi. Dalam makalah ini kami laporkan seorang pasien SLE dengan manifestasi Neuromyelitis
Optika beserta tatalaksananya.

KASUS
Seorang perempuan Nn. FZ, 24 tahun, suku Jawa, beragama Islam, pekerjaan swasta, dan
alamat Surabaya. Pasien datang dengan keluhan kedua mata kabur dirasakan sejak 3 bulan SMRS.
Mata kabur diawali pada mata kiri yang muncul secara mendadak selang satu minggu kemudian
mata kanan dirasakan kabur juga. Keluhan mata kabur membuat pasien tidak dapat
membaca dan tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan nyeri di bola matanya terutama bila digerakkan, keluhan seperti mata berair dan mata
merah disangkal oleh pasien. Keluhan kelemahan pada kedua tungkai yang dialami sejak 2 bulan
yang lalu, keluhan diawali dengan perasaan kebas pada telapak kaki kanan yang menjalar sampai
ke lutut, satu minggu kemudian keluhan yang sama rasa kebas pada tungkai sebelah kiri, tetapi
pasien masih sanggup berdiri. Satu minggu kemudian keluhan bertambah berat pasien mengalami
kesulitan untuk melangkah sehingga perlu bantuan orang lain untuk berjalan, dan sejak saat itu
pasien juga mengalami kesulitan dalam berkemih dan buang air besar. Pasien juga merasa kulit
perut bagian depan sekitar pusar terasa berbeda bila diraba antara perut atas dan perut bawah,
keluhan pelo, kejang dan trauma disangkal. Panas badan sejak 3 bulan hilang timbul, panas sumer
sumer, batuk sejak 1 minggu dahak warna putih, tidak ada sesak, ada sariawan dan rambut rontok
sejak 1 tahun yang lalu. Tidak didapatkan keluhan mual maupun muntah, nafsu makan baik.
Riwayat penyakit sebelumnya, riwayat jatuh terduduk tidak ada, riwayat batuk lama tidak ada,
riwayat alergi dan penggunaan kaca mata maupun lensa kontak juga disangkal. Riwayat
hipertensi, kencing manis, stroke dan penyakit jantung, autoimun disangkal.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum lemah dengan GCS 456. Tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 80x/menit, irama teratur, kuat angkat, amplitudo normal. Pernafasan
18x/menit, suhu aksiler 36,8o C dan SpO2 99% tanpa support 02. Pemeriksaan kepala : konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterus, tidak didapatkan sianosis atau dispneu. Mata : pupil besar isokor
(PBI) 3mm/3mm, Visus oculi dextra dan sinistra (VOD/VOS) menurun, kiri lebih berat. Leher :
tidak didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis maupun pembesaran kelenjar getah bening
leher. Thorax : pergerakan simetris, tidak didapatkan retraksi. Pemeriksaan jantung : didapatkan
S1 dan S2 tunggal, teratur, tidak didapatkan suara bising jantung, irama gallop maupun suara gesek
perikard. Paru : suara napas vesikular pada kedua hemitoraks, tidak didapatkan ronkhi maupun
wheezing di kedua lapang paru. Abdomen: bising usus normal, supel pada perabaan. Hepar dan
lien tidak teraba. Ekstremitas : akral hangat kering merah, Capillary Refill Time < 2 detik, tidak
ada edema, tampak petekiae. Pemeriksaan neurologis motorik: Esktremitas atas didapatkan skor 2
pada otot fleksor dan ekstensordorsum manus dextra/sinistra. Sedangkan pada ekstrimitas bawah
3

didapatkan skor 2 pada otot fleksor dan ekstensor dorsum pedis dextra/sinistra serta skor 3 untuk
otot fleksor dan ekstensor knee dextra/sinistra. Sensorik didapatkan kesan menurun setinggi
segmen myelum Thorakal VII. Pada pemeriksaan reflek didapatkan skor 1 pada otot bisep, trisep,
knee dan achiles. Tidak didapatkan reflek patologis.
Pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium: GDA 78, Hb 13,6 g/dL, WBC 9600/μL, Plt
271.000/μL, SGOT 17 U/L, SGPT 14 U/L, BUN 62 mg/dL, SK 0,69 mg/dL, LED 27 mm/jam,
CRP 2,7 mg/dL, Natrium 137 mmol/L, Kalium 4 mmol/L, Clorida 96 mmol/L. HbsAg dan anti
HCV negatif. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan pH 6,0 nitrit +, protein 2+, leukosit 1+,
eritrosit 2+. ANA Test positif. Foto Thoracolumbal : Tak Tampak Kelainan.
Hasil konsul Neurologi didapatkan GCS : 456, Pemeriksaan motorik ektremitas atas
didapatkan skor 2 pada otot fleksor dan ekstensor dorsum manus dextra/sinistra. Sedangkan pada
ekstremitas bawah didapatkan skor 2 pada otot fleksor dan ekstensor dorsum pedis dextra/sinistra
serta skor 3 untuk otot fleksor dan ekstensor knee dextra/sinistra. Pada pemeriksaan sensorik
didapatkan hipoestesia setinggi segmen myelum Thorakal VII. Pada pemeriksaan reflek
didapatkan skor 1 pada otot bisep, trisep, knee dan achiles. Tidak didapatkan reflek patologis.
Kesimpulan: Tetraparase UMN dan hipestesia setinggi segmen myelum Th VI - VII, retensi urine
dan alvi. Dengan saran planning diagnosa MRI Thoracolumbal dan kontras. Saran terapi : Injeksi
Metilprednisolon 250 mg dalam PZ 500ml intravena dalam 8 jam selama 3 hari.
Hasil konsul Mata didapatkan : VOD 1/60 dan VOS 2/60. Tekanan Intra Oculi (TIO)
dextra/sinistra : 14.6 mmHg (10-20). Dan pada pemeriksaan funduskopi didapatkan hiperemia
papil N.II dextra/sinistra. Kesimpulan Papil atrofi ec s. Neuritis Optik. Saran terapi : injeksi
Metilprednisolon 1000 mg dalam PZ 100ml dalam 6 jam selama 3 hari
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis
kerja SLE, Tranverse Myelitis, dan suspek Neuritis Optika dd/ Multiple Sklerosis dd/ Tumor
Myelum. Diberikan terapi sementara dengan Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein 2100 kkal/hari dan
Injeksi Metylprednisolon Pulse Dose 500 mg intravena (3 Hari), Injeksi Ranitidin 50mg/12 jam,
N-Asetylsistein 200mg/ 8jam, Mecobalamin 500mcg /12 Jam (PO), Vit B Kompleks/ 12 jam (PO),
CaCO3 600mg/24 jam.

PERJALANAN PENYAKIT
Pada perawatan hari ke 4 pasien merasakan kelemahan anggota gerak masih tetap,
penglihatan belum membaik. Keadaan cukup, tekanan darah 120/80 mmHg, RR 18x/menit, Nadi
90x/menit, suhu 36,70 C, SpO2 99% tanpa 02 support. VOD/VOS masih tetap. Pemeriksaan
Neurologis dan Motorik belum ada perbaikan. Pemeriksaan Laboratorium C3 36,3 mg/L, C4 34,4
mg/L. Diberikan terapi Metilprednisolon 62,5 mg intravena, drip siklofosfamid 750mg intravena
(hari ke 4), N-Asetylsistein 200mg/ 8jam, Mecobalamin 500 mcg/12 Jam (PO), Vit B Kompleks/
12 jam (PO), CaCo3 600mg/24 jam. Pasien direncanakan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi
4

ginjal dan tes fungsi liver post pemberian siklofosfamid, dan pemeriksaan MRI Thorakolumbal
dengan kontras.
Pada perawatan hari ke 7 pasien merasakan penglihatan belum membaik, kaki kanan sudah
mulai bisa di gerakkan sedikit. Keadaan cukup, tekanan darah 120/80 mmHg, RR 18x/menit, Nadi
90x/menit, suhu 36,70 C, SpO2 99% tanpa 02 support. VOD/VOS masih tetap. Pemeriksaan
Neurologis dan Motorik ada perbaikan ektremitas inferior dextra. Diberikan terapi
Metilprednisolon 62,5 mg intravena, CaCo3 600mg/24 jam. Hasil laboratorium: GDA 78, Hb 10,2
g/dL, WBC 7700/μL, Plt 252.000/μL, SGOT 12 U/L, SGPT 14 U/L, BUN 12 mg/dL, SK 0,6
mg/dL, pasien KRS melanjutkan perawatan ke poli Rematologi.
Kontrol Poli pada tanggal 28 Juni 2018, keluhan kelemahan pada kedua kaki mulai
membaik, sudah bisa di gerakkan namun masih kesulitan untuk berjalan sehingga pasien
menggunakan kursi roda, keluhan mata kabur belum membaik, dan masih mengeluhkan susah
BAB dan BAK, pasien masih menggunakan kateter. Keadaan cukup, Tekanan Darah 120/80
mmHg, RR 18x/menit, Nadi 90x/menit, suhu 36,70 C, Diberikan Terapi Metilprednisolon 16mg –
16 mg – 0 (Tappering Down), Laktulosa Syrup 3x 2cth (PO), Omeprazole 1x 30 mg (PO),
Mecobalamin 2x1 (PO), B1B6B12 2x1 (PO), CaCo3 600mg 1x1 (PO).
Kontrol Poli pada 30 Juli 2018 pro siklofosfamid ke II. Keluhan kelemahan pada kedua
kaki mulai membaik, keluhan mata kabur belum membaik, dan belum bisa buang air kecil
sehingga pasien masih menggunakan kateter. Pasien membawa hasil MRI dengan Hasil
Transverse Myelitis setinggi Vertebra Cervical IV-VII. Keadaan cukup, tekanan darah 100/80
mmHg, RR 20 x/menit, Nadi 90x/menit, suhu 36,70 C, Diberikan terapi Siklofosfamid 500 mg
intravena, Metilprednisolon 16mg – 16 mg – 0 (Tappering Down), Laktulosa Syrup 3x 2cth (PO),
Omeprazole 1x 30 mg (PO), Mecobalamin 2x1 (PO), B1B6B12 2x1 (PO), CaCo3 600mg 1x1
(PO).
Kontrol poli pada tanggal 1 Agustus 2018 pro siklofosfamid Ke III. Keluhan kelemahan
pada kedua kaki mulai membaik, nyeri pada daerah dada, nyeri dada tidak menjalar, keluhan mata
kabur belum membaik, dan pasien sudah bisa BAK. Keadaan cukup, tekanan darah 100/80 mmHg,
RR 20 x/menit, Nadi 90x/menit, suhu 36,70 C, Hasil Pemeriksaan Foto Thoraks dengan hasil Cor
dan Pulmo dalam batas normal, EKG Sinus Ritme 90x/menit. Diberikan terapi Siklofosfamid 500
mg intravena, Metilprednisolon 4mg 1x1(PO), Omeprazole 1x 30 mg (PO), Mecobalamin 2x1
(PO), B1B6B12 2x1 (PO), CaCo3 600mg 1x1 (PO).
Kontrol Poli pada 5 September 2018 pro Siklofosfamid ke IV. Keluhan kelemahan pada
kedua kaki mulai membaik kaki sudah perlahan lahan bisa di gerakkan, mata kabur mulai membaik
bisa mengenali bentuk dan cahaya warna belum. Keadaan cukup, tekanan darah 100/80 mmHg,
RR 20 x/menit, Nadi 90x/menit, suhu 36,70 C, diberikan terapi Siklofosfamid 500 mg intravena,
Metilprednisolon 4mg 1x1(PO), Omeprazole 1x 30 mg (PO), Mecobalamin 2x1 (PO), B1B6B12
2x1 (PO), CaCo3 600mg 1x1 (PO).
5

Kontrol pada 8 Oktober 2018 pro Siklofosfamid ke V. Pasien datang dengan keluhan
kelemahan anggota gerak kiri membaik, pasien sudah bisa angkat tangan kiri. Penglihatan kabur
membaik bisa mengenali bentuk dan cahaya. Keadaan cukup, tekanan darah 100/80 mmHg, RR
20 x/menit, Nadi 90x/menit, suhu 36,70 C, MRI Kepala dengan kontras : Saat ini tak tampak
lesi hypointense/ hyperintense di brain parenchyme, yang dengan pemberian kontras tak
tampak abnormal contrast enhancement. Pasien MRS diberikan terapi Siklofosfamid 750 mg
intravena, Metilprednisolon 4mg 1x1(PO), Omeprazole 1x 30 mg (PO), Mecobalamin 2x1 (PO),
B1B6B12 2x1 (PO), CaCO3 600mg 1x1 (PO).
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis
SLE, Transverse Myelitis dan Neuritis Optika. Pasien di terapi Metilprednisolon 4mg 1x1(PO),
Omeprazole 1x 30 mg (PO), Mecobalamin 2x1 (PO), B1B6B12 2x1 (PO), CaCO3 600mg 1x1
(PO).

PEMBAHASAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik kompleks yang
ditandai dengan terbentuknya berbagai macam antibodi yang membentuk kompleks imun dan
menimbulkan reaksi inflamasi pada berbagai organ didalam tubuh. Etiologi yang berperan adalah
faktor hormonal yang dipicu oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan sebagai pencetus antara
lain : infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian antibiotik, stres mental atau fisik dan obat obatan
(Yuliasih, 2015; Isbagio, 2015). Terdapat 11 kriteria diagnosis SLE menurut American College of
Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997 yaitu ruam malar, ruam diskoid, fotosensitiftas, ulkus
mulut, artritis, serositis, gangguan hati, gangguan renal, gangguan neurologi, gangguan
hematologi, gangguan imunologi, ANA positif. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria, diagnosis SLE
memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan
(Ikatan Reumatologi Indonesia, 2011; Dall’era et al., 2013).
American College of Rheumatology (ACR) tahun 1999 menyebutkan Transverse Myelitis
sebagai salah satu kriteria Neuropsikiatri SLE (NPSLE). Keterlibatan Central Nervous System
(CNS) pada penyakit SLE lebih sering terjadi dibanding dengan sistem saraf tepi maupun otonom.
Apabila melibatkan sistem saraf tepi paling sering menunjukkan gejala neuropati sensorik dan
motorik distal (66%) sedangkan mononeuritis, poliradikulopati akut atau kronik sangat jarang
terjadi (Tutuncu et al., 2007).
NMO atau devic syndrom adalah penyakit inflamasi idiopatik dari sistem saraf pusat, yang
secara episodik mempengaruhi saraf optik dan sumsum tulang belakang. Hal ini ditandai dengan
kerusakan selubung mielin, dalam hubungan dengan area nekrosis, pembentukan rongga,
limfositosis perivaskular dan dalam kasus yang lanjut terjadi pembentukan jaringan glia
6

(Splendiani et al., 2015). Lucchinetti dkk meneliti 9 kasus NMO dimana pada sumsum tulang
belakang yang diotopsi dan mengkonfirmasi temuan area nekrosis yang menonjol dengan kavitasi,
demielinisasi, dan proliferasi vaskular dan hialinisasi. Didapatkan Infiltrasi makrofag sama halnya
juga terdapat pada kasus Multiple Sklerosis (MS).
Sekitar tiga perempat dari pasien NMO memiliki antibodi Aquaporin-4. Aquaporin-4,
adalah protein pada sistim saraf pusat. Ini membentuk saluran air pada astrosit, sel yang paling
banyak di otak dan sumsum tulang belakang. Saluran-saluran ini memungkinkan air mengalir
melintasi membran sel astrosit, sehingga mencegah pembengkakan pada otak dengan membiarkan
kelebihan air masuk ke aliran darah. Setelah antibodi Aquaporin-4 memasuki Susunan Saraf Pusat
(SSP), ia berikatan dengan saluran air pada astrosit. Pelindung antibodi mengaktifkan sistem
komplemen, yang menghasilkan pembentukan membrane attack complex yang akan merusak
saluran astrosit, sebuah proses yang disebut Complement Dependent Cytotoxity, atau CDC.
Lapisan antibodi juga mengerahkan sel-sel kekebalan yang selanjutnya merusak astrosit, suatu
proses yang disebut Antibody Dependent Cellular Cytotoxity, atau ADCC. Begitu astrosit mati,
oligodendrosit dan sel saraf mati juga, sehingga tanpa oligodendrosit, terjadi kerusakan selubung
mielin di sekitar serabut saraf.

Gambar 1. Patogenesis Neuromielitis Optika

Gejala NMO berupa kebutaan sementara, kadang-kadang permanen, unilateral ataupun


bilateral, terkait dengan neuritis optik atau neuritis retrobulbar. Hal ini juga dapat menyebabkan
berbagai tingkat kelemahan otot atau kelumpuhan ekstremitas atas dan atau bawah, simptom
otonom bervariasi dari peningkatan urgensi kemih, inkontinensia urin dan atau disfungsi usus pada
kasus keterlibatan sumsum tulang belakang. NMO memiliki kesamaan dengan MS, tetapi NMO
tidak menyebabkan kerusakan pada saraf di otak sebanyak MS. Neuritis Optik yang timbul dari
NMO cenderung lebih parah daripada neuritis optik yang terkait dengan MS (Splendani et al.,
7

2015). Defisit neurologis dan gejala klinis SLE terkait transverse myelitis tidak berbeda dengan
transverse myelitis dengan etiologi lainnya. Gejala-gejala ini termasuk paraparesis akut atau sub-
akut dari ekstremitas bawah, dengan flaksiditas awal diikuti oleh kelemahan. Sebagian besar
pasien memiliki gejala dengan kelainan sensorik. Disfungsi sensorik yang khas termasuk nyeri,
disestesia, dan parestesia. Parastesia merupakan tanda awal yang paling umum terjadi pada
transverse myelitis pada orang dewasa, keterlibatan medulla spinalis pada sebagian besar pasien,
begitu pula nyeri dan suhu. Gejala otonom yaitu berupa peningkatan urgensi kemih, inkontinensia
kandung kemih, dapat juga memberikan gejala konstipasi dan disfungsi seksual. Tanda-tanda dan
gejalanya tergantung pada tingkat tulang belakang yang terlibat. Lebih dari 80% pasien
mendapatkan tanda klinis dalam waktu 10 hari sesudah onset, walaupun perburukan fungsi
neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung 4-21 hari (Krishnan et al.,
2009).
Keluhan kedua mata kabur dan nyeri pada bola matanya terutama apabila digerakkan.
kelemahan pada kedua tungkai yang dialami sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan kesemutan disertai
dengan keluhan nyeri pada sendi sendi, pasien mengalami kesulitan dalam berkemih dan kesulitan
buang air besar. Pada pemeriksaan neurologis: kekuatan motorik otot fleksor dan ekstensor
dorsum manus dextra/sinistra, otot fleksor dan ekstensor dorsum pedis dextra/sinistra dan otot
fleksor dan ekstensor knee dextra/sinistra menurun. Pada pemeriksaan sensorik didapatkan
hipoestesia setinggi segmen myelum Th VII. Pada pemeriksaan Reflek didapatkan skor 1 pada otot
bisep, trisep, knee dan achiles. Hasil konsul Mata didapatkan : VOD 1/60 dan VOS 2/60, Tekanan
intra oculi (TIO) dextra/sinistra: 14.6 mmHg (10-20), pemeriksaan funduskopi didapatkan
hiperemia papil N.II dextra/sinistra
MRI adalah modalitas pilihan untuk mengidentifikasi lesi intramedula dari sumsum tulang
belakang. MRI tulang belakang dan otak sangat penting dalam menyingkirkan adanya kompresi
medula spinalis dan untuk membedakan subtipe dari mielitis demielinasi akut. Deteksi lesi
inflamasi pada sumsum tulang belakang dapat dilakukan dengan pemberian gadolinium intravena
pada gambar T1-Weighted. MRI pada tranverse myelitis dapat dilihat sebagai lesi intensitas tinggi
yang terdeteksi pada gambar T2-weighted, yang mengindikasikan peradangan interstitial. Pada
hasil MRI, segmen tulang belakang yang terkena, dideskripsikan sebagai short atau transverse,
jika kurang dari 2–3 segmen tubuh vertebral sedangkan lesi long atau extensive melibatkan lebih
dari 3 vertebra. Selain MRI, pemeriksaan Spinal Cord Fluid (CSF) adalah pemeriksaan untuk
mendeteksi ada tidaknya peradangan sumsum tulang belakang (Kolfenbach et al, 2011; Splendani
et al., 2015).
Hasil MRI Thoracolumbal pasien (Tanggal 11 Juli 2018) tampak lesi di central canal
setinggi VC IV-VIyang isointense pada T1W1, hyperintense pada T2W1 dan tidak menunjukkan
contrastenhancement dengan pemberian contrast, kesimpulan : Transverse Myelitis setinggi
Vertebra Cervical IV-VII.
8

Kriteria diagnosis NMO terdiri dari kriteria absolut ditambah kurang lebih dua dari tiga
kriteria suportif. Kriteria Absolut adalah adanya (1) Neuritis Optika (2) Myelitis Akut, untuk
kriteria suportif adalah (1) MRI kepala hasil Negative (2) MRI Tulang belakang dengan abnormal
sinyal T2 (3) Status seropositive IgG -NMO (Kolfenbach et al., 2011; Wingerchuk &
Weinshenker, 2014).
Pasien memenuhi kriteria diagnosis dengan ditemukan 2 kriteria absolut Neuritis Optik
dan Myelitis Akut, dengan memenuhi 2 kriteria suportif dengan hasil MRI kepala negatif dan MRI
tulang belakang yang menunjukkan hasil Transverse Myelitis setinggi Vertebra Cervical IV-VII.
Tatalaksana Transverse Myelitis terkait SLE dikhususkan terutama dari pengobatan SLE dan
mielitis inflamasi idiopatik. Dimana pengobatan ditujukan untuk menekan proses inflamasi dan
menghentikan progresifitas dari penyakit. Tujuan jangka panjang ditujukan untuk mencegah
kerusakan dari neuron ataupun kehilangan fungsi. Terdapat tiga kriteria derajat aktivitas penyakit
pada SLE yaitu ringan, sedang, dan berat. Penilaian derajat aktivitas ini yang paling mudah dapat
diukur melalui skor MEX SLEDAI dengan nilai skor <2 (ringan), 2-5 (sedang), dan >5 (berat).
Pasien SLE dengan derajat berat dapat diterapi dengan pulse kortikosteroid (dosis 0,5-1 gram)
untuk mengurangi gejalanya (Hoes, 2007; Kasjmir, 2007). Berikut adalah penilaian aktivitas
penyakit SLE menggunakan skor MEX SLEDAI meliputi (Kasjmir et al, 2007) :
a. Gangguan Neurologis (bobot 8) meliputi : Psikosa, Cerebrovaskular attack bukan karena
aterosklerosis, Kejang (new onset, bukan karena kondisi metabolik), sindrom otak organik,
mononeuritis yang berupa defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih saraf kranial
atau perifer dan Myelits yang berupa paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB dengan
onset yang baru (eksklusi penyebab lainnya).
b. Gangguan Ginjal (bobot 6) meliputi hematuria, proteinuria dan peningkatan serum kreatinin
(bukan disebabkan oleh batu atau infeksi)
c. Vaskulitis (bobot 4)
d. Hemolisis dan Trombositopeni (bobot 3) yang bukan karena obat-obatan
e. Miositis (bobot 3) yang ditandai nyeri otot dan peningkatan CPK
f. Artritis (bobot 2) ditandai dengan pembengkakan atau efusi > 2 sendi.
g. Gangguan Muskulokutaneus (bobot 2): adanya ruam malar, mucous ulcers, dan
abnormal alopenia.
h. Serositis (bobot 2) bisa berupa pleuritis, perikarditis dan peritonitis
i. Demam, fatigue, leukopenia dan limfopeni masing-masing diberikan bobot 1
Pemberian pulse dose kortikosteroid bersama dengan immunosupresan masih merupakan
rekomendasi para klinisi. Dikatakan bahwa perbaikan manifestasi Transverse myelitis pada
penderita SLE lebih terlihat pada pemberian kortikosteroid dan imunosupresan secara intravena
secara bersamaan. Adapun dosis yang disarankan adalah dosis pulse dose kortikosteroid (500 -

1000mg/hari selama 3 hari) dan dosis siklofosfamid sebesar 500-1000mg/m2 single dose tiap 4
minggu sebanyak 6 kali. Selain medikamentosa juga sangat penting bagi pasien untuk segera
9

menjalani fisioterapi. (Kovacs, 2000; Petri M, 2011; Perhimpunan Reumatologi, 2011; Yuliasih,
2015).
Plasma Exchage kadang-kadang digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun berat
dengan menghilangkan autoantibodi, komponen komplemen yang diaktifkan, faktor koagulasi dan
sitokin. Manfaat positif Plasma Exchange telah dilaporkan pada pasien dengan NPSLE refrakter.
Secara empiris, glukokortikoid telah digunakan dalam kombinasi dengan agen imunosupresif
lainnya yang meliputi mikofenolat, azatioprin, Imunoglobulin Intravena (IVIG) dan rituximab.
Rituximab adalah antibodi Anti-CD20 monoklonal yang mendplesi sel B, dilaporkan efektif dalam
pengobatan SLE dengan transverse myelitis onset baru dan NPSLE refraktori terhadap agen
imunosupresif standar, Plasma Exchange, dan atau terapi imunoadsorpsi. Rituximab biasanya
diberikan dalam kombinasi dengan glukokortikoid. Setelah terapi induksi dengan glukokortikoid
intravena dan siklofosfamid dosis tinggi, sebagian besar pasien diberikan terapi lanjutan berupa
azatioprin, metotreksat, mikofenolat, atau siklofosfamid oral dengan atau tanpa steroid dosis
rendah. Penggunaan imunosupresif biasanya direkomendasikan untuk 3 tahun atau lebih walaupun
durasi terapi pemeliharaan yang optimal belum ditentukan (Li et al., 2017).
Pasien dengan SLE memiliki risiko kematian hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan
populasi umum. Dan keterlibatan dengan organ utama menunjukkan prognosis yang lebih buruk.
Hingga saat ini, penelitian retrospektif terbatas telah diterbitkan mengenai hasil dan prognosis
transverse myelitis terkait SLE. Prognosis transverse myelitis yang berhubungan dengan SLE tidak
menguntungkan (tetraplegia, atau paraplegia, kehilangan fungsi sensorik, disfungsi sfingter)
hingga 25-66,7% dengan berbagai definisi hasil dan pengamatan. Selain itu, ada tingkat
kekambuhan yang tinggi, dilaporkan antara 21% dan 55% dan 50%. Remisi parsial telah
dilaporkan antara 50% dan 62,5% dan pemulihan total telah dilaporkan 7,1-27,8% dengan periode
pengamatan yang beragam. Ada hubungan antara tingkat keparahan gejala motorik saat onset dan
prognosis, mereka dengan gejala yang lebih parah seperti paraplegia, memprediksi prognosis yang
lebih buruk (Li et al., 2017). Pasien dengan SLE dapat mengalami serangan dengan manifestasi
klinis neuritis optik yang diikuti oleh penyakit yang berlangsung progresif akan memberikan
prognosis yang buruk (Rosenbaum et al., 2013).

RINGKASAN
Telah dilaporkan pasien wanita muda usia 23 tahun dengan diagnosis SLE dengan
Transverse Myelitis dan Neuritis Optika. Presentasi klinis pada pasien ini berupa kelemahan 4
ekstremitas, penurunan visus pada kedua mata. Hasil pemeriksaan fisik, laboratorium serta
penunjang memenuhi kriteria klasifikasi SLE, Transverse Myelitis dan Neuritis Optika. Dasar
diagnosis NMO Pasien memenuhi kriteria diagnosis dengan ditemukan Neuritis Optik dan
Myelitis Akut, dengan memenuhi 2 kriteria suportif dengan hasil MRI kepala normal dan MRI
tulang belakang yang menunjukkan hasil Transverse Myelitis setinggi Vertebra Cervical IV-VII.
Pasien mendapatkan terapi kortikosteroid pulse dose 500 mg selama 3 hari dan siklofosfamid
10

setiap 4 minggu selama 6 bulan. Pasien dengan SLE dapat mengalami serangan dengan manifestasi
klinis neuritis optik yang diikuti oleh penyakit yang berlangsung progresif akan memberikan
prognosis yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA

Dall’era M & Wofsy D, 2013. The clinical features of Systemic Lupus Erytematous, in G. Firestein
(ed.), Kelley’s Textbook of Rheumatology, 9th edn, Elsevier, California, pp.1269- 42
Frigui M, Frikha F, Sellemi D, Chouayakh F, Feki J, Bahloul Z. 2011. Optic Neuropathy as a
presenting feature of Systemic Lupus Erythematosus : Two Case And Literature Review.
Tunisia. 1214 -8
Hans HB, 2015. Systemic Lupus Erytematous, in Kasper D.L. Kasper (ed.), Harrison’s Principles
of Internal Medicine, 19th edn, McGraw Hill Education, New York, pp.2124-33.
Ikatan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik,
Rekomendasi Perhimpunan Rheumatologi Indonesia.
Isbagio H & Albar Z ,2015. Sistemik Lupus Eritematosus, in S.Setiati (ed.), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 6th edn, Interna Publishing,
Jakarta, pp:1224-1231.
Kaplin AI, Krishnan C, Deshpande DM, Pardo CA, Kerr DA. 2005. Diagnosis and management
of acute myelopathies. Neurologist ;11(1):2–18.
Kovacs B, Lafferty TL, Brent LH, Dehoratius RJ. 2000. Transversemyelopathy In Systemic Lupus
Erythematosus : an analysis of 14 cases and review of the literature. Philadelphia. 120-4
Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H, Hermansyah, Keria N,
Achadiono DNW, Manuaba IARW, Suarjana N, Dewi S & Ongkowijaya JA, 2011.
Rekomendasi Perhimpunan Rematologi Indonesia untuk diagnosis dan pengelolaan lupus
eritematosus sistemik. Perhimpunan Rematologi Indonesia, Jakarta, 27-31.
Kasjmir, Yoga, Kusworini H, Linda K, Laniyati H, Zuljasri A, Handono K, Hermansyah N,
Nyoman K, Deddy N, Ida A, Sumartini D, Jeffrey A, Harry I, Bambang S & Nyoman S,
2015. Diagnosis dan Pengelolaan Systemic Lupus Erythematosus. In: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 6th edition, Interna Publishing, Jakarta, 3362-2269.
Krishnan C, Kaplin AI, Deshpande DM, Pardo CA, Kerr DA. Transverse Myelitis; Pathogenesis,
Diagnosis And Treatment. Bioscience 2009; 9: 1483-99
Lin YC, An GW & May YY. 2009. Systemic Lupus Erythematosus- Associated Optic Neuritis :
Clinical experience and literature review. Taipei. 204 - 210
Li XY, Hai BX & Peral Pai. 2017. Myelitis in systemic lupus Erythematosus : Journal of Cinical
Neuroscience. China. 1-4
11

Rosenbaum JT, Trune DR, Barkhuizen A & Lim L. 2013. Ocular, Aural and Oral Manifestations
: Dubois Lupus Erythematosus and Related Syndromes, Eight Edition, 393-411
Scott TF, Frohman EM, De Seze J, Gronseth GS, Weinshenker BG. 2011. Clinical Evaluation And
Treatment Of Transverse Myelitis: Report Of The Therapeutics And Technology
Assessment Subcommittee Of The American Academy Of Neurology. Neurology
;77(24):2128–34.
Smith CH.2005. Optic Neuritis. In: Miller NR et al. (ed.). Walsh and Hoyt’s Clinical Neuro-
ophthalmology, 6th edn. Vol. 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wil- kins 293–347
Tutuncu ZN & Kalunian KC, 2007. The Definition and Classification Of Systemic Lupus
Erythematosus, in D.Wallace, BH Hahn, (eds), Duboi’s lupus erythematosus. 7th edn.
Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, pp.16-19.
Weinshenker BG, Wingerchuk DM, Vukusic S, Linbo L, Pittock SJ, Lucchinetti CF, Lennon VA.
2006. Neuromyelitis optica IgG predicts relapse after longitudinally extensive transverse
myelitis. Ann Neurol;59(3):566–9.
West GS, 2007. The Clinical Aspect Of The Nervous System, in D.Wallace, BH Hahn, (eds),
Duboi’s Lupus Erythematosus. 7th edn. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia,
pp.379-403.
Wilhelm H, Schabet M. 2015. The Diagnosis and Treatment of Optic Neuritis. Dtsch Arztebl Int.
616-24
Yuliasih, 2015. Lupus Eritematous Sistemik, in A. Tjokroprawiro (ed.), Buku ajar ilmu penyakit
dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 2nd edn, Airlangga University Press,
pp.568-570

Anda mungkin juga menyukai