Anda di halaman 1dari 127

Drs. Tarpin, M. Ag.

MODUL
PEMBELAJARAN
PENGANTAR STUDI
ISLAM
(MEMAHAMI WAWASAN KEISLAMAN)

JAKARTA

2019

Pengantar Studi Page 1


Islam
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, untaian puji serta syukur diiringi sujud ke


hadirat Allah SWT, atas segala limpahan karunia, inayah dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Modul
Pembelajaran Pngantar Studi Islam (Memahami Wawasan
Keislaman) ini. Shalawat serta salam, semoga senantiasa tercurah
kepada Sang pemimpin, tauladan Rasulullah Muhammad SAW, juga
kepada keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya yang meniti
jalan perjuangannya hingga hari akhir.
Dengan hadirnya Modul Pembelajaran Pngantar Studi Islam
(Memahami Wawasan Keislaman) ini mudah-mudahan dapat
membantu mahasiswa dalam mempelajari studi tentang Islam dan
metode-metode mempelajarinya secara komprehensip. Materi ini
bukanlah hasil karya penulis semata, namun terdapat pula kontribusi
para mahasiswa kelompok diskusi yang telah mengirimkan
makalahnya yang berkembang dalam diskusi kelas yang sumbernya
juga diambil bukan saja dari buku, tetapi juga dari internet.
Akhirnya, penyusun menyadari bahwa hasil ini belum
maksimal oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
membangun sehingga terjadi suatu sinergi yang pada akhirnya akan
membuat modul ini bisa lebih disempurnakan untuk kemajuan ilmu
pengetahuan, khussnya ilmu akhlak.

Jakarta, 10 Agustus 2019

Penulis
MODUL
PEMBELAJARAN PENGANTAR STUDI ISLAM

(MEMAHAMI WAWASAN KEISLAMAN)

Penulis : Drs. Tarpin, M.Ag


Editor : Heri Setiawan
Lay Out : Heri Setiawan
Desain Cover : Endah Nurmaghfirof F.

Hak Cipta dan Penerbitan dilindungi undang-undang


Dilarang mencopy dan memperbanyak isi buku ini

Copy right @2019 ada pada penulis


Cetakan 1, Agustus 2019

ISBN

Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA MANDIRI

Jl. Cisalatri Cipadung Cibiru-Bandung 40614


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................4

BAB I KEBUTUHAN MANUSIA KEPADA AGAMA..........5-14


BAB II PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM.................15-22

BAB III MISI AJARAN ISLAM.........................................23-34

BAB IV METODOLOGI PEMAHANAN ISLAM DAN


TEORI PENELITIAN AGAMA................................... 35-42

BAB V MODEL PENELITIAN TAFSIR..........................43-55

BAB VI MODEL PENELITIAN HADITS................................ 56-63

BAB VII MODEL PENELITIAN FILSAFAT ISLAM...............64-69

BAB VIII MODEL PENELITIAN ILMU KALAM.....................70-75

BAB IX MODEL PENELITIAN TASAWUF........................... 76-82

BAB X MODEL PENELITIAN FIKIH.................................... 83-90

BAB XI MODEL PENELITIAN PENDIDIKAN ISLAM........91-100

BAB XII MODEL PENELITIAN SEJARAH ISLAM..............101-104

BAB XIII ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN.....................105-119

DAFTAR PUSTAKA RUJUKAN..........................................120-121

LAMPIRAN UTS DAN UAS................................................122-125


BAB I
KEBUTUHAN MANUSIA KEPADA AGAMA
A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara
makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segala keinginan dan
kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Di samping
itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu
yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya.
Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia gelisah dan
kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan
irrasionalitas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda
merupakan bukti adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh
rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kepercayaan manusia akan kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup di dunia dan akhirat yang tergantung pada hubungan manusia
dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketakutan manusia apabila
hubungan baik manusia dengan kekuatan gaib tersebut hilang, maka
hilang pulalah kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari.
Kemudian menurut sebagian para ahli rasa ingin tahu dan rasa
takut itu menjadi pendorong utama tumbuh suburnya rasa keagamaan
dalam diri manusia. Manusia merasa berhak untuk mengetahui dari
mana dirinya berasal, untuk apa dia berada di dunia, apa yang mesti
manusia lakukan demi kebahagiannya di dunia dan alam akhirat
nanti, yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah agama. Karenanya, sangatlah logis apabila agama selalu
mewarnai sejarah manusia dari dahulukala hingga kini, bahkan
sampai akhir nanti.1. Lantas benarkah hanya rasa takut dan ingin tahu
tersebut yang menjadikan manusia membutuhkan agama dalam
kehidupan mereka?. Dalam makalah yang sederhana ini akan diulas
bagaimana agama dapat menjadi kebutuhan bagi manusia.

B. Definisi Agama
Secara etimologis Agama berasal dari bahasa Sanskerta yang
tersusun dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti “pergi”.
Dalam bentuk harfiah yang terpadu, kata agama berarti “tidak pergi”,

1 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), hlm. 12.


tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus-
menerus dari satu generasi kepada generasi yang lainnya2.
Pada umumnya, kata “agama” diartikan tidak kacau, yang
secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata,
yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”. Maksudnya
orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya
dengan sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.3]
Secara terminologi menurut sebagian orang, agama
merupakan sebuah fenomena yang sulit didefinisikan. WC Smith
mengatakan,
"Tidak berlebihan apabila dikatakan hingga saat ini belum
ada definisi agama yang benar dan dapat diterima".
Meski demikian, para cendekiawan besar dunia memiliki
definisi, tentang fenomena agama. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.Emile Durkheim mengartikan agama sebagai suatu kesatuan sistem
kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang sakral,
kemudian kepercayaan dan pengalaman tersebut menyatu ke
dalam suatu komunitas moral.
2. Karl Mark berpendapat agama adalah keluh kesah dari makhluk
yang tertekan hati dari dunia yang tidak berhati, jiwa dari keadaan
yang tidak berjiwa, bahkan menurut pendapatnya pula agama
dijadikan sebagai candu bagi masyarakat.
3. Spencer mengatakan agama adalah kepercayaan akan sesuatu yang
Maha mutlak.
4. Dewey menyebutkan agama sebagai pencarian manusia akan cita-
cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang
dapat mengancam jiwanya, agama adalah pengenalan manusia
terhadap kekuatan gaib yang hebat.
5. Sebagian pemikir mengatakan apa saja yang memiliki tiga ciri khas
yang dapat disebut sebagai agama:
a. Keyakinan di balik alam materi ini ada alam yang lain,
b. Penciptaan alam memiliki tujuan,
c. Alam memiliki konsep etika.

2 H. Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: Pustaka Setia),


hlm. 19.
3 A. Hafidh Al-Kaf, dalam makalah “Manusia dan Agama” hlm. 3
Pada semua definisi tersebut, terdapat satu hal yang menjadi
kesepakatan dari semua para cendekiawan besar dunia, yaitu
kepercayaan akan adanya sesuatu yang agung di luar alam. Namun,
lepas dari semua definisi yang ada di atas maupun definisi lain yang
dikemukakan oleh para pemikir dunia lainnya, kita meyakini agama
adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu
kepada para nabi-Nya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di
dunia dan akhirat. Dari sini, manusia dapat menyatakan agama
memiliki tiga bagian yang tidak terpisah, yaitu akidah (kepercayaan
hati), syari'at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak
(konsep untuk meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-
Nya). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri asas terpenting dari
agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.

C. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama


Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan
di luar dirinya. Dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan
hidup, musibah, dan berbagai bencana. Manusia mengeluh dan
meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat
membebaskannya dari keadaan tersebut. Naluriah membuktikan
manusia perlu beragama dan membutuhkan Sang Khaliknya.4
Beberapa ahli pakar ada yang berpendapat bahwa benih
agama adalah rasa takut yang kemudian melahirkan pemberian
sesajen kepada yang diyakini yang memiliki kekuatan menakutkan.
Seperti yang ditulis oleh Yatimin bahwa pada masa primitif, kekuatan
itu menimbulkan kepercayaan animisme dan dinamisme. Ia
memerinci bentuk penghormatan itu berupa:
1. Sesajian pada pohon-pohon besar, batu, gunung, sungai-sungai,
laut, dan benda alam lainnya.
2.Pantangan (hal yang tabu), yaitu perbuatan-perbuatan ucapan-
ucapan yang dianggap dapat mengundang murka (kemarahan)
kepada kekuatan itu.
3.Menjaga dan menghormati kemurkaan yang ditimbulkan akibat
ulah manusia, misalnya upacara persembahan, ruatan, dan
mengorbankan sesuatu yang dianggap berharga.
Rasa takut memang salah satu pendorong utama tumbuh
suburnya rasa keberagaman. Tetapi itu merupakan benih - benih yang

4 M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006),


hlm. 37.
ditolak oleh sebagian pakar lain. Seperti yang dikatakan oleh Quraish
Shihab bahwa terdapat hal lain yang membuat manusia merasa harus
beragama5. Freud ahli jiwa berpendapat benih agama dari kompleks
oedipus. Mula-mula seorang anak merasakan dorongan seksual
terhadap ibunya kemudian membunuh ayahnya sendiri. Namun
pembunuhan ini menghasilkan penyesalan diri dalam jiwa sang anak
sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh sang ayah. Di sinilah
bermula rasa agama dalam jiwa manusia.
Agama muncul dari rasa penyesalan seseorang. Namun bukan
berarti benih agama kemudian menjadi satu-satunya alasan bahwa
manusia membutuhkan agama. Karena kebutuhan manusia terhadap
agama dapat disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan
manusia. Untuk menjelaskan perlunya manusia terhadap agama
sebagai kebutuhan.

Terdapat empat faktor yang menyebabkan manusia


memerlukan agama. Yaitu:6]
a) Faktor Kondisi Manusia
Kondisi manusia terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur
jasmani dan unsur rohani. Untuk menumbuhkan dan
mengembangkan kedua unsur tersebut harus mendapat perhatian
khusus yang seimbang. Unsur jasmani membutuhkan pemenuhan
yang bersifat fisik jasmaniah. Kebutuhan tersebut adalah makan-
minum, bekerja, istirahat yang seimbang, berolahraga, dan segala
aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani membutuhkan
pemenuhan yang bersifat psikis (mental) rohaniah. Kebutuhan
tersebut adalah pendidikan agama, budi pekerti, kepuasan, kasih
sayang, dan segala aktivitas rohani yang seimbang.
b) Faktor Status Manusia
Status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna. Apabila dibanding dengan makhluk lain, Allah
menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kesempurnaan, yaitu
kesempurnaan akal dan pikiran, kemuliaan, dan berbagai kelebihan
lainnya. Dalam segi rohaniah manusia memiliki aspek rohaniah yang
kompleks. Manusia adalah satu-satunya yang mempunyai akal dan
manusia pulalah yang mempunyai kata hati. Sehingga dengan
kelengkapan itu Allah menempatkan mereka pada permukaan yang

5 Quraisy syihab, Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu


dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 210.
6 Yatimin, ibid., hlm. 39-42.
paling atas dalam garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya
manusia mengakui adanya Allah. Dengan hati nuraninya manusia
menyadari dirinya tidak terlepas dari pengawasan dan ketentuan
Allah. Dan dengan agamalah manusia belajar mengenal Tuhan dan
agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan sesamanya,
dengan kehidupannya, dan lingkungannya.
c) Faktor Struktur Dasar Kepribadian
Dalam teori psikoanalisis Sigmun Freud membagi struktur
kepribadian manusia dengan tiga bagian. Yaitu:
1) Aspek Das es yaitu aspek biologis, merupakan sistem yang orisinal
dalam kepribadian manusia yang berkembang secara alami dan
menjadi bagian yang subjektif yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan dunia objektif.
2) Aspek das ich, yaitu aspek psikis yang timbul karena kebutuhan
organisme untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
3) Aspek das uber ich, aspek sosiologis yang mewakili nilai-nilai
tradisional serta cita-cita masyarakat.

D. Latar Belakang Perlunya Manusia Kepada Agama

Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang melatarbelakangi


perlunya manusia terhadap agama. Ketiga alasan tersebut secara
singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Fitrah Manusia
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan
pertama kali dijelaskan dalam ajaran Islam, yakni agama adalah
kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya, manusia belum mengenal
kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, muncul beberapa orang
yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang
ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya
manusia pada agama 7.Oleh karenanya, ketika datang wahyu Tuhan
yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang
sejalan dengan fitrahnya itu.
Firman Allah Swt dalam QS.Ar-Rum:30,

7 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2004), cet. X, hlm. 16.
          
       
   

          


       
 

  


Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.
2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan
agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai
kesempurnaan juga memiliki kekurangan.8 Dengan kekurangan dan
kelemahan yang terdapat di dalam dirinya sehingga manusia dengan
fitrahnya merasakan kelemahan dirinya dan kebutuhan kepada
Tuhan agar menolongnya, menjaga dan memeliharanya dan
memberinya taufik.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia
telah diciptakan-Nya dengan batas-batas tertentu dan dalam keadaan
lemah. Firman ALLAH SWT, dalam QS.Al-Qomar:49,

     




Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu telah kami ciptakan
dengan ukuran batas tertentu”.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya dan keluar
dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan
jalan wahyu akan agama.9

Pengantar Studi Page 10


Islam
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama
adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

8 Abuddin Nata , Ibid, hlm. 23.


9 http://dinulislami.blogspot.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.26-
10-14.

Pengantar Studi Page 10


Islam
Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan
setan.
Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan
upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya
ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Sebagaimana firman Allah Swt Dalam surat Al-Anfal ayat 36
yang berbunyi:

          ¨


      
     

         


        
     
 

    


 
Artinya:”Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan
harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka
akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka,
dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang
yang kafir itu dikumpulkan”.
Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran
yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yanag
didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir dengan sengaja mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya.
Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain
sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu, upaya mengatasi dan
membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat
menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup yang demikian saat
ini semakin meningkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat
menjadi penting.

E. Urgensi Agama bagi Manusia


Manusia sejak di atas bumi ini dengan diturunkannya Adam,

Pengantar Studi Page 11


Islam
bapak manusia yang petama, dan Hawa, Ibu manusia, dari surga
negeri keselamatan, dia sangat membutuhkan hukum-hukum yang
pasti yang bisa menyeimbangkan keimanannya, mengatur
perilakunya, membatasi kecenderungannya dan mengantarkan kepada
kesempurnaan yang diciptakan dan disediakan untuknya pada kedua
kehidupannya. Pertama kehidupan yang dilalui manusia di atas bumi

Pengantar Studi Page 12


Islam
ini, kedua adalah kehidupan yang terjadi pada alam yang lain dari
bumi yang rendah ini, yaitu alam kesucian dan kebersihan pada
kerajaan tertinggi, sebagaimana diberitakan oleh Allah memalui
kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya yang diutus.
Agama menjadi sangat penting bagi manusia, dengan
aturannya yang khusus dia makan dan minum, mengatasi panas dan
dingin, dia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri,
maka dengan sunnah-sunnah yang telah ditetapkan oleh Tuhannya,
dia mengusahakan makanan dan minuman, pakaian, dan obat-obatan
serta tempat tinggal dan kendaraannya. Kondisi seperti ini menuntut
saling menolong dari setiap individu manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan mempertahankan keberlangsungan sampai
ajalnya tiba.
Manusia dengan fitrahnya merasakan kelemahan dirinya dan
kebutuhannya kapada Tuhan agar menolongnya, menjaga,
memeliharanya, dan memberinya taufik. Karena itu dia berusaha
mengenal Tuhannya dengan amalan-amalan yang wajib, yaitu dengan
cara mendekatkan diri kepada-Nya dan menunaikan macam-macam
ketaatan dan ibadah.
Manusia dengan kemampuan, pikiran, perasaan dan
inderanya, selalu berusaha untuk mencapai derajat tertinggi. Sehingga
manusia tidak ingin berhenti pada satu batas tertentu. Maka dalam
tiga keadaan yang kita sebutkan, manusia membutuhkan syariat
agama dari Tuhan, yang sesuai dengan fitrahnya dan mengatur
hubungannya dengan sesamanya, karena manusia akan selalu butuh
untuk saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
dan menjaga keberadaannya di alam ini, seperti makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan.
Berdasarkan paparan di atas, maka kebutuhan manusia akan
agama Tuhan yang benar lebih besar daripada kebutuhannya akan
unsur-unsur pertama untuk menjaga hidupnya seperti air, makanan
dan udara.10 , tidak terdapat yang mengingkari atau memperdebatkan
kebenaran ini kecuali pembangkang yang sombong, tidak berguna
kesombongannya dan tidak perlu didengar alasan-alasannya.11

10 http://googlepenelusuran.blogspot.com/2011/10/manusia-kebutuhan-
dan-doktrin-agama.html-06-11-2014
11 Abu Bakar A-l Jazairi, op.cit Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Aqidah
Mukmin, (Madinah: Maktabah Al-Ulum wal Hikam, 1995), cet. I, hlm., hlm. 24-25.
Apabila manusia yang berakal dan mendapat petunjuk dalam
mencari satu agama Tuhan yang benar dan murni, maka manusia
pasti mendapatkannya dalam Islam, agama semua manusia, yang
terkandung dalam kitab-Nya, Al-Qur’an yang mulia, yang tidak
berkurang satu huruf pun darinya sejak diturunkannya dan tidak pula
terdapat tambahan satu huruf pun padanya. Dan tidak diganti satu
kata pun dari tempatnya dalam Al-Qur’an. Dan tidak ada ungkapan
yang keluar dari apa yang ditunjukkannya, walaupun telah berlalu
seribu empat ratus lebih.12 Manusia beragama karena mereka
memerlukan sesuatu dari agama itu, yaitu memerlukan petunjuk-
petunjuk untuk kebahagiaanya di dunia dan akhirat.

F. Kesimpulan
Agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan
hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna. Agama adalah
kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu kepada
para nabi-Nya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di dunia
dan akhirat.
Namun, secara naluri manusia mengakui kekuatan dalam
kehidupan ini di luar dirinya. Dapat dilihat ketika manusia
mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Manusia
mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha,
yang dapat membebaskannya dari keadaannya. Naluriah
membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan membutuhkan
Sang Khaliknya.
Terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia
terhadap agama yaitu, fitrah manusia, kelemahan dan kekurangan
manusia, dan tantangan manusia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
maka kebutuhan manusia akan agama Tuhan yang benar lebih besar
daripada kebutuhannya akan unsur-unsur pertama untuk menjaga
hidupnya seperti air, makanan dan udara. Dan tidak ada yang
mengingkari atau memperdebatkan kebenaran ini kecuali
pembangkang yang sombong, tidak berguna kesombongannya dan
tidak perlu didengar alasan-alasannya. Manusia beragama karena
memerlukan sesuatu dari agama yaitu memerlukan petunjuk-petunjuk
untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.

12 A. Ubaidillah, Pendidikan kewargaan Demokrasi, HAM &


Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), cet.1, hlm. 122.
G. Daftar Pustaka
Abu Bakar A-l Jazairi dan Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. 1995. Aqidah
Mukmin. Madinah: Maktabah Al-Ulum wal Hikam, cet. I.
Jalaludin H. 2002. Psikologi Agama Edisi Refisi 2002. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin. 2002. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja
Grfindo Persada, cet. X.
Syihab, Quraisy. 2007. Membumikan Alquran Fungsi dan peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung. PT Mizan
Pustaka.
Syukur, M.Amin. 2003. Pengantar Studi Islam. Semarang: CV. Bima
Sakti.
Ubaidillah.2000. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM &
Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press, cet.1
Yatimin, Drs. M. M.A. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta:
AMZAH.
Yusuf Ali, Anwar. 2003. Studi Agama Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia.
http://dinulislami.blogspot.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama..
http://stit-uw.blogspot.com/2013/12/abuddin-nata-tentang-
metodologi-study.html.
http://googlepenelusuran.blogspot.com/2011/10/manusia-kebutuhan-
dan-doktrin- agama.html.
http://www.academia.edu/7385205/MENGAPA_MANUSIA_BERA
GAMA.
BAB II

PENGERTIAN AGAMA DAN SUMBER AJARAN ISLAM

A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah
memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh
seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumber-
sumbernya sendiri sebagai pedoman dan pelaksanaannya. Kehadiran
agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang lebih baik, sejahtera
lahir dan batin.
Untuk itu kita sebagai umat Islam yang taat harus
mengetahui sumber-sumber ajaran Islam yang ada, serta mengetahui
isi kandunganya. Namun sumber-sumber tersebut tidak hanya di
jadikan sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.13[1]
Petunjuk-petunjuk agama yang mengenai berbagai
kehidupan manusia, sebagaimana terdapat dalam sumber ajarannya,
yaitu Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam pertama dan
Hadist merupakan sumber yang kedua, tampak ideal dan agung.
Ditambah lagi dengan berbagai pemikiran-pemikiran ulama’ tentang
hukum-hukum yang masih global di pembahasan Al-Qur’an dan
Hadist.

B. Pengertian Agama Islam


a. Etimologis
Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal
dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk
aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh.
Sebagaimana firman Allah SWT:
ُ َ ‫ْ ح‬
‫زنو‬ َ ْ ‫ أ ع ر َ خ ع‬Jُ‫ََبل ٰى م ْن سَل و ه ّ َ م س ٌن َفلَه‬
‫َن ْم‬ ‫َل ْوف َل م َل‬ ‫ْج ُره ْن‬ ْ ‫أ َم ْج ه َِلل و‬
‫و‬ ‫ْي‬ ‫َد ِب و‬ ‫ح‬ ‫ه‬
‫ه‬ ‫ّه‬ ‫و‬
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah,
sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya
13[1]http://baihaqi-annizar.blogspot.co.id/2014/11/sumber-ajaran-
islam.html.7/11/15.pukul6.08
dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula
bersedih hati” (Q.S. 2:112).
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya
disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri
kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya14.
Hal senada dikemukakan Hammudah Abdalati15
Menurutnya, kata “Islam” berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin,
Lam, Mim) yang berarti kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan
ketundukkan. Dalam pengertian religius, menurut Abdalati,
pengertian Islam adalah "penyerahan diri kepada kehendak Tuhan
dan ketundukkan atas hukum-Nya" (Submission to the Will of God
and obedience to His Law).
Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius dari
kata Islam adalah erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri
kepada kehendak Allah SWT dan ketundukkan atas hukum-Nya,
maka seseorang dapat mencapai kedamaian sejati dan menikmati
kesucian abadi. Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata
“Islam” setidaknya ada empat yang berkaitan satu sama lain. Dari ke-
empat kata tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Aslama. Artinya menyerahkan diri. Orang yang masuk Islam
berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT. Ia siap mematuhi
ajaran-Nya.
2. Salima. Artinya selamat. Orang yang memeluk Islam, hidupnya
akan selamat.
3. Sallama. Artinya menyelamatkan orang lain. Seorang pemeluk
Islam tidak hanya menyelematkan diri sendiri, tetapi juga harus
menyelamatkan orang lain (tugas dakwah atau ‘amar ma’ruf
nahyi munkar).
4. Salam. Aman, damai, sentosa. Kehidupan yang damai sentosa
akan tercipta jika pemeluk Islam melaksanakan aslama dan
sallama.
b. Terminologis
Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan, Islam
adalah agama wahyu berintikan tauhid atau ke-Esaan Tuhan
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw

14Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1989, hlm. 56-57.


15Hammudah Abdalati, Islam in Focus, American Trust Publications
Indianapolis-Indiana, 1975, hlm. 7.
sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh
manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia.
Cukup banyak ahli dan ulama yang berusaha merumuskan
definisi atau pengertian Islam secara terminologis. KH Endang
Saifuddin Anshari16 mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah
rumusan tentang agama Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan
dan menyimpulkan pengertian Islam, bahwa agama Islam adalah:
1) Wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya
untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa
dan setiap persada.
2) Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala
peri kehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai
hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya.
3) Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam,
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
4) Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariah dan akhlak.
5) Bersumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi
wahyu Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu
sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.

C. Sumber Ajaran Islam


Sumber ajaran Islam dapat dikategorikan menjadi dua macam
yaitu primer dan sekunder. Menurut Harun Nasution Islam
merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. 17[5]
Secara Istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber
pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia
dan bukan pula berasal dari nabi Muhammad SAW.18[6] Kemudian
kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama
adalah Alqur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran atau akal
pikiran sebagai alat untuk memahami Alqur’an dan Al-Sunnah.
Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu
yang berasal dari Allah SWT.

16 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978,


hlm. 46.
17 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm.
24
18Abuddin Nata,. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998), hlm. 65
1. Sumber Ajaran Islam Primer
a. Alqur’an
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan
oleh Subni Shalih, Alqur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata
turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti isim al-
maf’ul, yaitu maqru’ “yang dibaca” (alqur’an terjemahannya, 1990:
15). Pegertian ini merujuk pada sifat alqur’an yang difirmankan-Nya
dalam alqur’an (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18), dalam ayat tersebut
Allah berfirman.
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (didadamu) dan (membuat kamu pandai)
membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka
ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18).19
Kemudian secara istilah secara lengkap dikemukakan oleh
Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf. Menurutnya Al-qur’an adalah firman
Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin
Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan bahasa Arab dan
maknanya yang benar, agar ia menjadiakan hujjah bagi Rasul, bahwa
ia benar-benar Rosulullah, menjadi undang-undang bagi manusia,
memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk
melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan
membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-
fatihah dan diakhiri dengan surat Al-nas, disampaikan kepada kita
secara mutawatir dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun
tulisan serta terjaga dari perubahan dan penggantian.20
Fungsi Al-Qur’an tersurat dalam nama-namanya adalah
sebagaimana berikut;

1) Al-huda (petunjuk)
Dalam al-qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi alqur’an
sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum.
Kedua, Alqur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.

19Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000) hlm. 69.
20Abd. Al-Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala al-
Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah,1972), cet. IX, hlm. 23.
Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman,
“Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alqur’an yang
berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu...” (Q.S. ai-Baqarah [2]: 185)
2) Al-furqan (pemisah)
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk
membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang
batil, atau antara yang benar dan salah. Allah berfirman, “Bulan
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi
sebagai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
batil)...” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).
3) Al-Syifa (obat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat
bagi penyakit-penyakit yang ada pada dada (mungkin disini yang
dimaksud adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam
dada...” (Q.S. Yunus [10]: 57).
4) Al-mau’izah (nasihat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat
bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-qur’an ini
adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran [3]:
138

b. Al-Hadis
Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua setelah Al-qur’an. Selain didasarkan pada keterangan-
keterangan ayat-ayat Alqur’an dan Hadis juga didasarkan kepada
pendapat kesepakatan para sahabat.21 Yakni seluruh sahabat sepakat
untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa
Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.22
Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain yang
menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah, al-khabar, dan
al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut kebanyakan

21 Atang Abd. Hakim, dan. Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 70-71
22Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimalah, dan apa-
apa yang dilarangnyabagimu tinggalkanlah. (Q.S. Al-Hasyr, 7); dan kami tidak
mengutus seorang rosul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (Q.S. An-Nisa’
64)
ulama’ hadis adalah sama dengan terminologi al-hadits meskipun
ulama’ lain ada yang membedakannya.
Menurut ahli bahasa , al-hadits adalah al-jadid (baru), al-
khabar (beriata), dan al-qarib (dekat). Hadis dalam pengertian al-
khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat al-Thur (52) ayat 34.
Surat al-Kahfi (18) ayat 6, dan surat al-Dhuha (93) ayat 11.
Kemudian dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau
terminologi antara ulama’ hadis dan ulama’ ushul fiqh terjadi berbeda
pendapat. Menurut ulama’ hadits, arti hadits adalah :
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan , taqrir23[ maupun sifat. (Mahmud al-Thahan,
1985:15)”
Sedangkan ulama’ ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan hadits adalah.
“Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW yang
berkaitan dengan penetapan hukum.”
Al-sunnah dalam pengertian etimologi adalah
“Jalan atau cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau
jelek. (Nur al-‘ Athar, 1979: 27)”
Posisi dan fungsi hadits, Umat Islam sepakat bahwa hadits
merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Kesepakatan
mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an
maupun hadits. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi (lihat Jalal al-din
Abd. Al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuti, th. 505)
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan
sesat selamanya, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan Sunnah Rasul.
Hadits berfungsi merinci dan mengiterpretasi ayat-ayat al-
qur’an yang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid)
terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia pun berfungsi
mengkhususkan (tahkhshish) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum
(‘am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafshil versi Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad, juga bayan tafsir. Hadits berfungsi menetapkan
aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-qur’an. Fungsi ini
mengacu pada bayan al-tasyri’ versi Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Ahmad bin Hambal.
2. Ijtihat sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder
a. Ijtihad

23Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 72


Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta
seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari
biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.24
Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad ialah:25
‫ﺍﻟﺘﻔﺼيﻟيﺔ ﻟﺘهﺎ ﺍﺩ ﻤن ﺍﻟﻌﻤﻟيﺔ ﺍَلحﻜﺎﻡ ﺍسﺘنبﺎﻂ ﻔى وسﻌه ﺍﻟﻔﻗيه ﺒﺬﻝ‬
“Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam mewujudkan
hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil
yang rinci”.
Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’yi dan
akal).26
Secara harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan.
Tetapi orang-orang arab telah mempergunakannya bagi pendapat dan
keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan
yang dihadapi.27

b. Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an
dan al-Sunnah. Diantara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad
adalah sebagai berikut:
‫َِّإنا أَ ْنز ْ َلنا لَ ْيك ا ْل َكتاب ا ْلحق تَح ُك َم بَ ْين َّالناس َما أَراك لالَُّ[ ۚ و ََل تَ ُك ْن‬
‫ْلخا ِئ ِنين‬
‫خصي ًما‬
“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat. (Q. S. al-Nisa : 105).
‫َآليات قَ ْو ٍم َيتف‬ ‫ن ي ذ ِلك‬
‫َّكرون‬
…sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. al-Rum :
21)
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits
‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim,
dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:

24 Taqrir adalah perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dihadapan


Rasulullah dan beliau mengetahuinya, Rasulullah tidak melakukan perbuatan
tersebut, juga tidak melarang sahabat melakukannya.
25 Atang Abd Hakim, dan Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 95
26Ibid, hlm. 97
27Ibid, hlm. 98
[‫اﺬا حكم الحاكم فاﺟتﻬﺩ فاصاﺐ[ فلﻪ اﺟران اﺬا حكم فاﺟتﻬﺩ ﺛم اخﻄﺄ فلﻪ اﺟر‬
‫واحﺪ‬
”Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala, akan
tetapi jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala.” (Muslim, II, t.th: 62) 28

c. Syarat-syarat Mujtahid 29
1) Mukalaf, karena hanya mukalaf yang mungkin dapat melakukan
penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya
3)Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama
terjadinya perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.
d. Macam-macam Mujtahid30
1) Mujtahid Mutlak
Yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara
keseluruhan dari al-Qur’an dan hadits, dan seringkali mendirikan
mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan para imam yang
empat.
2) Mujtahid Mazhab
Yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab dan tidak
membentuk suatu mazhab tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal
mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat dengan imamnya.
3) Mujtahid fil Masa’il
Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah
saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak
mengikuti satu mazhab.
4) Mujtahid Muqaiyyad
Yaitu orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri dan mengikuti
pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan mana
yang lebih utama dan pendapat-pendapat yang berbeda beserta
riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu, begitu pun mereka

28Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka


Bandung, 1984), hlm. 104
29 Op. Cit, hlm. 99
30 Op. Cit, hlm. 101
memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid
yang diikuti.
e. Hukum Ijtihad
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria
mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi
dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas
hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ’ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria
mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia
masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib
kifayah.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas
persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas
peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik
dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah atau ijtihad atas peristiwa yang
hukumnya telah ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978:
498-9 dan Muhaimin, dkk., 1994: 189)31

D.Kesimpulan
Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Allah kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW,
dimana agama Islam sendiri memiliki pedoman pokok atau sumber
ajaran yang berupa kitab suci yang bernama Al-qur’an. Kemudian
apabila dalam al-qur’an masih belum terperinci maka Sunnah/Al-
hadits sebagai pedoman yang kedua. selanjutnya di dalam Islam juga
dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang digunakan
sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam
al-Qur’an dan Hadits tidak ditemui.
Sumber ajaran Islam primer yang terdiri dari Al-Qur’an dan
Hadits. Al-Qur’an sendiri didalamnya terdapat pokok isi utama yaitu,
tauhid, ibadah, janji & ancaman, kisah umat terdahulu, berita tentang
zaman yang akan datang, dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Di
dalam Al-Qur’anpun terdapat komponen-komponen sumber ajaran

31[19] Ramulyo, Mohd. Idris., Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar


Grafika, 1997), hlm. 148-149
Islam yaitu, hukum I’tiqodiyah, Amaliah, dan Khuluqiah. Sedangkan
khusus hukum syara terdiri dari hukum Ibadah dan Muamalat.
Adapun di dalam hadits terdapat beberapa komponen yaitu,
sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, sunnah taqririyah, dan sunnah
hammiyah. Fungsi hadits sendiri adalah: Memperkuat hukum,
memberikan rincian, memberi pengecualian, dan menetapkan hukum
yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.32

E. Daftar Pustaka
Nasruddin Razak.(1989). Dienul Islam.Bandung: Al-Ma’arif.
Hammudah Abdalati (1975). Islam in Focus. Indiana: American
Trust Publications Indianapolis.
Endang Saifuddin Anshari. (1978).Kuliah Al-Islam, Bandung:
Pusataka.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1
Abuddin Nata.(1998). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok (2000). Metodologi Studi
islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Hasan Ahmad.(1984). Pintu Ijtihad Sebelum Tutup. Bandung:
Pustaka Bandung.
http://baihaqi-annizar.blogspot.co.id/2014/11/sumber
ajaranislam.html.7/11/15.pukul6.08

http://blogmerko.blogspot.com/2013/02/makalah-agama-islam-tentang-
sumber.html kelip2 12 November 2015

Pengantar Studi Page 24


Islam
BAB III

MISI AJARAN ISLAM

A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna dan universal, ia berlaku
sepanjang waktu, kapanpun dan di manapun (al-Islâm shâlih li kul
zamân wa al-makân), Islam berlaku untuk semua orang dan untuk
seluruh dunia. Dalam agama islam terdapat ajaran-ajaran yang dapat
mengantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Karena
islam diturunkan bukan hanya sebagai pelengkap hidup manusia saja
tetapi juga mengemban beberapa misi untuk mengantarkan manusia
menuju kebahagiaan di dunia dan ahirat.
Islam adalah agama samawi ( langit ) yang diturunkan Allah
SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW. Islam merupakan
Agama yang menjadi Rahmat bagi seluruh alam.Namun di jaman
sekarang ini banyak orang-orang yang tidak mengerti akan
pengertian, Karakteristik, dan Misi Islam itu sendiri.sehingga banyak
orang-orang yang mengatasnamkan Islam untuk kepentingan pribadi,
kelompok dan partai .bahkan yang paling ekstrim adalah yang
mengatas namakan Islam sebagai kedok untuk melakukan aksi
terorisme, sehingga Islam dianggap sebagai Agama teroris.

B. Pengertian Agama Islam

Sebelum membahas masalah pengertian agama islam


alangkah baiknya dibahas pengertian agama terlebih dahulu. Harun
Nasution mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang
diwahyukan tuhan kepada manusia melalui para rasulnya.33
Mohammad daud ali mendefinisikan agama sebagai
kepercayaan kepada tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan
hubungan dengan dia melaui upacara, penyembahan, permohonan,
dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasar ajaran
agama itu. JG. Frazer agama adalah sesuatu ketundukan atau
penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada

33Harun Nasution, 1979, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,


Jakarta: UI press, cet. III, hlm. 10

Pengantar Studi Page 25


Islam
manusia.34

Islam adalah kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan,


ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), berasal dari kata
salama yang artinya patuh atau menerima, berakar dari huruf sin, lam,
mim, (S-L-M). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera,
tidak tercela, tidak bercatat. Jadi secara singkat Islam adalah
kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan
dan kepatuhan.

Sedangkan agama islam menurut istilah adalah agama yang


diturunkan allah kepada para rasul- rasulnya dan disempurnakan pada
Nabi Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan
yang mengatur dan mengarahkan begaimana manusia berhubungan
dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan
menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat
meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.35[3]

C. Studi Misi Ajaran Islam Secara Komprehensif

Studi terhadap misi ajaran Islam secara komprehensif dan


mendalam adalah sangat diperlukan karena beberapa sebab sebagai
berikut :
Pertama, untuk menimbulkan kecintaan manusia terhadap
ajaran Islam yang didasarkan kepada alas an yang sifatnya bukan
hanya normatif, yakni karena diperintah oleh Allah, dan bukan pula
karena emosional semata-mata. Melainkan karena didukung oleh
argumentasi yang bersifat rasional, kultural dan aktual. Yaitu
argumentasi yang masuk akal, dapat dihayati dan dirasakan oleh umat
manusia. Dewasa ini banyak orang yang memeluk agama Islam
hanya sekedar ikut-ikutan, tanpa didasarkan pada argumentasi yang
kuat. Keislaman yang demikian tidak menjadi masalah selama ia
hidup dalam komunitas Islam, karena tidak ada yang mengganggu
keyakinannya. Namun ketika ia hidup di Negara yang komunitas
masyarakatnya bukan Islam, yakni masyarakat sekular yang serba
rasional, empiris dan objektif, maka orang yang memiliki paham

34H.M. Arifin, 1992, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,


Jakarta: Golden Trayon Press cet. VI, hlm. 5
35 Ajat sudrajat, dkk, 2008, Din Al- islam Pendidikan Agama Islam
Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, hlm. 34
keislaman yang ikut-ikutan itu akan dengan mudah dirusak atau
dimurtadkan agamanya. Keadaan ini jelas tidak boleh terjadi.
Kedua, untuk membuktikan kepada umat manusia bahwa
Islam baik secara normatif maupun secara kultural dan rasional
adalah ajaran yang dapat membawa manusia kepada kehidupan yang
lebih baik, tanpa harus mengganggu keyakinan agama Islam.
Ketiga, untuk menghilangkan citra negative dari sebagian
masyarakat terhadap ajaran Islam. Berdasarkan sumber-sumber yang
didapati dari para orientalis Barat kita menjumpai penilaian dan
pernyataan negatif terhadap Islam. Menurut sebagian mereka bahwa
Islam disebarkan dengan pedang, Islam ajaran yang menurutkan
hawa nafsu, ajaran bagi orang-orang yang miskin, terbelakang,
kumuh dan sebagainya. Lebih dari itu citra Islam yang negatif dewasa
ini muncul kembali. Dewasa ini Islam sering dituduh sebagai sarang
teroris. Berbagai tindakan kejahatan seperti pemboman, sabotase,
pembajakan pesawat, peperangan dan sebagainya sering dituduhkan
kepada umat Islam. Citra negatif yang demikian itu harus
dihilangkan, karena menyebabkan timbulnya kebencian masyarakat
dunia terhadap Islam, juga menyebabkan orang lain tidak berani
menunjukkan identitas keislamannya di tengah public. Citra negatif
Islam yang demikian itu harus dihilangkan dengan menunjukkan citra
Islam sebagai rahmatan lil alamin kepada dunia.

D. Misi Ajaran Islam


Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk
menyatakan bahwa misi ajaran islam sebagai pembawa rahmat bagi
seluruh alam. Argumentasi tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut :
Pertama, untuk menunjukkan bahwa islam sebagai pembawa
rahmat dapat dilihat dari pengertian islam itu sendiri. Kata islam
makna aslinya masuk dalam perdamaian, dan orang muslim ialah
orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai
dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendaknya,
dan damai dengan manusia bukan saja berarti menyingkiri berbuat
jahat dan sewenang-wenagn kepada sesamanya, melainkan pula ia
berbuat baik kepada sesamanya. Dua pernyataan ini dinyatakan
dalam Al-qur’an Al-Karim sebagai inti agama Islam yang
sebenarnya. Al-qur’an menyatakan sebagai berikut :
Artinya : “(tidak demikian) bahkan barang siapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedi hati.” (QS. Al-
Baqarah, 2:112)
Dengan demikian, dari sejak semula, islam adalah agama
perdamaian dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah, dan
kesatuan atau persaudaraan umat manusia, menjadi bukti yang nyata
bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja
dikatakan sebagai agama sekalian Nabi Allah, sebagaimana tersebut
diatas , melainkan juga sebagai sesuatu yang secara tak sadar tunduk
sepenuhnya kepada undang-undang Allah. Yang kita saksikan pada
alam semesta, inipun tersirat dalam kata aslama. Arti islam yang luas
ini tetap dipertahankan dalam penggunaan kata itu dalam hukum
syara’, karena menurut hukum syara’ islam mengandung arti dua
macam yaitu :
1. Mengucap kalimah syahadat yaitu mengatakan bahwa tak ada
Tuhan yang pantas disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad
itu utusan Allah.
2. Berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, yakni ini hanya
dapat dicapai melalui penyempurnaan rohani. Jadi orang yang baru
saja masuk islam ia disebut muslim, sama halnya seperti orang
yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan melaksanakan
segala perintahnya dengan melakukan hawa nafsunya kepada
kehendak Allah.

Kedua, misi ajaran islam sebagai pembawa rahmat dapat


dilihat dari peran yang dimainkan Islam menangani berbagai
problematika agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan,
kebudayaan, dan sebagainya. Dan sejak kelahirannya 15 abad yang
lalu islam senantiasa hadir memberikan jawaban terhadap
permasalahan diatas. Islam sebagaimana dikatakan H.A.R. Gibb
bukan semata-mata ajaran tentang keyakinan saja melainkan sebagai
sebuah sistem kehidupan yang multi dimensional. Berkenaan dengan
peran islam yang demikian itu, Syaikh Al-Nadwi dalam bukunya
Madza Khasira al-Alam bi Inhithath al-Muslimin ( Kerugian Apa
Yang Diterita Dunia Akibat Kemerosotan Dunia) mengatakan bahwa
pada saat Islam datang ke muka bumi keadaan dunia tak ubahnya
seperti baru saja dilanda gempa yang sangat dahsyat. Disana sini
terdapat bangunan yang roboh rata dengan tanah, tiang yang bergeser,
genteng pecah hancur berantakan, harta benda tertimbun tanah dan
jiwa manusia melayang. Demikian pula keadaan masyarakat baik dari
segi social, ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya
dalam keadaan berantakan dan kacau balau. Keadaan dunia yng
demikian itu digambarkan dalam al-Qur’an sebagai berikut :
Dalam keadaan dunia yang demikian itulah Nabi Muhammad
SAW membawa ajaran Islam yang didalamnya bukan hanya
mengandung ajaran tentang aqidah atau hubungan dengan Tuhan saja
melainkan juga hubungan dengan sesama manusia dan alam semesta.
H.A.R. GIBB mengatakan Islam bukan hanya berisi ajaran etika
melainkan sebagai sistem kehidupan. 36[4]
1. Dalam bidang sosial
Keadaan masyarakat terbagi-bagi kedalam kelas social atau
kasta yang dibedakan berdasarkan suku bangsa, bahasa, warna kulit,
harta benda, jenis kelamin, dll. Dengan sistem kelas yang demikian
maka tidak akan terjadi mobilitas vertical yang didasarkan pada
prestasinya masin-masing. Seseorang yang berasal dari kelas social
yang rendah selama-lamanya berada dalam kelas sosial yang rendah.
Satu dan lainnya tidak boleh melakukan hubungan sosial, pergaulan,
perkawinan, dan sebagainya. Keadaan yang demikian itu mirip
dengan keadaan yang mirip dengan keadaan yang ada di Indonesia
sebagaimana dijumpai pada sistem kesultanan atau kerajaan, kaum
ningrat, menak, dan sebagainya.

2. Dalam bidang ekonomi


Ditandai oleh praktik mendapatkan uang dengan
menghalalkan segala cara separti dengan praktik riba, mengurangi
timbangan, menipu, monopoli, kapitalisme, dan sebagainya. Keadaan
yang demikian itu pada gilirannya membawa mereka yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Persaingan yang
tidak sehat terjadi diantara mereka. Manusia telah menjadi budak dari
harta benda.

3. Dalam bidang politik atau pemerintahan


Pada masa itu ditandai oleh pemerintahan yang diktator,
otoriter, dan tirani. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan
masyarakat hanya dilakukan oleh pemerintah. Kehendak pemerintah
merupakan keputusan yang harus dilaksanakan tanpa kompromi.
Karena demikian besarnya kekuatan pemerintah maka dengan mudah
ia menindas dan memeras rakyat dengan pajak dan cukai yang diluar

36[4] Abuddin Nata, 2011, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Hal : 99
batas kemampuannya. Segala pendapat dan usul yang disampaikan
rakyat dianggap sebagai gangguan yang harus diperangi. Lebih dari
itu rakyat yang penuh penderitaan itu dibebani pula dengan
kewajiban bela Negara dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
sifatnya pemaksaan. Di antara penguasa yang sedang memerintah
pada masa kedatangan Islam adalah Romawi dan Persia.

4. Dalam bidang pendidikan


Ditandai oleh keadaan dimana pendidikan atau ilmu
pengetahuan hanya milik kaum elit. Rakyat dibiarkan bodoh sehingga
dengan mudah dapat disesatkan aqidahnya, dan selanjutnya dengan
mudah dapat diperbudak. Keadaan ini tak ubahnya dengan keadaan
bangsa Indonesia pada saat penjajahan belanda.
Pada masa kedatangan Islam dibidang kebudayaan ditandai
oleh keadaan masyarakat yang semata-mata mengikuti hawa nafsu
syahwat dan nafsu duniawi. Mereka gemar melakukan mabuk-
mabukan, foya-foya, berzina, berjudi, dan sebagainya.
Dari sejak kelahirannya Islam sudah memiliki komitmen dan
respon yang tinggi untuk ikut serta terlibat dalam memecahkan
berbagai masalah tersebut diatas. Islam bukan hanya mengurusi
social, ibadah, dan seluk-beluk yang terkait dengannya saja,
melainkan juga ikut terlibat memberikan jalan keluar yang terbaik
untuk mengatasi berbagai masalah tersebut dengan penuh bijaksana,
adil, demokratis, manusiawi, dan seterusnya. Hal-hal yang demikian
itu dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Misi Islam Dalam bidang sosial
Dalam bidang sosial islam memperkenalkan ajaran yang
bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia
dengan manusia lain. Satu dan lainnya sama-sama sebagai makhluk
Allah SWT. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-
masing. Orang yang memiliki kelebihan dalam bidang tertentu
misalnya ia memiliki kekurangan dalam bidang tertentu lainnya.
Orang yang memiliki kekurangan dalam bidang tertentu tapi
memiliki kelebihan dalam bidang lainnya.
Selain itu, ajaran Islam tentang aspek sosial ini menekankan
adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana halnya kaum pria, kaum wanita dalam Islam memiliki
kesamaan kesempatan dan peluang untuk mengaktualisasikan potensi
yang ada dalam dirinya. Ajaran Islam dalam bidang sosial inilah yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Yaitu ajaran yang bersifat,
eligater, toleransi, persaudaraan, tolong-menolong, nasehat-
menasehati, saling menjaga dan mengamankan dan seterusnya.

b. Misi Islam sebagai pembawa rahmat dalam bidang ekonomi


Misi Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam dapat
dilihat dari ajaran dalam bidang ekonomi yang bersendikan azas
keseimbangan dan pemerataan. Dalam ajaran Islam seseorang
diperbolehkan memiliki kekayaan tanpa batas, namun dalam jumlah
tertentu dalam hartanya itu terdapat milik orang lain yang harus
dikeluarkan dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah. Dengan cara
demikian, makin banyak harta kekayaan yang dimiliki seseorang,
semakin banyak pula sumbangan yang harus ia keluarkan. Harta yang
dikeluarkan itu dibagi kepada mereka yang kurang mampu. Dengan
cara demikian kecemburuan kesenjangan sosial yang dapat memicu
terjadinya pertentangan dapat dihindari.
Selain itu misi Islam dalam bidang ekonomi ini dapat dilihat
pula dari perintah berdagang dengan cara yang jujur yaitu pedagang
yang jauh dari kecurangan, penipuan atau tin dakan lainnya yang
merugikan konsumen, dseperti mengurangi timbangan, takaran, dan
sebagainya. Lebih lanjut ajaran Islam sangat melarang keras
melakukan praktik Riba atau membungakan uang yang
menguntungkan secara berlipat ganda tanpa memeperhitungkan
kemampuan orang yang meminjamnya.

c.Misi ajaran islam rahmatal lil alamin dalam bidang politik


Misi ajaran islam rahmatal lil alamin dalam bidang politik
terlihat dari perintah Al-Qur’an agar seorang pemerintah bersikap
adil, bijaksana terhadap rakyat yang dipimpinnya, memperhatikan
aspirasi dan kepentingan rakyat yang dipimpinnya, mendahulukan
kepentingan-kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya,
melindungi dan mengayomi rakyat, memberikan keamanan dan
ketentraman kepada masyarakat. Kepemimpinan dalam Islam adalah
merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan dengan cara
melaksanakan kegiatan yang berguna bagi rakyat yang dipimpinnya.

d. Misi Islam rahmatal lil alamin dalam bidang hukum


Misi rahmatal lil alamin ajaran Islam dalam bidang hukum-
hukum terlihat dari perintah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58. Ayat
tersebut memerintahkan seorang hakim agar berlaku adil dan
bijaksana dalam memutuskan perkara dengan tidak memndang
perbedaan pada orang yang sedang berperkara. Penegakan supremasi
hukum sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.

e. Misi rahmatal lil alamin ajaran Islam dalam bidang pendidikan


Misi ajaran Islam rahmatal lil alamin dapat pula dilihat dalam
bidang pendidikan . Hal ini terlihat dalam ajaran Islam yang
memberikan kebebasan kepada manusia untuk mendapatkan hak-
haknya dalam bidang pendidikan. Islam menganjurkan belajar
sungguhpun dalam keadaan perang. Dan menuntut ilmu mulai dari
buaian hingga ke liang lahat, serta melakukannya sepanjang hayat.
Pendidikan dalam Islam adalah untuk semua. Pemerataan dalam
pendidikan adalah merupakan misi ajaran Islam.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, terlihat dengan jelas
bahwa misi ajaran Islam adalah membawa rahmat bagi seluruh umat
manusia dengan cara menata aspek kehidupan sosial, ekonomi,
politik, hukum, pendidikan dan sebagainya. Misi ajaran Islam adalah
tegaknya nilai-niali kemanusiaan, menyelamatkan umat manusia dari
kehancuran.
Ketiga, misi islam dapat pula dilihat dari misi ajaran yang
dibawa dan dipraktikkan oleh nabi Muhammd SAW. Di dalam Al-
Qur’an dinyatakan dengan tegas sebagai berikut :
Artinya : “Dan tiada kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Ambiya, 21:107).
Misi kerahmatan Nabi Muhammad SAW. Bukan hanya dapat
dilihat dari misi ajaran Islam yang dibawanya sebagaimana telah
disebutkan diatas melainkan juga terlihat dalam mpraktik kehidupan
nabi Muhammad yang dikenal dengan seorang yang sangat sayang
kepada umatnya dan kepada manusi pada umumnya.
Keempat, misi Islam selanjutnya dapat pula dilihat pada
kedudukannya sebagai sumber nilai dan pandangan hidup manusia.
Dalam hal ini Islam telah memainkan empat peran sebagai berikut :
1. Sebagai factor kreatif yaitu ajaran agama yang dapat mendorong
manusia melakukan kerja produktif dan kreatif. 2. Factor motivatif,
yaitu bahwa ajaran agama dapat melandasi cita-cita dan amal
perbuatan manusia dalam aspek kehidupannya. 3. Factor sublimatif,
yakni ajaran agama yang dapat meningkatkan dan mengkhuduskan
fenomena kegiatan manusia tidak hanya hal keagamaan saja, tetapi
juga bersifat keduniaan. 4. Factor integrative, yaitu ajaran agama
yang dapat dipersatukan sikap dan pandangan manusia serta
aktivitasnya baik secara individual maupun kolektif dalam
menghadapi berbagai tantangan.
Kelima, misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat dapat
pula dilihat dari peran yang dimainkannya dalam sejarah. bahwa
Islam diabad klasik (abad 7-13 M) atau selama lebih kurang 7 abad
telah tampil sebagai pengawal sejarah umat manusia menuju
kehidupan yang tertib, aman, damai, sejahtera, maju dalam bidang
ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban.
Keenam, misi ajaran Islam lebih lanjut dapat pula dilihat dari
praktik hubungan Islam dengan penganut agama lain sebagaimana
dilakukan Nabi Muhammad SAW. Di Madinah.

E. Kesimpulan
Agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan
allah kepada para rasul- rasulnya dan disempurnakan pada Nabi
Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang
mengatur dan mengarahkan begaimana manusia berhubungan dengan
allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan
alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih
kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat.
Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk
menyatakan bahwa misi ajaran islam sebagai pembawa rahmat bagi
seluruh alam. Pertama, untuk menunjukkan bahwa islam sebagai
pembawa rahmat dapat dilihat dari pengertian islam itu sendiri.
Kedua, misi ajaran islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari
peran yang dimainkan Islam menangani berbagai problematika
agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan
sebagainya. Ketiga, misi islam dapat pula dilihat dari misi ajaran
yang dibawa dan dipraktikkan oleh nabi Muhammd SAW. Keempat,
misi Islam selanjutnya dapat pula dilihat pada kedudukannya sebagai
sumber nilai dan pandangan hidup manusia. Kelima, misi ajaran
Islam sebagai pembawa rahmat dapat pula dilihat dari peran yang
dimainkannya dalam sejarah. Keenam, misi ajaran Islam lebih lanjut
dapat pula dilihat dari praktik hubungan Islam dengan penganut
agama lain sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW. Di
Madinah.
F. Daftar Pustaka

Abuddin Nata. (2011).Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.
Harun Nasution. (1979). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.
Jilid I, Jakarta: UI Press.
H.M. Arifin. (1992).Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar.
Jakarta: Golden Trayon Press.
Ajat sudrajat, dkk. (2008). Din Al- islam Pendidikan Agama Islam
Diperguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: UNY Press.
BAB IV

METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM


A. Pendahuluan
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW,
diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan batin. Didalamnya terdapat berbagai petunjuk
tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan
kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia,
sebagaimana terdapat didalam sumber ajarannya, al-quran dan hadist,
tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang
dinamis dan progresif, dengan senantiasa mengembangkan
kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis,
berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik,
mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia
dan sikap-sikap positif lainnya.
Gambaran ajaran Islam yang demikian ideal itu pernah
dibuktikan dalam sejarah dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh
umat manusia di dunia. Namun, kenyataan Islam sekarang
menampilkan keadaan yang jauh dari citra ideal tersebut. Ibadah yang
dilakukan umat Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya
hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi
lambang keshalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi
kepedulian social sudah kurang tampak.
Sekarang, mungkin sudah saatnya kita mengembangkan
indikasi keberagaman yang agak berbeda dengan yang kita miliki
selama ini. Meningkatnya jumlah orang mengunjungi rumah-rumah
ibadah, berduyun-duyunnya orang pergi haji, dan sering munculnya
tokoh-tokoh dalam acara social agama, sebenarnya barulah indikasi
permukaan saja dalam masyarakat kita. Indikasi semacam ini tidak
menerangkan tentang perilaku keagamaan yang sesungguhnya,
dimana nilai-nilai keagamaan menjadi pertimbangan utama dalam
berfikir maupun bertindak oleh individu maupun sosial.
Dalam rangka mencapai suatu intepretasi yang tepat dalam
memahami agama dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya
diperlukan metode-meode yang dapat dipergunakan untuk mendapat
pemahaman yang tepat. Islam yang diturunkan di Arab lahir dan
berkembang seiring dengan adat budaya Arab. Hal ini memerlukan
pengkajian yang komprehensif sebab sumber agama Islam yakni Al
Qur’an dan Sunah berbahasa Arab. Sehingga untuk memahaminya
wajib untuk memahami bahasa Arab.

B. Pengertian Metodologi

Dalam membahas metodologi pemahaman islam kita harus


memahami pengertian “metodologi” itu sendiri. Secara harfiah, kata
“metodologi” berasal dari bahasa Greek, yakni “metha” yang berarti
melalui dan “hodos” berarti jalan atau cara. Sedangkan “logos”
berarti ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara atau jalan
yang harus dilalui . Jadi metodologi pemahaman islam adalah ilmu
yang membicarakan cara - cara memahami islam secara efektif dan
efisien.
Dalam rangka mencapai suatu intepretasi yang tepat dalam
memahami agama dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya
diperlukan metode-meode yang dapat dipergunakan untuk mendapat
pemahaman yang tepat. Menjawab berbagai masalah yang dihadapi
saat ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman
islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hubungan ini Mukti Ali
pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat
penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.

C. Kegunaan Metodologi

Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13M. Hingga saat ini,


fenomena pemahaman ke-Islaman umat Islam Indonesia masih
ditandai oleh keadaan amat variatif. Kondisi pemahaman ke-Islaman
serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita
misalnya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuannya
tentang ke-Islaman cukup luas dan mendalam, namun tidak
terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematis. Hal ini disebabkan
karena orang tersebut ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik
dan tidak terorganisasikan secara baik. Mereka biasanya datang dari
kalangan ulama yang belajar ilmu ke-Islaman secara otodidak atau
kepada berbagai guru yang antara satu dan lainnya tidak pernah
saling bertemu dan tidak pula berada dalam satu acuan yang sama
semacam kurikulum.
Selanjutnya kita melihat pula munculnya paham ke-Islaman
bercorak tasawuf yang sudah mengambil bentuk tarikat yang terkesan
kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan
duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf ini, kehidupan dunia
terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan urusan akhirat,
sedangkan urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan
umat menjadi mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas
hidup lainnya.
Dari beberapa uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa
metode memiliki peranan sangat penting dalam kemajuan dan
kemunduran. Untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum
cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilih metode
yang akan digunakan untuk kerjanya dalam bidang pengetahuan.
Metode yang tepat adalah masalah pertama yang harus diusahakan
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi
setiap peneliti adalah memilih metode yang paling tepat untuk riset
dan penelitinya. Kini disadari bahwa kemampuan dalam menguasai
materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan
dibidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat
dikembangkan.

D. Metodologi Pemahaman Islam

1. Beberapa Pendapat Tentang Islam


Ada dua sisi yang dapat digunakan untuk memahami
pengertian Agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan.
Kebahasaan Islam dari bahasa Arab salima selamat, sentosa dan
damai. Kemudian Aslama berserah diri masuk dalam kedamaian.
a) NUR CHOLIS MAJID: Sikap pasrah kepada Tuhan adalah
merupakan hakikat dari pengertian islam.
b) MAULANA MUHAMMAD ALI : Islam adalah agama
perdamaian; dan dua ajaran pokok yaitu keesaan Allah dan
kesatuan atau persaudaraan ummat manusia menjadi bukti
nyata.
Dari sisi peristilahan dalam memberi pengertian para
ilmuwan beragama dalam memberi pengertian antara lain
adalah :
c) Ahmad Abdullah Al-Masdoosi (1962) :
Islam adalah Kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia
sejak manusia digelarkan ke muka bumi, dan terbina dalam
bentuknya terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an yang suci
yang diwahyukan Tuhan Kepada Nabi-Nya yang terakhir
yakni Nabi Muhammad Ibnu Abdullah, satu kaidah yang
memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek
hidup manusia baik spritual maupun material.

Pengertian Islam menurut Maulana M. Ali dapat dipahami


dari Firman Allah surat Al-Baqorah ayat 208 :
َ‫ِفى الس ْل ِم ك َّافة‬ ‫يَاأ َُّيﻬَاالَّ ِﺬ ْين أمنُ[واا ْﺩخلُ[وا‬
‫وَل َتَّ ِب[عوا‬
َ ‫ﻄ[وات الش ْي‬
‫ﻄان ِانَّﻪُ[ لَك ْم عﺪو م ِب[ ْين‬ ُ ‫خ‬
“Hai Orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Kedamaian/Islam secara menyeluruh dan jangan kamu ikuti
langkah-langkah Setan. Sesungguhnya setan musuh yang
nyata bagimu” Kata ‫السـلم‬yang dalam ayat diatas
diterjemahkan kedamaian atas Islam, makna dasarnya adalah
damai atau tidak mengganggu.
d) HARUN NASUTION: Islam sebagai agama adalah agama
yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
manusia melalui nabi Muhammad sebagai rasul. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya satu
segi, tetapi mengenai beberapa segi dari kehidupan manusia.
e) ORIENTALIS : islam sering di identikkan dengan
Mohammadanism dan Mohammedan. Peristilahan ini
disamakan pada umumnya agama diluar Islam yang namanya
disandarkan kepada nama pendirinya.

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama


yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasul-Nya
berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta.

E.Beberapa Metode Memahami Islam

Perjalanan Islam sampai kini telah melampui kurun waktu


yang cukup lama dan dipeluk oleh manusia diseluruh penjuru dunia.
Pemikiran Islam dapat diibaratkan dengan sebagai sungai yang besar
dan panjang. Wajar jika sumber mata airnya yang semula bening dan
jernih serta mengalir pada alur sempit dan deras dalam perjalanannya
menuju muara kian melebar, berliku-liku dan bercabang-cabang.
Airnya kian pekat karena mengangkut pula lumpur dan sampah.
Geraknyapun menjadi lamban.
Setiap pemikiran yang kemudian didukung oleh sekelompok
orang, idenya muncul dan nafasnya dihembuskan oleh semangat
tokoh pemikir. Setiap pemikir ketika melontarkan gagasan atau buah
pikirannya tidak lepas oleh situasi lingkungan yang dihadapi ,
pandangan hidup dan sikap politiknya. Menurut Sosiologi pemikiran
teologi dan filosofi selalu terkait dengan politik atau kemasyarakatan,
demikian juga sebaliknya. Jika teori ini benar, maka kajian pemikiran
Islam hanya dibagi dalam bidang teologi (kalam), sufisme dan filsafat
saja dengan meninggalkan ketatanegaraan(politik) dan hukum,
menjadi sebuah kajian yang tidak lengkap. Dengan demikian untuk
menghasilkan Islam secara utuh dan menyeluruh perlu menatapnya
dari berbagai situasi yang mengitari disekitar kalahiran Islam tersebut
serta tokoh-tokoh yang mengembangkannya.
Pencampuradukkan antara Islam sebagai agama dan Islam
sebagai rangka historis bagi pengembangan budaya dan peradaban
telah dilanggengkan dan pernah berkembang lebih kompleks hingga
hari ini. Namun demikian, masyarakat-masyarakat Islam harus dikaji
dalam dan untuk diri sendiri.
Mempelajari Islam dengan metode ilmiah saja tidak cukup,
karena metode dan pendekatan dalam memahami Islam yang
demikian itu masih perlu dilengkapi dengan metode yang bersifat
teologis dan normatif. Untuk itu dalam memahami dan menelaah
ajaran Islam yang ada dalam buku-buku ilmiah terkadang perlu kita
cermati apakah ajaran ini persial atau apakah sudah komprehensif.
Kami mencoba menelusuri metode memahami Islam
sepanjang yang dapat dijumpai dari berbagai literaratur ke-islaman.
Dalam buku yang berjudul Tentang Sosiologi Islam, karya
Ali Syariati dijumpai uraian singkat tentang metode memahami yang
pada intinya Islam harus di lihat dari berbagai dimensi. Dalam
hubungan ini ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut
pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari
gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya
secara tepat, namun tidak cukup apabila kita memahami secara
keseluruhan. Dengan berpedoman kepada semangat dan isi ajaran al-
Quran yang diketahui mengandung banyak aspek. Berbagai aspek
yang ada dalam al-Quran jika dipelajari secara menyeluruh akan
menghasilkan pemahaman Islam yang menyeluruh.
1. Ali Syariati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami
Islam :
a. Dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan
sesembahan agama lain
b. Dengan mempelajari Kitab suci Al-Qur’an dan membandingkan
dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan
sebagai samawi) lainnya.
c. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya
dengan tokoh-tokoh besar pembahruan yang pernah hidup
dalam sejarah.
d. Mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan
membandingkan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-
aliran pemikiran lain.

Pada intinya metode ini adalah metode komparasi


(perbandingan). Secara akademis suatu perbandingan
memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki
obyektifitas, tidak ada pemihakan, blank mind, tidak ada pra-
konsepsi dan semacamnya. Hal ini biasanya sulit dilakukan oleh
seorang yang meyakini kebenaran suatu agama yang dianutnya.
Pendekatan komparasi dalam memahami agama kelihatannya baru
akan efektif apabila dilakukan oleh seorang yang baru mau
beragama. Selain dengan menggunakan pendekatan komparasi, Ali
Syariati juga menawarkan cara memahami Islam melalui
pendekatan aliran. Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari
memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan
kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat.

2.Nasruddin Razak metode memahami Islam sama dengan Ali


Syariati menawarkan metode pemahaman Islam secara
menyeluruh. Memahami Islam secara menyeluruh adalah penting
walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk
memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk
agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap yang hormat
bagi pemeluk agama lainnya. Untuk memahami agama Islam
secara benar Nasruddin Razak mengajukan empat cara :

a)Islam harus dipelajari dari sumber aslinya Al-Qur’an dan hadits.


Kekeliruan memahami Islam, karena orang mengenalnya dari
sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan
Al-Qur’an dan Al-Sunah, atau melalui pengenalan dari sumber
kitab-kitab fiqh dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan
cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk
Islam yang sinkretisme, yakni bercampur dengan hal-hal yang
tidak islami jauh dari ajaran islam yang murni.
b) Islam harus di pelajari dengan integral, tidak dengan cara
persial artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu
kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Memahami Islam
secara persial akan membahayakan, menimbulkan skeptis,
bimbang dan penuh keraguan.
c).Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para
ulama besar dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya
mereka memiliki pemahaman Islam yang baik yaitu pemahaman
yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap ajaran Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah
dari praktek ibadah yang dilakukan setiap hari.
d.) Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan teologi normatif
yang ada dalam al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan
kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di
masyarakat.
Memahami Islam dengan cara keempat sebagaimana
disebutkan diatas, akhir-akhir ini sangat diperlukan dalam upaya
menunjukan peran sosial dan kemanusiaan dari ajaran islam itu
sendiri.
Selain itu Mukti Ali juga mengajukan pendapat tentang
metode memahami Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali
Syariati yang menekankan pentingnya melihat Islam secara
menyeluruh. Dalam hubungan ini Mukti Ali mengatakan, apabila kita
melihat Islam hanya dari satu segi saja, maka kita hanya akan melihat
satu dimensi dari fenomena-fenomena yang multi faset (terdiri dari
banyak segi), sekalipun kita melihatnya itu betul. Islam seharusnya
dipahami secara bulat, yaitu pemahaman Islam dipahami secara
komprehensif.
Metode lain yang diajukan Mukti Ali adalah metode
Tipologi. Metode ini banyak ahli sosiologi dianggap obyektif berisi
klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan
dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Metode ini
juga untuk memahami agama Islam, juga agama-agama lain, kita
dapat mengindentifikasi lima aspek dari ciri yang sama dari agama
lain, yaitu 1)aspek ketuhanan 2)aspek kenabian 3)aspek kitab suci
dan 4)aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang
didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh
agama itu.
Agar kita dapat memahami dengan betul ciri-ciri tuhan, kita
harus kembali kepada al-Quran dan Hadis Nabi serta keterangan yang
diberikan para pemikir Muslim dalam bidang itu.
Dari beberapa metode diatas kita melihat bahwa metode
yang dapat digunakan untuk memahami Islam secara garis besar ada
dua macam. Pertama metode Komparasi, yaitu suatu cara memahami
agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama
Islam tersebut dengan agama lainnya, dengan demikian akan
dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua, Metode
sintesis yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara
metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional obyektif, kritis
dan seterusnya dengan metode teologis normatif.

Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang


terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini
seseorang memulai dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak
benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama bersal dari
Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan Mutlak benar, maka
agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat
agama sebagai norma ajaran yang berkaitan dengan aspek kehidupan
manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui
metode teologi normatif yang tergolong tua usianya ini dapat
dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh dan militan
pada Islam, sedangkan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong
muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam
yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta
memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi
manusia.

F. Kesimpulan
Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan
memahammi Islam terdapat 3 (tiga) cara yang jelas yakni naqli
(tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Ketiga pendekatan
tersebut telah ada dalam pola pemikiran Rasulullah SAW dan terus
dipergunakan oleh para ulama Islam setelah beliau wafat hingga saat
ini. Ketiga metode tersebut dalam operasionalnya lebih dikenal
dengan istilah pendekatan bayani, irfani dan burhani. Islam adalah
agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasul-
Nya berisi 43okum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta.

G. Daftar Pustaka

Abdullah, Yatimin (2006). Studi Islam Kontemporer. Jakarta:


Amanah.
Nata, Abuddin. ( 2009). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali
Press.

BAB V

MODEL PENELITIAN TAFSIR


A. Pendahuluan
Kemajuan zaman menyebabkan orang-orang khususnya para
ahli untuk terus meneliti berbagai bentuk model penelitian. Salah
satunya adalah model penelitian tafsir yang sangat diperlukan karena
mempunyai banyak manfaat diantaranya di gunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat yang terkandung dalam Alquran.
Dalam perkembangannya, model penelitian tafsir banyak
yang melatar belakanginya salah satunya adalah karena banyak
bermunculan hadist-hadist palsu setelah wafatnya Nabi Muhammad
Saw dan karena banyak terjadi perubahan sosial yang belum pernah
terjadi di masa Rasulullah Saw.
Dalam kajian kepustakaan dapat di jumpai berbagai hasil
penelitian para pakar Alquran terhadap produk tafsir yang dilakukan
generasi terdahulu. Masing-masing peneliti telah mengembangkan
model-model penelitian tafsir yang lengkap dengan hasil-hasilnya.

B. Pengertian Tafsir dan Fungsinya


Kata model berarti contoh, acuan, ragam, atau macam37[1].
Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan yang
dilakukan dengan berbagai cara secara seksama dengan tujuan

37[1] Abuddin Nata, M.A. Metologi Studi Islam, (Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2011), .cet.XVIII, hlm. 209..
mencari kebenaran-kebenaran objektif yang di simpulkan melalui
data-data yang terkumpul. Kemudian kebenaran-kebenaran tersebut
digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaharuan
pengembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoretis dan
praktis dalam bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.
Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru,
tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian38[2].
Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan
keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar
dengan timbangan (wazan) kata tafil diambil dari kata al-fasr yang
berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau
menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu
istilah yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Alquran
tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama.
Al-Jurjani, misalnya mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan
makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks
historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan
ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang
di kehendaki secara terang dan jelas. Iman Al-Zarqani mengatakan
bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran baik
dari segi pemahaman, makna atau arti sesuai di kehendaki Allah,
menurut kadar kesanggupan manusia39[3]. Abu Hayan, sebagaimana
dikutip Al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-
lafal Alquran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung
didalamnya. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Alquran), dengan
cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang
terkandung didalamnya40[4].
Dari beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri utama
tafsir:
1. Di lihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah
(Alquran) yang di dalamnya terkandung firman Allah Swt yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw melalui
malaikat Jibril.

38[2] Ibid hlm. 209.


39[3] Ibid, hlm. 210.
40[4]Ibid, hlm. 210.
2. Dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan,
menyingkap kandungan Alquran sehingga dapat di jumpai hikmah,
hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
3. Dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian,
dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan
kemampuan yang dimilikinya, sehigga suatau saat dapat di tinjau
kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat di ambil suatu
pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian tafsir
adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan
secara seksama terhadap penafsiran Aquran yang pernah dilakukan
generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal
yang terkait dengannya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu Alquran merupakan sumber
ajaran islam. Maka menurut, Quraish Shihab pemahaman terhadap
ayat-ayat Alquran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai
peranan sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

C. Latar Belakang Penelitian Tafsir


Dilihat dari segi usianya, penafsiran Alquran termasuk yang
paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainnya dalam islam.
Pada saat Alquran diturunkan lima belas abad yang lalu, Rasullullah
Saw yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah
menjelaskan arti dan kandungan Alquran kepada sahabat-sahabatnya,
khususnya ayat-ayat yang tidak diketahui artinya. Setelah wafatnya
Rasulullah mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka
yang mempunyai kemampuan semacam Ai Bin Abi Thalib, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Kaab dan Ibn Mas’ud41[5].
Disamping itu, para tokoh tafsir di kalangan sahabat
mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya di kota-kota
tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh baru dari
kalangan tabi’in di kota-kota tersebut.
Penafsiran Rasululah SAW, penafsiran sahabat-sahabat, serta
penafsiran tabi’in di kelompokkan menjadi satu kelompok yang
selanjutnya dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.

41[5] Ibid, hlm. 212


Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya
masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari
sejarah perkembangan tafsir. Pada periode kedua ini bermunculanlah
hadits-hadits palsu dan lemah di tengah masyarakat yang
mengakibatkan perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah
beberapa persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi
Muhammad SAW, para sahabat dan tabi’in.
Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran Al-Qur’an dari
sejak zaman Rasulullah SAW hingga dewasa ini, serta adanya sifat
dari kandungan Al-Qur’an yang terus menerus memancarkan cahaya
kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan.
Pertama,kegiatan penelitian disekitar produk-produk penafsiran yang
dilakukan generasi terdahulu, dan kedua, kegiatan penafsiran Al-
Qur’an itu sendiri42[6].

D. Model-Model Penelitian Tafsir


1. Model Quraish Shihab
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M.
Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis,
dan perbandingan. Model penelitian ini berupaya menggali sejauh
mungkin produk tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang di tulis
oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lain. Data-data
yang di hasilkan dari berbagai literatur , kemudian dideskripsikan
secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kategorisasi dan perbandingan.
Hasil penetian H.M. Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar
Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaikh Muhammad
Abduh (1849-1909) adalah salah seorang ahli tafsir yang banyak
mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat
yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula
ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam Alquran.
Dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish
Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para
ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut dihasilkan kesimpulan yang
berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang: 1. Periodesasi
pertumbuhan dan perkembangan; 2. Corak-corak penafsiran; 3.
Macam-macam metode penafsiran Alquran; 4. Syarat-syarat dalam

42[6] Ibid, hlm. 214


menafsirkan Alquran; 5. Hubungan tafsir modernisasi43[7]. Berbagai
aspek yang berkaitan dengan penafsiran Alquran ini dapat
dikemukakan secara singkat sebagai berikut.

a. Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir


Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi
penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam
tiga periode44[8]. Periode I, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan
permulaan tabi’in, dimana tafsir belum tertulis dan secara umum
periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula
dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ‘Umar
bin Abdul ‘Aziz (99-101 H) dimana tafsir ketika itu ditulis bergabung
dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab –bab hadis
walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir
bin al-Ma’tsur. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab
tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli dimulai
oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya berjudul Ma’ani Alquran.
Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan
periode keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang
membukukan hasil penelitian itu, sehingga dapat membantu
masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada
periode sebelumya dengan mudah.

b. Corak-corak penafsiran
1). Corak sastra Bahasa, yang timbul akibat kelemahan-
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka
tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an
di bidang ini.
2) Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat
yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya
penganut agama-agama lain ke dalam lslam yang dengan sadar
atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan
lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau
tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.

43[7] Ibid, hlm. 215


44[8] Ibid, hlm. 215
3). Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan
dengan perkembangan ilmu.
4). Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih,
dan terbentuknya mazhab – mazhab fiqih yang setiap golongan
berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran – penafsiran mereka terhadap ayat – ayat hukum.
5) Corak Tasawuf, akibat timbulnya gerakan – gerakan sufi
sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap
materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan.
6). Bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh (1849 – 1905
M) corak – corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih
banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan.

c. Macam-macam metode penafsiran Alquran


Secara garis besar dapat dibagi dua:
1) Corak Ma’tsur ( Riwayat)
Metode Ma’tsur memiliki keistimewaan antara lain:
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahai Al-Qur’an.
b.Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan
pesan – pesannya.
c. Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat – ayat sehingga
membatasinya terjerumus dalam subyektipitas berlebihan.
Sedangkan kelemahannya yaitu:
a. kebahasaan dan kesusastaraan yang bertele – tele.
b. Sering kali konteks turunnya ayat atau sisi kronologis
turunnya ayat – ayat hukum yang dipahami dari uraian nasih
mansukh hampir dapat dikatakan di abaikan sama sekali45.

2) Metode penalaran: pendekatan dan corak – coraknya.


a. Metode Tahlily
Metode ini dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy
adalah satu metode tafsir yang mufasir berusaha menjelaskan ayat
– ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan

45 Ibid, hlm.

Pengantar Studi Page 48


Islam
runtutan ayat – ayat Al-Qur’an sebagai mana tercantum dalam
mushaf46.
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk
memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap
kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu.
Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan
oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisi ayat dilakukan secara
mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan
kecenderungan mufassir.
Cara penafsiran ayat-ayat dalam Tafsir Al-Kasysyaf karangan Al-
Zamakhsyari dan Tafsir Al-Kabir karangan Al-Razi, biasanya
dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara
tahlily.
b. Metode Ijmali (metode global)
Cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukkan
kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global.
Metode ini cukup dengan menjelaskan kandungan yang
terkandung dalam ayat secara garis besar.
c. Metode Muqarin
Metode tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang satu
dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan
redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang
memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang
sama atau diduga sama dan atau membandingkan ayat-ayat Al-
Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Yang
tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat
ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
Prosedur penafsiran dengan cara muqarin adalah:
1). Menginventarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan
kemiripan redaksi.
2). Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.
3). Mengadakan penafsiran.

d. Metode Maudlu’iy
Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari
berbagai surat yang berkaitan dengan berbagai persoalant atau
topik yang di tetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir

46Ibid, hlm. 219

Pengantar Studi Page 49


Islam
membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh47.

Metode maudlu’iy mempunyai dua pengertian:


Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Alquran
dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan merupakan
tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang
beraneka ragam dalam surat antara satu dengan yang lainnya dan juga
dengan tema tersebut , sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Alquran
yang membahas satumasalah tertentu dari bebagai ayat atau surat
Alquran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-
ayat tersebut, guna menarik petunjuk Alquran secara utuh tentang
masalah yang dibahas itu.

2. Model Ahmad Al-Syarbashi


Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian
tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan
analisis. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan
bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn
Jarir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari, Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Raghib
Al-Ashfahani, Al-Syatibi, Haji Khalifah48. Hasil penelitian itu
mencakup tiga bidang:
a). Mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an yang di bagi kedalam
tafsir pada masa sahabat Nabi.
b) Mengenai corak tafsir, yaitu tafsir, ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir
politik.
c) Mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya,tafsir pada zaman Rasullullah SAW, pada masa
pertumbuhan islam disusun pendek dan ringkas karena penguasaan
bahasa arab yang murni cukup memahami gaya dan susunan Al-
Qur’an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa arab yang

47Ibid, hlm 222

48[12] Ibid, hlm 224

Pengantar Studi Page 50


Islam
murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat
arab dengan bangsa-bangsa lain. Untuk memelihara keutuhan
bahasanya, orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa
arab seperti ilmu Nahwu (gramatika) dan Balagbab (retorika).
Disamping itu, mereka juga mulai menulis tafsir Al-Qur’an untuk
dijadikan pedoman bagi kaum muslim, sehingga umat islam dapat
memahami banyak hal yang samar dan sulit untuk ditangkap
maksudnya.
Tentang tafsir ilmiah, Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, sudah
dapat kita pastikan bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat suatu teks
induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah.
Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-Syarbashi
tersebut di dasarkan data pada kitab Tafsir Ar-Razi. Dalam kaitan ini
ia mengatakan bahwa dalam kitab Tafsir Ar-Razi banyak bagiannya
yang di anggap ilmiah,sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad
bin Ahmad Al-Iskandrani denga judul yaitu,Kasyful Asrar A-
Nuraniyah al-Qur’aniyyah fi Ma Yata’allaqu bi al-Arwah al-
Samawiyyah wa al-Ardliyah.Demikian juga kitab-kitab tafsir yang
lain seperti Muqaranatu Ba’dhi Mababith al-Hai’ah bi al-Warid fi
al-Nushushy Syar’iyyah,Karya Abdullah Pasha Fikri;Kitab Tafsir al-
Jawahir karya Syaikh Thantawi Jauhari,dan kitab-kitab tafsir lainnya
yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an secara ilmiah.
Selanjutnya,tentang tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan ada
kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf Al-Qur’an dan
berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang
lainnya49 Adanya tafsir sufi tersebut ,Al-Syarbashi mendasarkan
kepada kitab-kitab tafsir yang dikarang para ulama sufi.Untuk itu ia
mengutip pendapat Al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu
yang telah dapat dijangkau dengan berbagai macam ilmu
pengetahuan,segala sesuatu yang telah dapat dipahami dan segala
sesuatu yang telah diungkapkan serta diketahui oleh manusia,
semuanya itu berasal dari dua huruf yang terdapat Pada permulaan
Kitabullah,yaitu bismillah dan al-hamdulillah karna keduanya
bermakna billah(karena Allah)dan lillah(bagi Allah).Ilmu dan
pengetahuan apa saja yang dimiliki manusia atau apa saja yang telah
dapat di mengerti olaeh manusia tidaklah ada dengan
sendirinya,melainkan adanya Allah dan bagi Allah.

49Ibid, hlm. 225


Mengenai tafsir politik,Al-Syarbashi mendasarkan pada
pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat dalam
politik dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.Menurut mereka
terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan perilaku dan
peran politik yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai.Misalnya
ayat yang artinya;Diantara manusia ada orang yang mengorbankan
dirinya demi keridhaan Allah.(QS.Al-Baqarah,2:207).Menurut kaum
Khawarij , ayat tersebut turun berkenaan dengan Ibn Muljam, orang
yang membunuh ‘Ali bin Adi Thalib.Selanjutnya,ayat yang
artinya:jika ada dua golongan dari orang-orangyang beriman
berperang,damaikanlah antara keduanya(QS Al-Hujarat,9).Menurut
kaum Khawarij ayat tersebut diturunkan Allah berkaitan dengan
terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Thalib dengan
golongan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Selanjutnya,mengenai gerakan pembaharuan di bidang
tafsir,Ahmad AL-Syarbasri mendasarkan pada beberapa karya ulama
yang muncul pada awal abad ke-20. Ia menyebutkan Sayyid Rasyid
Ridha murid Syeikh Muhammad Abduh yang mencatat dan
menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-
manar.Untuk langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah
penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama
Tafsir al-Manar, yang artinya kitab tafsir yang mengandung
pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman.Menurut Al-
Syarbasri, Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran-
ajaran Al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat disamping
membuktikan bahwa islam adalah agama yang memiliki sifat
universal, umum, abadi,dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan
tempat.Metode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam
tafsirnya itu adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis-
hadis shaih serta dengan tetap berpegang pada makna menurut
pengertian bahasa Arab.Hal ini dilakukan, karena Syeikh Muhammad
Abduh memandang bahwa teks induk Al-Qur’an sebagai satu
kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.

3. Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali


Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir
Islam abad modern yang produktif. Ia menempuh cara penelitian
tafsir yang bercorak eksploratif,deskriptif,dan analitis dengan
berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama
terdahulu50.
Tentang macam-macam metode memahami Al-
Qur’an,Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan metode
modern dalam memahami AlQur’an. Selanjutnya, Muhammad Al-
Ghazali mengemukakan bahwa metode modern itu timbul sebagai
akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode. Dalam
hubungan ini, Muhammad Al-Ghazali menginformasikan adanya
pendekatan atsariyah atau tafsir bi al-ma’tsur.
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung
dalam metode penafsiran masa lalu,terutama jika dikaitkan dengan
keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah
kontemporer dan modern,Muhammad Al-Ghazali sampai pada suatu
saran antara lain: “Kita inginkan saat ini adalah karya-karya
keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan bertolak
dari pandangan Islam yang benar dan berdiri di atas argument yang
memiliki hubungan dengan Al-Qur’an. Kita hendaknya
berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan
spekulatif, bisa benar bisa juga salah. Disisi lain,kita juga menutup
mata terhadap adanya manfaaat atau fungsi serta sumbangan
pemikiran keagamaan lainnya,bila itu semua menggunakan metode
yang tepat. Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan
Muhammad Al-Ghazali dari hasil penelitiannya.

4. Model Penelitian Lainnya


Selanjutnya, dijumpai pula penelitian yang dilakukan para
ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an. Di antaranya
ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-
Qur’an, metode-metode,kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an,
kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus
meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus
terjadi pada abad keempat.
Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul
studi agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara
sederhana terhadap perkembangan tafsir . Ia mengatakan,jika dilihat
secara garis besar perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad
pertengahan , agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa

50 Ibid, hlm. 227


dominasi penulisan tafsir Al-Qur’an secara leksiografis (lughawi)
tampak lebih menonjol51[15].

51Ibid, hlm. 230

E. Kesimpulan

Model berarti contoh, acuan, ragam, atau macam sedangkan


penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan. Adapun tafsir berasal
dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan,
pemahaman dan perincian. Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-
tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Tiga ciri utama tafsir yaitu: 1. di lihat dari segi objek yaitu
Alquran; 2. dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan,
menerangkan, menyingkap kandungan Alquran; 3. Dari segi sifat dan
kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para
mufassir.
Model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan,
atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran
Aquran yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui
secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
Penelitian tafsir terjadi dalam dua periode, yaitu periode
pertama ketika Rasulullah, para sahabat dan para tabi’in. Periode
kedua yaitu pada saat bermunculan hadits-hadits palsu dan lemah di
tengah masyarakat.
Model penelitian tafsir yaitu:
1. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M. Quraish
Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan
mengenai tafsir diantaranya periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan tafsir yang terbagi 3, corak-corak penafsiran yang
terbagi 6, macam-macam metode penafsiran Alquran yang secara
garis besar terbagi 2, yaitu corak ma’tsur dan metode penalaran yang
terdiri dari metode tahlily, ijmali,muqarin dan maudlu’iy; syarat-
syarat dalam menafsirkan Alquran, dan hubungan tafsir modernisasi.
2. Model Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir
dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis yang
mencakup 3 bidang yaitu Mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an
Lebih lanjut Amin Abdullah mengatakan,meskipun
begitu,masih perlu digarisbawahi bahwa karya tafsir mutakhir kaya
dengan metode komparatif di dalam memahami dan menafsirkan arti
suatu kosa kata Al-Qur’an.
Karya tafsir yang menonjol I’jaz umpamanya,akan membuat
kita terpesona akan keindahan bahasa Al-Qur’an,tetapi belum dapat
menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral Al-Qur’an untuk
kehidupan sehari-hari manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al-
Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin
ditonjolkan,sudah tentu bermanfaat untuk mempelajari latar belakang
sejarah turunnya ayat per ayat,tetapi juga mengandung minus
keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran Al-Qur'an yang bersifat

F. Daftar Pustaka

Nata, Abuddin ( 2011). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

yang di bagi kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi, mengenai corak
tafsir, dan mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
3. Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali cara penelitian tafsir yang
bercorak eksploratif,deskriptif,dan analitis dengan berdasar pada
rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu.
4. Model Penelitian Lainnya di antaranya ada yang memfokuskan
penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-
metode,kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, kunci-kunci
untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti
mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi
pada abad keempat.
BAB VI

MODEL PENELITIAN HADITS


DAN ULUMUL HADITS
A. Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran,
keberadaan hadits, disamping telah mewarnai masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian
yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penelitian terhadap hadits
baik dari segi keautentikannya, kandungan makna dan ajaran yang
terdapat didalamnya, macam-macam tingkatannya maupun fungsinya
dalam menjelaskan kandungan alquran dan lain sebagainya telah
banyak dilakukan para ahli dibidangnya.
Hasil-hasil penelitiaan dan kajian para ahli tersebut
selanjutnya, telah didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada
kalangan akademis di perguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah
maupun pada kalangan masyarakat pada umumnya. Bagi kalangan
akademis, adanya berbagai hail penelitian hadits tersebut telah
membuka peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian islm,
yaitu bidang studi hadits.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka pada makalah ini
pembaca diajak melakukan studi terhadap model-model penelitian
hadits dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian hadits
sebagaimana terlihat pada makalh berikut ini.

B. Pengertian Hadits dan Ulumul Hadits


Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalaui
dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistic) dan
pendektan istilah (terminologis).Menurut bahasa, al-hadits artinya al-
jadid (baru), al-khabar (berita), pesan keagamaan, pembicaraan52.
Selanjutnya, hadits dilihat dari segi pengertian istilah
dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan
karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing
daam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadits misalnya
berpendapat bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadan Nabi

52 Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta,


Tiara Wacana Yogya, 2011), hlm. 1.
Muhammad Saw. Sementara ulama ahli hadits lainnya seperti al-
thiby berpendapat bahwa hadits bukn hanya perkataan, perbuatan dan
ketetapan Rasulullah Saw., akan tetapi termasuk perkataan,
perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. selain itu ulama
ahli ushul fiqh berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan
dan ketetapan Rasulullah Saw. yang berkaitan dengan hukum.
Sementara itu ulama ahli fiqh mengidentikkan dengan sunnah, yaitu
sebagai salah satu dari hukum taklifi, suatu perbuatan apabila
dikerjakan akan mendapat paala dan apabila ditinggalkan tidak akan
berdosa. Dalam kaitan ini ulama ahli ushul fiqh berpendapat bahwa
hadits adalah sifat syar’iyah untuk perbuatan yang dituntut
mengerjakannya, akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidak secara
pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak
berdosa bagi yang meninggalkannya.53
Dalam khazanah imu keislaman, dikenal satu rumpun ilmu
yang membicarakan tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan
hadits nabi, ilmu ini disebut ulumul hadits.Disebut sebagai uluml
hadits, dikarenakan didalam pembicaraannya meliputi beberapa ilmu
(cabang-cabang ilmu), baik berkaitan dengan keautentikan hadits-
hadits yang beredar dalam masyarakat maupun tentang pemahaman
terhaddap kandungan isinyaa. Dengan kata lain ilmu hadits
merupakan satu kelompok ilmu yang mengitari persoalan yang
berkaitan dengan hadits nabi saw54.

C. Model-Model Penelitian Hadits dan Ulumul Hadits


1. Model H.M Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap hadits
menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan
dengan penelitian terhadap Alquran. Dalam bukunya berjudul
membumikan alquran, quraish shihab hanya meneliti dua sisi dari
keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan alquran serta
fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian yang
beliau gunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan, yaitu
sejumlah buku yang ditulis para pakar dibidang hadits termasuk pula
alquran.Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis, dan

53 A. Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Fakultas


Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1982), hlm. 6-7.
54 Abd. Wahid, Epistemologi Ilmu Hadits, ( ArraniryPress dan Lembaga
Naskah Aceh, 2012), hlm. 23.
bukan uji hipotesis. Hasil penelitian quraish shihab tentang fungsi
hadits terhadap alquran, menyatakan bahwa alquran menekankan
bahwa rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah
(QS 16:44)55.
Selain itu al-hadits juga dapat mengambil pern sebagai
menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati didalam al-quran.
Misalnya hadits yang artinya : “ Tidak boleh seseorang
mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari
bapak)nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)nya”. (HR
Bukhari dan Muslim), dan hadits yang artinya : “Sungguh Allah telah
mengharamkan mengawini seseorang karna sepersusuan,
sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”.
(HR Bukhari dan Muslim). Materi hukum yang ditetapkan
keharamannya oleh kedua hadits tersebut sepanjang penelitian yang
dilakukan para ahli hadits tidak dijumpai didalam alquran, sehinga
nabi Muhammad saw. mengambil inisiatif untuk
mengharamkannya.56

2. Model Musthafa Al-Siba’iy


Musthafa Al-Siba’iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual
muslim dri mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan
ikhwanul muslimin, selain banyak menulis (meneliti) tentang
masalah-masalah social ekonomi dari sudut pandang islam, juga
menulis buku-buku materi kajian agama islam. Penelitian yang
dilakukan Musthafa Al-Siba’iy dalam bukunya itu bercorak
eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan
secara deskriptif analitis.Yakni dalam sistem penyajiannya
menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah.Ia
berupaya mendapatkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya
dari berbagai literature hadits sepanjang perjalanan kurun waktu yang
tidak singkat.57
Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa Al-Siba’iy antara lain
mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari
Rasulullah sampai terjadnya upaya pemalsuan hadits dan usaha para

55 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),


hlm. 241-242.
56 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 244.

57 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),


hlm. 244
ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah.
Selanjutnya, Al-Siba’iy juga menyampaikan hasil penelitiannya
mengenai pandangan kaum khawarij, syi’ah, mu’tazilah, dan
mutakallimin, para penulis modern dan kaum muslimin pada
umumnya terhadap as-sunnah, dibukukannya ilmu musthalah al-
hadits, ilmu jarh dan al-ta’dil (al-jahr yaitu cacat, sedangkan al-ta’dil
ialah kebalikan dari al-jahr),58 kitab-kitab tentang hadits palsu dan
para pemalsu dan penyebarannya.Dilanjutkan dengan laporan tentang
sejumlah kelompok dimasa sekarang yang mengingkari kehujjahan
al-sunnah disertai pembelaannya.Dengan melihat isi penelitian
tersebut, Al-Siba’iy tampak tidak netral.Ia berupaya mengumpulkan
bahan-bahan kajian sebanyak mungkin untuk selanjutnya, diarahkan
untuk melakukan pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah.
Seharusnya ia menyajikan data apa adanya, sedangkan penilaiannya
diserahkan kepada pembaca.59

3. Model Muhammad Al-Ghazali


Muhammad al-ghazali yang menyajikan hasil penelitiannya
tentang hadits dalam bukunya berjudul al-sunnah al-nabawiyah baina
ahl al-fiqhwa ahl al-hadits adalah salah seorang ulama jebolan
universitas al-azhar mesir yang disegani didunia islam, khusunya
timur tengah, dan salah seorang penulis arab yang sangat prouktif.
Menurut quraish shihab, buku ini telah menimbulkan tanggapan yang
berbeda, sehingga menjadi salah satu buku terlaris dengan lima kali
naik cetak dalam waktu antara januari-oktober 1989.60
Dilihat dari segi kandungan dalam buku tersebut, Nampak bahwa
penelitian hadits yang dilakukan Muhammad al-ghazali termasuk
penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami
sedalam-dalamnya berbagai persoalan actual yang muncul di
masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan
berpijak pada konteks hadits tersebut. Dengan kata lain, Muhammad
al-ghazali terlebih dahulu memahami hadits yang diteitinya itu
dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan
berbagai masalah actual yang muncul di masyarakat. Corak

58 Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta,


Tiara Wacana Yogya, 2011), hlm.120.

59 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 245.


60 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 245-246.

Pengantar Studi Page 59


Islam
penyaiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni
mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan
menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan fiqh, sehingga
terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran islam dari
berbagai pham yang dianggapnya tidak sejalan dengan alquran dan
al-sunnah yang mutawatir.Masalah yang terdapat dalam buku hasil
penelitian Muhammad al-ghazali itu nampak cukup banyak. Setelah
ia menjelaskan tentang keshahihan hadits dan persyaratannya, ia
mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan
keluargannya, tentang huku qishash, shalat tahiyah masjid, tentang
sekitar dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar, wanita
keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid, kesaksian
wanita dalam kasus-kasus pidana dn qishash, perihal nyanyian, etika
makan, minum, berpakaian, dan membangun rumah, kemasukan
setan: esensi dan cara pengobatannya, memahami alquran secara
serius, hadits-hadits tentang masa kekacauan, antara sarana dan
tujuan, serta takdir dan fatalisme.61]

4. Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy


Al-Hafidz Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-
Iraqiyyang hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi
pertamayang banyak melakukan penelitian hadits.mengingat sebelum
zaman al-iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia
berusaha membangun ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan
hadits nabi serta berbagai pendapat para ulama yang dijumapi dalam
kitab tersebut. Dengan demikian, penelitiannya bersifat penelitian
awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan
untuk digunakan membangun suatu ilmu.Buku inilah buat pertana
kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan pada
kulitas sanad dan matannya, yaitu hadits yang tergolong shahih,
hasan dan dhaif.Kemudian dilihat pula dari keadan bersambung atau
terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, muttsil,
marfu’, mauquf, mursal, dan al-munatil.Selanjutnya, dilihat pula dari
keadaan kualitas matannya yang dibagi enjadi hadits yang syadz dan
munkar62.

61 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 246-247.


62 Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis & Metodologis,
(Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2011), hlm. 83
5. Model Penelitian Lainnya
Selanjutnya, terdapat pula model penelitin hadits yang diarahkan
pada focus kajian aspek tertentu saja.Misalnya, rif’at fauzi abd al-
muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan al-sunnah
pada abad ke-2H.hasil penelitiannya itu dilaporkan dalam bukunya
berjudul tautsiq al-sunnah fi al-qurn al-tsaniy al-hijri usushu wa
itijabat. Selanjutnya Mahmud abu rayyah melalui telaah kritis atas
sejumlah hadits nabi Muhammad saw. dalam bukunya berjudul
adlwa’a ‘ala al-sunnah al-muhammadiyah, tanpa menyebutkan tahun
terbitnya. Sementara itu, Mahmud al-thahhan khusus meneliti cara
menyeleksi hadits serta penentuan sanad yang disampaikan dalam
bukunya berjudul ushul al-takhrij wa dirasat al-asanid, diterbitkan
tanpa tahun. Disusul pula oleh ahmadMuhammad syakir yang
meneliti buku ikhtishar ‘ulum al-hadits karya ibn katsir (701-774H)
dalam bukunya berjudul al-baiths al-hadits syarb ikhtishar ulum al-
hadits yang diterbitkan di Beirut, tanpa tahun.63
Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu
hadits tumbuh menjaddi salah satu disiplin ilmu keislaman.Penelitian
hadits tampak masih terbuka luar terutama jika dikaitkan dengan
permasalahan actual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadits
yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak
dilakukan. Demikian pula hadits-hadits yang ada hubungannya
dengan berbagai masalah actual tampak masih terbuka luas.Berbagai
pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan.
Misalnya pendekatan sosiologis,paedagogis, antropologis, ekonomi,
politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para
peneliti hadits sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, tampak
bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada umunya masih
bersifat parsial.64

C. Metode mempelajari hadits dan ulumul hadits


1. Al-sima’

63 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali


Pers, 2011)hlm. 248.
64 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 249.
Yaitu seorang guru membaca hadits yang dihapalnya atau yang
ada dikitab tertentu dihadapan murid, dengan cara membaca
hafalan, membaca dari kitab-kitab, tanya jawab dan dikte.
2. Al-qira’ah ‘ala al-syaikh atau al-‘aradh
Yaitu seorang murid membaca hadits (yang boleh jadi diperoleh
dari guru lain) didepan guru.
3. Al-ijazah
Yaitu pemberian izin seorang guru kepada murid untuk
meriwayatkan buku hadits tanpa membacca hadits tersebut satu
demi satu.
4. Al-munawalah
Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau
kitab untuk diriwayatkan.
5. Al-mukatabah
Yaitu seorang guru menulis hadits untuk seseorang.
6. I’lam al-syaikh
Yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-
hadits yang ada didlam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang
diperoleh guru dari sipolan, tanpa menyebut izin/ijazah
periwayatan simulut kepada orang lain.
7. Al-washiyyah
Yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada
muridnya sebelum pergi atau meninggal.
8. Al-wijadah
Yaitu ada orang menemukan catatan atau buku hadits yang
ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi/izin untuk
meriwayatkan hadits dibawah bimbingan dan kewenanagan
seseorang.65

D. Daftar Pustaka

Muh.Zuhri. (2011). Hadits Nabi Telaah Historis & Metodologis,


Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.
A.Khaer Suryaman. (1982). Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Fakultas
Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta..

65Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis & Metodologis,


(Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2011), hlm 106-109.
]Abd.Wahid. (2012). Epistemologi Ilmu Hadits/ Banda Aceh:
ArraniryPress dan Lembaga Naskah Aceh.
Abuddin Nata. (2011). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali
Press.

UJIAN TENGAH SEMESTER


BAB VII

MODEL - MODEL FILSAFAT ISLAM

A. Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
keberadaannya telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mereka
yang berpikiran maju yang ditandai dengan sifat terbuka, rasional,
kritis obyektif, berorientasi ke depan, dinamis dan mau mengikuti
zaman, tanpa meninggalkan prinsip atau ajaran dasar yang bersifat
asasi-dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran Filsafat
Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat tradisional yakni
berpegang teguh kepada doktrin ajaran al-Qur’an dan al-Hadist
secara tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat, bahkan
menolaknya karena takut dapat melemahkan iman.
Berbagai analisis tentang penyebab kurang diterimanya
filsafaat di kalangan masyarakat islam Indonesia pada umumnya
adalah karena pengaruh pemikiran al-Ghazali yang dianggapnya
sebagai pembunuh pemikiran filsafat. Anggapan ini juga selanjutnya
telah pula dibantah oleh pendapat lain yang mengatakn bahwa
penyebabnya bukanlah al-Ghozali, melainkan sebab–sebab yang lain
yang belum jelas.
Barangkali kita sepakat bahwa dengan mengkaji metodologi
penelitian filsafat yang dilakukan para ahli, kita ingin meraih kembali
kejayaan Islam di Bidang Ilmu pengetahuan sebagaimana yang
pernah dialami di Zaman klasik. Hal ini terasa lebih diperlukan pada
saat bangsa Indonesia menghadapi tantangan zaman pada era
globalisasi yang demikian berat.

B. Pengertian Filsafat Islam


Berikut pendapat para ahli mengenai pengertian filsafat islam :
1) Louis O. Kattsof
Dari segi bahasa, filsafat Islam terdiri dari gabungan kata filsafat
dan Islam. Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan
kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah.66

66Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat (terj) Soedjono


Soemargono Dari Judul Asli Element Of Philosophy, (Yogyakarta :
Bayu Indra Grafika, 1989), cet. Ke-6,hlm.1.
2) Omar Mohamad Attaumi
Filsafat berarti cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian pada nya dan menciptakan
sikap positif terhadapnya. Filsafat berarti mencari hakekat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman – pengalaman manusia.67

3) Harun Nasution
Kata Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang
berarti patuh, tunduk, berserah diri serta memohon selamat dan
sentosa. Kata tersebut berasal dari salima yang berarti selamat,
sentosa, aman dan damai. Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi
agama yang ajaran – ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, sebagai Rosul.
Islam pada hakikatnya membawa ajaran – ajaran yang bukan hanya
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Sumber dari ajaran
– ajaran yang mengambil berbagai berbagai aspek itu ialah al-Qur’an
dan hadits.68

4) Musa Al-asy’ari
Merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan
berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan histories terhadap
filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi
yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran
yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-
persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Oleh karena itu, perlu
dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Islam, agar dunia pemikiran
Islam terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman.69

5) Amin Abdullah
Dalam hubungan ini ia mengatakan: “ meskipun saya tidak
setuju untuk mengatakan bahwa filsafat Islam tidak lain dan tidak
bukan adalah rumusan pemikiran Muslim yang ditempeli begitu saja

67Omar Muhammad al-Thoumi al-syaibani, Filsafat


Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979, cet.1.hlm. 25.
68Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Bebagai
Aspek,(Jakarta: Universitas Indonesia,1979), cet. 1, hlm. 29.
69 Musa Al-As’ari, Filsafat Islam Suatu Tujuan Ontologis,
(Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), cet. 1, hlm. 13
dengan konsep filsafat Yunani, namun sejarah mencatat bahwa mata
rantai yang menghubungkan gerakan pemikiran filsafat Islam era
kerajaan Abbasiyah dan dunia luar di wilayah Islam, tidak lain adalah
proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dan
kebudayaan Yunani lewat karya –karya filosof Muslim, seperti
Alkindi ( 185 H/801 M. – 260 H/ 873 M), Al-Farabi ( 258 H/ 870 M
– 339 H/ 950 M), Ibn Miskawaih ( 320 H./ 923 M – 421 H./ 1030 M.)
Ibn Sina ( 370 H/ 980 M. – 428 H/ 1037 M), Al-Ghazali (450 H/1058
M. -505 H/ 1111 M) dan Ibnu Rusyd ( 520H/ 1126 M- 595 H/1198
M). Filsafat profetik ( Kenabian), sebagai contoh, tidak dapat kita
peroleh dari karya-karya Yunani. Filsafat kenabian adalah trade mark
filsafat Islam. Juga karya-karya Ibn Bajjah ( wafat 553 H/ 1138 M),
Ibn Tufail ( wafat 581 H. / 1185 M) adalah spesifik dan orisinal karya
filosof Muslim70

6) Damardjati Supadjar
Terdapat dua kemungkinan pemahaman konotatif :
a. Filsafat islam dalam arti filsafat tentang Islam yang dalam bahasa
inggris kita kenal sebagai Philosophy of Islam. Dalam hal ini islam
menjadi bahan telaah, objek material suatu studi dengan sudut
pandang atau objek formalnya, yaitu filsafat. Jadi disini Islam
menjadi genetivus objectivus.
b. Filsafat Islam dalam arti Islamic Philosophy, yaitu suatu filsafat
yang islami. Di sini Islam menajdi genetivus subjektivus, artinya
kebenaran Islam terbabar pada datarran kefilsafatan.71

7) Ahmad Fuad Al-Ahwani


Filsafat Islam ialah pembahasan meliputi berbagai soal alam
semesta dan bermacam-macam masalah manusia atas dasar ajaran-
ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.72

D. Model Model Penelitian Filsafat Islam

70Amin abdullah, Aspek Epistimologis Filsafat Islam,


(Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), cet.1, hlm. 32-33.
71Darmadjati Supadjar, Sosok Dan Persepektif Filsafat Islam
Tinjauan Aksiologis, Dalam Ibid, hlm.52-53.
72Musa Al-As’ari, Filsafat Islam Suatu Tujuan Ontologis,
(Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), cet. 1, hlm. 13.
Berikut merupakan model-model penelitian yang dilakukan
oleh para ahli dengan tujuan untuk di jadikan bahan perbandingan
bagi pengembangan perbandingan filsafat islam selanjutnya
1). Model M Amin Abdullah.
Menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bercorak
deskriptif, yaitu penelitian yang mengambil bahan-bahan kajiannya
dari bebagai sumber baik yang di tulis oleh tokoh yang di teliti
(sumber primer) maupun sumber yang di tulis oleh orang lain
mengenai tokoh yang di telitinya itu (sumber sekunder). Bahan
tersebut selanjutnya di teliti ke ontetikannya secara seksama, di
klasifikasika menurut variabel yang ingin di telitinya, dalam hal ini
masalah etik; di bandingkan antara sumber yang satu dengan sumber
yang lainnya; lalu di deskripsikan (di uraikan menurut logika berfikir
tertentu) di analisis dan kemudian di simpulkan
2). Model Otto Horrassowitz, Majid Fakri dan Harun Nasution
Menggunakan metode penelitian kualitatif. Sumbernya kajian
pustaka. Metodenya deskriptis analitis, sedangkan pendekatannya
historis dan tokoh. Yaitu bahwa apa yang disajikan berdasarkan data
– data yang ditulis ulama terdahulu, sedangkan titik kajiannya adalah
tokoh.
Penelitian serupa itu juga dilakukan oleh Majid Fakhry.
Dalam bukunya berjudul A History of Islamic Philosophy dan
diterjemahkan oleh Mulyadi Kartanegara menjadi Sejarah Filsafat
Islam, majid Fakhri selain menyajikan hasil penelitiannya tentang
ilmu kalam, Mistisisme daqn kecenderungan – kecenderungan
modern dan kontemporer juga berbicara tentang filsafat.
Penelitiannya tersebut nampaknya menggunakan campuran.
Yaitu selain menggunakan pendekatan historis juga menggunakan
pendekatan kawasan, bahkan pendekatan substansi. Melalui
pendekatan histories, ia mencoba meneliti latar belakang munculnya
berbagai pemikiran filsafat dalam islam. Sedangkan dengan
pendekatan kawawsan, ia mencoba mengemukakan berbagai
pemikiran filsafat yang dihasilkan dari berbagai tokoh tersebut.
Dalam pada itu Harun Nasution, juga melakukan penelitian
filsafat deangan menggunkan pendekatan tokoh dan pendekatan
histories. Bentuk penelitiannya deskriptif dengan menggunakan
bahan – bahan bacaan baik yang ditulis oleh tokoh yang bersangkutan
maupun penulis lain yang berbicara mengenai tokoh tersebut. Dengan
demikian penelitiannya bersifat kualitatif.
3) Model Ahmad Fuad Al – Ahwani
Ahmad Fuad Al – Ahwani ntermasuk pemikir modern dari
Mesir yang banyak mengkaji dan meneliti bidang filsafat Islam.
Adapun metode penelitian yang ditempuh Ahmad Fuad Al– Ahwani
adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan
bahan – bahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Sedangkan pendekatannya bersifat campuran,
yaitu pendekatan histories, pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui
pendekatan histories, ia mencoba menjelaskan latar belakang
timbulnya pemikiran filsafat dalam Islam. Sedangkan dengan
pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh– tokoh filosof
menurut tempat tinggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia
mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan
tokoh yang mengemukakannya.

E. Kesimpulan
Dari Pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa
1. Filsafat Islam adalah suatu ilmu yang mencakup ajaran Islam
dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.
2. Ada beberapa Model penelitian filsafat Islam antara lain
a) Model M. Amin Abdulla:Penelitian yang dilakukan termasuk
kategori penelitian kualitatif berdasarkan sumber kepustakaan
yang bercorak deskriptif analitis dan menggunakan
pendekatan studi tokoh dan komparatif studi khususnya di
bidang etika.
b) Model Otto Horrassowitz , Majid Fakhry dan Harun
Nasution:Penelitian yang dilakukan ketiganya termasuk
penelitian kualitatif dan metodenya adalah deskriptis analitis.
Akan tetapi pendekatan yang digunakan Otto H dan Harun
Nasution adalah pendekatan historis dan tokoh sedangkan
Majid Fakhry menggunakan pendekatan campuran antara
historis, kawasan, dan pendekatan substansi.
c) Model Ahmad fuad Al-Ahwani:Penelitian yang dilakukan
termasuk kategori penelitian kualitatif berdasarkan sumber
kepustakaan yang sifat dan coraknya adalah penelitian
deskriptif kualitatif dan pendekatannya bersifat campuran
antara pendekatan historis, kawasan dan tokoh.
Berbagai hasil penelitian yang dilakuakan para ahli mengenal
filsafat Islam tersebut memberi kesan kapada kita, bahwa pada
umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan–bahan
bacaan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan
umumnya bersifat deskriptif analistis. Sedangkan pendekatan yang
digunakan umumnya pendekatan histories, kawasan dan
substansial. Penelitian tersebut belum berhasil mengangkat dasar
pemikiran yang membentuk filsafat itu sendiri. Pengkaji filsafat
biasanya terbiasa dengan diskusi dan perbincangan yang begitu
mendalam tentang uraian– uraian dan kutipan filosof, hampir
seolah–olah kutipan–kutipan filosof itu baru saja dihasilkan dan
seolah – olah tidak mengalami kesulitan interprestasi yang
melelahkan.

F. Daftar Pustaka

Ahmad Fuad Al-ahwani. (1985). Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka


Firdaus, cet. 1.
Amin Abdullah. (1992). Aspek Epistimologis Filsafat Islam.
Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, cet.1.
Darmadjati Supadjar(1990). Sosok Dan Persepektif Filsafat Islam
Tinjauan Aksiologis.
Harun Nasution.(1979). Islam Di Tinjau Dari Bebagai Aspek.
Jakarta: Universitas Indonesia, cet. 1.
Louis O. Kattsof .(1989). Pengantar Filsafat (terj) Soedjono
Soemargono Dari Judul Asli Element Of Philosophy.
Yogyakarta :Bayu Indra Grafika..
Mustofa,A. (2004). Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Musa Al-As’ari. (1992). Filsafat Islam Suatu Tujuan Ontologis.
Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, cet. 1..
Nata, Abuddin. (1998). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Omar Muhammad al-Thoumi al-syaibani. (1979). Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, cet.1.
BAB VIII

MODEL PENELITIAN ILMU KALAM

A. Pendahuluan
Ilmu kalam atau teolgi termasuk salah satu bidang studi islam
yang amat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun masyarakat
pada umumnya.yang selanjutnya teologi menjdai salah satu bidang
kajian islam di perguruan tinggi IAIN Ar-Raniry (Banda Aceh).
Oleh karena itu hal tersebut merupakan fenomena yang cukup
menarik untuk diteliti secara lebih seksama pada makalah ini audien
akan diajak mengkaji secara seksama model penelitian ilmu kalam
yang dilakukan para ahli , baik penelitian pemula maupun penelitian
lanjutan yang bersifat deskriptif analitis.73

B. Pengertian Ilmu Kalam


Ilmu kalam atau ilmu telogi menurut pengertian secara
harfiyah yaitu bersal dari kata teo yang artinya tuhan dan logi yang
artinya ilmu sedangkan menurut pengertian secara giobal yaitu ilmu
membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang
berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan.
Menurut Ibn khaldun, sebagaimana dikutip Hanafi dan dikutip
pula oleh abuddin nata, Ilmu kalam adalahilu yang berisi alasan-
alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan
menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-
orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran
golongan salaf dan ahli sunnah.74
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu teologi berbicara
berbagai masalah berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya
seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad, kehidupan akhirat,
berkaitan dengan kalamullah, orang yang tidak beriman dan
sebagainya. Sejalan dengan ini teologi kadang di namai ilmu tauhid,
ushuluddin, aqaid,75dan ketuhanan.

73Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) ,


hal. 267
74Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam... , hal.268.
75Dinamai ilmu tauhid meengajak orang agar mempercayai pada satu
tuhan yaitu Allah, dinamai ilmu ushuluddin karena membahas pokok keagamaan, di
namai ilmu aqaid karena dengan ilmu ini seseorang di harapkan meyakini dalam
Dengan demikian seseorang yang mempeajari dapat
mengetahui bagaiman cara-cara untuk memiliki keimanan dan
bagaimana pula cara menjaga keimanan tersebut agar tidak hilang
atau rusak.

C. Model-Model Penelitian Ilmu Kalam


Secara garis besar, penelitian ilmu penelitian ilmu kalam dibagi
menjadi dua bagian yaitu pertam penelitian yang bersifat dasar
atau pemula, dan pada tahap ini sifatnya baru pada tahap
membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu. kedua
penelitian yang bersiafat lanjutan atau pengembangan dari
penelitaian pemula, pada model ini mendeskripsikan Ilmu kalam
menggunakan bahan-bahan rujukan dari peneliti pertama.

1. Penelitian Awal
Dalam kaitan ini dapat kita jumpai beberapa karya hasil yang
disusun oleh ulama selaku peneliti pemula, karya peneliti pemula
sebagai berikut :

a) Model Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-


Maturidi Al-Samarqandi
Beliau telah menulis buku teologi yang berjudul kitab At-
tauhid dalam buku tersebut disebutkan pembahasan tentang cacatnya
taqlid dalam hal beriman, serta kewajiban mengetahui agama dengan
dalil al-sama' (dalil naqli) dan dalil aqli, pembahasan tentang alam,
antrophormisme or paham jism pada tuhan, sifat-sifat Allah, dan
perbedaan faham diantara manusia tenteng cara allah menciptakan
makhluk, perbuatan mahluk, paham qadariyah, qada dan qadar,
keimanan, tidak adanya dispensasi dalam hal islam dan iman

b) Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma'il Al-Asy'ari


Beliau telah menulis buku berjudul Maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf
al- mushallin. Didalam bukunya pada juz pertama membahas
masalah aliran-aliran induk yang mencapai sepuluh, dan dibahas pula
masalah aliran syiah, kebolehan bagi allah dalam menciptakan alam,
kesanggupan manusia, perbuatan manusia dan bintang, kelahiran,
kepemimpinan (imamah), kerasulan, keimanan, janji baik dan buruk,

hatinya secara mendalam dan menggikatkan diribya hanya pada allah Abuddin
Nata, metodologi studi islam…, hal. 269
siksaan bagi anak necil, tentang tahkim(arbitrase), hakikat manusia
khawarij. Dan masih banyak76[4]

c) Model Abdul Al-Jabbar bin Ahmad


Beliau menulis buku syarh Al-Ushul Al-Khamsyah bagi yang ingin
mengkaji tentang ajaran mu’tazilah secara mendalam, mau tidak mau
harus membaca buku ini. Ajaran pokok Mu’tazilah ada lima yaitu, al-
tauhid, al-Adl, al-wa’ad alwa’id,77[5] al-tauhid, al-Adl, al-wa’ad
alwa’id, al-manzilah bain al-manzilatain, amar ma’ruf nahi munkar.
dalam buku tersebut disebutkan tentang ajaran mu'tazilah secara
mebdalam diantaranya adalah kewajiban yang utama dalam
mengetahui allah, ma'na wajib, ma'na keburukan, hakikat pemikiran
dan macam-macamnya, pembagian manusia, urusan dunia dan
akhirat, makna berpikir.78[6]

d) Model Thahariyah
Beliau telah menulis buku yang berjudul Syarah Al-Aqidah At-
thahawiyah. Dalam buku ini membahas teologi kalangan ulama
salaf79[7], dan didalam buku tersebut telah dibahas kewajiban
mengimani mengenai apa yang telah dibawah oleh rasul, kewajiban
mengikuti ajaran para rasul, makna Tauhid, dan dibahas pula macam-
macam tauhid yang dibawa oleh para rasul, tauhid uluhiyah dan
tauhid rububiyah,80[8]mengenai wujud yang diluar zat, tafsir tentang
qudrat, tafsir kalimat Lailaha illa Allah dll (bisa di lihat di buku MSI
Abuddin nata).

e) Model al-Imam Al-Haramain Al-Juwaini


Beliau telah menulis buku yang berjudul Al-Syamil fi Ushul Al-
Din. Didalam buku tersebut membahas tentag penciptaan alam yang
didalamnya terdapat hakikat jauhar (subtansi), arad (aksidensi) di
dalamnya dibahas hakikat tauhid, kelemahan kaum Mu'tazilah,

76Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam… ,hal.272.


77al-tauhid ialah meng esakan Allah al-Adl ialah keadilan tuhan al-wa’ad
alwa’id ialah paham janji baik dan buruk di akhirat.
78Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam… ,hal. 273.
79Salaf adalah ulama belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan pemikiran
di luar islam atau bukan dari alqur’an dan sunnah
80Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah dalam beribadah tunduk,dan
taat secara mutlak. dan tauhid rububiyah ialah keyakina bahwa allah SWT rabb
semesta alam. Yusuf Qardhawy, Hakikat Tauhid Dan Fenomena Kemusyrikan,
(Jakarta: Rabbani press, 1998), hal. 35-38.
pembahasan tentang akidah, kajian tentang dalil atas kesucian allah
masalah illat atau sebab.

f) Model Al-Ghazali
Beliau telah menulis buku Al-Iqtishod fi al-I'tiqod membahas
tentang perlunya ilmu dalam memahami agama dan juga perlunya
ilmu sebagai fardhu kifayah, pembahasan tentang dzat allah, tentang
qodimnya alam, dan penetapan tentang kenabian muhammad saw.

g) Model Al-Amidy
Beliau telah menulis buku yang berjudul ghoyah almaram fi ilmu
kalam yang membahas tentang sifat-sifat wajib bagi allah, sifat
nafsianya81[9], dan sifat yang jaiz bagi allah dan pembahasan
tentang keesaan allah swt perbuatan yang bersfat wajib al-wujud dan
tentang tidak ada penciptaan selain allah

h) Model Al Syahrastani
Beliau telah menuis buku yang berjudul Kitab Nihayah Al-Iqdam
fi Ilmi Al-Kalam yang membahas tentang barunya alam, tauhid, sifat-
sifat azali, hakikat ucapan manusia tentang allah sebagai yang maha
pendengar dan perbuatan-perbuatan sebelum datangnya syariat.

i) Model Al Bazdawi
Beliau telah menulis kitab yang berjudul Ushul al-Din yang
membahas perbedaan pendapat para ulama' mengenai mempelajari
ilmu kalam mengerjakan dan menyusunnya, perbedaan pendapat para
ulama' mengenai sebab-sebab seorang hamba mengetahui sesuatu
macam –macam ilmu pengetahuan, tentang allah sebagai pencipta
alam semesta,

Penelitain yang dilakukan para tokoh islam tersebut dikata


gorikan sebagai penelitian pemula yang bersifat eksloratif dan
pendekatan doktriner atau subtansi ajaran.
2. Penelitian Lanjutan
Berbagai hasil penelitian lanjutan dapat dikemukakan sebagai
berikut :
a). Model Abu Zahra

81Sifat iradah, ilmu, qudrat, kalam, dan iradat.


Beliau telah menulis buku yang berjudul Tarikh al-Mazahib al-
Islamiyah fi al-Siyasyah wa al-Aqo'id yang membahas tentang
objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai
aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi
dan membahas aliran dalam madzab syiah , khawarij dengan
berbagai sektenya.
b) Model Ali Mustofa Al-ghurabi
Beliau telah meulis buku yang berjudul tarikh Al-Firakh al-
Islamiyah wa Nasyatu Ilmu al-Kalam’ ind al-Muslimin yang
membahas perkembangan ilmu kalam, keadaan aqidah pada zaman
nabi, khulafaurrasyidin dan dilanjutkan pembahasan mengenai
aliran mu'tazilah lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikir
teoliginya
c). Model Abdul al-Latif Muhammad al-Asyr
Beliau telah menulis buku yang berjudul al-fikriyah li madzhab
ahl al-sunnah yang membahas tentang pokok-pokok yang
menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat dikalangan umat
islam, masalah mantiq dan filsafah, barunya alam, sifat-sifat yang
melekat pada Allah Azza wa jalla,nama-nam tuhan, keadilan
tuhan, penetapan kenabian, mu’jizat dan karomah, Rukun Islam,
iman dan islam, taklif (beban) Al-samiyat (wahyu atau dalil naql)
Al-imamah, serta ijtihad dalam hukum agama82
d). Model ahmad mahmud subdi
Beliau telah menulis buku yang berjudul fi ilmi kalam yang
membahas tentang aliran mu'tazilah lngkap dengan ajaran dan
tokoh-tokohnya, berbicara aliran Asy’syariyah dengan ajaran dan
tokohnya.
e) Model Ali Sami' Al-Nasyr dan Amar Jam'iy At-Tholibi
Beliau telah melakukan penelitian khusus terhadap akidah kaum
salaf dengan mengambil tokoh Ahmad bin Hambal, Al-bukhari,
Ibn kutaibah, dan Usman Al-Darimi. Buku tersebut telah
diterbitkan oleh Al-Ma'arif Iskandariyah tanpa menyebutkan
tahunnya. Dalam buku tersebut telah di ungkap tentang pemikiran
kaum salaf yang berasal dari tokoh-tokohnya yang menonjol itu.
Tentang kelebihan salaf, pandangan salaf terhadap alqur’an dan
Al-sunnah, salaf dan keyakinan dan hokum, pertumbuhan aliran
yang terdiri dari sebab-sebab pertumbuhan aliran.

82Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam… hal. 279


f) Model Harun Nasution
Beliau dikenal sebagai guru besar filsafat dan teologi banyak
mencurahkan perhatiannya pada penelitian dibidang teologi islam
(Ilmu Kalam). Salah satu hasil penelitiannya adalah buku fi Ilm al-
Kalam (teologi islam).dalam buku tersebut selain dikemukakan
tentang sejarah timbulnya persoalan-persaoalan teologi dalam
islam,juga dikemukakan tentang berbagai aliran telogi islam lengkap
dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya.
Dari berbagai penelitian yan sifatnya lanjutan tersebut, dapat
diketahui model penlitian yang dilakukan dengan menggunakan ciri-
ciri sebagaim berikut:
Pertama : Penelitian tersebut termasuk penelitian kepustakaan
berbagai sumber ruujukan bidang teologi islam. Kedua : Bercorak
deskriptif yaitu kesungguhannya dalam mendeskripsikan data
selengkapkan mungkin. Ketiga : Menggunakan pendekatan histories,
mengkaji masalah, teologi berdasarkan data sejarah yang
ada,melihatnya sesuai konteks waktu yang bersangkutan, Keempat :
Menggunakan analisis doktrin juga analisis perbandingan.
mengemukakan isi doktrin ajaran perbandingan dengan
mengemukakan isi doktrin ajaran dari masing-masing aliran.

D. Daftar Pustaka

Abuddin Nata. (2009). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali


Press.
Yusuf Qardhawy. (1998). Hakikat Tauhid Dan
Fenomena Kemusyrikan. Jakarta: Rabbani Press.
BAB IX

MODEL PENELITIAN TASAWUF

A. Pendahuluan
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang
memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang
selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Ia mencakup berbagai
jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah
muapun bathiniyah.
Tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya
untuk terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah-masalah
keduniawian. Hal ini terlihat bahwa tuntutan zaman yang semakin
membara membuat sebagian masyarakat cenderung mengarah kepada
degradasi moral dan keterpurukan akhlak. Manusia cenderung
melakukan sesuatu atas dasar kebebasan. Sehingga ia semene-mena
dan acuh tak acuh terhadap akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya.
Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam
menangani masalah ini. Tasawuf secara intensif memberikan
pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan kehadiran
Tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk
mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di masa lalu
(klasik) tahun 650-1250 M. Masa dimana kehidupan manusia bersifat
foya-foya dan suka menghamburkan harta.

B. Pengertian Tasawuf
Tasawuf dari segi kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang
dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya,
menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf yaitu:al-
suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah nabi dari makkah
ke madinah, Shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan
shalat berjamaah, Sufiyaitu bersih dan suci,Shopos dan (Bahasa
Yunani yang artinya Hikmah) danShuf(kain wol kasar).
Ditinjau dari lima bahasa di atas, maka tasawuf dari segi istilah
menggambarkan keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian
jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana,
mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan
yang lebih mulia disisi Allah.Sikap demikian pada akhirnya
membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang
kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang
menyesatkan.83[1]
Pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf brasal dari bahasa
yunani kuno yang telah di arabkan, theo safie artiya ilmu ketuhanan,
kemudian di arabkan dan di ucapkan dengan lidah orang arab
sehingga berubah menjadi tasa-wuf.84[2]
Selanjutnya, secara istilah tasawuf memiliki tiga sudut pandang
pengertian. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk
terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya penyucian diri
dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan
perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus
berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak
yang bersumber pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah swt.Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk
bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya
Tuhan, harus bisa mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan
kegiatan-kegiatan yang berhubungna dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu sama lainnya di
hubungkan, maka segera nampak bahwa tasawuf pada intinya adalah
upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu
dekat dengan allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan
akhlak mulia.85[3]
Fungsi dari tasawuf adalah mengingatkan kembali manusia
siapa ia sebenarnya, yang berarti manusia dibangunkan dari
mimpinya yang ia sebut dengan kehidupan sehari-hari dan bahwa
jiwanya bebas dari pembatasan-pembatasan khayali egonya itu yang
memiliki timbangan obyektif di dalam apa yang di sebut kehidupan
dunia menurut bahasa keagamaan.

83[1]Ahmad Ali Riyadi, Memahami Metodologi Studi Islam, (Yogyakart:


teras, 2013), hlm 121.
84[2]Endang Saifuddin Anshari Kuliah Islam, (Jakarta: Rajawali press,
1986), hlm 156.
85[3]Abuddin nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,1998), hlm 240.
C. Model Penelitian Tasawuf
Sejalan dengan fungsi dan peran taswuf yang demikian itu,
maka di kalangan para ahli telah timbul upaya untuk melakukan
penelitian tasawuf. Berbagai bentuk dan model penelitian tasawuf
secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Model Sayyed Husein Nasr


Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan
muslim kenamaan di abad modern yang amat produktif dalam
melahirkan berbagai karya ilmiah. Perhatiannya terhadap
pengembangan studi islam begitu besar,termasuk kedalam bidang
tasawuf. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam
bentuk bukunya berjudul Tasawuf Dulu dan Sekarang yang
diterjemahkan oleh Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka
firdaus,Jakarta tahun 1985.
Didalam buku tersebut disajikan hasil penelitiannya di bidang
tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu pendekatan
yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema
tertentu. Diantaranya uraian tentang fungsi tasawuf, yaitu tasawuf
dan pengutuhan manusia. Di dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf
merupakan sarana untuk nenjalin hubungan yang intens dengan
Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Selanjutnya dikemukakan pula tentang tingkatan-tingkatan
kerohanian dalam taswuf, manusia di dalam kelanggengan ditengah
perubahan yang Nampak. Setelah itudikemukakan pula
perkembangan taswuf yang terjadi pada abad ketujuh dan mazhab Ibn
Arabi, serta islam dan pertemuan agama-agama. Selanjutnya
dikemukakan tentang problema lingkungan dalam cahaya taswuf,
penaklukan alam dan ajaran islam tentang pengetahuan timur.
Dari Uraian singkat di atas terlihat bahwa model penelitian
taswuf yang diajukan Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan tematik yang berdasarkan pada studi kritis terhadap
ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.

2. Model Mustafa Zabri


Mustafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap taswuf
dengan menulis buku berjudul kunci Memahami Ilmu Tasawuf
diterbitkan oleh Bina Ilmu, Surabaya, tahun 1995. Penelitian yang
dilakukan bersifat eksploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dan
berbagi literatur ilmu tasawuf. Dalam buku yang berjumlah 26 (dua
puluh enam bab) tersebut, disajikan tentang kerohanian yang
didalamnya dimuat tentang contoh kehidupan Nabi Muhammad
SAW, kunci mengenal Tuhan,sendi kekuatan batin,Fungsi
kerohanian dalam menentramkan batin,tarekat dari segi arti dan
tujuannya.
Selanjutnya dikemukakan tentang membuka tabir (bijab) yang
membatasi diri dengan Tuhan, zikrullah, istighfar dan bertaubat, doa,
waliyullah, keramat, mengenal diri sebagai cara untuk mengenal
Tuhan,makna laila illa Allah, hakikat pengertian tasawuf, catatan
sejarah perkembangan tasawuf dan ajaran tentang ma’rifat.
Dengan demikian penelitian tersebut semata bersifat eksploratif
yang menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf
berdasarkan literatur yang tertulis oleh para ulama terdahulu serta
dengan mencari sandaran pada al-Qur’an Hadits.

3. Model Kautsar Azhari Noor


Kautsar Azhar Noor melakukan penelitian yang berjudulIbn
Arabi :Wabdat al-Wujud dalam perdebatan, dan telah diterbitkan
oleh parmadian, Jakarta, tahun 1995. Dengan judul tersebut, terlihat
bahwa penelitian yang ditempuh kautsar adalah studi tentang tokoh
dengan pahamnya yang khas, yang dalam hal Ibn Arabi dengan
pahamnya Wahdat al-Wujud. Penelitian ini cukup menarik, karena
dilihat dari segi paham yang dibawakannya, yaitu Wahdat al-Wujud
telah menimbulkan kontroversi dikalangan para ulama, karena paham
tersebut dinilai membawa paham reinkamasi, atau paham serba
Tuhan, yakni Tuhan menjelma dalam berbagai ciptaan-Nya, sehingga
dapat mengganggu keberadaan zat Tuhan.
Paham wahdat al-Wujud ini timbul dari paham bahwa Allah
sebagaiman diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat
diri-Nya diluar diri-Nya. Oleh karena itu dijadikan-Nya ala mini.
Maka ini merupakan cerminbagi Allah. Dikala ia ingin melihat diri-
Nya, ia melihat kepada alam, pada benda-benda yang ada dalam
alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat Tuhan mekihat
diri-Nya.Dari sini timbullah paham kesatuan. Yang ada dalam alam
ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya halini
sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang
diletakkan disekelilingnya. Didalam tiap cermin ia lihat dirinya,
dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya
satu. Inilah yang selanjutnya menimbulkan perdebatan yang
menghebohkan, karena dapat membawa paham seolah-olah Tuhan
ada di mana-mana, menyatu dengan benda-benda alam, padahal yang
sesungguhnya bukanlah demikian. Tuhan tetap satu, yang banyak itu
hanyalah sifat Tuhan, bukan zat- Nya. Dengan demikian mereka yang
mengira Ibn Arabi membawa paham banyak Tuhan, tidaklah tepat.
Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu, namum sifat-Nya banyak. Sifat
Tuhan yang banyak itu pun dalam arti kualitas atau mutunya berbeda
dengan sifat yang dimiliki manusia. Tuhan misalnya, Maha
Mengetahui, dan pengetahuannya itu meliputi segala sesuatu dan
tidak terbatas, sedangkan sifat manusia tidak mencakup segala hal,
dan sifatnya amat terbatas.

4. Model Harun Nasution


Harusn Nasution, Guru Besar dalam bidang Teologi dan
Filsafat islam juga menaruh perhatian terhadap penelitian dibidang
tasawuf ia tuangkan antara lain dalam bukunya berjudul Falsafat dan
Mistismedalam Islam, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta,
terbitan pertama tahun 1973. Penelitian yang dilakukan Harun
Nasution pada bidang tasawuf ini mengambil pendekatan tematik,
yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk
dekat pada Tuhan,zuhud dan station-station lain, al-mahabbah, al-
ma’rifah, al-fan dan al-baqa, al-ittihad, al-hulul dan wahdat al-wujud.
Pda setiap topikl tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari tiap
topic tersebut dengan data-data yang didasarkan pada literature
kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang
memperkenalkannya. Selain itu Harun Nasution mencoba
mengemukakan latar belakang sejarah timbulnya paham tasawuf
dalam Islam.
Penelitian yang menggunakan pendekatan tematik tersebut
terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan
tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh.
Penelitian tersebut sepenuhnya dersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan
mengemukakannya sedemikian rupa walaupun hanya dalam garis
besarnya saja. Dengan penelitian seperti ini peneliti mengemukakan
apa adanya dengan sedikit melakukan perbandingan antar satu ajaran
dengan ajaran tasawuf lainnya, namun hal ini pun bukan ditujukan
untuk mencari kelebihan dan kekurangan dari ajaran-ajaran tersebut,
tetapi sekedar intuk memperjelas ajaran tersebut.Hal ini biasanya
dilakukan dalam suatu penelitian deskripitif, karena tidak ada
problema atau teori tertentu yang akan diuji kebenarannya.
5. Model A.J.Arberry
Arberry, salah seorang peneliti Barat kenamaan banyak
melakukan studi keislaman, termasuk dalam bidang tasawuf. Dalam
bukunya berjudul Pasang surut Aliran Tasawuf, Arberry mencoba
menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan
tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan demikian ia
coba kemukakan tentang Firman Tuhan, kehidupan nabi,para
zahid,para sufi,para ahli teori tasawuf, strukur teori tasawuf, struktur
teori dan amalan tasawuf, tarikat sufi, teosofi dalam aliran yasawuf
serta runtunhnya aliaran tasawuf. Dari isi penelitian tersebut, Nampak
bahwa Arberry menggunakan analisa kesejarahan, yakni berbagai
tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarahnya, dan tidak
dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentrasformasikan ajaran-
ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih
luas.86[4]

D. Kesimpulan
Tasawuf dari segi kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang
dihubungkan orang dengan tasawuf, diantaranya:
1. al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah nabi dari
makkah ke madinah
2. Shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat
berjamaah
3. Sufiyaitu bersih dan suci
4. Shopos dan (Bahasa Yunani yang artinya Hikmah) dan,
5. Shuf (kain wol kasar).
Dari segi istilah menggambarkan keadaan yang selalu
beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan
Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan
rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah.
Berbagai bentuk dan model penelitian tasawuf secara ringkas
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Model Sayyed Husein Nasr
2. Model Mustafa Zabri
3. Model Kautsar Azhari Noor
4. Model Harun Nasution

86[4]Ibid, 246.
5. Model A.J.Arberry

E. Daftar Pustaka

Ali, Ahmad. (2013). Memahami Metodologi Studi Islam. Yogyakarta:


Teras.
Endang, Saifuddin.(1986). Kuliah Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Nata, Abuddin.(1998). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT
Rajagrafindo Pesada.
BAB X

MODEL PENELITIAN FIKIH (HUKUM ISLAM)

A. Pendahuluan
Belajar fiqih merupakan hal yang sangat penting yang mana
fiqih adalah syariat Islam yang harus dikerjakan oleh umat muslim.
Fiqih mengatur segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala
pekerjaan mukalaf yang mana hukum ini diambil dari alqur’an dan
as-sunnah dengan jalan Ijtihad. Maka dari itu penting sekali bagi
manusia untuk mempelajari Ilmu fiqih karena tanpa mempelajari itu
maka manusia tidak mengerti suatu hukum, bisa dikatakan manusia
tidak ada bedanya dengan hewan.
Seorang itu akan berhasil dalam belajar, kalau pada dirinya
ada keinginan untuk belajar. Inilah prinsip dan hukum pertama dalam
kegiatan pendidikan dan pengajaran, keinginan atau dorongan untuk
belajar inilah yang dinamakan motivasi.
Fikih atau hukum islam merupakan salah satu bidang studi
islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Dari sejak lahir sampai
dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fikih. .
Ilmu fikih di kategorikan sebagai ilmu al-hal, yaitu ilmu yang wajib
di pelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat
melaksanakan kewajibanya mengabdi kepada Allah melalui ibadah
seperti salat, puasa, haji dan sebagainya. Ilmu fikih menyangkut
banyak kehidupan manusia. Tidak hanya pada masalah ibadah saja
namun juga mencakup fikih muamalah, tindak pidana, peperangan
dan pemerintahan dan sebagainya. Demikian besar fungsi fikih maka
nampak menyatu dengan misi agama Islam yang kehadiranya untuk
mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan
keteraturanya. Karena itu sifat yang kemudian menjadi ciri hukum
islam dalam artian hukum yang mengatur kehidupan umat islam
adalah pembedaan antara ajaran ideal dan praktek faktual, antara
syari’ah seperti yang diajarkan ahli-ahli hukum klasik di satu pihak
dan hukum positif yang berlaku di pengadilan di pihak lain.

B. TUJUAN
Tujuan dari model penelitian fikih ini adalah untuk
mengetahui seberapa jauh produk-produk hukum islam tersebut
masih sejalan dengan tuntutan zaman, dan bagaimana seharusnya
hukum islam itu dikembangkan dalam rangka meresponi dan
menjawab secara kongkret berbagai masalah yang timbul di
masyarakat. Penelitian ini dinilai penting untuk dilakukan agar
keberadaan hukum islam atau fiqih tetap akrab dan fungsional dalam
memandu dan membimbing perjalanan umat.

C. Pengertian Dan Karakteristik Hukum Islam


Pengertian hukum islam juga dimaksudkan didalamnya
pengertian syari’at. Dalam kaitan ini ada pendapat yang mengatakan
bahwa hukum islam atau fikih adalah sekelompok dengan syari’at,
yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang
diambil dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Bila ada nash dari al-
Qur’an atau al-Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan
tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain,bila tidak ada
nash dari al-Qur’an atau al-Sunnah, maka dibentuklah suatu ilmu
yang disebut dengan ilmu Fikih. Jadi yang disebut ilmu Fikih ialah
sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil
dari dalil-dalil yang terperinci.
Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat
dibedakan antara syari’ah dan hukum islam atau fikih. Perbedaan
tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakan. Syari’at
bersifat permanen, kekal dan abadi sedangkan fikih atau hukum islam
bersifat temporer dan dapat berubah.
Zaki Yamani membagi syari’at islam dalam dua pengertian
yaitu dalam arti luas dan arti sempit. Pengertian syari’at islam dalam
arti luas adalah semua hukum yang telah disusun dengan teratur oleh
para ahli fikih dalam pendapat-pendapat fikihnya mengenai persoalan
di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian,
dengan mengambil dalil-dalil yang langsung dari al-Qur’an dan al-
Hadist, atau sumber pengambilan hukum seperti ijma’ dan qiyas.
Syari’at dalam arti luas ini memberikan peluang untuk berbeda
pendapat, untuk mengikutinya atau tidak mengikutinya. Sedangkan
Pengertian dalam arti sempit, syari’at islam itu terbatas pada hukum-
hukum yang berdalil pasti dan tegas, yang tertera dalam al-Qur’an,
hadis yang sahih, atau yang ditetapkan oleh ijma’.
Kini syari’at islam telah berusia cukup tua, yaitu dari sejak
kelahiran agama islam itu sendiri pada lima belas abad yang lalu
sampai sekarang. Sejauh manakah syari’at islam itu tetap aktual dan
mampu meresponi perkembangan zaman, telah dijawab lewat
berbagai penelitian yang dilakukan para ahli yang contoh-contohnya
dapat dilihat dalam uraian dibawah ini.
D. Model-Model Penelitian Fikih (Hukum Islam)
Pada uraian berikut ini akan kami sajikan beberapa model
penelitian yang dilakukan oleh Harun Nasution, Noel J. Coulson dan
Muhammad Atha Muzhar.

1. Model Harun Nasution


Sebagai guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam,
Harun Nasution juga mempunyai perhatian terhadap Hukum Islam.
Penelitiannya dalam bidang Hukum Islam ini ia tuangkan secara
ringkas dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid
II. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap
berbagai literatur tentang hukum islam dengan menggunakan
pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan
struktur Hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian
terdapat ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an, latar belakang
dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam dari sejak
zaman nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa
mazhab yang ada di dalamnya berikut sumber hukum yang
digunakannya serta latar belakang timbulnya perbedaan pendapat.
Melalui pendekatan kesejarahan Harun Nasution membagi
perkembangan hukum islam ke dalam 4 periode, yaitu periode Nabi,
periode sahabat Nabi, periode ijtihad serta kemajuan dan periode
taklid serta kemunduran.
a. Pada periode Nabi
Bahwa segala persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk
menyelesaikannya, maka Nabi lah yang menjadi satu-satunya sumber
hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara
tidak langsung Tuhan lah pembuat hukum. Karena hukum yang
dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Tuhan. Sumber hukum
yang ditinggalkan Nabi untuk zaman-zaman sesudahnya ialah al-
Qur’an dan Sunnah Nabi.
b. Pada periode Sahabat Nabi
Pada periode ini, daerah yang dikuasai islam bertambah luas dan
termasuk dalamnya daerah di luar Semenanjung Arabia yang telah
mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat Arabia ketika
itu, maka sering dijumpai berbagai persoalan hukum. Untuk itu para
sahabat disamping berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah juga
kepada sunnah para sahabat.
c. Pada periode ijtihad serta kemajuan
Pada periode ijtihad yang disamakan oleh Harun Nasution dengan
periode kemajuan islam I ( 700-1000 M ), masalah hukum yang
dihadapi semakin beragam, sebagai akibat dari semakin
bertambahnya daerah islam dengan berbagai macam bangsa masuk
islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi,dan
sistem kemasyarakatan. Dalam kaitan ini muncullah ahli-ahli hukum
mujtahid yang disebut imam atau faqih ( fuqaha) dalam islam, dan
pemuka-pemuka hukum ini mempunyai murid.
d. Periode taklid serta kemunduran
Setelah periode ijtihad dan perkembangan hukum pada periode
ijtihad, datanglah periode taklid dan penutupan pintu ijtihad. Di abad
ke empat Hijrah (abad kesebelas Masehi) bersamaan dengan
mulainya masa kemunduran dalam sejarah kebudayaan islam,
berhentilah perkembangan hukum islam.
Dari uraian diatas tersebut terlihat model penelitian fikih atau
hukum islam yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian
eksploratif, deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kesejarahan.
Melalui penelitian ini, pembaca akan mengenal secara awal untuk
memasuki kajian hukum islam lebih lanjut.

2. Model Noel J. Coulson


Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya di bidang hukum
islam dalam karyanya berjudul Hukum Islam Dalam Perspektif
Sejarah. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggunakan
pendekatan sejarah. Hasil penelitian ini dituangkan dalam tiga
bagian, yaitu :
- Bagian pertama, menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at,
yang didalamnya dibahas tentang legalisasi al-Qur’an, praktek hukum
di abad pertama islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama,
imam al-syafi’i.
- Bagian kedua, menjelaskan tentang pemikiran dan praktek hukum
islam di abad pertengahan.
- Bagian ketiga, menjelaskan tentang hukum islam di masa modern.
Pada bagian pendahuluan Coulson menyatakan bahwa
masalah yang dasar saat ini ialah adanya pertentangan antara
ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang dinyatakan secara kaku
di satu pihak, dan tuntutan-tuntutan masyarakat modern di lahin
pihak. Apabila perjalanan hukum diarahkan agar bisa membentuk
dirinya sebagai penjabaran perintah Tuhan, agar tetap menjadi hukum
islam, maka tak bisa dibenarkan suatu reformasi yang dimaksudkan
guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ketika berbicara tentang legalisasi al-Qur’an, Coulson
mengatakan bahwa prinsip Tuhan adalah satu-satunya pembentuk
hukum dan bahwa semua perintah-Nya harus dijadikan kendali utama
atau segenap aspek kehidupan sudahlah mapan. Hanya saja perintah-
perintah itu tidak tersusun secara bulat dalam bentuk bab yang
lengkap buat manusia. Selanjutnya ketika mengemukakan hukum di
abad pertama islam, Coulson mengatakan bahwa di bidang hukum
muncul keseragaman di satu pihak, dan perbedaan di pihak lain.
Menurut Coulson ada dua alasan prinsip di balik keberagaman atau
perbedaan ini. Pertama, adalah lazim bahwa masing-masing qadi
cenderung menerapkan aturan setempat yang tentu berbeda-beda
antara satu daerah dan daerah lainnya. Kedua, wewenang hakim
untuk memutus perkara sesuai dengan pendapatnya sendiri untuk
maksud apapun, tidak dibatasi.
Berdasar pada hasil penelitian tersebut, nampak bahwa
dengan menggunakan pendekatan historis, Coulson lebih berhasil
menggambarkan perjalanan hukum islam dari sejak berdirinya hingga
sekarang secara utuh. Melalui penelitiannya itu, Coulson telah
berhasil menempatkan hukum islam sebagai perangkat norma dari
perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga sosial. Di dalam
prosesnya, hukum sebagai lembaga sosial memenuhi kebutuhan
pokok manusia akan kedamaian dalam masyarakat. Warga
masyarakat tak akan mungkin hidup teratur tanpa hukum, oleh karena
norma-norma lainnya tak akan mungkin memenuhi kebutuhan
manusia akan keteraturan dan ketentraman secara tuntas. Dalam
hukum islam sebagaimana diketahui misalnya memperhatikan sekali
masalah keluarga, karena dari keluarga-keluarga yang baik, makmur
dan bahagialah tersusun masyarakat yang baik,makmur dan bahagia.
Oleh karena itu keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara, dan
disinilah terletak salah satu sebabnya ayat-ayat ahkam mementingkan
soal hidup kekeluargaan. Dengan melihat fungsi hukum demikian,
maka pengamatan terhadap perubahan sosial harus dijadikan
pertimbangan amat penting dalam rangka reformulasi hukum islam.
3. Model Mohammad Atho Mudzhar
Dalam rangka penyelesaian program doktornya di Universitas
California, Amerika Serikat, tahun 1990, Mohammad Atho Mudzhar
menulis disertasi yang isinya berupa penelitian terhadap produk fatwa
Majelis Ulama Indonesia tahun 1975-1988. Penelitian disertasinya itu
berjudul Fatwas of the counsil of Indonesia Ulama A Study of
Islamic Legal Thought In Indonesia 1975-1988.
Tujuan dari penelitian yang dilakukannya adalah untuk
mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama
Indonesia serta latar belakang sosial politik yang melatarbelakangi
timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu asumsi
bahwa produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipengaruhi oleh
setting sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang
harus dimainkan oleh lembaga tersebut. Produk-produk fatwa Majelis
Ulama yang ditelitinya adalah terjadi di sekitar tahun 1975 sampai
dengan 1988 pada saat mana Menteri Agama dijabat masing-masing
oleh A. Mukti Ali (1972-1978), Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-
1983), dan Munawir Sjadzali (1983-1988). Sementara itu Ketua
Majelis Ulama Indonesia dijabat oleh K.H Hasan Basri.
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam 4 bab, yaitu antara lain:
1. Bab pertama, mengemukakan tentang latar belakang dan
karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak
hukum islam.
2. Bab kedua, disertasi tersebut mengemukakan tentang Majelis
Ulama Indonesia dari segi latar belakang didirikannya, sosio
politik yang mengitarinya, hubungan Majelis Ulama dengan
pemerintah dan organisasi islam serta organisasi non islam lainnya
dan berbagai fatwa yang dikeluarkannya.
3. Bab ketiga, penelitian dalam disertasi tersebut mengemukakan
tentang isi produk fatwa yang dikeluarkan MUI serta metode yang
digunakannya. Fatwa-fatwa tersebut antara lain meliputi bidang
ibadah ritual, masalah keluarga dan perkawinan, kebudayaan,
makanan, perayaan hari-hari besar agama Nasrani, masalah
kedokteran, keluarga berencana, dan aliran minoritas dalam islam.
4. Bab keempat, adalah berisi kesimpulan-kesimpulan dari studi
tersebut, dimana yang dinyatakan bahwa fatwa MUI dalam
kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi
dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai dalam ilmu fikih.
Dengan memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa bidang
penelitian Hukum Islam yang dilakukan Atho Mudzhar termasuk
penelitian uji teori atau uji asumsi (hipotesa) yang dibangun dari
berbagai teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi hukum. Dengan
demikian, hukum islam baik langsung maupun tidak langsung masuk
ke dalam kategori ilmu sosial. Hal ini sama sekali tidak mengganggu
kesucian dan kesakralan al-Qur’an yang menjadi sumber hukum
islam tersebut, sebab yang dipersoalkan disini bukan
mempertanyakan relevan dan tidaknya al-Qur’an tersebut, tetapi yang
dipersoalkan adalah apakah hasil pemahaman terhadap ayat-ayat al-
Qur’an, khususnya mengenai ayat-ayat ahkam tersebut masih sejalan
dengan tuntutan zaman atau tidak. Keharusan menyesuaikan hasil
pemahaman ayat-ayat al-qur’an yang berkenaan dengan hukum
tersebut dengan perkembangan zaman perlu dilakukan. Karena
dengan cara inilah makna kehadiran al-Qur’an secara fungsional
dapat dirasakan oleh masyarakat.

E. Kesimpulan
Jadi berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa hukum islam atau fikih adalah sekelompok(sama) dengan
syari’at yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia
yang diambil dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Perbedaan antara
syari’ah dan hukum islam atau fikih yaitu Syari’at bersifat permanen,
kekal dan abadi sedangkan fikih atau hukum islam bersifat temporer
dan dapat berubah. Ada tiga model penelitian fikih yaitu Model
Harun Nasution, Model Noel J. Coulson, dan Model Mohammad
Atho Mudzhar. Harun nasution membagi perkembangan hukum Islam
ke dalam 4 periode, yaitu periode nabi, periode sahabat, periode
ijtihad serta kemajuan dan periode taklid serta kemunduran. Model
Noel J. Coulson, Hasil penelitianya di tuangkan dalam 3 bagian, -
Menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at, yang di dalamnya
di bahas tentanglegalisasi al-Qur’an, praktek hukum di abad pertama
Islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama, imam al-Syafi’i. -
Berbicara tentang dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di
dalamnya membahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dan
keragaman, dampak aliran dalam sistem hukum, pemerintahan dan
hukum syari’at, masyarakat Islam dalam hukum syari’at. Berbicara
tentang hukum Islam di masa modern yang di dalamnya di bahas
tentang penyerapan hukum eropa, hukum syari’at kontemporer, taklid
dan pembaharuan hukum serta neo ijtihad. Model Mohammad Atho
Mudzhar, Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam 4 Bab.-
Mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik Islam di
indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum Islam. -Dalam
bab ini mengemukakan tentang Majelis Ulama Indonesia dari segi
latar belakang didirikanya, sosio politik yang mengitarinya,
hubungan Majelis Ulama dengan pemerintahan dan organisasi Islam
serta organisasi non Islam lainnya dan berbagai fatwa yang di
keluarkannya. -Penelitian di sertai dengan mengemukakan isi
produk fatwa yang di keluarkan oleh MUI seta metode yang di
gunakanya. Fatwa tersebut antara lain meliputi bidang ibadah ritual,
masalah keluarga dan perkawinan, kebudayaan, masalah kedokteran,
keluarga berencana, dan aliran minoritas dalam Islam. -Berisi
kesimpulan yang di hasilkan dari studi tersebut. Dalam kesimpulan
tersebut dinyatakan bahwa fatwa MUI dalam kenyataanya tidak
selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa
sebagaimana di jumpai dalam ilmu fikih.

F. Daftar Pustaka
Mukhtar Yahya & Fathurrahman.(1986). Dasar – Dasar Pembinan
Hukum Islam. Bandung : Al- Ma’arif cet ke – 10
Nata,Abuddin. (2003). Metodologi Studi Islam. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada., cet ke-8.
Nasution ,Harun. (1979). Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II.
Jakarta: Universitas Indonesia..
BAB XI

METODE PENELITIAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan
Pengetahuan berawal dari kekaguman manusia akan alam
yang disaksikannya melalui panca indera. Oleh sebab kekaguman itu,
maka manusia pada tahap selanjutnya mulai bertanya-tanya, timbul
dalam dirinya sebuah rasa keingintahuan yang sangat kuat untuk
mendapatkan penjelasan tentang semua yang diinderanya tadi, yaitu
sesuatu yang mengagumkan dari alam raya ini.
Pada perkembangannya, untuk memenuhi dan memuaskan
rasa ingin tahunya itu manusia mulai melakukan beberapa upaya,
mulai dari yang paling sederhana yang biasa disebut dengan cara
mendapatkan pengetahuan secara tradisional, sampai ke yang paling
kompleks yang biasa disebut dengan mendapatkan pengetahuan
secara modern.
Dewasa ini upaya untuk mendapatkan pengetahuan sudah
sampai pada cara yang modern, yang biasa indentik dengan
pendekatan ilmiah. Di dalamnya sudah diatur tahap-tahap serta
aturan-aturan sistematis untuk sampai pada pengetahuan yang tepat
dan benar.
Namun, sebelum itu semua, sebelum memasuki tahap-tahap dan
aturan-aturan itu, alangkah lebih baiknya untuk mengetahui konsep
dasarnya terlebih dahulu. Karena untuk mendapatkan pengetahuan itu
perlu penelitian, maka konsep dasarnya juga disebut dengan konsep
dasar penelitian. Dan di dalam pembahasan kali ini, akan dibahas
secara jelas dan singkat tentang hal tersebut.
Satu lagi, karena dalam hal ini lebih fokus pada bidang
pendidikan, maka secara otomatis akan dikaitkan dengan pendidikan
itu sendiri.

B. Pengertian Metode Penelitian


Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah
untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara
ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri
keilmuan yaitu, rasional, empiris dan sistematis. Rasional berarti
kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal.
Empiris yaitu cara-cara yang dilakukan dapat diamati oleh indera
manusia. Sistematisi artinya proses yang digunakan dalam penelitian
itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis. Data
yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data empiris (teramati)
yang mempunyai kriteria tertentu yaitu valid. (Sugiyono: 2010, 1)
Metode penelitian pendidikan dapat pula diartikan sebagai
cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat
ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, suatu pengetahuan
tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami,
memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang pendidikan.

C. Tujuan, Fungsi, dan Pentingnya Penelitian


Setiap penelitian yang dilakukan pasti mempunyai tujuan,
fungsi dan kepentingan di dalamnya. Seperti yang sudah dipaparkan
oleh Zainal Arifin bahwa tujuan, fungsi dan pentingnya penelitian,
khususnya penelitian pendidikan adalah sebagai berikut: (Zainail
Arifin: 2012, 5-8).

1.Tujuan
Tujuan penelitian harus dirumuskan dengan jelas, tegas dan
terperinci dalam bentuk pernyataan serta menunjukkan adanya
suatu hal yang harus dicapai setelah penelitian tersebut selesai
dilaksanakan.
Tujuan umum penelitian pendidikan adalah untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,
konsep, prinsip, dan generalisasi tentang pendidikan, baik berupa
teori maupun praktik. Secara umum, tujuan penelitian dapat dibagi
dua, yaitu:
a. Tujuan eksploratif, yaitu untuk menemukan teori-teori atau
masalah-masalah baru dalam bidang pendidikan.
b. Tujuan pengembangan, yaitu untuk mengembangkan ilmu
(pendidikan) yang telah ada. Penelitian dilakukan untuk
mengembangkan atau memperdalam ilmu pendidikan yang
telah ada.
c.Tujuan verifikasi, yaitu untuk menguji kebenaran dari suatu ilmu
(pendidikan) yang telah ada. Data penelitian yang diperoleh
digunakan untuk membuktikan adanya keraguan terhadap
informasi atau ilmu pendidikan tertentu.
2.Fungsi
Dalam penelitian dikenal beberapa fungsi, antara lain adalah
sebagai berikut:
a.Fungsi pemecahan masalah (problem solving)
Fungsi ini adalah fungsi untuk memecahkan masalah praktis
dalam bidang pendidikan secara jelas dan cermat, sehingga
menghasilkan masukan langsung dalam menentukan suatu
kebijakan.

b.Fungsi pendeskripsian (description)


Adalah fungsi untuk mendeskripsikan sifat-sifat atau karakteristik
fenomena yang dibuat oleh manusia. Dalam pelaksanaannya,
fungsi ini sangat bergantung pada instrument pengukuran yang
digunakan.
c.Fungsi pengembangan (development)
Merupakan fungsi untuk mengeksplorasi dan merumuskan suatu
aturan, hukum, dalil, model mengenai hubungan antara kondisi
yang satu dengan kondisi yang lainnya atau hubungan antara satu
kejadian dengan kejadian lainnya, sehingga dapat menghasilkan
teori baru.
d.Fungsi peramalan (prediction)
Adalah fungsi meramal dan memproyeksi suatu fenomena yang
akan terjadi pada waktu yang akan datang berdasarkan kondisi
yang ada sekarang dan/atau sebelumnya.
e.Fungsi perbaikan (improvement)
Adalah fungsi untuk memperbaiki program, kurikulum,
pembelajaran dan aspek-aspek pendidikan lainnya guna
meningkatkan mutu kompetensi peserta didik.
f.Fungsi penjelasan (explanation)
Adalah fungsi untuk menjelaskan, menggambarkan, menegaskan
suatu kondisi yang melandasi suatu fenomena. Fungsi ini sangat
penting, karena mencakup tiga fungsi sebelumnya, yaitu
mendeskripsikan, meramalkan, dan perbaikan suatu fenomena
dengan tingkat kepastian dan akurasi yang tinggi.

3. Pentingnya penelitian
Ada beberapa alasan mengapa penelitian pendidikan dianggap
penting, yaitu:
a.Pendidik akhirnya dapat memahami dan menganalisa masalah-
masalah pendidikan secara kontinu dan dapat membuat
keputusan secara professional.
b.Kelompok pembuat kebijakan di luar lembaga pendidikan,
seperti lembaga legislative telah mengamanatkan perangkat
perundang-undangan untuk melakukan perubahan sistem
pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c.Ulasan tentang hasil penelitian pendidikan tentu akan banyak
memberikan manfaat bagi pengembangan pendidikan di masa
depan.

D. Karakteristik Penelitian Pendidikan


McMillan dan Schumacher (2001) mengemukakan karakteristik
penelitian pendidikan adalah “objektivitas, ketepatan, verifikasi,
penjelasan, empiric, logis, dan kondisional”. (Zainail Arifin: 2010,
3-4).
1. Objektivitas, Secara sederhana objektivitas dapat berarti tidak
bias, berpikir terbuka, dan tidak subjektif. Objektivitas penelitian
menunjukkan kepada dua hal pokok, yaitu objektivitas prosedur
penelitian dan sifat objektivitas penelitian. Objektivitas prosedur
penelitian mengacu pada langkang pengumpulan data, analisis
data, dan interpretasi. Artinya, pada ketiga langkah ini, penelitian
harus menunjukkan sikap yang objektif. Objektivitas juga merujuk
kepada mutu data yang dihasilkan.
2. Ketepatan, Ketepatan di sini maksudnya adalah ketepatan bahasa
yang digunakan dalam penelitian. Bahasa penelitian bukan
bermaksud untuk membinggungkan pembaca, tetapi memberikan
arti dan makna. Validasi dan reliabilitas dalam pengukuran, desain
penelitian, sampel acak, dan signifikasi statistik merupakan istilah-
istilah teknis dalam pendekatan penelitian kuantitatif. Begitu juga
komparasi konstan dan reflekdits merujuk pada pendekatan
penelitian kualitatif. Ketepatan bahasa menunjukkan studi
dilakukan secara akurat, sehingga hasilnya dapat direfleksi atau
dikembangkan lebih lanjut dan digunakan secara benar.
3. Verifikasi, Hasil-hasil penelitian pendidikan dapat diverifikasi atau
direvisi untuk penelitian selanjutnya. Verifikasi dapat dilakukan
dengan cara yan berbeda bergantung pada kegunaan studinya. Jika
suatu penelitian menguji teori, kemudian menguji kelompok atau
kondisi lainnya, maka dapat dilakukan verifikasi terhadap teori
atau merevisi teori.
4. Penjelasan singkat, Penelitian pendidikan mencoba menjelaskan
hubungan antar fenomena. Tujuannya untuk mengurangi kenyataan
yang terlalu rumit menjadi pnjelasan-penjelasan singkat dan
sederhana. Teori merupakan suatu penjelasan yang memperkirakan
dan dapat diuji untuk pembuktian, bahkan dapat diselidiki lebih
lanjut.
5. Empirikisme. Penelitian pendidikan ditandai oleh adanya sikap
dan pendekatan empirik. Empirik mengandung arti dilakukan dan
dibuktikan melalui pengalaman dilapangan, ukan dengan cara
rekayasa.
6. Penjelasan logis, Semua jenis penelitian pendidikan memerlukan
penjelasan dan penalaran logis, yaitu berpikir dengan menggunakan
aturan logis., baik secara deduktif maupun induktif.
7. Simpulan kondisional, Sering terjadi miskonsepsi dalam
penelitian pendidikan, dimana simpulan dijadikan ukuran
kebenaran mutlak. Padahal simpulan itu sifatnya kondisional
mungkin benar mungkin kursng atau tidak benar.

E. Jenis-jenis Penelitian
Hasil penelitian dapat membantu pendidik dalam membuat
perencanaan baru, memperbaiki praktik pendidikan, dan menilai
pembelajaran.Jenis-jenis penelitian dapat dikelompokkan menjadi
lima bagian. (Sugiyono: 2010,7)

TUJUAN:Deskriptif,,Komparatif,,Asosiatif, Akademis, Profesional,


Institusional,Cross Sectional, Longitudinal, Murni, Terapan,
Survey, Expstfacto, Eksperimen, Naturalistik, Policy
Reserch, Action Research, Evaluasi Sejarah,

WAKTU, METODE,
BIDANG

1. Bidang penelitian
a. Penelitian akademik
Penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa dalam membuat
skripsi, tesis, disertasi.
b.Penelitian professional
Penelitian yang dilakukan oleh orang yang berprofesi sebagai
peneliti. Tujuannya adalah mendapatkan pengetahuan baru.
c.Penelitian institusional
Penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang
dapat digunakan untuk pengembangan lembaga.

2.Tujuan
Jujun S. Suriasumantri, sebagaimana dikutip oleh Sugiyono,
menyatakan bahwa penelitian murni adalah penelitian yang
bertujuan menemukan pengetahuan baru yang belum pernah
diketahui. Sedangkan untuk penelitian terapan adalah bertujuan
untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan praktis.

3.Metode
a. Survey
Digunakan untuk mendapatkan data dari tempat yang alamiah
(bukan buatan). Peneliti melakukan perlakuan dalam
pengumpulan data, semisal menyebarkan kuesioner.
b.Naturalistik
Digunakan untuk meneliti pada tempat alamiah, dan penelitian
tidak membuat perlakuan, karena peneliti dalam mengumpulkan
data bersifat emik, yaitu berdasarkan pandangan dari sumber
data, bukan pandangan peneliti.
c. Eksperimen
Digunakan untuk mencari pengaruh treatment tertentu.
Misalnya pengaruh kelas ber AC terhadap efektivitas
pembelajaran.

F. Pengertian Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif


Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan
untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan
sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data
menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan.
Filsafat positivisme memandang realitas/gejala/fenomena itu dapat
diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, terukur, dan dilakukan pada
sampel atau opulasi tertentu.
Sedangkan metode penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara purposive dan snowbal, teknik pengumpulan dengan
trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan
hasilnya lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Filsafat postpositivisme sering disebut sebagai paradigma
interpretatif dan konstruktif, yang mengandung realitas sosial sebagai
suatu yang holistik/utuh, kompleks, ninamis, penuh makna dan
hubungan gejala bersifat interaktif. (Sugiyono: 2010, 14-15)

G. Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif


1.Perbedaan Aksioma (Pandangan Dasar)
a) Aksioma
b) Metode Kuantitatif
c) Metode Kualitatif
d) Sifat realitas
e) Dapat diklasifikasikan, konkrit, teramati, terukur.
f) Ganda, holistik, dinamis, hasil konstruksi dan pemahaman.
g) Hubungan peneliti dengan yang diteliti
h) Independen, supaya terbangun obyektivitas.
i) Interaktif dengan sumber data supaya memperoleh makna.
j) Hubungan variabel
k) Sebab-akibat (kausal)
l) Timbal balik/interaktif
m) Kemungkinan generalisasi
n) Cenderung membuat generalisasi
o) Transferability (hanya mungkin dalam ikatan konteks dan
waktu)
p) Peranan nilai
q) Cenderung bebas nilai
r) Terikat nilai-nilai yang dibawa peneliti dan sumber data

2. Karakteristik Penelitian
Karakteristik penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen
(1982) adalah :
a. Dilakukan pada kondisi yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen), langsung ke sumber data dan peneliti adalah
instrumen kunci
b. Lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-
kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka.
c. Lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome.
d. Menekankan analisis data secara induktif
e. Lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati)

Erickson dalam Susan Stainback (2003) menyatakan bahwa ciri-


ciri penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :
a.Dilakukan secara intensif, peneliti ikut berpartisipasi lama di
lapangan
b.Mencatat secara hati-hati apa yang terjadi
c.Melakukan analisis reflektif terhadap berbagai dokomen yang
ditemukan di lapangan
d.Membuat laporan penelitian secara mendetail.
3. Proses Penelitian
a. Proses Penelitian Kuantitatif
Penelitian kuantitatif harus bertolak dari studi pendahuluan dari
obyek yang diteliti untuk mendapatkan yang betul-betul masalah.
Masalah harus digali melalui fakta-fakta empiris. Peneliti harus
menguasai teori dengan membaca berbagai referensi. Selanjutnya
masalah tersebut dirumuskan secara spesifik, umumnya dibuat dalam
bentuk kalimat tanya. Untuk menjawab rumusan masalah yang
bersifat sementara, peneliti bisa menghubungkan antara teori dan
penelitian (yang relevan) yang belum ada pembuktiannya secara
empiris, hal itu disebut dengan hipotesis (kesimpulan sementara).
Untuk menguji hipotesis tersebut, peneliti dapat memilih
strategi/pendekatan penelitian yang sesuai. Setelah itu, peneliti dapat
menyusun instrumen penelitian. Instrumen digunakan untuk
mengumpulkan data melalui kuisioner/angket. Pengumpulan data
dilakukan pada obyek tertentu baik yang berbentuk populasi maupun
sampel.
Setelah data terkumpul, maka dianalisis untuk menjawab rumusan
masalah dan menguji hipotesis yang diajukan dengan teknik statistik
tertentu.
Kesimpulan merupakan langkah terakhir dari suatu periode penelitian
yang berupa jawaban terhadap rumusan masalah.

b.Proses Penelitian Kualitatif


Rancangan penelitian kualitatif diibaratkan oleh Bogdan,
seperti orang mau piknik, sehinnga ia baru tahu tempat yang akan
dituju, tetapi belum tahu pasti apa yang ada di tempat itu. Ia akan
tahu setelah memasuki obyek, dengan cara membaca berbagai
informasi tertulis, gambar-gambar, berpikir dan melihat obyek dan
aktifitas orang yang ada di sekelilingnya, melakukan wawancara dan
sebagainya.

Tahap-tahap dalam penelitian kualitatif dapat dirumuskan sebagai


berikut :
1) Tahap orientasi, pada tahap ini peneliti mendeskripsiskan apa yang
dilihat, didengar, dirasakan dan ditanyakan.
2) Tahap reduksi/fokus, peneliti mereduksi data yang ditemukan
untuk memfokuskan pada masalah tertentu.
3) Tahap selection, peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan
menjadi lebih rinci. Dengan cara mencari informasi melaui
wawancara dengan orang-orang yang dijumpai di tempat
penelitian. Setelah peneliti melakukan analisis terhadap
informasi/data yang diperoleh, maka peneliti dapat menemukan
tema dengan cara mengkonstruksikan data yang diperoleh menjadi
suatu bangunan pengtahuan, hipotesis atau ilmu yang baru.
4) Peneliti menganalisis jawaban yang diberikan , jika dirasa benar
maka dibuatlah kesimpulan.
5) Kembali kepada kesimpulan yang telah dibuat. Apakah
kesimpulan itu kredibel atau tidak. Untuk memastikan hal itu,
maka peneliti masuk lapangan lagi, mengulang pertanyaan dengan
cara dan sumber yang berbeda, tetapi tujuan sama. Kalau
kesimpulan telah diyakini memiliki kredibilitas yang tinggi maka
pengumpulan data dinyatakan selesai.

H. Kesimpulan
Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah
untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara
ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri
keilmuan yaitu, rasional, empiris dan sistematis.
Setiap penelitian yang dilakukan pasti mempunyai tujuan, fungsi dan
kepentingan di dalamnya. Tujuan penelitian harus dirumuskan
dengan jelas, tegas dan terperinci dalam bentuk pernyataan serta
menunjukkan adanya suatu hal yang harus dicapai setelah penelitian
tersebut selesai dilaksanakan. Untuk fungsinya, ada fungsi
pemecahan masalah (problem solving), fungsi pendeskripsian
(description), fungsi pengembangan (development), fungsi peramalan
(prediction), fungsi perbaikan (improvement), fungsi penjelasan
(explanation).
McMillan dan Schumacher (2001) mengemukakan karakteristik
penelitian pendidikan adalah “objektivitas, ketepatan, verifikasi,
penjelasan, empiric, logis, dan kondisional”.
Jenis-jenis penelitian dapat dikelompokkan menurut (1)
bidang yang berisi penelitian akademis, professional dan
institusional. (2) Segi tujuan, di dalamnya terdapat penelitian murni
dan terapan. (3) Segi metode, dibedakan menjadi; penelitian survey,
eksperimen, naturalistik, dan lain-lain. (4) Segi eksplanasi, penelitian
ini dibagi menjadi deskriptif, komparatif dan asosiatif. (5) Segi waktu
dapat dibedakan menjadi penelitian cross sectional dan longitudinal.
Di dalam penelitian terdapat penelitian kuantitatif yang secara
gampang dalam penjelasannya adalah penelitian yang digunakan
untuk menguji hipotesis. Selain kuantitatif, ada juga yang disebut
dengan kualitatif, yaitu penelitian yang digunakan untuk menemukan
hipotesis/teori baru.

I. Daftar Pustaka

Sugiyono.(2012). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan


Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Zainal Arifin. (2012). Metode Penelitian. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

http://mind-ashshinta.blogspot.co.id/2015/04/makalah-metode-
penelitian-pendidikan.html

Pengantar Studi Page 100


Islam
BAB XII
PENELITIAN SEJARAH ISLAM

A. Pendahuluan
Sejarah Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
banyak menarik perhatian para penelitia baik dari kalangan sarjana
muslim maupun non muslim, karen abanyak manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian tersebut. Bagi umat Islam, mempelajari
sejarah Islam selain akan memberikan kebanggaan juga sekaligus
peringatas agar berhati-hati. Dengan mengetahui bahwa umat islam
dalam sejarah pernah mengalami kemajuan dalam segala bidang
selama beratus-ratus tahun misalnya, akan memberikan rasa bangga
dan percaya diri menjadi orang muslim. Demikian pula dengan
mengetahui bahwa umat Islam juga mengalami kemunduran,
penjajahan dan keterbelakangan, akan menyadarkan umat Islam
untuk memperbaiki keadaan dirinya dan tampil untuk berjuang
mencapai kemajuan.
Menyadari berbagai persoalan diatas, maka diberbagai
lembaga pendidikan islam yang ada hingga sekarang, bidang studi
sejarah islam dipelajari. Untuk itu pada makalah ini, saya akan
mencoba membahas mengenai pengertian sejarah dan ruang lingkup
sejarah islam.

B. Pengertian Sejarah Islam


Istilah sejarah adalah terjemahan dari kata tarikh (bahasa
arab), sirah (bahasa arab), history (bahasa inggris), dan geschichte
(bahasa jerman). Semua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani,
yaitu Istoria yang berarti ilmu. Definisi sejarah yang lebih umum
adalah masa lampau manusia, baik yang berhubungan dengan
peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun gejala alam. Definisi ini
memberi pengertian bahwa sejarah tidah lebih dari sebuah rekaman
peristiwa masa lampau manusia dengan segala sisinya.
Menurut ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai
suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis
untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa pada masa lampau.
Dengan demikian unsur penting dalam sejarah adalah adanya
peristiwa, adanya batasan waktu, yaitu masa lampau, adanya pelaku,
dan daya kritis dari peneliti sejarah87.
Dalam kamus umum bahasa indonesia, W.J.S. Poerwadarminta
mengatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang benar-
benar terjadi.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu
peristiwa sejarah perlu juga dilihat siapa yang melakukan peristiwa
tersebut, dimana, kapan dan mengapa peristiwa tersebut terjadi.
Dengan kata lain di dalam sejarah terdapat obyek peristiwanya
(what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when),
tempatnya (where), dan latar belakangnya (why).Seluru aspek
tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambaran
hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian yang
lainnya.88
Penelitian yang berkenaan dengan berbagai aspek yang
terdapat dalam sejarah islam telah banyak dilakukan baik oleh
kalangan umat islam itu sendiri, maupun para sarjana dari barat. bagi
para peneliti Barat, mempelajari sejarah Islam selain diajukan untuk
pengembangan ilmu, juga terkadang dimaksudkan untuk mencari-cari
kelemahan dan kekurangan umat Islam agar dapat dijajah dan
sebagainya sebagainya. Disadari atau tidak, selama ini informasi
mengenai sejarah Islam banyak berasal dari hasil penelitian para
sarjana Barat. Hal ini terjadi, karena selain masyarakat Barat
memiliki etos kemauan yang tinggi juga didukung oleh dana dan
kemauan politik yang kuat dari para pemimpinnya. Sementara .dari
kalangan para peneliti Muslim tampak di samping etos keilmuannya
rendah, juga belum didukung oleh keahlian di bidang penelitian yang
memadai serta dana dan dukungan politik dari pemeintah yang
kondusif.
Hasil penelitian tersebut nampaknya berguna sebagai informasi awal
untuk melakukan penelitian sejarah yang mengambil pendekadan
kawasan. Penelitian tersebut dapat dikategorikan sebagai penelitian

87 Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi


Islam, (Bandung ; PT Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 137.
88 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta ; PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), Hlm. 314.
literatur yang didukung oleh survei, dan dianalisis dengan pendekatan
sejarah dan perbandingan.89
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan sejarah islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang
benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama islam dalam berbagai aspek.Dalam kaitan ini
maka muncullah berbagai istilah yang sering digunakan untuk sejarah
ini, di antaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan
kebudayaan Islam.

C. Ruang Lingkup Sejarah Islam

Ruang lingkup sejarah islam dilihat dari segi periodesasinya,


dapat dibagi menjadi periode klasik, periode pertengahan, dan
periode modern. Periode klasik yang berlangsung sejak tahun 650-
1250 Masehi ini dapat dibagi lagi menjadi masa kemajuan islam l,
yaitu dari sejak tahun 650-1000, dan masa disintegrasi dari tahun
1000-1250.Pada masa kemajuan islam l itu tercatat sejarah
perjuangan Nabi Muhammad SAW. Dari tahun 570-632 M,
Khulafaur Rasyidin dari tahun 632-661 M, Bani Umayyah dari tahun
661-750 M, Bani Abbas dari tahun 750-1250 M.
Selanjutnya periode pertengahan yang berlangsung dari tahun
1250-1800 M. Dapat dibagi edalam dua masa, yaitu masa
kemunduran l dan masa Tiga Kerajaan Besar. Masa berlangsung
sejak tahun 1250-1500M. Di jaman ini Jengis Khan dan
keturunannya datang membawa penghancuran ke dunia islam.
Sedangkan masa Tiga Kerajaan Besar yang berlangsung dari tahun
1500-1800 M.
Adapun periode modern yang berlangsung dari tahun 1800 M
sampai dengan sekarang di tandai dengan zaman kebangkitan islam.
Selanjutnya dilihat dari segi isinya sejarah islam dapat dibagi
kedalam sejarah mengenai kemajuan dan kemundurannya dalam
berbagai bidang. Seperti bidang politik, pemerintahan, ekonoi,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, dengan berbagai paham dan aliran
yang ada didalamnya dan lain sebagainya.90

89 http://buanyakilmu.blogspot.com/2009/05/model-penelitian-sejarah-
islam-bab-7.html 26 Oktober 2011 19;34
90 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta ; PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), Hlm..314.
D. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan sejarah islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang
benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini
maka muncullah berbagai istilah yang sering digunakan untuk sejarah
ini, di antaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan
kebudayaan Islam. Ruang lingkup sejarah islam dilihat dari segi
periodisasinya, dapat dibagi menjadi periode klasik, periode
pertengahan, dan periode modern.

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Atang Abd dan Jaih Mubarok. (2009). Metodologi Studi


Islam. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya.

Nata, Abuddin. (2003). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

http://buanyakilmu.blogspot.com/2009/05/model-penelitian-sejarah-
islam-bab-7.html 26 Oktober 2011 19;34
BAB XIII

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

A. Pendahuluan
Proses Islamisasi sebenarnya telah ada sejak zaman
Rasulullah SAW. Banyak kita dapati ayat Al-Qur’an dan Hadits yang
membicarakan tentang Mu’amalah, Sain, ekonomi, social, politik dan
berbagai ilmu lainnya. Rasulullah mengubah pola pikir ilmu
pengetahuan jahiliah menuju pengetahuan Islamiah. Sehingga Islam
tidak hanya terpaku pada hal ibadah dan akidah saja. Tetapi
mencakupi berbagai aspek kehidupan.
Pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses
Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan
dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan
Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan
dengan konsep Agama Islam. Salah satu karya besar tentang usaha
Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali.
Pada abad kedua puluh Masehi, keadaan dunia ditandai oleh
kemajuan yang dicapai oleh Barat dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam berbagai implikasianya, yaitu berupa penjajahan
mereka atas dunia Islam. Negara-negara yang dulunya masuk
kedalam hegemmoni Islam seperti Spanyol,India,Sisilia, dan
sebagainya sudah mulai lepas dari Islam dan berdiri sendiri sebagi
Negara spenuhnya. Demikian pula Negara-negara yang secara
ideologis sepenuhnya Islam sudah banyak yang menjadi jajahan
bangsa-bangsa lain. Seperti Mesir,Turki, Indonesia, dan Malaysia.
Sekularisme yang dikembangkan oleh peradaban Barat
membawa dampak yang kurang baik terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan bagi umat Islam. Sekularisasi yang memisahkan agama
dari politik serta penghapusan nilai-nilai agama dari kehidupan, tidak
hanya bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi juga memutuskan
ilmu dari pondasinya dan mengalihkan dari tujuan ilmu yang
sebenarnya. Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan konsep yang di
dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu dan
konsep Tuhan, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang
fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan
lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus
peradaban.
Pemasalahan ini tidak hanya untuk melawan sekuler di barat,
tetapai juga untuk memberikan pemahan terhadap masyarakat awam
atau masyarakat klasik bahwa adanya pemisahan antara ilmu agama
dengan ilmu umum. Perbedaan pemahaman ini telah banyak
menimbulkan perpecahan internal Islam sendiri. Tetapi pada awalnya
pemahaman ini juga dibawakan oleh bangsa Barat untuk
menghancurkan kaum Islam.
Di Indonesia telah mereka tinggalkan pemahaman sekuler
yang sangat berdarah daging oleh para penjajah Belanda untuk
memudahkan mereka memasuki wilayah yang akan dijajahnya.
Sekuler telah menyebabkan banyak perbedaan yang dapat
mengahancurkan kekuatan Islam karena persatuan telah hancur.
Dengan cara ini sangat memudahkan bangsa Non-Muslim memasuki
Islam.
Dengan adanya Islamisasi pengetahuan akan dapat
mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana yang dibawa oleh
Rasulullah, yaitu tanpa pemisahan antara ilmu agama dan ilmu
politik, pemerintahan, ekonomi, social dan ilmu lainnya.

B. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Jika kita melihat dari kata “islamisasi” akan menimbulkan
makna “mengislamkan”. Jangan pernah membayangkan Islam
mengambil ilmu pengetahuan dari bangsa Non-Muslim kemudian
ilmu tersebut dijadikan sebagai ilmu yang islami. Sebenarnya
Islamisasi hanyalah mengembalikan pemahaman kepada Islam.
Karena jika kita teliti dengan seksama bahwa semua ilmu
pengetahuan telah diatur di dalam Islam yang di termaktub dalam Al-
Qur’an dan Sunnah.
Secara istilah Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu proses
pengembalian pemahaman yang antagonistik terhadap Islam dan ilmu
pengetahuan kepada pemahaman yang akomodatif antara Islam dan
ilmu pengetahuan. sehingga, tidak terdapat kesan pemisahan antara
kelompok klasik dengan kelompok modern. Karena pemahaman yang
berbeda terhadap pengkhususan ilmu agama dan ilmu umum.
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk
memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan
modern yang sekularistik dan Islam yang terlalu religius, dalam
model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di
antaranya. Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi
menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka
Islamisasi ilmu yaitu, Pertama, Penguasaan disiplin ilmu modern.
Kedua, penguasaan khazanah warisan Islam. Ketiga, Membangun
relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern.
Keempat, Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara
kreatif dengan ilmu-ilmu modern dan Kelima, Pengarahan aliran
pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola
rencana Allah.
Seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama
menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam.
Ada yang pro dan ada yang kontra. Menurut Mulyadhi Kartanegara,
Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan naturalisasi sains (ilmu
pengetahauan) untuk meminimalisasikan dampak negatif sains
sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan dengan begitu agama
menjadi terlindungi.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha "untuk
mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali
argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai
kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-
tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-
disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause
(cita-cita).
Sejumlah kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan, Mulyanto misalnya mengatakan bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai suatu proses
perapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
criteria pemilihan suatu ilmu pengetahuan yang akan
dikembangkannya. Dengan kata lain, Islam hanya berlaku sebagai
criteria etis diluar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasar adalah,
bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya
mereka menganggap mustahil munculnya ilmu pengetahuan islami,
sebagaimana mustahil munculnya ilmu pengetahuan Marxisme. Dan
Islam beserta ideologi-ideologi lainnya, hanya mampu merasuki
subjek ilmu pengetahuan dan tidak pada ilmu itu sendiri. Islam hanya
berlaku sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan bereaksi; lalu
menyerahkan kedaulaan mutlak pada metodelogi ilmu bersangkutan.
Lebih lanjut Mulyanto mengatakan bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan, tidak lain dari proses pengembalian atau pemurnian
ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni: tauhid,
kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.
Senada dengan Mulyanto, Haidar Bagir, sungguhpun secara
eksplisit tidak menjelaskan pengertin Islamisasi ilmu pengetahuan,
namun secara inplisit melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu
penting. Dalam kaitan ini, ia misalnya mengemukakan tentang
perlunya dibentuk sain yang islami. Hal ini didukung oleh tiga
argumentasi sebagai berikut, pertama, umat Islam butuh sebuah
sistem sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya material dan
spiritual. System sains yang kini tidak mampu memenuhi kebutuhan
tersebut. Ini disebakan ilmu sains modern mengangdung nilai-nilai
khas Barat yang melekat padanya; nilai-nilai ini banyak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam selin telah terbukti menimbulkan ancaman-
ancaman bagi keberlangsungnya hidup umat manusia di muka bumi.
Kedua, secara sosiologis, umat Islam yang tinggal di geografis dan
memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dari Barat-sains modern
dikembangkan-jelas butuh system yang berbeda pula, karena sains
barat diciptakan untuk memenuhi masyarakat sendiri. Ketiga, kita
umat Islam, pernah memiliki peradaban islami dimana sains
berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan umat
Islam. Jadi sebetulnya, jika syarat-syarat itu mampu dipenuhi, kita
punya harapan untuk berharap menciptakan kembali sebuah sains
Islam dalam peradaban islami pula.
Berdasarkan uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
sungguhpun terdapat perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam
melihat masala Islamisasi ilmu pengetahuan, namun hakikatnya
sama. Yaitu mereka sepakat bahwa umat Islam perlu memilki
pengetahuan yang dibangun dari dasar-dasar ajaran Islam, yaitu, Al-
Qur’an yaitu ilmu yang didasarkan tauhid, yang melihat bahwa antara
ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam harus bergandengan
tangan.
Ilmu pengetahuan adalah hasil teoresasi terhadap gejala-gejala
alam dengan mengunakan metode dan pendekatan ilmiah. Sedangkan
ajaran Islam juga hasil Ijtihad terhadap ayat-ayat Allah yang terdapat
didalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ayat-ayat Allah yang terdapat di
jagat raya berasal dari Allah. Demikian pula ajaran agama juga
berdasarkan pada ayat-ayat Allah. Dengan demikian antara keduanya
adalah ayat-ayat Allah. Satu dan lainnya bearsal dari satu kesatuan
(tauhid).
Perbedaan di antara mereka yang berbeda pendapat itu hanya
pada soal pendekatan. Kelompok yang menganggap tidak perlu
melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan, terkesan adanya sedikit rasa
gengsi mengambil ilmu pengetahuan dari barat dan kemudian
mengislamkan. Bagi mereka bahwa Islam perlu memiliki ilmu
pengetahuan yang islami sebagaimana telah tercatat di zaman klasik.
Namun, caranya bukan dengan mengambil ilmu dari barat dan
mengislamkan, melainkan langsung saja membentuk dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada corak dan
ajaran Islam.
Sementara itu bagi yang setuju membentuk Islamisasi ilmu
pengetahuan, bukan berarti tidak setuju engan membentuk ilmu
pengetahuan dengan corak Islam secara mandiri, melainkan
bersamaan dengan itu tidak ada salahnya apabila mengambil ilmu
pengetahuan dari Barat lalu mengislamkannya, sebagaimana halnya
Barat juga pernah mengambil ilmu pengetahuan Islam di zaman
klasik dahulu, lalu menyesuaikn dengan ajarannya.

C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Dalam hubungan ini terdapat sejumlah pendekatan yang dapat
digunakan yaitu:
Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan
Islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan, tanpa
mempersalahkan aspek ontologism dan epistemlogi ilmu
pengetahuan tersebut. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dan
teknologinya tidak dipermasalahkan, yang dipermasalahkan adalah
orang yang mempergunkannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi
ilmu pengetahuan hanya sebagai penerapan etika Islam dalam
pemamfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria pemilihan suatu jenis
ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain,
Islam hanya berlaku sebagai criteria etis diluar struktur ilmu
pengetahuan.
Kedua, islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
dilakukan dengan cara memasukkan nilai-nilai islami kedalam
konsep ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Asumsi dasarnya
adalah ilmu pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan penuh
muatan nilai-nilai yang dimasukkan oleh orang yang merancangnya.
Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu
sendiri. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini antara lain dianut
oleh Naquib Al-Attas, Ziauddin Sardar, Deliar Noer, A.M. dan lain-
lainnya.
Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan
melalui penerpan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid
bukan hanya dipahami secar teo-centris, yaitu mempercayai dan
meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang
dimiliki-Nya serta jauh dari sifat-sifat yang tidak sempurna,
melainkan yang melihat bahwa antara manusia dengan manusia lain,
manusia dengan alam, dan manusia dengan mahkluk ciptaan lainnya
adalah merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan dan
saling mempengaruhi, dan semua itu merupakan wujud tanda
kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
Selanjutnya ilmu-ilmu alam (sains) yang bertumpu pada
kajian ayat-ayat yang ada di jagat raya menggunakan metode kajian
ekperimen di laboratorium dengan syarat-syarat dan langkah-
langkahnya yang teruji oleh para ahli. Melalui metode eksperimen ini
maka dihasilkan ilmu-ilmu alam seperti biologi, fisika, kedokteran,
kehewanan, perhutanan, perairan dan ilmu sains lainnya.
Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula dilakukan
melalui inisiatif sendiri melalui proses pendidikan yang diberikan
secara berjenjang dan berkesinambungan. Dalam praktiknya tidak
ada ilmu agama dan ilmu umum disatukan, atau ilmu umum yang
diislamkan lalu diajarkan kepada seseorang. Yang terjadi adalah sejak
kecil ke dalam diri seseorang sudah ditanamkan jiwa agama yang
kuat, praktik pengalaman tradisi keagamaan dan sebagainya. Setelah
ittu kepadanya diajarkan dasar-dasar ilmu agama yang kuat, diajarkan
Al-Quran dengan baik dari segi membaca maupun memahami isinya.
Selain itu diajarkan pula hubungan antara satu ilmu dengan ilmu
lainnya secara umum. Selanjutnya ia mempelajari berbagai bidang
ilmu dan keahlian dengan bidang yang diminatinya.
Kelima, Islamisasi ilmu pengetahuan juga dapat dilakukan
dengan cara melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan
ilmu yang seolah-olah memperhatikan perbedaan. Pandangan ini
terlihat pada pemikiran Usep Fathuddin. Ia misalnya mengatakan
bahwa sejauh saya membaca bahwa semangat Islamisasi itu didasari
suatu anggapan tentang keilmuan dan Islam. Agama melihat
problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains
melalui eksperimen dan rasio manusia. Anggapan yang memperbesar

Pengantar Studi Page 110


Islam
jurang pemisah antara sains dan agama yang dikembangkan Barat ini
hingga sekarang belum tuntas diatasi oleh para pakar Islam.
Keenam, Bahwa ilmu pengetahuan berbicara empiris
sedangkan agama berbicara yang ghaib. Namun demikian, Islamisasi
disini mencoba mengaitkan atau menghubungkan yang ghaib dengan
ilmu-ilmu atau eksperimen dalam kehidupan nyata. Sehingga ilmu
tersebut tidak ada garis pemisah.

D. Langkah-Langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu
dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi
bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an
sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab,
bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi
bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran. Islamisasi bahasa
Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah
mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia,
menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan
dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai
tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak
tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi
oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang
berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan
mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan
bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal
sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilah-
istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial,
sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan
lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut
termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun
mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya
dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan
pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan
agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika
diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi
kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak
dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski
istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum
Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang
menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas
sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah
merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga
tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan
oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:

1..Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang


membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut
terdiri dari:
a) Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b) Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran.
c) Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan
hidup sekuler.
d) Membela doktrin humanism.
e) Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang
dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang
ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu
pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan
aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus
diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga,
simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional,
dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu
tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan
dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam
semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu
lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan
teliti.

2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci


dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.
Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam
mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut.
Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a) Konsep Agama (ad-din)
b) Konsep Manusia (al-insan)
c) Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d) Konsep kearifan (al-hikmah)
e) Konsep keadilan (al-‘adl)
f) Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g) Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat
Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan
menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk
mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan
pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi
keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan
keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang
berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau
pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam
Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam
yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation
tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi
(intuition). Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara
metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan
wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat
dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam
aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam
memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani,
namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam
(Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu
melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama,
proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat
dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-
konsep utama Islam ke dalamnya.

E. Sejarah dan Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan


I . Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara substansial proses islamisasi ilmu telah terjadi sejak
masa Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab
pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum
Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada
tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun.
Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup
mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia.
Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan
ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam
ilmu. Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan
khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-
Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam
yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk
disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal
dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak.
Oleh karena itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah
perkara baru bila ditinjau dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara
oprasional, istilah islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai
kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun
70-an.
Dalam konteks modern, istilah "islamisasi ilmu" pertama kali
digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama
Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam
and Secularism" (1978). Syed Muhammad Naquib al-Attas
menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan
Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi
kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat
modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-
memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan
maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun peradaban Barat modern juga
menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga
telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam
pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Naquib Al-Atas bercita-cita ingin menjadikan peradaban
Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai
peradaban global umat manusia. Karena itu, seluruh hidupnya ia
persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar
nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon'
kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan
kaum Muslim sekarang ini.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the
liberation of man first from magical, mythological, animistic,
national-cultural tradition, and then from secular control over his
reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia,
pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan
kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari
pengaruh sekularisme).
Gagasan Al-Attas ini disambut baik oleh seorang filosof
Palestina bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya
yang berjudul "Islamization of Knowledge", dalam rangka merespon
gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah". Dia
mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan
model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler, seperti
Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas
sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-
nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri.
Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama
tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat
muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan
terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika
Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia
menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu
dengan menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode
ilmiah dengan nilai-nilai Islam.
Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi ilmu juga
mendapatkan kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri,
terutama para pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman,
Muhsin Mahdi, Abdus Salam Soroush, Bassam Tibbi dan sebagainya.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan
karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan.
Permasalahannya hanya dalam hal penggunaannya. Menurut Fazlur
Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua fungsi ganda, seperti
“senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan
bertanggung-jawab, sekaligus sangat penting menggunakannya
secara benar ketika memperolehnya. Menurutnya, ilmu pengetahuan
sangat tergantung kepada cara menggunakannya. Jika orang yang
menggunakannya baik, maka ilmu itu akan berguna dan bermanfaat
bagi orang banyak, tetapi jika orang yang memakainya tidak baik,
maka ilmu itu akan membawa kerusakan.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis,


proses islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu
sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan
bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga
mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan islamisasi ilmu
suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap
krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga
budaya dan peradaban Barat sekular.

II. Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan.


a) Naquib al-Attas
Nama lengkap al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib al-
Attas yang lahir di Jawa Barat, pada 5 september 1931. Pada usia 5
tahun al-Attas dibawa ke Johor, Malaysia untuk dididik oleh saudara
ayahnya Encik Ahmad kemudian Ny.Azizah yaitu seorang mentri
Besar Johor. Ketika penjajahan Jepang, al-Attas pulang ke Sukabumi,
Jawa Barat dan masuk pesantren al-Urwah al-Wusta, belajar bahasa
arab dan agama islam. Pada tahun 1946 Attas kembali ke malaysia, ia
masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern, English College,
di Johor baru dan kemudian masuk dinas militer di Easton Hall,
Chester, Inggris pada tahun 1952-1955. al-Attas keluar dari
kemiliteran dengan pangkat letnan karena ia lebih tertarik dengan
dunia akademik.
Pada tahun 1957-1959 al-Attas masuk ke University of
Malay, Singapura dengan fokus kajian pada teologi dan metafisika
alam. al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah
“Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk diantara karya sastra
pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang
menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood
and Practiced among the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga
penelitian sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Sedemikian
berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui
“Canada Counsel Fellowship” memberi al-Attas beasiswa untuk
melanjutkan studinya di McGill University, Kanada untuk kajian
islamnya sampai memperoleh gelar master pada tahun 1963, al-Attas
mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and the
Wujudiyyah of 17th Century Acheh.” Selanjutnya al-Attas
menempuh program doktor pada shool of Oriental and African
Studies, Universitas London. Selama kurang lebih dua tahun (1963-
1965) atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan
perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam
bidang filsafat islam dan kesusastraan melayu islam dengan disertasi
yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat
cumlaude. Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul
“Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Al-Attas setelah kembali dari London mengabdi sebagai
dosen di University of Malay, Singapura. Pada tahun 1970 al-Attas
termasuk dalam pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia, 2 tahun
kemudian ia diangkat menjadi guru besar dan diangkat sebagai
dekan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Melayu di Perguruan Tinggi
Malaysia tahun 1975. Pada tahun 1991 didirikannya ISTAC (The
Internasional Institut of Islamic Thaught and Civilization) al-Attas
ditunjuk sebagai direkturnya. al-Attas memiliki 26 karya yang
terkenal dan juga mendapatkan beberapa penghargaan atas semangat
dan prestasi dalam pemikirannya.

b) Ismail Raji al-Faruqi


Pada 1 januari 1921 di Jaffa, Palestina, Ismail Raji al-Faruqi
dilahirkan. Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese,
Libanon sejak 1926 sampai 1936 yang menggunakan bahasa Prancis
sebagai bahasa pengantarnya. Kemudian al-Faruqi melanjutkan ke
American University, Beirut jurusan Filsafat dengan gelar BA
(Bachelor of Arts) pada tahun 1941, pada umur 24 tahun al-Faruqi
bekerja sebagai pemerintahan (PNS) yang kemudian diangkat
menjadi gubernur di propinsi Galelia, Palestina. Tahun 1949 al-
Faruqi mendapat gelar master dalam bidang filsafat di Universitas
Indiana. Pada tahun 1952 al-Faruqi mencapai gelar doktoral (Phd.)
dari Universitas Indiana, Harvard dengan desertasinya berjudul “On
Justifying the Gos: Metaphysic and Epistemology of Value”.
Pada tahun 1959, al-Faruqi pergi ke Mesir untuk
memperdalam ilmu keislaman di Universitas Al-azhar, Kairo
kemudian mengajar di McGill, Kanada dan akhirnya al-Faruqi
kembali ke Amerika pada tahun 1963 dan mengajar di Scholl of
Devinity, Universitas Chicago. Pada tahun 1968, al-Faruqi menjadi
guru besar pemikiran dan kebudayaan islam pada Temple University,
disini al-Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies hingga akhir
hanyatnya. Dalam Zaenul (2002; 179) untuk mengenang jasa-jasa al-
Faruqi maka, Organisasi Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA)
berusaha mendirikan The Isma’il and lamnya’ al-Faruqi Memorial
Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita islamisasi ilmu
pengetahuan yang telah dicetuskannya. Karya al-Faruqi menurut
Ensiklopedia Islam Indonesia ada 20 buku dan 100 artikel yang
ditulisnya.
c) Sayyed Hossein Nasr
Sains Islami menurut Nasr tidak akan dapat diperoleh kecuali
dari intelek yang bersifat Ilahiyah dan bukan akal manusia.
Kedudukan intelek adalah di hati, bukan di kepala, karena akal tidak
lebih dari pantulan ruhaniyah. Selama hierarki pengetahuan tetap
dipertahankan dan tidak terganggu dalam Islam dan scientia terus
dibina dalam haribaan sapienta, beberapa pembatasan di bidang fisik
dapat diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan dan
keinsafan di bidang ruhani. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat
untuk mengakses yang sakral dan ilmu pengetahuan sakral
(scientiasacra) tetap sebagai jalan kesatuan utama dengan realitas,
dimana kebenaran dan kebahagiaan disatukan.
Untuk mewujudkan sains Islami, Nasr menggunakan
perbandingan dengan apa yang telah diraih Islam pada zaman
keemasannya (zaman pertengahan). Menurutnya, pada saat itu
dengan teologi yang mendominasi sains, sains telah memperoleh
kecerahan dan dapat menyelamatkan umat dari sifat destruktif sains.

d) Maurice Bucaille
Bucaille merupakan seorang dokter ahli bedah bangsa prancis
yang beralih menjadi spiritualis. Ia menjadi orang terkenal di dunia
Islam dengan diterbitkannya buku La Bible La Coran at La Science
(The Bible, The Qur’an and science/Bibel, Qur’an dan Sains
Modern).
Bucaille mengawali pembahasan dari bukunya tersebut
dengan menelaah keoentikan teks suci al-Qur’an. Kemudian dia
mengkonfrontasikannya dengan Bibel, dan dia mengambil suatu
kesimpulan akhir bahwa al-Qur’an dalam hal keotentikan teksnya
lebih mutawatir dibandingkan dengan Bibel. Sedangkan dalam
kaitannya dengan perkembangan sains di dunia kontemporer, metode
yang digunakannya cukup sederhana. Dengan merujuk beberapa ayat
al-Qur’an dan juga Bibel, dia mengaitkannya dengan sains modern,
dengan faktailmiah yang telah ditemukan. Dalam komparasi ini,
kemudian dia juga mengambil suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an
memiliki kesesuaian dengan fakta ilmiah sains modern, sementara
Bibel banyak kelemahan.
F. Kesimpulan

1. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu proses pengembalian


pemahaman yang antagonistik terhadap Islam dan ilmu
pengetahuan kepada pemahaman yang akomodatif antara Islam
dan ilmu pengetahuan.
2. Islamisasi bisa dilakukan dengan enam cara.
3. Langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas:
a. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang
membentuk budaya dan peradaban Barat.
b. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci
dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama
Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing
tersebut.
4. Tokoh-tokoh Islamisasi:
a. Naquib al-Attas
b. Ismail Raji al-Faruqi
c. Sayyed Hossein Nasr
d. Maurice Bucaille

G. Daftar Pustaka

Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam. (1998). Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.
Amsal, Bakhtiar. (2004). Filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
M. Zainuddin. (2003). Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam.
Malang: Bayu Media.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar A-l Jazairi dan Abu Bakar Jabir Al-Jazairi.


(1995). Aqidah Mukmin. Madinah: Maktabah Al-Ulum wal
Hikam, cet. I.
Ahmad, Supriyadi. (1996).. “Al-Mu’tazilah: Sejarah Timbul dan
Perkembangannya”, dalam Amin Nurdin dkk., Ed. Sejarah
Pemikiran dalam Islam : Teologi / Ilmu Kalam. Jakarta : PT
Pustaka Antara dan LSIK..
A. Khaer Suryaman. (1992). Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Fakultas
Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Abd. Wahid.(2002). Epistemologi Ilmu Hadits, .Aceh: Arraniry Press
dan Lembaga Naskah Aceh.
Anshari, Endang Saifuddin. (1978)..Kuliah Al-Islam, Bandung:
Pusataka.
Ahmad Fuad Al-ahwani. (1985). Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka
Firdaus, cet. 1.
Ali, Ahmad. (2013). Memahami Metodologi Studi Islam. Yogyakarta:
Teras.
Amin Abdullah. (1992). Aspek Epistimologis Filsafat Islam.
Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, cet.1.
Amsal, Bakhtiar. (2004). Filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Arifin, Zainal. (2012). Metode Penelitian. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Darmadjati Supadjar. (1990). Sosok Dan Persepektif Filsafat Islam
Tinjauan Aksiologis.
Hakim, Atang Abd dan Jaih Mubarok. (2009). Metodologi Studi
Islam. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya.
Hammudah Abdalati (1975). Islam in Focus. Indiana: American
Trust Publications Indianapolis.
Hasan, Ahmad. (1984). Pintu Ijtihad Sebelum Tutup. Bandung:
Pustaka Bandung.
Jalaludin H. (2002). Psikologi Agama Edisi Refisi 2002. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Louis O. Kattsof .(1989). Pengantar Filsafat (terj) Soedjono
Soemargono Dari Judul Asli Element Of Philosophy.
Yogyakarta :Bayu Indra Grafika..
Mustofa, A. (2004). Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Pengantar Studi Page 120


Islam
Muh.Zuhri. (2011). Hadits Nabi Telaah Historis & Metodologis,
Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya.
Mukhtar Yahya & Fathurrahman.(1986). Dasar – Dasar Pembinan
Hukum Islam. Bandung : Al- Ma’arif cet ke – 10
Musa Al-As’ari. (1992). Filsafat Islam Suatu Tujuan Ontologis.
Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, cet. 1..
Nata, Abuddin. (1998). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
..(2002). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja
Grfindo Persada, cet. X.
.. (2003). Metodologi Studi Islam. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada., cet ke-8.
.. (2008). Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada.
Nasruddin Razak.(1989). Dienul Islam.Bandung: Al-Ma’arif.
Nasution, Harun. (1986). Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah,
Analisa, Perbandingan. Jakarta : UI Press.
----------.(1986). Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan
Bintang.
. (1979). Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta:
Universitas Indonesia..
----------.(1986). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II.
Jakarta : UI Press.
----------.(1990). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah. Jakarta : UI Press.
Omar Muhammad al-Thoumi al-syaibani. (1979). Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, cet.1.
Qardhawy, Yusuf. (1998). Hakikat Tauhid Dan Fenomena
Kemusyrikan. Jakarta: Rabbani Press.
Saifuddin, Endang..(1986). Kuliah Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Syihab, Quraisy..(.1990). Wawasan Al-Quran. Bandung : Mizan..
. (2007). Membumikan Alquran Fungsi dan peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung. PT Mizan
Pustaka.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Syukur, M.Amin. (2003). Pengantar Studi Islam. Semarang: CV.
Bima Sakti.
Tarpin. (2019) .Modul Pembelajaran Pengantar Satudi Islam.
Jakarta: Pustaka Mandiri.
Ubaidillah.(2000). Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM
& Masyarakat Madani. Jakarta:
IAIN Jakarta Press, cet.1
Yatimin, (2006). Studi Islam Kontemporer. Jakarta: AMZAH.
Yusuf Ali, Anwar. (2003). Studi Agama Islam, Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Zainuddin, M.. (2003). Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam.
Malang: Bayu Media.
Internet:
http://dinulislami.blogspot.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama..
http://stit-uw.blogspot.com/2013/12/abuddin-nata-tentang-
metodologi-study.html.
http://googlepenelusuran.blogspot.com/2011/10/manusia-
kebutuhan-dan-doktrin- agama.html.
http://www.academia.edu/7385205/MENGAPA_MANUSIA_BERAGA
MA.
http://baihaqi-annizar.blogspot.co.id/2014/11/sumber
ajaranislam.html.7/11/15.pukul6.08
http://mind-ashshinta.blogspot.co.id/2015/04/makalah-metode-
penelitian-pendidikan.html
LAMPIRAN
SOAL UJIAN

Anda mungkin juga menyukai