Anda di halaman 1dari 44

PANDUAN PENGGUNAAN

SIG DALAM MENENTUKAN


LOKASI TPA SAMPAH
©cherienw
Pengolahan Data Awal
1) Data permukiman penduduk diambil dari peta rupabumi digital.
Pada umumnya file nya berupa file DWG yang nantinya akan
bermasalah pada saat diolah. Sehingga lebih baik diubah dulu
menjadi file SHP. (Pilih file xxxx-xxx_1.dwg) Cara mengubah file
DWG menjadi SHP?
2) Tentukan buffer jarak dari permukiman, misalnya 300 m, 500 m,
dan 1000 m.
Permukiman 3) Dari ArcToolbox pilih Analysis Tools-> Proximity -> Buffer (Cara
cepat mengakses ArcToolbox?)
Penduduk 4) Masukkan file shp permukiman pada input features. Pada kolom
distance linear unit ditulis jarak buffernya, misalnya 300 meter.
Klik ok.
5) Pada peta akan tampak jarak buffer 300 m dari garis
permukiman penduduk. Ulangi langkah (3) untuk jarak buffer
lainnya.
6) Semua buffer yang dibuat disatukan dengan fitur merge dari
ArcToolbox-> Data management tools-> General -> Merge. Pada
input features pilih semua buffer yang telah dibuat sebelumnya.
Dissolve type-> ALL.
7) Setelah disatukan, masing2 buffer di clip agar hasilnya berupa 0-
300, 300-500, 500-1000, bukan 0-300, 0-500, dan 0-1000.
Caranya open attribute table pada layer buffer yang sudah di
Permukiman merge, pilih shape 300 m, kemudian pada bagian editor pilih
clip-> discard area. Lakukan hal yang sama pada masing2 jarak.
Penduduk 8) Untuk buffer yang melebihi kotak daerah penelitian, lakukan clip
pada layer buffer yang sudah di merge tadi dengan Analysis
Tools-> Extract -> Clip.
9) Proses buffer telah selesai. File harus diubah menjadi data raster
agar dapat diberi nilai.
10) ArcToolbox-> Conversion Tools-> To Raster-> Polygon to Raster
Permukiman
Penduduk

Sumber: peta rupabumi digital Indonesia


lembar Cikalong Wetan (1209-242) dan
Padalarang (1209-224), diterbitkan oleh
Bakosurtanal.
1) Sumber produksi sampah misalnya adalah Cikalong Wetan.
Maka pusat Cikalong Wetan (diambil dari peta rupabumi)
ditandai dengan membuat shape file dalam bentuk point.
2) Point tersebut di buffer dengan cara yang sama.

Sumber Sampah 3) Langkah selanjutnya sama dengan cara buffer pada


permukiman penduduk.
4) Hasil buffer diubah menjadi raster.
Sumber Sampah

Sumber: peta rupabumi digital Indonesia lembar


Cikalong Wetan (1209-242) edisi I-2001,
diterbitkan oleh Bakosurtanal.
Konduktivitas 1) Data konduktivitas hidraulik batuan diambil dari peta
Hidraulik hidrogeologi yang didigitasi secara manual.

(Kelulusan) 2) Data polygon tersebut diubah menjadi raster dengan cara


yang sama.
Batuan
Konduktivitas
Hidraulik
(Kelulusan)
Batuan

Sumber: Peta hidrogeologi Indonesia lembar II


Cirebon oleh Soetrisno (1985)
1) Data kemiringan lereng diambil dari peta rupabumi digital
dalam bentuk kontur ketinggian. Pada umumnya file nya
berupa file DWG yang nantinya akan bermasalah pada saat
diolah. Sehingga lebih baik diubah dulu menjadi file SHP.
(Pilih file xxxx-xxx_3.dwg).
2) Untuk menentukan kemiringan lereng, kontur terlebih
Kemiringan dahulu diubah menjadi data TIN. ArcToolbox-> 3D Analyst
Lereng Tools-> Data Management-> TIN-> Create TIN. Masukkan
data kontur sebagai input features.
3) Klik kanan pada layer TIN-> properties-> symbology->
hilangkan tanda centang pada edge types.
4) Pada elevation, klik add-> face slope with graduated color
ramp-> add-> dismiss.
5) Klik slope untuk memodifikasi warna dan kelas lereng.
Umumnya menggunakan klasifikasi Van Zuidam, namun pada
contoh ini menggunakan klasifikasi 0-4%, 4-8%, 8-12%, 12-
16%, 16-20%, dan >20%.
Kemiringan 6) Hilangkan tanda centang pada elevation. Klik ok.

Lereng 7) Ubah data TIN menjadi raster dengan ArcToolbox-> 3D


Analyst Tools-> Conversion-> From TIN> TIN to raster.
8) Klik kanan pada layer raster yang terbentuk. Pilih Symbology-
> classified-> classify. Tentukan klasifikasi kelas lereng
seperti sebelumnya.
Kemiringan
Lereng

Sumber: peta rupabumi digital Indonesia lembar


Cikalong Wetan (1209-242) dan Padalarang
(1209-224), diterbitkan oleh Bakosurtanal
1) Data kedalaman muka airtanah diambil dari data lapangan.
2) Data diolah menggunakan software Surfer sehingga
menghasilkan kontur-kontur kedalaman MAT.
3) Pada contoh tampak kedalaman MAT dibagi menjadi 0-3 m,
Kedalaman 3-7 m, 7-15 m, dan >15 m. Dari kontur yang terbentuk, dibuat
“daerah” sesuai klasifikasi tersebut secara manual dengan
MAT shapefile berbentuk polygon. Sehingga terbentuk 4 polygon,
yaitu polygon 0-3 m, 3-7 m, 7-15 m, dan >15 m.
4) Langkah selanjutnya adalah mengubah polygon tersebut
menjadi data raster dengan cara yang sama seperti
sebelumnya.
Kedalaman
MAT

Sumber: data lapangan


1) Data kerentanan gerakan tanah diambil dari peta kerentanan
gerakan tanah yang didigitasi secara manual dalam bentuk
Kerentanan polygon.
2) Data polygon tersebut diubah menjadi raster dengan cara
Gerakan Tanah yang sama.
Kerentanan
Gerakan Tanah

Sumber: Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah


Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten
Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, diterbitkan
oleh PVMBG
1) Data sungai dan danau diambil dari peta rupabumi digital.
Pada umumnya file nya berupa file DWG yang nantinya akan
Jarak terhadap bermasalah pada saat diolah. Sehingga lebih baik diubah dulu
menjadi file SHP. (Pilih file xxxx-xxx_6.dwg).
Sungai dan
2) Cara selanjutnya sama persis dengan cara mengolah data
Danau permukiman penduduk.
Jarak terhadap
Sungai dan
Danau

Sumber: peta rupabumi digital Indonesia


lembar Cikalong Wetan (1209-242) dan
Padalarang (1209-224), diterbitkan oleh
Bakosurtanal.
1) Data mata air diambil dari lapangan. Mata air ditandai
dengan membuat shape file dalam bentuk point.
2) Point tersebut di buffer dengan cara yang sama.
Jarak terhadap 3) Langkah selanjutnya sama dengan cara buffer pada
Mata Air permukiman penduduk.
4) Hasil buffer diubah menjadi raster.
Jarak terhadap
Mata Air

Sumber: data lapangan


1) Data sesar bisa diambil dari peta geologi atau peta kawasan
rawan bencana gempa bumi. Data sesar didigitasi secara
Jarak terhadap manual dalam bentuk polyline.

Sesar Aktif 2) Cara selanjutnya sama persis dengan cara mengolah data
permukiman penduduk.
Jarak terhadap
Sesar Aktif

Sumber: peta kawasan rawan bencana gempa


bumi Jawa bagian barat oleh Syahbana, dkk.,
diterbitkan oleh PVMBG
Pengolahan Data
Lanjutan
 Pengolahan data dibagi menjadi 3:
 Peta Zona Tidak Layak
 Peta Zona Layak
 Overlay
Peta Zona Tidak Layak
 Peta ini merupakan hasil dari parameter yang bernilai 0 pada
6 kriteria:
1. Jarak permukiman penduduk (<300 m)
2. Kemiringan lereng (>20%)
Peta Zona 3. Kedalaman MAT (<3 m)
Tidak Layak 4. Jarak sungai dan danau (<150 m)
5. Jarak mata air (<300 m)
6. Jarak sesar aktif (<100 m)
1) Masukkan data raster keenam kriteria tersebut dalam satu file
ArcMap.
2) Tiap kriteria diolah satu persatu. Misalnya data sesar. Daerah
terlarang pada kriteria sesar adalah 0-100 meter. Maka akan
dibuat zona tidak layak untuk kriteria sesar dengan nilai 0 utk
parameter 0-100 meter, dan nilai 1 untuk sisanya.
3) Pada layer raster sesar, open attribute table. Klik add field pada
Peta Zona table option. Beri field nama dgn tipe text, jarak dgn tipe short
integer, dan bobot dgn tipe float. Lihat gambar 1. Isi kolom
nama dan jarak sesuai klasifikasi. Kolom bobot diperoleh dari
Tidak Layak hasil perhitungan AHP. (Klik editor-> start editing untuk bisa
mengisi kolom)
4) Misalnya untuk parameter 0-100 meter diberi nilai jarak 100,
100-500 meter diberi nilai jarak 500, dst. (Nilai pada kolom ini
bukan merupakan bobot, hanya sebagai syarat untuk dapat
melakukan langkah selanjutnya sehingga berapun nilai yang
dimasukkan tidak mempengaruhi bobot)
5) ArcToolbox-> Spatial Analyst Tools-> Conditional-> Con
6) Pada kolom input, masukkan data raster. Klik tombol SQL yang
terletak di samping kanan kolom expression sehingga muncul
jendela seperti pada gambar 2.
7) Dalam kriteria sesar, jarak 0-100 meter adalah daerah tidak
layak sehingga akan diberi nilai 0. Pada gambar 2 tampak bahwa
0-100 meter diberi nilai jarakfault 100. Sehingga pada kolom
query builder, klik JARAK FAULT dan ketik =100. Klik ok.
Peta Zona 8) Pada kolom input true raster, diisi nilai 0. Logikanya adalah
ketika JARAK FAULT=100 (yg artinya adalah jarak 0-100 meter)
Tidak Layak maka nilai raster tersebut adalah 0.
9) Pada kolom input false raster, diisi nilai 1. Logikanya adalah
ketika JARAK FAULT<>100 maka nilai raster tersebut adalah 1.
Klik OK.
10) Maka terbentuk peta zona tidak layak untuk kriteria sesar.
(Gambar 3)
11) Lakukan langkah yang sama untuk kelima kriteria lainnya.
12) Untuk peta kemiringan lereng, attribute table tidak dapat dibuka
karena bukan merupakan single dataset. Sehingga harus
dilakukan langkah lain.
13) ArcToolbox-> Data Management Tools-> Raster-> Raster Dataset
->Copy Raster.
14) Pada kolom input raster, masukkan raster kemiringan lereng.
Pada kolom pixel type pilih 32_Bit_Signed.
Peta Zona 15) Selanjutnya data raster telah dapat diakses attribute tablenya
sehingga dapat dilanjutkan dengan langkah2 yg sama seperti
Tidak Layak kriteria lainnya.
16) Setelah semua kriteria di buat peta zona tidak layaknya, langkah
akhir adalah menyatukan (overlay) keenam peta tersebut.
17) ArcToolbox-> Spatial Analyst Tools-> Map Algebra-> Raster
Calculator.
18) Klik layer2 yg akan digabung dan pisahkan dengan tanda *
(Gambar 4). Klik OK. Ini artinya semua layer tersebut disatukan.
Maka terbentuk peta zona tidak layak (Gambar 5).
Gambar 1

Peta Zona
Tidak Layak

Gambar 2
Peta Zona Gambar 3
Tidak Layak
Peta Zona
Tidak Layak
Gambar 4
Peta Zona Gambar 5
Tidak Layak

Sumber: hasil pengolahan data


Peta Zona Layak
1) Peta ini merupakan hasil dari gabungan seluruh parameter
(yang tidak bernilai 0) pada seluruh kriteria.
2) Sebelumnya, pastikan kolom bobot pada setiap parameter
dan kriteria di attribute table sudah terisi nilainya. Nilai ini
didapat dari perhitungan AHP pada Tabel Gambar 6.

Peta Zona 3) Pada contoh ini, bobot pada setiap parameter diperoleh dari
kolom bobot pada tahap 3 tabel (Gambar 6 kotak 1)
Layak 4) Setelah semua bobot pada setiap parameter dan setiap
kriteria terisi, langkah selanjutnya adalah menggabungkan
semua kriteria tersebut dengan fitur weighted sum.
5) ArcToolbox-> Spatial Analyst Tools-> Overlay-> Weighted
Sum.
6) Pada kolom input features, klik raster dari semua kriteria.
7) Pastikan kolom field diganti dengan kolom bobot pada
attribute table yg dalam hal ini dinamakan sebagai
nilaispring, nilaifault, dll. (Gambar 7)
8) Weight diisi dengan nilai pada kolom ∑bobot tahap 2
Peta Zona (Gambar 6 kotak 2). Logikanya adalah bobot pada kolom
Layak field (bobot tiap parameter) yg dalam hal ini misalnya adalah
nilaisettle akan dikalikan dengan nilai pada kolom weight
sehingga menghasilkan ∑bobot pada tahap 3 (Gambar 6
kotak 3). Lihat Gambar 8.
9) Klik OK. Terbentuklah peta gabungan zona layak (Gambar 9).
Gambar 6

2 1 3

Peta Zona
Layak
Gambar 7

Peta Zona
Layak

Gambar 8
Peta Zona Gambar 9
Layak

Sumber: hasil pengolahan data


Overlay
1) Peta pada Gambar 5 dan Gambar 9 disatukan (overlay) untuk
mendapat peta akhir.
2) ArcToolbox-> Spatial Analyst Tools-> Map Algebra-> Raster
Calculator.
3) Klik raster peta zona tidak layak dan raster peta zona layak
dan pisahkan dengan tanda *. Klik OK. Ini artinya kedua layer
tersebut disatukan. Maka terbentuk peta akhir zona
Overlay kelayakan lokasi TPA Sampah.
4) Klik kanan pada layer yg terbentuk, pilih properties untuk
mengatur klasifikasinya.
5) Pada kolom show, pilih classified. Atur kelas dan warna.
Dalam contoh ini, kelas dibedakan menjadi 4 dengan metode
equal interval sehingga hasil akhirnya menjadi 4 zona yaitu
zona tidak layak, layak rendah, sedang, dan tinggi.
Overlay

Sumber: hasil pengolahan data


 Cara mengubah DWG ke SHP:
 ArcToolbox-> Analysis Tools-> Extract-> Clip
 Pada input features, pilih file DWG. Baik berupa group atau
hanya polyline, polygon, atau point sesuai keperluan.
 Pada clip features, pilih file SHP untuk di crop. Misalnya
daerah penelitian.
NOTES  Hasil akhirnya akan berupa file SHP yang telah di crop sesuai
besar daerah penelitian.

 Cara cepat untuk mengakses ArcToolbox:


 Klik layar putih-> Ctrl+F -> ketik tool apa yg ingin dipakai,
misalnya utk mengakses raster calculator, tulis raster
calculator pada kolom search.
-SELESAI-

Anda mungkin juga menyukai