A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis dalam bentuk
pembinaan, pengarahan, pencerdasan, dan pelatihan yang ditujukan kepada peserta didik secara
formal maupun non formal dengan tujuan membentuk peserta didik yang cerdas, berkepribadian,
memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat.
Lebih lanjut, Taba (dalam Ansyar, 1989, hal. 4) mengungkapkan terdapat tiga fungsi utama
pendidikan, yaitu (1) pendidikan sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan, (2) pendidikan
sebagai alat bagi usaha transformasi kebudayaan, dan (3) pendidikan sebagai alat bagi
pengembangan individu anak.
Selanjutnya, Filsafat merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang
sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu yang dimaksud, dapat berarti terbatas dan dapat pula
berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan
filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat
seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba
merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan
citra tersebut. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut
menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia.
Filsafat pendidikan merupakan jawaban secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan
pokok sekitar pendidikan, seperti (1) apakah pendidikan itu?; (2) apa yang hendak dicapai melalui
pendidikan itu?; dan (3) bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan
tersebut?. Kejelasan berbagai hal tersebut sangat diperlukan untuk menjadi landasan berbagai
keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan, sehingga setiap keputusan dan tindakan
itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatannya meskipun hasilnya belum dapat dipastikan. Jadi
berfikir filsafat dalam pendidikan adalah berfikir secara mendalam sampai keakar-akarnya
mengenai pendidikan. Djumransyah (2004:10) mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai aktivitas
pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun pendidikan,
menyelaraskan, mengharmoniskan, serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai
dalam pendidikan tersebut. Lebih lanjut, Barnadib (1994:7) mendefinisikan filsafat pendidikan
sebagai “ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat, atau filsafat yang diterapkan dalam usaha
pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan”. Makalah ini membahas tentang implementasi
filsafat pendidikan di Indonesia.
[Type text]
B. Pembahasan
1. Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan
Agar uraian tentang filsafat pendidikan mencapai sasarannya, maka perlu dibahas
terlebih dahulu aliran-aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut Pidarta (1997: 90-94)
sedikitnya terdapat sembilan aliran dalam filsafat pendidikan, yaitu:
a. Filsafat Pendidikan Idealisme: memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi,
bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak
lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang
dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David
Hume, dan Al Ghazali.
b. Filsafat Pendidikan Realisme: merupakan filsafat yang memandang realitas secara
dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas terdiri atas dunia fisik dan dunia
ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan
mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang
dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realism
adalah: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
c. Filsafat Pendidikan Materialisme: berpandangan bahwa hakikat materialisme adalah
materi, bukan rohani, spiritual, atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran
materialism adalah: Demokritos, Ludwig Feurbach.
d. Filsafat Pendidikan Pragmatisme: dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun
sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia
dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini
adalah: Charles Sandre Peirce, Wiliam James, John Dewey, dan Heracleitos.
e. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme: memfokuskan pada pengalaman-pengalaman
individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas
pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema
rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Filsafat pendidikan eksistensialis
berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu
manusia itu sendiri. Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran
individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan
pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri.
Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana, dan melaksanakan
[Type text]
sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan
kepada kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan
pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Beberapa tokoh
dalam aliran ini adalah: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin
Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, dan Paul Tillich.
f. Filsafat Pendidikan Progresivisme : bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang
didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada
masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini
adalah: George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, dan
Frederick C. Neff.
g. Filsafat Pendidikan Esensialisme : bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti
berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu
kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik
yang muncul pada zaman romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan
bahasa latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad
lamanya mampu membentuk manusia–manusia berkaliber internasional. Inilah bukti
bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tekanan pendidikannya
adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani
Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak peserta didik akan
terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat diperhatikan.
Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan,
sehingga mempercepat kebiasaan berfikir efektif. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah:
William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed. dan Isac L. Kandell.
h. Filsafat Pendidikan Perenialisme : Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir
pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh
pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
i. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme: merupakan kelanjutan dari gerakan
progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif
[Type text]
hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada
sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun
1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Semua bidang
kehidupan harus diubah dan dibuat baru, aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata
susunan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sama sekali,
melalui lembaga dan proses pendidikan. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah: Caroline
Pratt, George Count, dan Harold Rugg.
[Type text]
3) Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai
ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar
hidup dalam masyarakat.
Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar
yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila
(subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan
dan penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai manusia Indonesia.
Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-
sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, dan
sebagainya. Perbedaannya terletak pada Pancasila berusaha mengakomodasi dan
menggabungkan dengan mengambil isi dari aliran-aliran filsafat tersebut, baik secara
keseluruhan maupun sebagian-sebagian, sehingga filsafat Pancasila berbeda dengan aliran-
aliran tersebut dan ini menjadi satu ciri khas ke-Indonesia-an dari aliran filsafat pendidikan
di Indonesia.
[Type text]
Upaya mendorong pemerintah untuk memberi syarat akan pentingnya merumuskan
filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan
menjelang sidang umum MPR (kompas, 27 Nopember 1992), sebagai satu sumbangan untuk
bahan sidang umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk sidang itu, tidak mencantumkan
perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu. Hal ini menunjukkan kemauan politik
pemerintah kearah itu belum ada. Mudah-mudahan di waktu-waktu yang akan datang
kemauan itu akan muncul.
C. Kesimpulan
1. Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba
merumuskan citra tentang manusia dan mayarakat, sedangkan pendidikan berusaha
mewujudkan citra tersebut.
2. Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat, yakni merupakan
aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun
pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan
yang ingin dicapai dalam pendidikan tersebut.
3. Pancasila sebagai sistem filsafat Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-
sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, dan
sebagainya. Pancasila berusaha mengakomodasi dan menggabungkan aliran-aliran filsafat
dunia yang menjadi ciri khas ke-Indonesia-an dari aliran filsafat pendidikan di Indonesia.
4. Untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih
dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Kepustakaan
Ansyar, Mohammad, 1989. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdiknas.
Bernadi, Imam, 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Ofset.
Darma Putra, Eka, 1988. Pancasila, Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia.