Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis dalam bentuk
pembinaan, pengarahan, pencerdasan, dan pelatihan yang ditujukan kepada peserta didik secara
formal maupun non formal dengan tujuan membentuk peserta didik yang cerdas, berkepribadian,
memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat.
Lebih lanjut, Taba (dalam Ansyar, 1989, hal. 4) mengungkapkan terdapat tiga fungsi utama
pendidikan, yaitu (1) pendidikan sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan, (2) pendidikan
sebagai alat bagi usaha transformasi kebudayaan, dan (3) pendidikan sebagai alat bagi
pengembangan individu anak.
Selanjutnya, Filsafat merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang
sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu yang dimaksud, dapat berarti terbatas dan dapat pula
berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan
filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat
seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba
merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha  mewujudkan
citra tersebut. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut
menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia.
Filsafat pendidikan merupakan jawaban secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan
pokok sekitar pendidikan, seperti (1) apakah pendidikan itu?; (2) apa yang hendak dicapai melalui
pendidikan itu?; dan (3) bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan
tersebut?. Kejelasan berbagai hal tersebut sangat diperlukan untuk menjadi landasan berbagai
keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan, sehingga setiap keputusan dan tindakan
itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatannya meskipun hasilnya belum dapat dipastikan. Jadi
berfikir filsafat dalam pendidikan adalah berfikir secara mendalam sampai keakar-akarnya
mengenai pendidikan. Djumransyah (2004:10) mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai aktivitas
pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun pendidikan,
menyelaraskan, mengharmoniskan, serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai
dalam pendidikan tersebut. Lebih lanjut, Barnadib (1994:7) mendefinisikan filsafat pendidikan
sebagai “ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat, atau filsafat yang diterapkan dalam usaha
pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan”. Makalah ini membahas tentang implementasi
filsafat pendidikan di Indonesia.
[Type text]
B. Pembahasan
1. Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan
Agar uraian tentang filsafat pendidikan mencapai sasarannya, maka perlu dibahas
terlebih dahulu aliran-aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut Pidarta (1997: 90-94)
sedikitnya terdapat sembilan aliran dalam filsafat pendidikan, yaitu:
a. Filsafat Pendidikan Idealisme: memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi,
bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak
lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang
dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David
Hume, dan Al Ghazali.
b. Filsafat Pendidikan Realisme: merupakan filsafat yang memandang realitas secara
dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas terdiri atas dunia fisik dan dunia
ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan
mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang
dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realism
adalah: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
c. Filsafat Pendidikan Materialisme: berpandangan bahwa hakikat materialisme adalah
materi, bukan rohani, spiritual, atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran
materialism adalah: Demokritos, Ludwig Feurbach.
d. Filsafat Pendidikan Pragmatisme: dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun
sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia
dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini
adalah: Charles Sandre Peirce, Wiliam James, John Dewey, dan Heracleitos.
e. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme:  memfokuskan pada pengalaman-pengalaman
individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas
pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema
rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Filsafat pendidikan eksistensialis
berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu
manusia itu sendiri. Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran
individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan
pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri.
Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana, dan melaksanakan

[Type text]
sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan
kepada kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan
pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Beberapa tokoh
dalam aliran ini adalah: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin
Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, dan Paul Tillich.
f. Filsafat Pendidikan Progresivisme : bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang
didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada
masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini
adalah: George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, dan
Frederick C. Neff.
g. Filsafat Pendidikan Esensialisme :  bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti
berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu
kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik
yang muncul pada zaman romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan
bahasa latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad
lamanya  mampu membentuk manusia–manusia berkaliber internasional. Inilah bukti
bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tekanan pendidikannya
adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani
Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak peserta didik akan
terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat diperhatikan.
Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan,
sehingga mempercepat kebiasaan berfikir efektif. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah:
William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed. dan Isac L. Kandell.
h. Filsafat Pendidikan Perenialisme : Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir
pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh
pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
i. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme: merupakan kelanjutan dari gerakan
progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif
[Type text]
hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada
sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun
1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Semua bidang
kehidupan harus diubah dan dibuat baru, aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata
susunan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sama sekali,
melalui lembaga dan proses pendidikan. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah: Caroline
Pratt, George Count, dan Harold Rugg.

2. Filsafat Pancasila Sebagai Sebuah Aliran Filsafat Pendidikan Indonesia


Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat
menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Filsafat Pancasila dapat
didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai
dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-
pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat,
karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh
the faounding father kita, yang dituangkan dalam suatu system.
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat  dapat dilakukan dengan
cara deduktif dan induktif.
1) Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan
menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif.
2) Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat,
merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar
aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga
merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas
tentang filsafat nilai Pancasila. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai,
yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1) Nilai Dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak,
sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari
Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan,
dan nilai keadilan.
2) Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga
negara.

[Type text]
3) Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai
ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar
hidup dalam masyarakat.
Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar
yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila
(subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan
dan penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai manusia Indonesia.
Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-
sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, dan
sebagainya. Perbedaannya terletak pada Pancasila berusaha mengakomodasi dan
menggabungkan dengan mengambil isi dari aliran-aliran filsafat tersebut, baik secara
keseluruhan maupun sebagian-sebagian, sehingga filsafat Pancasila berbeda dengan aliran-
aliran tersebut dan ini menjadi satu ciri khas ke-Indonesia-an dari aliran filsafat pendidikan
di Indonesia.

3. Peranan Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan


Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan
proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran
tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan.
Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai
tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan
negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan
pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan
rambu-rambu dari teori pendidikan. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang
akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak
terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
4. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan
a. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka
filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja
[Type text]
professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan
dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin pada kompetensi
seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru
juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan
cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu
menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada
gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai,
baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh
karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional
dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan  harus selalu
dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan
civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif yang lebih luas dari pada
sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat.
Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang
diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka
gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi
personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek
didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih  belum
dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan
dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didik akan melahirkan
anarki, sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan
melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan
menghasilkan pembudayaan manusia.

b. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan


Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya
teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena
kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu
prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian
sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi
kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan
luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal tersebut dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum
ada diantara kita yang memikirkan masalah  pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang
[Type text]
dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan
sebagai bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa
belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang
lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang
menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga
kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan
ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga
bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran
tersebut di atas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila
diimplementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem
pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah
yang memberi rambu-rambu yang memadai di dalam merancang serta
mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya
mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan di dalam konteks pendidikan (tugas
professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan
mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli,
termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan
nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil
telaah interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan di dalam bagian uraian
dimuka, dirumuskan ke dalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang
memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud.
Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian di dalam
menilai perancang dan implementasi program, maupun di dalam “mempertahankan”
program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan
konseptual.

4. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia


Pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap
perlunya filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi
suatu perhatian besar untuk segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari
kesimpangsiuran pandangan para pendidik  terhadap pendidikan itu sendiri.
Suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan
kawan-kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta
dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal
sebagai berikut :
[Type text]
1) Lebih dari separoh responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan
dan pengajaran.
2) Hampir separoh responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan
kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan
pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
3) Para mahasiswa dan dosen berpendapat pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu
hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan.
4) Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan.
5) Karena keragaman pandangan di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian
mendukung pernyataan bahwa “guru tidak mendidik melainkan mengajar” dan sebagian
lagi menolak.
Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat ditarik sejumlah masalah berkaitan
dengan ilmu pendidikan, yaitu :
1) Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
2) Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan.
3) Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
4) Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
5) Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
6) Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya
pendidikan sebagai ilmu belum ditangani.  Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar
atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan
guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang
ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid,
terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus
membahas pendidikan yang tepat diterapkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk
menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu
rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Bagaimana kiat untuk meningkatkan kegiatan usaha merumuskan  filsafat pendidikan
Indonesia ini, yang kini baru dalam tahap perhatian yang bersifat sporadic ? Tampaknya kiat
itu perlu disesuaikan dengan kebiasaan bangsa Indonesia saat ini. Sesuatu akan terjadi secara
relative lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh
pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam perkembanganya
manakala pemrakarsa dapat menggugah hati pemerintah untuk menyetujuinya.

[Type text]
Upaya mendorong pemerintah untuk memberi syarat akan pentingnya merumuskan
filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan
menjelang sidang  umum MPR (kompas, 27 Nopember 1992), sebagai satu sumbangan untuk
bahan sidang umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk sidang itu, tidak mencantumkan
perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu. Hal ini menunjukkan kemauan politik
pemerintah kearah itu belum ada. Mudah-mudahan di waktu-waktu yang akan datang
kemauan itu akan muncul.

C. Kesimpulan
1. Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba
merumuskan citra tentang manusia dan mayarakat, sedangkan pendidikan berusaha 
mewujudkan citra tersebut.
2. Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat, yakni merupakan
aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun
pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan
yang ingin dicapai dalam pendidikan tersebut.
3. Pancasila sebagai sistem filsafat Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-
sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, dan
sebagainya. Pancasila berusaha mengakomodasi dan menggabungkan aliran-aliran filsafat
dunia yang menjadi ciri khas ke-Indonesia-an dari aliran filsafat pendidikan di Indonesia.
4. Untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih
dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.

Kepustakaan
Ansyar, Mohammad, 1989. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdiknas.

Bernadi, Imam, 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Ofset.

Darma Putra, Eka, 1988. Pancasila, Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia.

Djumransyah, “Filsafat Pendidikan (2004)”, Malang : Bayumedia


[Type text]
[Type text]

Anda mungkin juga menyukai