Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini sebagai pemelihara
kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah
membuat  sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan
tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang
telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan,
hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas
sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi
untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari
sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana
kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah,
dengandalih kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh
pada sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al
Hadits, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih
parah lagi, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an
dalam melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena
tidak mungkin  umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya
merujuk pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-
lebih dapat disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang
mayoritas ulama’ mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga,
seluruh halayak Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan
mempunyai aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik
peribadatannya kelak. Dan dalam hal ini penulis akan memaparkan makalah
tentang hadits dan yang berkenaan dengan hadits dalam pendidikan
islam.Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dilakukan dari
satu aspek, akan tetapi dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Kajian
agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat

1
dengan menggunakan ilmuilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah
agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Di
dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu modern untuk mengkaji
AlQuran mulai digemari, kita perlu memahami Al-Quran melalui berbagai
dimensi dan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya dengan melalui
pendekatan Historis, Filologi, dan Sirah Nabawiyah

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :   
1. Apa definisi Al Qur’an dan Hadist?
2. Apa yang dimaksud pendekatan Historis dalam Studi Al- Qur’an?
3. Apa yang dimaksud tafsir Hermeneutik?
4. Bagaimana urgensi mengkaji Sirah Nabawiyah Model Komparasi?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis dapat
menentukan tujuan pembahasan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi Al Qur’an dan Hadist
2. Untuk mengetahui pendekatan Historis dalam Studi Al- Qur’an
3. Untuk mengetahui tafsir Hermeneutik
4. Untuk mengetahui Urgensi Mengkaji Sirah Nabawiyah Model Komparasi

D. Hipotesis
Metode Studi Al-Qur’an dan Hadist melalui pendekatan Historis,Hermeunik,
serta Kajian Sirah Nabawiyah dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa
dalam mengkaji isi Al-Qur’an dan Hadist untuk kemudian ditransformasikan
kedalam bahasa konteks kekinian.

2
BAB II
METODE STUDI AL QUR’AN DAN HADIST

1. Definisi Al- Qur’an dan Hadits


a) Definisi Al- Qur’an
Untuk mengetahui pengertian Al-Quran sendiri, dalam hal ini pengertian
Al-Quran menurut bahasa dan istilah memiliki pengertian yang berbeda. Untuk
pengertian Al-Quran menurut bahasa, berasal dari bahasa arab yang mana
merupakan bentuk jamak dari kata benda atau masdar. Kata ini memiliki arti yaitu
bacaan atau sesuatu yang di baca secara berulang-ulang.
Konsep dalam penggunaan kata tersebut, juga dapat anda temukan pada
salah satu surat yang ada di Al-Quran. Anda dapat menemukannya di dalam surat
Al-Qiyamah ayat 17-18. Menurut bahasa sendiri, Al-Quran sendiri diartikan
sebagai sebuah bacaan, anda dapat melihat lebih jelas pengertian Al-Quran
menurut bahasa yang sudah ditetapkan dengan jelas agar dapat dipahami semua
umatnya.1
Berbeda dengan menurut bahasa, pengertian Al-Quran menurut bahasa dan
istilah akan memiliki arti yang berbeda seperti hal nya pengertian menurut istilah.
Secara istilah sendiri, Al-Quran dapat diartikan sebagai kalm Allah SWT, yang
mana diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sebagai salah
satu mukjizat. Hal ini juga disampaikan dengan jalan mutawir dari Allah SWT.
Diantarkan langsung, dengan bantuan dari perantara malaikat Jibril dan
juga dengan membaca Al-Quran. Hal ini dinilai sebagai salah satu bentuk ibadah,
yang ditunjukkan kepada Allah SWT. Al-Quran sendiri memiliki isi dengan
memuat berbagai aturan-aturan mengenai kehidupan yang dimiliki manusia di
dunia. Al-Quran juga diperuntukkan untuk orang-orang yang beriman, dan juga
takwa.
Dalam Al-Quran, pengertian Al-Quran menurut bahasa dan istilah dalam
hal ini menunjukkan rahmat yang besar dan juga memberitahukan pelajaran untuk
orang-orang yang beriman. Al-Quran sendiri merupakan sebuah petunjuk, yang
1 Yayasan Raudlatul Makfufin “Pengertian Al-Quran” open dictionary
https://makfufin.id/pengertian-al-quran-menurut-bahasa-dan-istilah/ , accessed on
October 09, 2019

3
mana dapat membantu mengeluarkan manusia dari kegelapan untuk dapat menuju
jalan yang lebih terang.
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang
tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan
dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Al-Qur’an
layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandang masing-masing.2

‫ن‬ ِ ْ ‫حقِّ وَال‬


َ ‫مي َزا‬ َ ْ ‫اب بِال‬ َ ‫ه الَّذِي أَن ْ َز‬
َ َ ‫ل الْكِت‬ ُ َّ ‫ۗ الل‬

Terjemah Arti: Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran


dan (menurunkan) neraca (keadilan).

b) Definisi Hadist
Hadis (bahasa Arab: ‫الحديث‬, har. 'berbicara, perkataan, percakapan', ejaan
KBBI: hadis, ), disebut juga sunnah, adalah perkataan (sabda), perbuatan,
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat
Islam. Hadis dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini
kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an.3
Kata hadits berasal dari bahasa arab yaitu dari kata hadits, jamaknya
ahadits, hidtsan dan hudtsan. Dari segi etimologi/bahasa kata ini memiliki banyak
arti, diantaranya‫( الجد يد‬al-jadid) yang berarti sesuatu yang baru. Yang merupakan
lawan dari kata ‫(القديم‬al-qadim) yang berarti sesuatu yang lama. Bisa diartikan
pula sebagai ‫( الخبر‬al-khabar) yang berarti berita atau riwayat dan ‫( القريب‬al-qarib)
yang berarti sesuatu yang dekat.Hadist juga berarti “berita” yaitu sesuatu yang
diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. 4
Secara terminologis atau istilah, hadits dirumuskan dalam pengertian yang
berbeda-beda di antara pandangan para ulama. Perbedaan-perbedaan pandangan
itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing,

2 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2001, hlm.3.


3 WIKIPEDIA “HADIS”, Open Wikipedia dictionary https://id.wikipedia.org/wiki/Hadis
, accessed on October 09, 2019
4 H. Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm.11

4
yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang dialaminya dan
karena adanya perbedaan tujuan masing-masing ahli diberbagai bidang ilmunya.
Lebih jelasnya pengertian hadits dijelaskan oleh sudut pandang para ulama
sebagai berikut :
a. Menurut para Ulama Hadits.
Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah
baik berupa perkataan/sabda, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah
laku beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua
Hiro’) maupun sesudahnya”.5 Karena para ulama hadits meninjau bahwa pribadi
Nabi Muhammad itu adalah sebagai uswatun hasanah , sehingga segala yang
berasal dari beliau baik ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan
sebagai hadits.
b. Menurut para ahli ushul fiqh.
Para ushul fiqih mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an Al Karim, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau , yang bersangkutpaut dengan hukum
syara`.6 Para Ushul fiqih meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad adalah
sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada dalam Al-Qur’an) yang
membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya dan
menjelaskan kepada umat islam tentang aturan hidup.
c. Menurut para Fuqaha (ahli fiqih).
Hadits yaitu segala sesuatu yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad yang
tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.
d. Menurut jumhur ulama.
Terdapat dua pengertian hadits yaitu pengertian hadits yang terbatas dan
pengertian hadit secara luas.
1) Secara Terbatas, hadits diartikan sebagai sesuatu yang dinisbahkan kepada
nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), dan
sebagainya.
2) Secara luas, hadits diartikan sesungguhnya hadits itu bukan hanya yang
dimarfukan kepada nabi Muhammad saja, melainkan dapat pula disebutkan

5 Ibid. hal, 13
6 Ibid.,hlm. 15

5
pada apa yang maukuf (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari
sahabat), dan pada apa yang maqthu` (dinisbatkan pada perkataan dan
sebagainya dari tabi`in).
Menurut pengertian diatas, pemberitaan terhadap hal-hal yang didasarkan
kepada Nabi Muhammad SAW disebut berita yang marfu’, sedangkan yang
disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada
tabi’in disebut maqthu’.

2. Pendekatan Historis dalam studi Al- Qur’an dan Hadist


Pendekatan dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian
sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan
dengan orang yang diteliti, atau metode-metode untuk mencapai pengertian
masalah yang diteliti.7
Secara umum dapat dimengerti bahwa pendekatan historis merupakan
penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa
lampau dan dilaksanakan secara sistematis. Atau dengan kata lain yaitu penelitian
yang mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada waktu penelitian
dilakukan.
Secara sempit Pendekatan historis adalah meninjau suatu permasalahan
dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya
dengan menggunakan metode analisis sejarah.8 Sejarah atau histori adalah studi
yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang
menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya.
Islam sebagai produk historis dapat diteliti dengan menggunakan
pendekatan historis (empiris). Dengan demikian kajian historis sebagai salah satu
pendekatan yang dapat digunakan dalam mempelajari Islam bertujuan untuk
melihat dari segi kesadaran sosial pada perilaku atau pendukung suatu peristiwa
sejarah sehingga mampu mengungkapkan banyak dimensi dari peristiwa tersebut.
a) Sejarah Kodifikasi Al-Quran
7 KBBI “Pendekatan” open dictionary https://kbbi.web.id/dekat , accessed on October 10,
2019

8 Pendekatan Historis dalam Islam, open dictionary


http://shirotuna.blogspot.com/2014/06/pendekatan-historis-dalam-islam.html , accessed on
12/10/2019

6
Al-Quran adalah wahyu Ilahi yang diturunkan ke bumi melalui seorang
Nabi yang tidak bisa menulis dan membaca tulisan, beliau adalah Nabi
Muhammad Saw. Walau beliau seorang yang tidak bisa menulis dan membaca
pada awal masa kenabiannya, namun rasa semangat dalam menerima wahyu, serta
menghafalkannya tidak mengurangi sama sekali. Hal itu dibuktikan ketika dalam
proses pentransferan wahyu ke Rasulullah. Beliau mengikuti dengan seksama,
serta perhatian tinggi dalam pengajaran dan pimbingan yang disampaikan oleh
malaikat Jibril, ketika dalam proses pentrasferan. Beliau benar-benar
memperhatikan lafadz dan huruf yang keluar dari malaikat jibril, serta tidak mau
melewatkan satu huruf pun dari al-Quran yang tertinggal dari konsentrasi beliau.
Hal itu semua karena beliau sangat meperhatikan betul dalam menerima wahyu
dari Ilahi.
Pada masa sahabat, ada sebagian dari mereka yang selalu berpegang
selalu pada hafalan, mereka suka menjadikan hafalan itu sebagai catatan semu
yang bisa dibuka sewaktu-waktu, seperti menghafal silsilah, menghafal sya’ir dan
menghafal al-Quran. meraka tidak mau mencatat apa yang sudah dihafalkan
kedalam bentuk tulisan, karena pada umumnya mereka buta huruf, tapi bukan
berarti semua orang arab itu buta huruf, maka dari situlah Nabi Muhammad Saw.
menyuruh para sahabat untuk menulis al-Quran ketika sudah dihafalnya. Karena
disamping membantu para sahabat mudah dalam menghafalnya dan untuk
menjadikan al-Quan itu ada tidak hanya dalam bentuk hafalan, namun harus ada
dalam bentuk tulisan, serta dikhawatirkan terjadi sesuatu yang bisa merubahnya,
karena alQuran adalah mu’jizat yang apabila dibacanya mendapatkan pahala dari-
Nya, maka harus sangat hati-hati sekali dalam menjaganya tetap utuh.
Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Quran ( J a m i a l - Qur’an )
oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengetian berikut; Pertama ,
Pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma al - Quran
artinya huffazuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalkannya
di dalam hati). Kedua , pengumpulan dalam arti Kitabuhu Kullihi (penulisan Al-
Quran semuannya) baik dengan memisahkan-misahkan ayat -ayat dan surat-
suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu
lembaran yang terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam

7
lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya
ditulis sesudah bagian yang lain.9
 Pengumpulan Al-Quran pada Masa Rasulullah
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Quran sudah dimulai sejak zaman
Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Quran diturunkan. Setiap kali menerima
wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang
diperintahkan untuk mengajarkan al-Quran kepada mereka. Untuk menjaga
kemurnian Al-Quran, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk
memeriksa bacannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara
menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian
Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan
sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Quran dari kesalahan dan
kekeliruan.
Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Quran pada masa Rasulullah SAW sudah
banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Quran), baik hafal sebagian
saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar
as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah,
Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin
Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah
bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay
bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.10
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah
Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan,
Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.

 Pengumpulan Al-Quran pada Masa Khalifah Abu Bakr


Peperangan Yamamah pada tahun keduabelas hijriyah melibatkan
sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Quran. dalam peperangan ini tujuh puluh
qari’ dari para sahabat gugur. Melihat itu Umar bin Khaththab merasa sangat
99 Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an, open dictionary
https://youchenkymayeli.blogspot.com/2012/06/sejarah-pengumpulan-al-quran.html ,
accessed on 12/29/2019
10 Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.32

8
khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan
usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Quran karena khawatir
akan musnah. Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan
melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun Umar tetap
membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima
usulan Umar tersebut.
Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, karena Zaid adalah
orang yang betul-betul memiliki pembawaan/kemampuan yang tidak dimiliki oleh
shahabat lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Quran, ia adalah orang yang hafal
Al-Quran, ia seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah SAW, ia menyamakan
sajian yang terakhir dari Al-Quran yaitu dikala penutupan masa hayat Rasulullah
SAW. 11
Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati-hati dalam menulis Al-
Quran. Al-Quran, kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang
baru, dengan susunan ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah.
Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi nama Mushhaf,
dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh khalifah Umar.
Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Quran di masa Abu Bakar ini
ialah bahwa Al-Quran itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari
lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-
ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.
 Pengumpulan Al-Quran pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup
berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal
qiraah sahabat yang mengajarkan Al-Quran kepada penduduk kampung itu.
Penduduk Syam memakai qiraah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah memakai
qiraah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qiraah Abu Musa Al-
Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qiraah dikalangan
mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara
mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain,
disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.

11 Ibrahim Al-Abyasi, Sejarah Al- Quran, Drs.Ramli Harun, Jakarta, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1996, hal.63.

9
Pertama , Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka
miliki itu tidak sama susunan atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan
karena Rasulullah sendiri memang tidak memerintahkan supaya surat-surat Al-
Quran itu disusun menurut tertib umat tertentu, karena masing-masing surat itu
pada hakikatnya adalah berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Quran itu terdiri
dari 114 kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-
masing surat itu.
Kedua , Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini
adalah karena Rasulullah sendiri memang memberikan kelonggaran kepada
qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca dan melafadzkan ayat-ayat
Al-Quran itu menurut dealek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan
oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk membaca dan menghafalkan Al-
Quran itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang
qiraat itu, kalau dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan
perpecahan yang lebih luas dikalangan kaum kuslimin, terutama karena masing-
masing qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah yang paling baik dan ejaan
merekalah yang paling betul.12
Usman r.a telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau
memilih empat orang tokoh handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Hisyam.
Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia dari golongan
Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada tahun 24 H.10 Tugas panitia
ini ialah membukukan Al-Quran, yaitu menuliskan atau menyalin kembali ayat-
ayat Al-Quran itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu
Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan
standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.

b) Sejarah Kodifikasi Al-Hadits

12 Sejarah Kodifikasi Al Quran , open dictionary


https://www.bacaanmadani.com/2019/09/sejarah-kodifikasi-al-quran.html , accessed on
12/29/2019

10
Kodifikasi hadith adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh
pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh
masyarakat. Mulai dari tahun pertama hijriyah, hadits tidaklah di bukukan. Hadits
itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing – masing perawi meriwayatkannya
berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.13
Pada tahun 99 H, seorang khalifah dari bani Umayyah yang terkenal adil
dan wara' yaitu 'Umar ibn Abdil Aziz tergerak hatinya untuk membukukan hadits.
Beliau sadar jika semakin banyak perawi yang meninggal dunia. Beliau khawatir
jikalau hadist itu tidak segera dibukukan, maka akan lenyap bersama para
penghafal tersebut.Selain itu motif utama Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
berinisiatif demikian:
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Al – Hadits seperti waktu
yang sudah – sudah. Karena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya Al –
Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya
dalam dewan hadits.
b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Al – Hadits
dari hadits – hadits maudlu’ yang dibuat oleh orang – orang untuk
mempertahankan idiologi golongannyadan mempertahankan mazhabnya, yang
mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib `r.a.
c. Alasan tidak terdewannya Al – Hadits secara resmi di zaman Rasulullah saw.
Dan Khulafaur Rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya
dengan Al – Quran, telah hilang, disebabkan Al – Qur’an telah dikumpulkan
dalam satu mush-af dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal di otak
dan diresapkan di hati sanubari beribu – ribu orang.
d. Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi
peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang
saudara orang – orang muslim, yang kian hari kian menjadi-jadi, yang
sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama ahli hadits, maka pada saat itu
konfrontasi tersebut benar – benar terjadi.

13 Sejarah kodifikasi Hadis, open dictionary https://muslim.or.id/12725-sejarah-


kodifikasi-hadits.html , accessed on October 10, 2019

11
c) Pengumpulan Hadist
Secara resmi ialah kodifikasi atas prakarsa penguasa. Ide penghimpunan
hadist nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukan oleh Khalifah Umar
bin Khatab ( 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar
karena kwatir umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.14
Baru pada masa Khalifah Umar bin Aziz lah, pembukuan / pengumpulan
hadits di laksanakan. Beliau sadar dan sangat waspada semakin sedikitnya perawi
hadits. Beliau khawatir, jika tidak segera di bukukan, maka akan benyak hadits
yang hilang terbawa mati oleh perawi-perawi hadits tersebut.
 Pengumpulan Hadist Pada masa pertama
Pada tahun 100 H, sang khalifah memerintahkan kepada para gubernur
Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan
hadist-hadist dari penghafalnya.15 Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada
gubernur, yaitu:‛perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadist rasul, lalu
tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya para ulama,
dan jangan diterima selain hadist Rasul SAW, dan hentikanlah disebarluakan ilmu
dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat
mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.
Selain kepada gubernur Madinah, Khalifah juga menulis surat kepada
gubernur lain supaya mengusahakan pembukuan hadist. Khalifah juga secara
menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Abaidilllah bin
Syihab az-Zuhri. Kemudian Syihab azZuhri mulai melaksanakan perintah khalifah
tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan
hadist.16
 Pada masa kedua
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu generasi shighar al-
tabi’in dan generasi a t b a ’ u a l - tabi’in. Generasi pertama, mereka yang hidup
sampai setelah tahun 140 hijrah. Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup
setelah periode sahabat dan tabi’in, dalam tingkatan periwayatan hadits dan
penyebaran agama Islam kepada umat, generasi ini mempunyai peranan sangat
14 Mudzakir dan Muhammad Ahmad, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2000,
hlm.32
15 Ibid., hlm.33
16 Ibid., hlm.34

12
besar dalam menghadapi ahl albida’ wa al-ahwa’, dan berusaha sekuat tenaga
dalam menghalau segala bentuk kebohongan hadits (al-wadl’u fi al-hadits) yang
dipelopori oleh kelompok al-Zanadiyah. Selain itu, abad kedua juga terkenal
dengan banyaknya ulama yang muncul, di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H)
dengan kitab, as - sunan ‛, ‚ at - Thaharah ‛, ‚ as - shalah ‛, ‚ at - tafsir ‛ dan ‚ al -
Jaami ‛. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar ( 151 H) menyusun kitab
‚ as - Sunan ‛ dan ‚ al - Maghazi ‛, atau Malik bin Anas ( 179 H) menyusun ‚al
Muwaththa
 Penulisan
Penulisan hadist secara menyeluruh. Pada awalnya penyusunan hadits
dalam kitab, hadits – hadits Nabi tidak dipisahkan dari fatwa para sahabat dan
tabi’in, tidak pula diadakan pemilihan bab – bab tertentu. Semua itu dibukukan
besama – sama. Maka terdapatlah dalam kitab – kitab itu hadits – hadits marfu’,
hadits – hadits mauquf, dan hadits – hadits maqthu’.
Adapun sistematika penulisan kitab hadits tersebut adalah dengan
menghimpun hadits – hadits yang tergolong dalam munasabah, atau hadits –
hadits yang ada hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya dihimpun
dalam satu bab, kemudian disusun menjadi beberapa bab sehingga menjadi satu
kitab.
Para ulama masih mencampur adukkan antara hadits dengan atsar sahabat
dan tabi’in. Adapula penulisan hadist secara terpisah. Masa ini dapat dianggap
masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini Ulama
Hadits telah berhasil memisahkan Hadits – Hadits Nabi dari yang bukan Hadits
(fatwa sahabat dan tabi’in) dan telah berhasil pula mengadakan penyaringan yang
sangat teliti terhadap apa saja yang dikatakan Hadits Nabi (diteliti matan dan
sanadnya).17Masa ini disebut ‚masa menghimpun dan mentasbih Hadits‛.
 Pembukuan
Sistem ulama abad kesatu membukukan hadits. Pada masa ini, belum ada
pembukuan hadits. Karena dilarang oleh Nabi Muhammad saw. Karena takut jika
hadits tercampur dengan al-Qur’an. Sedangkan sistem ulama abad kedua

17 ACADEMIA Lutfi Lagent “ Hadist “ , open dictionary


https://www.academia.edu/31344789/Hadist , accesed on 29/12/2019

13
membukukan hadits dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan
hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu,
bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama.
Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits
maqthu’. Adapun sistem ulama abad ketiga membukukan hadits mereka
memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu.
Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan
statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka
tidak memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih
dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Segala hadits yang mereka terima,
dibukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya. Pada abad ini banyak
beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan al-Masanid,
yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua buku tersebut
merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang
mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali
ibn alMadini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.

3. Tafsir Hermeneutik
Hermeneutika berasal dari kata Hermenium (Bahasa Yunani) yang berarti
penjelasan, penafsiran, penerjemahan.Ada juga yang berpendapat bahwa kata
tersebut diambil dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani merupakan
sosok yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa dan bertugas
menjelaskan maksudnya kepada manusia. kesarjanaan Muslim, khususnya
mereka para pemerhati studi alQur’an. Diskursus ini menjadi menarik karena
menghubungkan antara hemerneutika sebagai metodologi pembacaan Bibel
dengan al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang absolut, untuk diuji dan dikaji
secara kritis. Pertanyaan pokok yang perlu diajukan kemudian ialah apakah
metodologi Bibel ini relevan ketika diterapkan dalam al-Qur’an ?jawaban atas
pertanyaan ini sangatlah beragam (interpretative) dan sarat dengan perdebatan
(debatable). Jika diklasifikasi paling tidak ada tiga kubu yang menanggapi
persoalan ini.pertama kubu yang menerima hermeneutika secara keseluruhan,
kedua, kubu yang menolak hermeneutika secara totalitas. ketiga, kubu yang

14
berusaha menengah-nengahi perbedaan pendapat tersebut dengan mengatakan
bahwa sebagian teori hermeneutika dipandang acceptable dalam kajian
keislaman.18
Sebagaimana diakui oleh Shihab tidak semua ide yang diketengahkan oleh
berbagai aliran dan pakar hermeneutika merupakan ide yang keliru atau
negatif.Pasti ada di antaranya yang baik dan baru serta dapat dimanfaatkan
untuk memperluas wawasan, bahkan memperkaya penafsiran, termasuk
penafsiran al-Qur’an. Hermeneutika dan Tafsir, keduanya sama-sama sebagai
kaidah penafsiran. Terlepas dari perbedaan pada segi objek (al-Qur’an sebagai
kalam Allah, Sedangkan Bibel hasil karya manusia). Namun, yang jelas bagi
Shihab ada banyak hal positif yang bisa diambil dari bahasan tentang
hermeneutika, khususnya dari beberapa aliran hermeneutika.sebut saja misalnya
aliran hermeneutika Romansis yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher
dan Wilhelm Diltheiy, yang merupakan peletak dasar rambu-rambu untuk
memperoleh makna yang benar dan final terhadap objek yang dibahas, serta
keharusan memahami bahasa teks dan perangkat-perangkatnya. Dalam konteks
ini, Shibah menilai bahwa itu merupakan hal-hal positif yang sangat diperlukan
oleh siapa saja yang ingin menemukan dan memahami kebenaran.19
Pada mulanya hermeneutika ini hanya dipahami sebagai metode untuk
menafsirkan teks-teks yang terdapat di dalam karya sastra, kitab suci, dan
bukubuku klasik lainnya.Adalah Schleimacher1 yang meletakkan dasar-dasar
hermeneutika. Tetapi belakangan, penggunaan hermeneutika sebagai metode
penafsiran semakin meluas dan berkembang, baik dalam cara analisisnya
maupun objek kajiannya. misalnya diakui juga oleh Sonja K.Foss, Kreen Foss
dan Robert Trap ketika berkata:20
“Hermeneutics,then has expanded beyond the analisis of literal texts; it now
is considered applicable to all situations-events,and phenomena that can

18 Muzayyin, 2015, “RESEPSI HERMENEUTIKA DALAM PENAFSIRAN AL-


QUR’AN OLEH M. QURAISH SHIHAB: Upaya Negosiasi Antara Hermeneutika dan
Tafsir al-Qur’anuntuk Menemukan Titik Persamaan dan Perbedaan”, Vol.1 No 1, 2015,
hlm.1
19 ibid,hlm.137
20 Jaipuri Harahap, 2014, “HERMENEUTIKA DAN METODE PENAFSIRAN
ALQURAN”, Vol. 3, No. 1, 2014,hlm.155

15
subjected to interpretation. All of the kinds of phenomena are’text’that offer
clues about how humants give meaning to their world”
Dengan semakin meluasnya penggunaan hermeneutika dalam studi yang
melibatkan interpretasi, Palmer mencoba mengklasifikasikan cabang-cabang studi
hermeneutika sebagai berikut: pertama, interpretasi terhadap Kitab Suci disebut
Exegesis; kedua, interpretasi terhadap berbagai teks kesusastraan lama disebut
philology; ketiga interpretasi terhadap penggunaan dan pengembangan aturan-
aturan bahasan disebut technical hermeneutics; keempat, suatu studi tentang
proses pemahaman itu sendiri disebut philoshipical hermeneutics; kelima
pemahaman dibalik makna-makna dari setiap symbol disebut dream analisys; dan
keenam,interpretasi terhadap pribadi manusia beserta tindakan-tindakan
sosialnya, yang kemudian disebut sosial hermeneutics.
4. Urgensi Mengkaji Sirah Nabawiyah Model Komparasi
Sirah Nabawiyah merupakan seri perjalanan hidup seorang manusia
pilihan yang menjadi parameter hakiki dalam membangun potensi umat.
Sehingga, mempelajarinya bukan sekadar untuk mengetahui peristiwa-peristiwa
yang terjadi di masa itu. Melainkan, mengkajinya untuk menarik pelajaran dan
menemukan rumusan kesuksesan generasi masa lalu untuk diulang di kehidupan
kiwari.
Tujuan utama mengkaji Sirah Nabawiyah adalah agar setiap Muslim
memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara utuh, tentang bagaimana
Islam tercermin dalam kehidupan nyata Nahi Muhammad Saw dan bagaimana
pula Rasulullah Saw mempraktikkan dan mewujudkan wahyu llahi. Oleh
karenanya, seluruh perilaku Nabi Muhammad Saw dalam wujud sejarahnya yang
terikat pada tiga pilar agama, yaitu iman, islam dan ihsan, menunjukkan secara
keseluruhan prinsip, kaidah, dan hukum Islam.21
Kapan Sırah Nabawiyah menjadi upaya aplikatif yang bertujuan untuk
memperjelas hakikat Islam secara utuh dalam niat keteledanan yang tertinggi?
Bila kita lihat, maka kajian Sirah Nabawiyah dapat difokuskan dalam beberapa
sasaran di antaranya :22

21 Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah Nabi Muhammad dalam Kajian Ilmu Sosial-
Humaniora, Bandung, 2014, hlm.18

16
1. Memahami kepribadian Rasulullah Saw melalui celah-celah kehidupan dan
kondisi-kondisi yang pernah dihadapi beliau, untuk menegaskan bahwa
Rasulullah Saw bukan hanya seorang yang terkenal ramah di antara kaumnya,
tetapi sebelum itu beliau adalah seorang rasul yang didukung oleh Allah
dengan wahyu dari-Nya.
2. Agar manusia mendapatkan gambaran tipe ideal (al-matsal al-a 'la)
menyangkut seluruh aspek kehidupan untuk dijadikan undang-undang dan
pedoman. Tidak diragukan lagi, tipe ideal tersebut ada pada pribadi
Rasulullah Saw secara jelas dan sempurna. Karena itu, Allah menjadikannya
sebagai poros (al-qudwah) bagi seluruh manusia. Firman Allah:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagımu ... (Qs al-Ahzab [33]: 21)
3. Agar dalam mengkaji Sirah Nabawiyah manusia memperoleh sesuatu yang
dapat membawa mereka memahami kitab suci Al-Quran dan tujuan dari ayat-
ayat yang terkandung di dalamnya. Sebab, banyak ayat Al-Quran yang baru
bisa ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya setelah melihat atau melalui
peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi dan disikapi oleh Rasulullah Saw.
4. Melalui kajian Sirah Nabawiyah, scorang Muslim dapat mengumpulkan
sekian banyak tsaqafah dan pengetahuan Islam yang benar, baik menyangkut
akidah,ruhaniah, hukum, ataupun akhlak. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa
kehidupan Rasulullah Saw merupakan gambaran konkret dari sejumlah
prinsip wahyu dan hukum Islam.
5. Agar setiap pembina masyarakat dan dai Islam memiliki contoh konkret
dalam kehidupan menyangkut cara-cara pembinaan dan dakwah terhadap
umatnya,diplomasi dengan orang luar Islam, dan sebagainya. Rasulullah Saw
adalah seorang dai pcmberi nasehat dan pembina akhlak yang baik, yang
senantiasa mencari cara-cara pembinaan dan pendidikan terbaik selama
beberapa periode dakwahnya.

2219 Musthafa as-Siba's, Saral Nabi Muhanmad Saw Pedoman dan Pengaiaran,
jilid 1. Pet, 2011, him 11

17
6. Menurut Ibn Hazm (w. 456 H) penulis kitab Jawami Sirah Nabawiyyah,
bahwa Sirah Nabawiyah adalah bentuk mukjizat Nabi Muhammad Saw
sendiri. Tanpa mengenal dan membaca sirah nabawiyah, kita tidak akan kenal
apa arti dan bentuk- bentuk mukjizat itu sendiri. Dengan membaca dan
mempelajarinya, kita akan membenarkan sekaligus meyakini keberadaan
Nabi tercinta, dan seluruh aspek kehidupannya adalah realitas yang benar-
benar terjadi pada diri beliau. Kitab- kitab Sirah Nabawiyah mengajarkan arti
penting sejarah, bukan membangun mitos dan legenda tentang ketokohan
manusia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam Al-Quran, pengertian Al-Quran menurut bahasa dan istilah dalam
hal ini menunjukkan rahmat yang besar dan juga memberitahukan
pelajaran untuk orang-orang yang beriman. Al-Quran sendiri merupakan

18
sebuah petunjuk, yang mana dapat membantu mengeluarkan manusia dari
kegelapan untuk dapat menuju jalan yang lebih terang.
2. Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah
baik berupa perkataan/sabda, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan
tingkah laku beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti
tahannuts beliau di gua Hiro’) maupun sesudahnya”.
3. Pendekatan historis merupakan ilmu yang didalamnya dibahas sebagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, dan latar
belakang peristiwa
4. Hermeneutika berasal dari kata Hermenium (Bahasa Yunani) yang berarti
penjelasan, penafsiran, penerjemahan.
5. Sirah Nabawiyah merupakan seri perjalanan hidup seorang manusia
pilihan yang menjadi parameter hakiki dalam membangun potensi umat.
Tujuan utama mengkaji Sirah Nabawiyah adalah agar setiap Muslim
memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara utuh, tentang
bagaimana Islam tercermin dalam kehidupan nyata Nahi Muhammad Saw
dan bagaimana pula Rasulullah Saw mempraktikkan dan mewujudkan
wahyu llahi.

B. Saran
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala,
karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenal
Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI). Makalah ini diajukan guna memenuhi
tugas mata Kulia Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI).
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Kami pun dari penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangannya, untuk itu mohon maaf, sekaligus kami berharap saran dan kritik
yang membangun dari para pembaca semua. Semoga makalah ini nantinya
bermanfaat untuk kita semua.

19
DAFTAR PUSTAKA
 Mudzakir dan Muhammad Ahmad, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2000
 https://muslim.or.id/12725-sejarah-kodifikasi-hadits.html
 http://shirotuna.blogspot.com/2014/06/pendekatan-historis-dalam-
islam.html

20
 Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Rineka Cipta, Jakarta,
2002.
 Ibrahim Al-Abyasi, Sejarah Al- Quran, Drs.Ramli Harun, Jakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.
 Khaeruman . Badri, (2010), Ulum Al-Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia.
 Rahman . Fatchur, (1991), Ikhtisar Mushthalah Hadits, Bandung : Al-
Ma`arif.
 Muzayyin, 2015, “RESEPSI HERMENEUTIKA DALAM PENAFSIRAN
AL-QUR’AN OLEH M. QURAISH SHIHAB: Upaya Negosiasi Antara
Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’anuntuk Menemukan Titik Persamaan
dan Perbedaan”, Vol.1 No 1, 2015,
 Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah Nabi Muhammad dalam Kajian Ilmu
Sosial- Humaniora, Bandung, 2014.
 Musthafa as-Siba's, Saral Nabi Muhanmad Saw Pedoman dan Pengaiaran,
jilid 1. Pet, 2011.

21

Anda mungkin juga menyukai