3. Etiologi
a. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti
pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig
(tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
b. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia,
virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura,
karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80%
karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit
neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh
sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
Penurunan tekanan osmotic koloid darah
Peningkatan tekanan negative intrapleural
Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
Penyebab efusi pleura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya adalah:
Transudat
Gagal jantung, sirosis hepatis dan ascites, hipoproteinemia pada nefrotik
sindrom, obstruksi vena cava superior, pasca bedah abdomen, dialisis peritoneal,
dan atelektasis akut.
Eksudat
- Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, dan abses)
- Neoplasma (Ca. paru-paru, metastasis, limfoma, dan leukemia)
5. Fatofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga pleura.
Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura
parietalis sebesar 9 cm H2O. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena
adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini
diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%)
mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter
seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia
akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan
vena (gagal jantung).
Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura.
Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai
peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid
yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi.
Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya
tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar
proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah. (Guyton dan Hall
, 1997)
Secara skematis, patofisiologi efusi pleura dapat digambarkan sebagai berikut :
Efusi Pleura
Akumulasi cairan yang Proses peradangan pada rongga pleura Fungsi pleura (torakosintesis)
Berlebihan dari rongga pleura
Gg. Pertukaran gas Kelemahan Gg. Rasa nyaman hipertermi Ronchi (+)
Nutrisi kurang
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya
sudut kostofrenik. Bila cairan lebih 300 ml, akan tampak cairan dengan permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
Ultrasonografi
Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan
tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan
posterior, pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak),
berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa
mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam
(untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa,
amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel
malignan, dan pH.
Biopsi pleura mungkin juga dilakukan
7. Komplikasi
a. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang
baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan viseralis. Keadaan
ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan
hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya.
Pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan
membran-membran pleura tersebut.
b. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembahan paru yang tidak sempurna yang disebabkan
oleh penekanan akibat efusi pleura.
c. Fibrosis Paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru
dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan
sebagai lanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada
efusi pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian
jaringan baru yang terserang dengan jaringan fibrosis.
8. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah
penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta
dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung
kongestif, pneumonia, sirosis).
Torakosentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen
guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan disneu.
Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari
tatau minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan
elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan
pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase
water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan
paru.
Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam
ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan
lebih lanjut.
Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada,
bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
f. Gangguan rasa nyaman b.d batuk yang menetap dan sesak nafas serta
perubahan suasana lingkungan
Gejala Dan Tanda Mayor Gejala Dan Tanda Minor
Subjektif Subjektif
1. Mengeluh tidak nyaman 1. Mengeluh sulit tidur
Objektif 2. Tidak mampu rileks
1. Gelisah 3. Mengeluh
kedinginan/kepanasan
4. Merasa gatal
5. Mengeluh mual
6. Mengeluh lelah
Objektif
1. Menunjukkan gejala distress
2. Tampak merintih/menangis
3. Pola eliminasi berubah
4. Postur tubuh berubah
5. Iritabilitas
g. Resiko infeksi b.d tindakan drainase (luka pemasangan WSD)
h. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan
kebutuhan, dispneu setelah beraktifitas
Gejala Dan Tanda Mayor Gejala Dan Tanda Minor
Subjektif Subjektif
1. Mengeluh lelah 1. Dyspnea saat/setelah
Objektif aktivitas
1. Frekuensi jantung 2. Merasa tidak nyaman setelah
meningkat >20% dari beraktivitas
kondisi istirahat 3. Merasa lemah
Objektif
1. Tekanan darah berubah
>20% dari kondisi istirahat
2. Gambaran EKG
menunjukkan aritmia
saat/setelah aktivitas
3. Gambaran EKG
menunjukkan iskemia
4. Sianosis
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
No No Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Diagnosa
1 I Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor status
keperawatan selama …x24 jam pernafasan dan
diharapkan bersihan jalan napas oksigenasi
kembali efektif dengan kriteria 2. Lakukan fisioterapi
hasil: dada
- Frekuensi 3. Ajarkan pasien
pernafasan bagaimana
normal 12 – menggunakan inhaler
20x/menit 4. Kolaborasi dengan tim
medis untuk
- Irama pernafasan pemberian
normal (regular) bronkodilator
- Kemampuan
untuk
mengeluarkan
sekret
4. EVALUASI
a. Bersihan jalan napas kembali efektif dan mampu mengeluarkan secret
b. Tercapainya ventilasi yang adekuat dan oksigenasi jaringan dengan GDA
dalam rentang normal dan tidak adanya gejala distress pernapasan
c. Tercapainya ketidakefektifan pola pernafasan (pola nafas normal), tidak
adanya penumpukan cairan dalam rongga pleura, dan tidak ada sesak
d. Kebutuhan nutrisi sesuai dengan kebutuhan tubuh
e. Tidak adanya nyeri
f. Gangguan rasa nyaman dapat teratasi, pasien dalam posisi nyaman
g. Infeksi tidak terjadi
h. Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas,
mendemonstrasikan penurunan tanda fisiologis intoleransi, dapat melakukan
aktvitas dengan baik, tak adanya dyspnea dan kelemahan berlebihan
DAFTAR PUSTAKA
1. Al sagaff H dan Mukti. A, Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University
Press, Surabaya ; 1995
2. Carpenito, Lynda Juall, Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi 6,
Penerbit Buku Kedokteran EGC,;1995
3. Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi keperawatan Edisi 2,
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1995
4. Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume I, Penerbit
Buku Kedokteran EGC ; 1999
5. Ganong F. William, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17, Jakarta EGC ; 1998
6. Gibson, John, MD, Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Jakarta EGC ; 1995
7. Keliat, Budi Anna. Proses Keperawatan, Arcan Jakarta ; 1991
8. Laboratorium Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR, Dasar – Dasar Diagnostik Fisik Paru,
Surabaya; 1994
9. Lismidar,proses keperawatan H,dkk, Proses keperawatan, AUP, 1990
10. Marrilyn. E. Doengus, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3 Jakarta EGC ; 1999
11. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF
Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press; 1994
12. B.AC,Syaifudin, Anatomi dan fisiologi untuk perawat, EGC; 1992
13. Soeparman A. Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam jilid II ; 1990
14. Susan Martin Tucker, Standar Perawatan Pasien, Jakarta EGC ; 1998
15. Soedarsono, Guidelines of Pulmonology, Surabaya ; 2000