LAPORAN KASUS
I.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien sesak napas sejak 4 hari SMRS
TD : 163/110 mmHg
Nadi : 115x/menit
Suhu : 36,7oC
Pernafasan : 25x/menit
Kepala
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : sclera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bula isokor,
RCL +/+, RCTL +/+
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), Epistaksis (-), secret (-)
Telinga : Gangguan pendengaran (-), Perdarahan dari liang telinga (-)
Mulut : Bibir kering (-), Perdarahan gusi (-), Hipertrofi gusi (-), karies
dentis (+)
Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : 5 – 2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Getah Bening Submandibula, Leher, Supraklavikula, Ketiak dan Paha
tidak ada pembesaran.
Thorax
Paru-Paru
Inspeksi : simetris hemitorak kanan-kiri, depan-belakang saat statis dan
dinamis, dan tidak ada kelainan kulit
Palpasi : Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat nyeri
tekan dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil simetris kanan
dan kiri.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan, depan-belakang.
Peranjakan paru (+)
Auskultasi : Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi +/+ basah
kasar, Wheezing +/+,
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra
Batas jantung kiri ICS VI line midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak membuncit dan tidak ada luka
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting
dullness (-), ketok CVA (-)
Palpasi :Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh 4 kuadran
abdomen, Pembesaran hepar, lien, ginjal, kandung kemih tidak
teraba,Undulasi (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema -/-.
I.4 Diagnosa Kerja
Dyspnea ec bronkopneumoni DD TB paru
I.7 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.2 Definisi
Bronkopneumonia atau disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus
dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita,
yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan
benda asing. Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak
(patchy distribution).
II.3 Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.
Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan terjadi lebih 2 juta kematian balita
karena pneumonia. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun
2001 kematian balita akibat pneumonia 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa
pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun, atau
hampir 300 balita setiap hari, atau 1 balita setiap 5 menit
II.4 Etiologi
Bronkopneumonia terjadi secara umum dapat disebabkan oleh faktor infeksi dan non
infeksi.
Faktor Infeksi
- Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
- Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, B. pertusis
- Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
- Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
II.5 Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.
II.6 Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain :
- Inhalasi langsung dari udara
- Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
- Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
- Penyebaran secara hematogen
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari :
- Susunan anatomis rongga hidung
- Jaringan limfoid di nasofaring
- Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
- Refleks batuk.
- Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
- Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
- Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
- Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.
- Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya.
- Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan
yang meliputi empat stadium, yaitu :
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
II.7 Diagnosis
Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40 0C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Dinding thorak terlihat retraksi intercostali dan kalau berat disertai
retraksi epigastrium. Stemfremitus teraba mengeras bila beberapa
kelainan kecil menyatu. Pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan,
tetapi kalau sarang bronkopneumonia menjadi satu, pada perkusi
terdengar redup. Pada auskultasi terdengar vesikuler mengeras, ronkhi
basah halus dan sedang nyaring yang terdengar pada stadium
permulaan dan stadium resolusi sedangkan pada stadium hepatisasi
ronkhi tidak terdengar.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3
dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan
dengan infeksi virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain
kultur dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat
swab).
5. Analisa gas darah ( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
II.8 Penatalaksanaan
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan hasil resistensi dari kuman,
akan tetapi mengingat hal ini sulit dilakukan, maka di bagia IKA pengobatan
langsung diberikan
Antibiotika polifarmasi selama 10-15 hari
- Ampicillin 100 mg/kgbb/hari dalam 3-4 dosis
- Klorampenikol dengan dosis:
Umur <6 bulan: 25-50 mg/kgbb/hari
Umur >6 bulan: 50-75 mg/kgbb/hari
Dosis dibagi dalam 3 dosis
Atau Gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgbb/hari diberikan dalam 2 dosis
Suportif:
IVFD, oksigen, pembersih jalan nafas
Bila terjadi impending decompensation cordis:
- Pengurangan cairan sampai ¾ kebutuhan
- Diberikan diuretika dan NaCl distop
- Bila tak teratasi baru diberikan digitalisasi
Pada penderita bronkopneumonias post morbili:
- Sementara mencari aktivitas TBC diberikan INH profilaksis paling sedikit
3 bulan
- Bila disertai gejala PCM berat dan klinis defisiensi vitamin A diberikan
Vit.A terapeutik 200.000 IU peroral pada hari I, II kemudian minggu
kedua dan dianjutkan setiap 6 bulan.
II.11 PROGNOSIS
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.
II.12 PENCEGAHAN
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat,
makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup,
rajin berolahraga, dan lain-lain
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
terinfeksi antara lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberkulosis paru
II.2 ETIOLOGI
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama
kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB
pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)11.
Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis11.
II.4. Patogenesis
II.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas,
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3.
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier3.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobachillosis Landouzy6.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.
II.5 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2:
1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung
pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan
tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin
lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan
sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus
dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun
dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi
dan bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai.
Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan
sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3,
seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi
TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang
yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit
aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3
sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan
tidak ada bukti klinis.
6) Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika
prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada
salah satu kelas sebelumnya.
TB
TB paru BTA (-)
TB
Kasus baru
Kasus kambuh
Tipe penderita
TB paru Kasus Drop
Kasus gagal
pengobatan
Kasus kronik
3) Tuberkulosis Meningeal
Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi
sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal
adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis.
Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol.
Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang
dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi
manifestasi utamanya.
4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial
Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru
yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan
mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis superficial
menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala utama. Dengan
cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang menyebabkan bronchitis
tuberculosis. Batuk dan hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis
utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis dan bronchitis yang luas biasanya
sangat infeksius.
5) Tuberkulosis Tulang
Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi
tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang,
biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra
secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar
limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung
yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis.
Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat
badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik
terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi
sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.
6) Tuberkulosis Genitourinarius
Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria
mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan
berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi
yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak diperlukan.
Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organism lewat
tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada
perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai
prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat
ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui
dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan
asam.
7) Adenitis Tuberkulosis
Gambar 4. Limfadenitis Tuberkulosis
II.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3
bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan 6. Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT1.
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.
II.9.3 Efek samping obat dan penatalaksanaannya
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan. Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek samping
ringan maupun berat dengan pendekatan gejala1.
Tabel 4. Efek samping ringan OAT
DAFTAR PUSTAKA
1. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.
2. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.
3. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.
4. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476.
Jakarta: Media Aesculapius, 2001
5. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.
7. Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis Paru.
Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.
8. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
9. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
LAPORAN KASUS
Dyspneu ec bronkopneumonia
DISUSUN OLEH :
Welmin sorya leatomu
112017280
DOKTER PEMBIMBING
dr. Ganda Tampubolon, Sp.P