Anda di halaman 1dari 13

Kebutaan di Indonesia

1.1 Definisi
Secara tradisional definisi kebutaan terdiri dari dua kategori yaitu definisi fungsional
berdasarkan kecacatan dan definisi berdasarkan pengukuran dan kuantifikasi VI
(ketajaman visual [VA] dan bidang visual). Pada tahun 1948 WHO Expert Committee on
Health Statistics mengesahkan dua definisi kebutaan. Definisi berbasis pengukuran adalah
VA central 20/200 atau lebih buruk dengan lensa koreksi terbaik atau defek lapang pandang
dimana bidang tersebut telah berkontraksi sedemikian rupa sehingga diameter terluas
bidang visual melampaui jarak sudut tidak lebih dari 20°.1

Gambar 1. Kategori Gangguan Penglihatan berdasarkan ketajaman penglihatan yang


disesuaikan dengan ICD-9, ICD-10 dan National Program for Control of Blindness
(NPCB).1

1.2 Etiologi, Epidemiologi, dan Patofisiologi


Hasil systematic review dan meta-analysis dari data berbasis populasi yang relevan dengan
gangguan penglihatan dan kebutaan global yang dipublikasikan tahun 1980-2015
mendapatkan hasil pada tahun 2015 diperkirakan dari 7,33 miliar penduduk dunia terdapat
253 juta orang (3,38%) yang menderita ganguan penglihatan yang terdiri dari 36 juta orang
mengalami kebutaan, 217 juta mengalami gangguan penglihatan sedang hingga berat. Di
samping itu terdapat 188 juta orang mengalami gangguan penglihatan ringan.2

1
Klasifikasi gangguan penglihatan yang digunakan adalah sesuai dengan klasifikasi
WHO yaitu berdasarkan tajam penglihatan. Gangguan penglihatan ringan jika tajam
penglihatan berkisar <6/12 - ≥6/18, gangguan penglihatan sedang dan berat jika tajam
penglihatan berkisar <6/18 - ≥3/60 dan buta jika tajam penglihatan kurang dari 3/60. Istilah
gangguan penglihatan merujuk pada kebutaan dan gangguan penglihatan berat-sedang.2

Gambar 2. Estimasi Prevalensi Gangguan Penglihatan Global Tahun 2015.2

Menurut data kemenkes sebesar 55% penderita gangguan penglihatan adalah


perempuan. Sedangkan menurut umur, kontribusi terbesar terjadi pada umur 50 tahun ke
atas yaitu 86% dari penderita kebutaan, 80% dari penderita gangguan penglihatan sedang
hingga berat dan 74% dari penderita gangguan penglihatan ringan. Data terakhir tentang
prevalensi gangguan penglihatan diperoleh melalui survey Rapid Assessment of Avoidable
Blindness (RAAB) di 15 provinsi pada periode tahun 2014-2016. RAAB merupakan metode
pengumpulan data kebutaan dan gangguan penglihatan penduduk usia 50 tahun ke atas
yang direkomendasikan oleh WHO melalui Global Action Plan (GAP) 2014 - 2019. Dari
15 Provinsi yang melakukan survey RAAB, Kemenkes Rl melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) mendanai penuh di 12 provinsi.3
Di 15 provinsi prevalensi kebutaan di atas usia 50 tahun di lndonesia berkisar antara
1,7% sampai dengan 4,4%. Prevalensi kebutaan di lndonesia adalah 3,0%.3
Terdapat banyak penyebab kebutaan. Penyebab utama kebutaan di seluruh dunia
adalah katarak, degenerasi makula terkait usia, glaukoma, retinopati diabetik, dan
trakoma.4

2
Sedangkan berdasarkan pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI tahun
2018, sekitar 34,47% kebutaan secara global disebabkan oleh katarak, 20,62% disebabkan
karena gangguan refraksi, 8,3% disebabkan glaucoma, 5,64% disebabkan degenerasi
macula terkait usia, 3,46% disebabkan oleh kekeruhan kornea, 1,07% disebabkan retinopati
diabetic, 0,98% disebabkan oleh trachoma dan 25,46% disebabkan oleh penyakit dan
kelainan mata lainnya. Estimasi global distribusi penyebab kebutaan dapat dilihat pada
gambar 2.2

Gambar 3. Distribusi Penyebab Kebutaan (Estimasi Global Tahun 2015).2

Gambar 4. Distribusi Penyebab Kebutaan pada Penduduk Umur Lebih dari 50 tahun di
15 Provinsi di Indonesia Tahun 2014-2016.2

3
Gambar 5. Distribusi Penyebab Kebutaan pada Penduduk Umur Lebih dari 50 tahun
pada Laki-Laki di 15 Provinsi di Indonesia Tahun 2014-2016.2

Gambar 6. Distribusi Penyebab Kebutaan pada Penduduk Umur Lebih dari 50 tahun
pada Perempian di 15 Provinsi di Indonesia Tahun 2014-2016.2

Katarak atau kekeruhan lensa mata merupakan penyebab utama kebutaan di


lndonesia sebesar 77,7%. Sedangkan prevalensi kebutaan akibat katarak pada penduduk
umur 50 tahun ke atas di Indonesia sebesar 1,9%. Katarak atau kekeruhan pada lensa paling
banyak disebabkan oleh penuaan, tetapi banyak faktor lain yang bisa terlibat termasuk

4
trauma, racun, penyakit sistemik (Seperti diabetes), merokok dan faktor keturunan. Sebuah
Studi cross sectional menempatkan prevalensi katarak pada 50% pada individu berusia 65-
74 tahun dan meningkat menjadi sekitar 70% pada usia di atas 74 tahun. Patogenesis
katarak tidak sepenuhnya dipahami, Namun, lensa katarak ditandai dengan agregat protein
yang menyebarkan sinar cahaya dan mengurangi transparansi. Perubahan protein lainnya
menghasilkan perubahan warna kuning atau coklat. Temuan tambahan dapat mencakup
vesikel antara serat lensa. Faktor-faktor yang diduga berkontribusi pada pembentukan
katarak yaitu kerusakan oksidatif, kerusakan akibat cahaya ultraviolet dan kekurangan
gizi.2,5
Kelainan refraksi adalah kelainan pembiasan cahaya sehingga bayangan tidak fokus
tepat di retina mata yang mengakibatkan penglihatan menjadi kabur. Pada kondisi normal
saat mata beristirahat bayangan dapat fokus tepat di retina sehingga penglihatan jelas dan
tajam. Kelainan refraksi dapat berupa presbyopia, myopia, hyperopia dan astigmatisma.5
Menurut Vision 2020 Prevalensi kebutaan akibat gangguan refraksi di Indonesia adalah
sebesar 0,14%.6
Prevalensi kebutaan akibat glaucoma di Indonesia adalah sebesar 0,20%. Glaukoma
sulit didefinisikan dengan tepat, sebagian karena istilah ini mencakup berbagai kelompok
gangguan mata. Semua bentuk penyakit memiliki kesamaan karakteristik yang berpotensi
neuropati optic progresif yang berhubungan dengan hilangnya lapang pandang saat
kerusakan berlanjut dan dimana IOP merupakan faktor kunci yang dapat dimodifikasi.
Glaukoma dapat berupa bawaan atau didapat. Diklasifikasikan juga menjadi sudut tertutup
dan sudut terbuka yang dibedakan berdasarkan mekanisme dimana aliran cairan aquos
terganggu sehubungan dengan konfigurasi sudut AC. Perbedaan juga dibuat antara
glaucoma primer dan sekunder dan yang terakhir, dibedakan menjadi gangguan okuler atau
non okuler yang berkontribusi terhadap peningkatan TIO.6,7 Mekanisme utama kehilangan
penglihatan pada glaucoma adalah apoptosis sel ganglion, yang menyebabkan penipisan
lapisan inti nukleus dan serat saraf retina dan kehilangan aksonal pada saraf optic. Disc optic
menjadi atrofi dengan pembesaran cup optic. Pada glaucoma sudut tertutup, tekanan
intraocular mencapai 60-80 mmHg yang dapat mengakibatkan kerusakan iskemik akut pada
iris dengan edema kornea dan kerusakan saraf optic. Pada glaucoma sudut terbuka primer
tekanan intraocular biasanya tidak naik diatas 30 mmHg dan kerusakan sel ganglion retina
berkembang dalam waktu lama seringkali bertahun-tahun. Pada glaucoma tekanan normal
sel ganglion retina rentan terhadap kerusakan akibat tekanan intraocular dalam kisaran
normal atau mekanisme kerusakan utama mungkin iskemik saraf optic.5
5
Age-related macular degeneration (AMD) atau degenerasi macula terkait usia adalah
gangguan degenerative yang mempengaruhi macula. Hal ini ditandai dengan adanya klinis
spesifik termasuk perubahan drusen dan RPE tanpa adanya gangguan lain. Patogenesisnya
masih kurang dipahami namun, degenerasi epitel pigmen retina terkait dengan stress
oksidatif. Singkatnya kehilangan penglihatan merupakan hasil dari perkembangan
degenerasi hingga proses kematian sel dan atrofi epitel pigmen retina.5,7
Kekeruhan kornea merupakan penyebab kebutaan di Indonesia yang memiliki
prevalensi sebesar 0,10%.6 Kekeruhan kornea dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit mata salah satunya adalah keratitis. Kornea memiliki fungsi sebagai pelindung
dan sebagai jendela. Dimana sinar cahaya akan melewati kornea menuju retina.
Transparansi disebabkan oleh struktur avaskularitas dan deturgensinya yang seragam.
Apabila jika terdapat kelainan dari komponen tersebut akan menyebabkan kekeruhan pada
kornea dan dapat menggangu penglihatan.5
Retinopati Diabetikum sebagian besar merupakan mikroangiopati dimana pembuluh
darah kecil sangat rentan terhadap kerusakan akibat kadar glukosa tinggi. Efek
hiperglikemia langsung pada sel retina juga cenderung berperan. Banyak stimulator dan
inhibitor angiogenik telah diidentifikasi. Prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetikum
di Indonesia adalah sebesar 0,13%.
Trakoma adalah penyebab utama kebutaan permanen yang tidak dapat dicegah di dunia.
Hal ini terkait dengan kemiskinan, kepadatan penduduk dan kebersihan yang buruk.
Morbiditas menjadi konsekuensi dari pembentukan siklus infeksi ulang di masyarakat.
Sedangkan episode terisolasi dari konjungtivitis trakeomatosa mungkin relative tidak
berbahaya, infeksi berulang menimbulkan respon kekebalan kronis yang terdiri dari rekasi
hipersensitivitas yang tertunda yang dimediasi sel terhadap keberadaan antigen klamidia
yang intermiten dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.7

1.3 Pemeriksaan
Menanyakan riwayat kasus yang menyeluruh sangat penting. Riwayat kasus harus
mencakup:4
- Riwayat penyakit mata pasien
- Riwayat penyakit mata keluarga
- Riwayat medis pasien, termasuk obat-obatan
- Riwayat kesehatan keluarga
- Riwayat social
6
- Riwayat Pendidikan dan hobi

Setelah menanyakan riwayat kasus yang menyeluruh, pemeriksaan mata diperlukan


untuk menilai status dan fungsi visual pasien saat ini:
- Ketajaman visual (jarak dan dekat)
Pengujian ketajaman visual merupakan komponen penting dari penilaian okulovisual
lengkap dan penting dalam deteksi ambliopia, kelainan refraksi dan penyakit mata.
Ketajaman huruf Snellen adalah metode yang diterima untuk pasien yang dapat
menyebutkan huruf.

Gambar 7. Snellen Chart


Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) dan grafik Bailey-Lovie
diakui sebagai standar emas. Tipe ketajaman visual ini dikenal sebagai ketajaman
pengenalan karena pasien diharuskan untuk mengenali dan mengidentifikasi simbol
atau optotipe yang disajikan. Pada seorang anak yang belum dapat menyebutkan huruf,
berbagai tes cocok digunakan. Terdapat test versi modern yang telah diformat dengan
skala logMAR mirip dengan ETDRS atau grafik Bailey-Lovie. Anak diminta untuk
mencocokkan (atau nama) simbol atau huruf yang ditunjukkan, pada kartu yang di
tangan mereka. Ini membutuhkan tingkat kematangan kognitif dan anak-anak dengan
perkembangan normal biasanya dapat mematuhi tugas ini dari sekitar 2,5-3 tahun ke
atas. Pendekatan lain untuk anak-anak adalah penggunaan Landolt C dan E yang
mengharuskan pengamat untuk mengidentifikasi orientasi surat.8 Ketajaman

7
penglihatan dinilai sebagai fraksi. Penglihatan normal adalah 20/20. Kemudian dapat
juga dilakukan pemeriksaan menggunakan pinhole. Jika pasien membutuhkan
kacamata atau kacamatanya tidak tersedia, ketajaman yang dikoreksi dapat
diperkirakan dengan menguji penglihatan melalui “pinhole”. Refraksi blur (mis.
Myopia,hyperopia dan astigmatisme) disebabkan oleh beberapa sinar yang tidak fokus
masuk melalui pupil dan mencapai retina. Hal ini menyebabkan penglihatan buram.
Dengan melihat Snellen chart menggunakan pinhole, mencegah sebagian besar sinar
yang tidak fokus masuk ke mata. Hanya akan ada beberapa sinar fokus terpusat akan
mencapai retina, menghasilkan gambar yang lebih tajam.5

Gambar 7. Chart E.
- Refraksi
Refraksi merupakan prosedur dimana kelainan refraksi akan dikarakteristikan dan
kuantifikasi yang akan memberikan koreksi ketajaman penglihatan. Sebagai tambahan,
refraksi merupakan cara yang paling dapat diandalkan untuk membedakan antara
penglihatan kabur yang disebabkan oleh kesalahan bias atau oleh kelainan lain dari
system penglihatan. Selain menjadi dasar untuk resep kacamata korektif atau lensa
kontak, refraksi memiliki fungsi diagnostik yang penting.5

8
Gambar 9. Berbagai macam gambaran pada kelainan refraksi.5
- Pupil dan motilitas
Pupil harus simetris dan masing-masing harus diperiksa untuk ukuran, bentuk (bulat
atau tidak teratur), dan reaktivitas terhadap cahaya dan akomodasi. Abnormalitas pupil
dapat disebabkan oleh (1) penyakit neurologis, (2) inflamasi intraokular yang
menyebabkan spasme sfingter pupil atau perlekatan iris ke lensa (sinechia posterior),
(3) tekanan intraokular yang meningkat tajam menyebabkan atonia sphincter pupil , (4)
perubahan bedah sebelumnya, (5) efek obat sistemik atau mata dan (6) variasi normal
jinak.5
Untuk menghindari akomodasi, pasien diminta untuk terpaku pada target yang
jauh karena lampu diarahkan ke masing-masing mata. Kondisi pencahayaan redup
membantu menonjolkan respons pupil dan paling baik menunjukkan pupil kecil yang
abnormal. Respons langsung terhadap cahaya mengacu pada penyempitan pupil yang
diterangi. Reaksi dapat dinilai cepat atau lambat. Respons konsensus adalah
penyempitan simultan yang normal dari pupil nonkuminasi berlawanan.5

9
Selain itu, perlu dilakukan pengujian motilitas mata. Tujuan dari pengujian
motilitas mata adalah untuk mengevaluasi keselarasan mata dan gerakan mereka, baik
secara individu ("duction") dan bersama-sama ("versi"). Tes motilitas mata ini dapat
dilakukan melalui pemeriksaan alignment dan gerakan extraocular.5
- Lapang pandang
Karena lapang pandang dari kedua mata tumpang tindih untuk tujuan diagnostik setiap
mata harus diuji secara terpisah. Pengujian lapang pandang binokular berguna dalam
penilaian penglihatan fungsional. Penilaian lapang pandang dapat dengan cepat dicapai
menggunakan pengujian konfrontasi. Pasien duduk menghadap pemeriksa dengan satu
mata tertutup sementara pemeriksa menutup mata yang berlawanan (misalnya mata kiri
pasien tertutup dan mata kanan pemeriksa ditutup sehingga mata kanan pasien melihat
ke mata kiri pemeriksa). Penyajian target pada jarak antara pasien dan pemeriksa
memungkinkan perbandingan langsung bidang penglihatan setiap mata pasien dan
pemeriksa. Karena pasien dan pemeriksa menatap mata ke mata, setiap kehilangan
fiksasi oleh pasien akan diperhatikan.5
Untuk penilaian kasar pemeriksa menunjukkan secara singkat sejumlah jari dari
satu tangan (biasanya satu, dua atau empat jari) secara perifer di masing-masing empat
kuadran. Pasien harus mengidentifikasi jumlah jari yang di-flash sambil
mempertahankan fiksasi lurus ke depan. Temporal atas dan bawah dan kuadran nasal
atas dan bawah semua diuji dengan cara ini untuk setiap mata.5
- Slitlamp dan fluorescein
Slitlamp adalah mikroskop binokular yang dipasang di meja dengan sumber
penerangan khusus yang dapat disesuaikan. Sinar celah linier dari lampu pijar
diproyeksikan untuk menerangi penampang optik mata. Sudut iluminasi dapat
bervariasi sesuai dengan lebar, panjang dan intensitas sinar cahaya. Pembesaran dapat
disesuaikan juga (biasanya daya 10 × hingga 16 ×). Karena slitlamp adalah mikroskop
binokular, pandangannya adalah "stereoskopis" atau tiga dimensi.
Pasien duduk sambil diperiksa dan kepala distabilkan oleh sandaran dagu yang
bisa disetel. Dengan menggunakan slitlamp saja, bagian anterior "segmen anterior"
dapat divisualisasikan. Batas lipatan mata dan bulu mata, permukaan konjungtiva
palpebra dan bulbar, film air mata dan kornea, iris dan cairan aquos dapat dipelajari.
Melalui pupil yang membesar, lensa kristal dan vitreous anterior dapat diperiksa juga.5

10
Gambar 10. Pemeriksaan Slitlamp.5
Fluorescein adalah pewarna khusus untuk kornea, yang digunakan untuk
menyoroti ketidakteraturan permukaan epitelnya. Strip kertas steril yang mengandung
fluorescein dibasahi dengan salin steril atau anestesi lokal dan disentuh pada
permukaan bagian dalam bawah lalu menanamkan pewarna kekuningan ke dalam film
air mata. Cahaya slitlamp akan dibuat biru dengan filter yang menyebabkan pewarna
berfluoresensi.
Lapisan pewarna yang seragam harus menutupi kornea normal. Jika permukaan
kornea tidak normal, jumlah pewarna yang berlebihan akan menyerap ke dalam atau
mengumpul di daerah yang terkena. Abnormalitas dapat berkisar dari titik-titik belang-
belang kecil seperti yang disebabkan oleh kekeringan yang berlebihan atau kerusakan
sinar ultraviolet hingga cacat yang besar pada epitel.5
- Pemeriksaan kesehatan mata dengan pemeriksaan dilatasi fundus
Pemeriksaan fundus juga diperlukan dalam pemeriksaan mata. Untuk melalukan uji ini,
pemeriksa harus menggelapkan ruangan agar terjadi pelebaran pupil alami yang cukup
untuk memungkinkan evaluasi fundus sentral termasuk diskus, makula dan pembuluh
darah retina proksimal. Pelebaran pupil secara farmakologis sangat meningkatkan
pandangan dan memungkinkan pemeriksaan yang lebih luas dari retina perifer.
Pemeriksaan fundus juga dioptimalkan dengan memegang ophthalmoscope sedekat
mungkin dengan pupil pasien (sekitar 1-2 inci), sama seperti seseorang dapat melihat
lebih banyak melalui lubang kunci dengan mendekat sedekat mungkin. Ini

11
membutuhkan penggunaan mata kanan dan tangan pemeriksa untuk memeriksa mata
kanan dan mata kiri serta tangan pasien untuk memeriksa mata kiri pasien.
Ukuran titik dan warna cahaya yang menerangi dapat bervariasi. Jika pupil
melebar dengan baik ukuran titik cahaya yang besar memberi area pencahayaan terluas.
Namun dengan pupil yang tidak berdilatasi, sebagian besar dari cahaya ini akan
dipantulkan kembali ke mata pemeriksa oleh iris pasien, mengganggu pandangan dan
pupil akan mengerut.5

1.4 Tatalaksana
Pemeriksaan mata yang komprehensif diperlukan untuk mencegah, mendeteksi, merawat,
dan mengelola kondisi mata yang dapat menyebabkan kebutaan. Pemeriksaan mata harus
mencakup pemeriksaan kesehatan mata dan tidak hanya pemeriksaan penglihatan,
tatalaksana dapat dilakukan dengan menggunakan kacamata atau resep lensa kontak.4

12
Daftar Pustaka

1. Vashist P, Senjam SS, Jumar A. Definition of blindness under national programme for
control of blindness: do we need to revise it?. Indian J Ophthalmol.2017. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5381306/.
2. Kemenkes RI. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI:Situasi gangguan
penglihatan. 2018
3. Kemenkes RI. Peta jalan penanggungan gangguan penglihatan di Indonesia tahun
2017-2030. Kemenkes 2018
4. Lee SY, Mesfin FB. Blindness. New York: StatPearls Publishing;2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448182/
5. Riordan P,Cunningham ET. Vaughan and Asbury’s: General Ophthalmology.18th Ed.
Philadelphia:Mc-Graw Hill;2011.
6. Global health partnership for eyecare. Visions 2020. Available from:
https://perdami.id/vision-2020-indonesia/.
7. Bowling B. Kanski’s:Clinical opthtalmology. 8th ed. New York: Elsevier;2016.
8. Leat SJ, Yakobchuk C, Irving EL.Differential visual acuity-a new approach to
measuring visual acuity. J of Optometry.2020

13

Anda mungkin juga menyukai