Anda di halaman 1dari 22

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) atau lebih dikenal dengan istilah

ensefalopati hipoksik iskemik merupakan suatu sindroma yang ditandai dengan

adanya kelainan klinis yang ditimbulkan karena adanya cedera akut pada otak

akibat asfiksia. Asfiksia adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami

kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke

berbagai organ, salah satunya otak. Akibat dari adanya hipoksia otak dan atau

penurunan perfusi (iskemia) ke otak akan menyebabkan kerusakan permanen pada

pada sel-sel Susunan Saraf Pusat (SSP) yang dikenal sebagai hypoxic-ischemic

encephalopathy (HIE).

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) merupakan salah satu penyebab

utama disabilitas dan kematian pada bayi baru lahir di seluruh dunia. Dengan

asfiksia sebagai etiologi pada periode intrauterin ataupun perinatal, HIE memiliki

manifestasi klinis antara lain nilai APGAR rendah saat persalinan, asidosis

metabolik darah umbilikal, kejang, serta menyebabkan defisit neurologis jangka

panjang seperti cerebral palsy dan retardasi mental.

Prinsip manajemen bayi baru lahir dengan HIE adalah identifikasi awal,

perawatan suportif intensif, dan intervensi untuk menghentikan proses cedera otak

(neuroprotektif). Intervensi terapi neuroprotektif dapat berupa terapi farmakologi

dan non farmakologi. Pilihan utama intervensi non-farmakologi saat ini berupa

terapi cooling (hipotermi), sementara terapi sel punca (stem cell) dan intervensi
2

farmakologi lain merupakan penunjang dan masih membutuhkan penelitian lebih

lanjut.

Oleh karena itu, melalui referat ini penulis ingin membahas lebih dalam

tentang terapi cooling (hipotermi) sebagai terapi utama HIE yang terbukti efektif

mengurangi risiko kematian dan disabilitas pada bayi baru lahir dengan HIE.

Perlu diketahui bahwa prognosis HIE berkisar antara kesembuhan total hingga

kematian; berkorelasi dengan saat cedera, derajat keparahan cedera, dan

manajemen terapi.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Secara harafiah, hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan

turunnya konsentrasi oksigen dalam darah arteri, sedangkan iskemia

menggambarkan penurunan aliran darah ke sel atau organ yang menyebabkan

insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut.

Ensefalopati adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi yang mana

bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.

Apabila perubahan kesadaran, kejang dan kelainan neurologis disebabkan oleh

kelainan metabolik, toksik atau vaskular, maka hal itu disebut sebagai

ensefalopati. Ensefalopati biasanya disebut sesuai dengan penyebabnya, misalnya

ensefalopati hipertensif, ensefalopati hepatik, dan ensefalopati uremik.

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) atau lebih dikenal dengan istilah

ensefalopati hipoksik iskemik merupakan suatu sindroma yang ditandai dengan

adanya kelainan klinis yang ditimbulkan karena adanya cedera akut pada otak

akibat asfiksia. Akibat dari adanya hipoksia otak dan atau penurunan perfusi

(iskemia) ke otak karena asfiksia, akan menyebabkan kerusakan permanen pada

pada sel-sel Susunan Saraf Pusat (SSP) yang berdampak pada kematian atau

kecacatan neurologis seperti cerebral palsy dan retardasi mental.


4

2.2 Epidemiologi

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) merupakan salah satu penyebab

utama disabilitas dan kematian pada bayi baru lahir di seluruh dunia. Angka

kejadian HIE berkisar antara 0,3-1,8% di negara-negara maju, sedangkan di

Indonesia belum ada catatan yang cukup valid. Insiden HIE di Amerika Serikat

terjadi pada 6/1000 bayi aterm yang lahir hidup. 15% hingga 20% bayi dengan

HIE meninggal pada masa neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai

kelainan neurodevelopmental permanent. Angka kematiannya tinggi sekitar 50%,

angka kecacatan berhubungan dengan beratnya penyakit.

2.3 Etiologi

Penyebab asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan HIE adalah:

1. Faktor ibu:

 Hipotensi

 Hipoksia

 Anemia

 Presentasi non-sefalik

 Obat-obatan

 Kesehatan ibu yang buruk

 Kurangnya pengawasan antenatal yang efektif

2. Faktor tali pusat:

 Kehamilan lewat bulan (post dates)

 Prolaps tali pusat


5

 Oklusi

3. Faktor plasenta:

 Abrupsi plasenta

 Vaskulitis

4. Faktor fetus/neonatus:

 Septikemia

 Makrosomia

 Distosia bahu

 Anomali kromosom

 Hipotonia

 Sindroma aspirasi mekonium

2.4 Manifestasi Klinis

Neonatus dengan ensefalopati dapat disertai nilai APGAR rendah saat

persalinan dan asidosis metabolik darah umbilikal; dalam 24 jam kehidupan,

dapat muncul gejala apnea dan kejang serta abnormalitas EEG

(electroencephalography). Sekuele defisit neurologis dapat berupa gangguan

belajar, retardasi mental, dan gangguan penglihatan dan pendengaran. Sarnat dan

Sarnat membuat klasifikasi derajat HIE pada neonatus dengan usia kehamilan >36

minggu:
6

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Hypoxic-Ischemic Encephalopathy oleh Sarnat dan

Sarnat

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3


Tanda Klinis
(Ringan) (Sedang) (Berat)
Tingkat
Hyperalert Letargi Stupor, koma
Kesadaran
Tonus Otot Normal Hipotonus Lemas
Postur Normal Fleksi Deserebrasi
Refleks
Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
Tendon/Klonus
Mioklonus Tampak Tampak Tidak tampak
Refleks Moro Kuat Lemah Tidak ada
Tidak ada.
Pupil Midriasis Miosis Refleks cahaya
lemah
Kejang Tidak ada Sering Deserebrasi
Voltase rendah
Burst Suppresion
EEG Normal hingga bangkitan
ke isoelektrik
kejang
Beberapa hari
Lamanya < 24 jam 24 jam – 14 hari
hingga minggu
Meninggal atau
Hasil Baik Bervariasi
cacat berat

Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa

organ yaitu: otak, jantung, paru, ginjal, hepar, saluran cerna, dan sumsum

tulang. Didapatkan satu atau lebih organ yang mengalami kelainan pada 82%

kasus asfiksia perinatal. Susunan saraf pusat merupakan organ yang paling sering
7

terkena (72%), ginjal ( 42%) , jantung ( 29%), gastrointestinal ( 29%), paru-paru

(26%). Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut adalah sebagai berikut:

1. Respirasi

 PPHN

 Aspirasi mekonium

2. Sistem Kardiovaskuler

 Iskemia miokardium

 Gangguan kontraksi jantung

 Hipotensi

3. Ginjal

 Nekrosis tubular akut

 Gagal ginjal akut

 SIADH

4. Hati

 Transaminitis

 Koagulopati

5. Metabolik

 Asidosis laktat

 Hipoglikemia

6. Gastrointestinal

 Dismotilitas usus

 Enterokolitis nekrotikans
8

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi Cedera Neuronal pada Asfiksia (Diadaptasi dari Gunn

dan Thoresen)

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis HIE:

1. EEG

Dapat memprediksi keadaan klinis termasuk kemungkinan untuk hidup

dan sekuele neurologis jangka panjang, seperti kuadriplegia spastik atau

diplegia.

2. USG

Penggunaan USG (ultrasonography) menguntungkan karena nyaman,

tidak invasif, murah, dan tanpa paparan radiasi pada neonatus yang

hemodinamis tidak stabil. Selain itu, USG Doppler kranial dapat menilai
9

resistive index (RI), yang memberikan informasi perfusi otak. Peningkatan

nilai RI menunjukkan prognosis buruk.

3. CT-scan

CT-scan merupakan modalitas yang paling kurang sensitif untuk menilai

HIE karena tingginya kandungan air pada otak neonatus dan tingginya

kandungan protein cairan serebrospinal mengakibatkan buruknya resolusi

kontras parenkim. Selain itu, paparan radiasinya tinggi. Namun, CT-scan

dapat menskrining perdarahan pada neonatus sakit tanpa sedasi.

4. MRI

Merupakan pencitraan yang paling sensitif dan spesifik untuk bayi yang

diduga cedera otak hipoksik-iskemik. Lokasi, distribusi, dan derajat

keparahan lesi hipoksik-iskemik dapat dideteksi oleh MRI (magnetic

resonance imaging) dan berhubungan dengan hasil akhir. MRI pada hari-

hari pertama kehidupan juga dapat berguna untuk prognosis dan

membantu pengambilan keputusan seperti terminasi kehidupan. MRI juga

dapat menyingkirkan penyebab ensefalopati lain, seperti perdarahan,

infark serebral, neoplasma, dan malformasi kongenital.

2.7 Tatalaksana

Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-iskemik

dan berisiko cedera sekunder adalah:

1. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi


10

Tanda yang mungkin didapat adalah denyut jantung janin abnormal, bayi

depresi berat (skor APGAR rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi

(intubasi, kompresi dada, pemberian epinefrin), asidosis berat (pH

umbilikal <7,0 dengan atau base deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil

pemeriksaan neurologis awal abnormal atau hasil EEG abnormal.

2. Perawatan suportif intensif

Untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak yang adekuat, dibutuhkan

perawatan suportif seperti koreksi gangguan hemodinamis (hipotensi,

asidosis metabolik), ventilasi adekuat, koreksi gangguan metabolik seperti

kadar glukosa, kalsium, magnesium, dan elektrolit lainnya, penanganan

kejang, serta monitor kegagalan fungsi organ-organ lain. Salah satu faktor

utama perawatan intensif adalah menjaga ventilasi dan perfusi adekuat.

Kekurangan oksigen akan menyebabkan gangguan autoregulasi

serebrovaskuler dengan konsekuensi bertambahnya cedera sel-sel otak.

Sedangkan hiperoksia berat pada awal masa kehidupan akan menyebabkan

peningkatan stres oksidatif yang pada akhirnya memperburuk status

neurologis jangka panjang.

3. Pertimbangan intervensi untuk memperbaiki proses cedera otak yang

sedang terjadi.

Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi intervensi

farmakologi dan non-farmakologi. Meskipun banyak terapi neuroprotektif

telah diteliti, hingga saat ini tidak ada agen neuroprotektif yang aman dan

efektif mengobati sekuele neurologis setelah kejadian HIE pada neonatus.


11

Tujuan terapi neuroprotektif adalah untuk mengurangi kerusakan serebral

dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas yang toksik,

menghambat masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron, dan

mengurangi edema serebral.

Intervensi Farmakologi

Secara umum, efek farmakologi yang diharapkan adalah efek antioksidan,

antiinflamasi, dan antiapoptosis. Efek antioksidan diharapkan dapat mengurangi

radikal bebas yang toksik dan menghambat masuknya kalsium yang berlebih ke

dalam sel saraf.

Allopurinol memiliki efek antioksidan dan diketahui dapat mengurangi

pembentukan radikal bebas yang merusak jaringan dan dapat menjaga sawar

darah otak. Penelitian pada manusia menggunakan 500 mg allopurinol intravena

sesaat sebelum persalinan pada bayi yang dicurigai asfiksia janin. Dalam beberapa

tahun terakhir, cannabinoid diketahui memiliki fungsi neuroprotektor karena

dapat memodulasi respons neuronal dan glial. Selain itu, cannabinoid juga

memiliki fungsi sel endotelial, antieksitotoksik, antiinflamasi, efek vasodilator,

dan mengatur homeostasis kalsium. Makin banyak bukti klinis dan eksperimental

bahwa recombinant human erythropoietin (rhEPO) memiliki efek neuroprotektif

dengan mengikat reseptor EPO di neuron dan glia. Dosis rendah rhEPO (300 atau

500 U/kg) berhubungan dengan penurunan risiko kematian dan disabilitas pada

bayi HIE ringan cukup bulan, sedangkan dosis tinggi rhEPO (2500 U/kg)

diberikan dalam 48 jam pertama kehidupan meningkatkan perbaikan


12

perkembangan neurologis, menurunkan aktivitas kejang, perbaikan abnormalitas

EEG dalam 2 minggu, dan mengurangi abnormalitas neurologis dalam 6 bulan

pada bayi cukup bulan dengan HIE ringan atau sedang.

Banyak agen farmakologi lain yang memiliki efek antioksidan,

antiinflamasi, atau antiapoptosis seperti statin, xenon, argon, fenobarbital,

MgSO4, melatonin, dan N-asetilsistein.1 Masih diperlukan penelitian lebih lanjut

terhadap manusia.

Intervensi Non-Farmakologi

1. Terapi Hipotermia

Saat ini terapi hipotermia merupakan terapi utama HIE dan terbukti sangat

efektif mengurangi risiko kematian dan disabilitas bayi baru lahir usia

gestasi ≥36 minggu dengan klasifikasi HIE derajat sedang dan berat.

Namun, defisit neurologis menetap pada 40-50% pasien setelah terapi

hipotermia.

Tujuan utama terapi hipotermi adalah menurunkan metabolisme otak,

menyimpan energi, dan mencegah kegagalan energi sekunder dan

kematian sel, sehingga tidak terjadi fase cedera sekunder. Penurunan

temperatur hingga suhu 34,5±0,5°C untuk selective head cooling dan

33,5±0,5°C untuk whole-body cooling telah menjadi standar penanganan

bayi dengan cedera otak. Untuk setiap penurunan 1°core temperature, laju

metabolik serebral turun sebesar 6-7%. Dua metode terapi hipotermia,

yaitu wholebody cooling dan selective head cooling; belum ada metode
13

yang dianggap lebih superior. Mortalitas kedua metode tersebut tidak

terlalu berbeda, namun morbiditasnya berbeda; pada whole-body cooling

terdapat peningkatan frekuensi kejadian trombositopenia, koagulopati,

dan/atau kolestasis. Sedangkan kejadian kejang dan penggunaan obat

antikonvulsan lebih tinggi pada metode selective head cooling.

Terapi hipotermi dilakukan berdasarkan beberapa faktor berikut:

 Berat lahir ≥1800 gram

 Hasil analisis gas darah

 Riwayat kejadian perinatal akut

 Skor APGAR

 Kebutuhan untuk resusitasi

 Pemeriksaan fisik (kejang, tingkat kesadaran, aktivitas spontan,

postur, tonus, refleks primitif, dan parameter sistem saraf otonom).

Saat tepat untuk memulai terapi hipotermi yang efektif dan optimal

adalah sesegera mungkin dalam usia kehidupan enam jam, serta dijaga

hingga 48-72 jam. Selama terapi, beberapa parameter harus dipantau,

antara lain laju dan fungsi jantung, tekanan darah, elektrolit, gas darah,

gula darah, faktor koagulasi. Setelah terapi selesai, proses penghangatan

harus dilakukan bertahap dan perlahan menggunakan selimut penghangat

atau udara hangat.

Efek samping jangka pendek terapi hipotermi adalah peningkatan

sinus bradikardi dan peningkatan signifikan trombositopenia. Namun,


14

keuntungan terapi hipotermi jauh lebih signifkan dibandingkan kejadian

efek samping jangka pendek.

SOP Terapi Cooling (Hipotermi) Pada Hypoxic-Ischemic Encephalopathy

PENGERTIAN
1. Hipotermia terapeutik adalah upaya menurunkan suhu inti tubuh hingga 33-
34C pada bayi dengan HIE.
2. HIE terjadi karena kerusakan neuron otak akibat asfiksia perinatal. Hipoksia
selular akan menyebabkan kematian sel, kegagalan mitokondria, produksi
nitrit oksida yang toksik, radikal bebas, dan berujung pada kerusakan sel yang
lebih banyak lagi.
3. Hipotermia terapeutik dapat mengurangi apoptosis neuron dengan menurunkan
kecepatan metabolisme otak, mengurangi pelepasan asam amino eksitatorik
(dopamin, glutamat), menurunkan produksi nitrit oksida dan radikal bebas.
4. Hipotermia terapeutik harus dimulai sebelum 6 jam post-natal (periode
laten/windows of opportunity kerusakan neuron).
5. Metode pendinginan (cooling) dapat berupa pendinginan seluruh tubuh
(cooling mattress, blanketroll, space suits) atau selektif pada kepala (ice packs,
cooling cap). Pendinginan seluruh tubuh dapat menghasilkan suhu inti otak
yang lebih rendah dan hipotermia yang lebih homogen pada seluruh area otak
daripada pendinginan selektif kepala.
TUJUAN
1. Hipotermia terapeutik dapat dilakukan sesuai indikasinya pada bayi HIE.
2. Suhu inti tubuh dijaga 33-34C selama 72 jam pada pasien yang mendapat
hipotermia terapeutik.
3. Efek samping hipotermia terapeutik dapat dipantau dan ditatalaksana dengan
baik selama fase cooling, fase maintenance, dan fase rewarming.
4. Minimalisasi risiko komplikasi akibat prosedur hipotermia terapeutik.
5. Perbaikan luaran bayi dengan HIE yang mendapat hipotermia terapeutik.
KEBIJAKAN
1. Hipotermia terapeutik dilakukan pada bayi dengan usia gestasi lebih dari 35
minggu yang mengalami asfiksia neonatal dan HIE yang memenuhi indikasi.

Bukti asfiksia neonatal:


 Skor apgar 10 menit ≤ 5, atau
 Ventilasi mekanik atau resusitasi pada usia 10 menit, atau
 pH darah tali pusat < 7,0 atau pH arteri < 7,0, atau base deficit > 12
dalam 60 menit pertama setelah lahir, atau
 Amplitude integrated EEG (aEEG) menunjukan depresi sedang atau
berat, atau kejang.
15

HIE yang terindikasi hipotermia terapeutik: Skor Thompson > 6 atau


terdapat minimal 3 dari 6 kategori ensefalopati sedang/berat dalam
Skor Sarnat.
2. Hipotermia terapeutik harus diberikan sebelum bayi berusia 6 jam.
3. Hipotermia terapeutik tidak boleh dilakukan pada kondisi berikut:
 Hipotermia terapeutik tidak dapat dimulai pada usia < 6 jam
 Berat lahir < 2 kg
 Hipotensi yang tidak respon terhadap inotropik
 Kebutuhan oksigen lebih dari FiO2 80%
 Kelainan kongenital mayor
 Koagulopati berat secara klinis, walaupun sudah dilakukan koreksi
dengan FFP (Fresh Frozen Plasma)/kriopresipitat (contoh: INR> 2,5;
APTT > 100; Peningkatan D-dimer)
 Kematian tampaknya tidak dapat dihindari
PROSEDUR

Alat-alat yang dibutuhkan:


 Radiant warmer
 Probe suhu rektal ukuran 9Fr (termistor rektal)
 Kabel penghubung probe ke pengukur suhu
 Lubrikan
 Selotip
 Monitor kardiorespirasi
 Blanketrol Hypothermia System dengan cooling blanket

PERSIAPAN TERAPI COOLING


1. Dokter fellow atau dokter konsultan neonatologi harus menjelaskan dan
mendiskusikan mengenai terapi hipotermi kepada orang tua pasien. Seluruh
penjelasan prosedur ini didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
2. Jika orang tua tidak dapat hadir, dokter konsultan neonatologi yang terlibat
dapat memulai terapi jika sangat diperlukan, dan memastikan terapi dimulai
dalam usia 6 jam.
3. Persiapkan cooling blanket yang dipasangkan pada mesin Blanketrol
Hypothermia System.
4. Matikan radiant warmer, hanya boleh ada 1 lembar kain yang diletakkan di
atas cooling blanket dengan minimal nesting. Tidak boleh ada kain yang
diletakkan di bawah cooling blanket, karena dapat menyebabkan pendinginan
yang tidak efektif.
5. Pemantauan temperatur rektal, saturasi oksigem, denyut nadi, frekuensi napas,
dan tekanan darah haris dilakukan dari awal neonatus dirawat dan dicatat pada
lembar skema observasi khusus untuk terapi hipotermia (terlampir).
6. Pemantauan status neurologis harus dilakukan setiap 4-6 jam dan dicatat pada
lembar skema observasi neonatal neuro (terlampir).
7. Memasang arterial line. Akses ini juga dapat digunakan untuk analisis gas
16

darah (AGD) karena lebih baik daripada AGD kapiler (yang terpengaruh oleh
penurunan perfusi perifer akibat cooling).
8. Lakukan pemeriksaan laboratorium: AGD, laktat, DPL, PT, APTT, glukosa,
SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, elektrolit (Na, K, Cl, Ca ion).
 Pemeriksaan ini diulang selama 3 hari pertama (hari 0, hari 1, hari 2)
 Pada hari 3 pemeriksaan yang perlu dilakukan lagi adalah: DPL, AGD,
glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin, (PT, APTT sesuai klinis)
9. Monitoring aEEG harus segera dimulai untuk membantu mendeteksi adanya
aktivitas kejang.

MEMULAI TERAPI COOLING


10. Paparkan bayi ke suhu ruangan (passive cooling). Passive cooling dapat
dilakukan sejak di ruang persalinan. Setelah itu bayi dipindahkan ke NICU, di
bawah radiant warmer bed yang dimatikan.
11. Bayi dalam keadaan telanjang, tanpa pampers, topi, ataupun selimut.
12. Jika bayi dalam ventilator, jaga suhu humidifier di suhu biasa.
13. Lakukan pengukuran tekanan darah kontinu.
14. Masukan probe rektal ke anus sedalam 5 cm (tandai pada titik 10 cm dengan
selotip, tempelkan di paha dalam – kedalam ini penting untuk pengukuran
suhu inti secara akurat. Probe tidak perlu dikeluarkan untuk dibersihkan
berkala.
15. Hubungkan probe rektal ke mesin pengukur suhu. Cooling dilakukan dalam 2
tahap dengan suhu (core temperature) target terapi mencapai 33,5C.
 Turunkan suhu rektal menjadi 35C dalam 45 menit.
 Kemudian diturunkan kembali menjadi 33,5C.
 Suhu target terapi harus dicapai dalam 90-120 menit setelah inisiasi terapi
hipotermi.
16. Fungsi variabel gradien dapat digunakan pada cooling bed untuk menurunkan
fluktuasi perubahan temperatur bayi. (Setting awal adalah 10C, akan tetapi
dapat diturunkan perlahan 2 derajat sampai suhu bayi stabil.
17. Jika bayi tampak tidak nyaman, dokter konsultan neonatologi dapat
mempertimbangkan pemberian analgetik. Morfin dan/atau midazolam (kalau
menggunakan ventilator) atau parasetamol (boleh diberikan per-rektal,
walaupun terpasang probe rektal).
18. Awasi dan tatalaksana efek samping cooling yang terjadi:
 Sinus bradikardia (frekuensi nadi < 80 kali/menit).
 Pemanjangan interval QT
 Aritmia yang memerlukan intervensi medis atau penghentian cooling.
 Hipotensi (MAP < 40) yang memerlukan inotropik.
 Anemia (Hb < 10 g/dL, Ht < 30 %).
 Leukopenia (< 5000/uL).
 Trombositopenia (< 150.000/uL).
 Koagulopati.
 Hipoglikemia.
 Hipokalemia.
17

 Peningkatan laktat (> 2 mmol/L).


 Penurunan fungsi ginjal.
 Sepsis.
19. Lakukan EKG dan USG kepala pada hari-1 (usia ± 24 jam)
20. Selama fase cooling:
 Amplitude EEG digunakan atas perintah dari dokter konsultan neonatologi.
 AGD diperiksa setiap jam sampai suhu target terapi tercapai, kemudian
setiap 4 jam setelahnya.
 Darah lengkap dan faktor pembekuan diperiksa setelah suhu target terapi
tercapai dan 12 jam setelahnya hingga fase rewarming.
 Jika terjadi perdarahan, dipertimbangkan untuk memeriksa ulang darah
lengkap dan faktor pembekuan.
 Jika bayi tampak tidak nyaman/nyeri pertimbangkan morfin dan/atau
midazolam (jika menggunakan ventilator) atau parasetamol (boleh
diberikan per rektal walaupun terpasang probe rektal).
21. Nursing care selama cooling:
 Saat fase inisisal, observasi harus dilakukan setiap 15 menit dengan
menggunakan skema observasi khusus untuk terapi hipotermia (terlampir).
 Saat terget suhu terapi telah tercapai, pemantauan setiap satu jam harus
dicatat (suhu rektal/aksila, suhu blanket, denyut nadi, saturasi perifer,
fraksi oksigen, tekanan darah, dan monitoring pernapasan.
 Pemantauan setiap 4 jam dilakukan dan dicatat pada lembar observasi
sampai fase rewarming dilakukan.
 Balans cairan ketat (input dan output setiap 6 jam) harus didokumentasikan
untuk memantau status volume cairan. Pertimbangkan pemasangan kateter
urin.
 Melaporkan perubahan klinis signifikan kepada tim medis (penilaian
perubahan capillary refill time dapat menjadi sulit pada kedaan hipotermi).
 Minimal handling pada pasien, selurub stimulus di sekitar lingkungan
pasien harus diminimalkan (suara, cahaya, pergerakan).
 Pemantauan kondisi kulit secara reguler, karena keadaan hipotermi dari
cooling blanket dan minimnya pergerakan bayi menjadikan bayi rentan
terhadap cedera kulit.
22. Hentikan cooling (diskusikan dengan konsultan) jika terdapat: PPHN
perburukan atau berat, koagulopati berat, aritmia yang memerlukan obat
(bukan sinus bradikardia), keluarga dan tim medis memutuskan penghentian
life support.
23. Suhu target terapi (33,5C) harus dipertahankan selama 72 jam, setelah itu
prosedur rewarming dimulai.

MEMULAI REWARMING
1. Rewarming dimulai setelah cooling dilakukan selama 72 jam.
2. Tujuan rewarming adalah meningkatkan suhu bayi secara perlahan dalam 12
jam.
3. Naikkan set suhu 0,5C setiap 2 jam (tidak melebihi 0,5C per jam) sampai
18

tercapai suhu rektal ͂36,5C dan suhu rektal ͂37,3C.


4. Rewarming harus dilakukan dengan perlahan. Rewarming yang terlalu cepat
dapat mengaikbatkan penurunan tajam tekanan darah. Jika kondisi bayi
tampak tidak “baik”, lambatkan penurunan suhunya.
5. Awasi dampak rewarming yang dapat terjadi, yaitu:
 Hipotensi
 Gangguan elektrolit
 Hipoglikemia (karena peningkatan metabolisme)
 Kejang
 Peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2
6. Pemantauan suhu rektal dilanjutkan sampai 12 jam setelah rewarming dimulai.
7. Buang probe suhu rektal setelah selesai digunakan. Kabel dan mesin pengukur
suhu disimpan kembali.
UNIT TERKAIT
Teknik, Laboratorium
DOKUMEN
Dokumentasi untuk perawat:
 Status harian pasien NICU
 Catatan episode kejang dibuat terpisah
 Lembar observasi khusus untuk terapi hipotermia
 Lembar skema observasi neonatal neuro

Dokumentasi untuk dokter:


 Tuliskan tanggal dan jam cooling dimulai, rewarming dimulai, dan rewarming
selesai, seperti berikut:
Mulai cooling : Tanggal ......./................../20....
Jam ..............
Mulai rewarming : Tanggal ......./................../20....
Jam ..............
Selesai rewarming : Tanggal ......./................../20....
Jam ..............

2. Terapi Sel Punca/Stem Cell Therapy

Pada cedera hipoksik-iskemik, terjadi kerusakan sel yang berakibat

nekrosis dan apoptosis. Terapi sel punca bertujuan untuk mengganti sel-sel

rusak serta efek pelepasan faktor tropik dan faktor anti-apoptosis yang

memiliki efek antiinflamasi. Akan tetapi, jenis dan sumber sel terbaik
19

masih belum diketahui, kebanyakan peneliti menggunakan sel punca

neural atau sel punca mesenkimal.

Beberapa penelitian menggunakan darah tali pusat sebagai sumber sel

punca karena diketahui kaya akan sel punca; keuntungannya mudah

didapat, kaya sel punca primitif, tidak membutuhkan imunosupresan untuk

transplantasi autologus, dan dapat disimpan hingga ≥30 tahun. Sedangkan

kerugiannya adalah jumlah sel terbatas, berpotensi menularkan infeksi dan

penyakit genetik.

2.8 Prognosis

Prognosis HIE berkisar antara kesembuhan total hingga kematian,

berkorelasi dengan saat dan lamanya cedera, derajat keparahan cedera, dan

manajemen terapi. Bayi dengan pH awal darah tali pusat <6,7 memiliki 90%

risiko kematian atau gangguan perkembangan neurologis berat di usia 18 bulan.

Skor APGAR 0-3 pada 5 menit, defisit basa tinggi (>20-25 mmol/L), postur

deserebrasi, lesi basal ganglia-thalamus berat, HIE berat hingga usia 72 jam, dan

kurangnya aktivitas spontan, meningkatkan risiko kecacatan dan kematian.

2.9 Follow-Up Penderita

Sejak awal, orang tua atau keluarga penderita perlu diberi penjelasan

kemungkinan yang terbaik dan yang terburuk akibat ensefalopati hipoksik

iskemik. Bila ada kelainan fisik, rehabilitasi medis dilakukan sedini mungkin.

Setelah keluar dari rumah sakit, penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik
20

iskemik perlu dipantau dan diterapi secara berkesinambungan di poliklinik

khusus dengan melibatkan beberapa keahlian disiplin ilmu, seperti neonatologi,

pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh kembang anak, rehabilitasi

medis, orthopedi, dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama tim yang kompak

dan harmonis untuk menangani penderita ensefalopati.

BAB 3
KESIMPULAN

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) atau lebih dikenal dengan istilah

ensefalopati hipoksik iskemik merupakan suatu sindroma yang ditandai dengan

adanya kelainan klinis yang ditimbulkan karena adanya cedera akut pada otak

akibat asfiksia. Asfiksia adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami

kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke


21

berbagai organ, salah satunya otak. Akibat dari adanya hipoksia otak dan atau

penurunan perfusi (iskemia) ke otak akan menyebabkan kerusakan permanen pada

pada sel-sel Susunan Saraf Pusat (SSP) yang dikenal sebagai hypoxic-ischemic

encephalopathy (HIE).

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) merupakan salah satu penyebab

utama disabilitas dan kematian pada bayi baru lahir di seluruh dunia. Dengan

asfiksia sebagai etiologi pada periode intrauterin ataupun perinatal, HIE memiliki

manifestasi klinis antara lain nilai APGAR rendah saat persalinan, asidosis

metabolik darah umbilikal, kejang, serta menyebabkan defisit neurologis jangka

panjang seperti cerebral palsy dan retardasi mental.

Prinsip manajemen bayi baru lahir dengan HIE adalah identifikasi awal,

perawatan suportif intensif, dan intervensi untuk menghentikan proses cedera otak

(neuroprotektif). Intervensi terapi neuroprotektif dapat berupa terapi farmakologi

dan non farmakologi. Pilihan utama intervensi non-farmakologi saat ini berupa

terapi cooling (hipotermi) karena terbukti efektif mengurangi risiko kematian dan

disabilitas pada bayi baru lahir dengan HIE, sementara terapi sel punca (stem cell)

dan intervensi farmakologi lain merupakan penunjang dan masih membutuhkan

penelitian lebih lanjut.

Perlu diketahui bahwa prognosis HIE berkisar antara kesembuhan total

hingga kematian; berkorelasi dengan saat cedera, derajat keparahan cedera, dan

manajemen terapi.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Anggriawan, A. Tinjauan Klinis Hypoxic-Ischemic Encephalopathy.


CDK-243 2016;43(8):582-6.
2. Baral VR, Chan D. Hipotermia Terapeutik Untuk Ensefalopati Hipoksik
Iskemis Pada Neonatus. MIMS-CPD:
3. American College of Obstetricians and Gynecologists’ Task Force on
Neonatal Encephalopathy. Neonatal encephalopathy and neurologic
outcome. 2nd Ed. Pediatrics 2014;133(5):1483-8.
4. Rundjan L et al. Therapeutic Hypothermia For HIE Babies. Developing
Neuroprotective Care In The NICU: Do We Care? 2018.
5. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, Behrman RE.
Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.

Anda mungkin juga menyukai