Anda di halaman 1dari 33

Seminar Nasional

PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI


KESEJAHTERAAN PETANI
Bogor, 14 Oktober 2009

POSISI DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA


DAN UPAYA PENINGKATANNYA
oleh
Arief Daryanto

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2009
POSISI DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA DAN
UPAYA PENINGKATANNYA

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian memiliki peranan yang sangat strategis dalam kehidupan kita. Xenophon,
filsuf dan sejarawan Yunani yang hidup 425-355 SM mengatakan bahwa “Agriculture
is the mother and nourishes of all other arts. When it is well conducted, all other arts
prosper. When it is neglected, all other arts decline”. Pertanian adalah ibu dari segala
budaya. Jika pertanian berjalan dengan baik, maka budaya-budaya lainnya akan tumbuh
dengan baik pula, tetapi manakala sektor ini diterlantarkan, maka semua budaya lainnya
akan rusak. Pentingnya pertanian juga dinyatakan oleh filsuf terkenal Lao Tze, yang
hidup sekitar 600 tahun SM. Ia mengatakan bahwa “There is nothing more important
than agriculture in governing people and serving the Heaven”, Tidak ada suatu pun
yang lebih penting di dunia ini selain pertanian, jika ingin masuk surga.

Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan


perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang
tidak hanya berperan dalam pembentukan PDB, penciptaan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa. Peranan sektor pertanian
juga dapat dilihat secara lebih komperhensif, antara lain : (a) sebagai penyediaan
pangan masyarakat sehingga mampu berperan secara strategis dalam penciptaan
ketahanan pangan nasional (food security) yang sangat erat kaitannya dengan ketahanan
sosial (socio security), stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau
ketahanan nasional (national security); (b) sektor pertanian menghasilkan bahan baku
untuk peningkatan sektor industri dan jasa, (c) sektor pertanian dapat menghasilkan atau
menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk subtitusi impor, (d) sektor
pertanian merupakan pasar yang potensial bagi produk-produk sektor industri, (e)
transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah
satu sumber pertumbuhan ekonomi, dan (f) sektor pertanian mampu menyediakan
modal bagi pengembangan sektor-sektor lain (a net outflow of capital for invesment in
other sectors); serta (g) peran pertanian dalam penyediaan jasa-jasa lingkungan.

Pertanian juga dipandang sebagai suatu sektor yang memiliki kemampuan khusus dalam
memadukan pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity) atau pertumbuhan yang
berkualitas (Daryanto, 2009). Semakin besarnya perhatian terhadap melebarnya
perbedaan pendapatan memberikan stimulan yang lebih besar untuk lebih baik
memanfaatkan kekuatan pertanian bagi pembangunan. Terlebih sekitar 45 persen tenaga
kerja bergantung pada sektor pertanian primer maka tidak heran sektor pertanian

1
Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-Institut Pertanian Bogor (MB-IPB) dan Staf
Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen-Institut Pertanian Bogor (FEM-
IPB). Terimakasih dan penghargaan disampaikan kepada Ir. Saptana, MS dan Andina Oktariani, SE yang
telah membantu dalam penyediaan data-data yang digunakan dalam makalah ini.

1
menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Pertanian sudah lama disadari sebagai
instrumen untuk mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan sektor pertanian memiliki
kemampuan khusus untuk mengurangi kemiskinan. Estimasi lintas negara menunjukkan
bahwa pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) yang dipicu oleh pertanian paling
tidak dua kali lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan daripada pertumbuhan yang
disebabkan oleh sektor di luar pertanian. Kontribusi besar yang dimiliki sektor pertanian
tersebut memberikan sinyal bahwa pentingnya membangun pertanian yang
berkelanjutan secara konsisten untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus
kesejahteraan rakyat.

Kondisi di atas menunjukkan sektor pertanian sudah selayaknya dijadikan sebagai suatu
sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak lagi hanya berperan
sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional, tetapi harus
menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Tidak dapat dipungkiri,
keberhasilan sektor industri sangat tergantung dari pembangunan sektor pertanian yang
dapat menjadi landasan pertumbuhan ekonomi. Dua alasan penting sektor pertanian
harus dibangun terlebih dahulu, jika industrialisasi akan dilakukan pada suatu negara,
yakni alasan : pertama, barang-barang hasil industri memerlukan dukungan daya beli
masyarakat petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, maka pendapatan
petani sudah semestinya ditingkatkan melalui pembangunan pertanian dan alasan
kedua, sektor industri membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sektor pertanian
sehingga produksi hasil pertanian ini menjadi basis bagi pertumbuhan sektor industri itu
sendiri. Oleh karena itu, pertumbuhan di sektor pertanian diyakini memiliki efek
pengganda (multiplier effects) yang tinggi karena pertumbuhan di sektor ini mendorong
pertumbuhan yang pesat di sektor-sektor perekonomian lain, misalnya di sektor
pengolahan (agro-industry) dan jasa pertanian (agro-services).

Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa sektor pertanian atau agribisnis mempunyai
peranan yang sangat penting dan strategis dalam perekonomian Indonesia. Namun
demikian pembangunan sektor pertanian masih mengalami permasalahan-permasalahan
pokok yang menghambat pengembangannya baik permasalahan makro maupun mikro.
Peningkatan daya saing sektor pertanian dengan pendekatan agribisnis mutlak harus
terus dilakukan agar dapat berperan lebih baik dalam perekonomian Indonesia,
khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan petani.

Tujuan Penulisan

Secara umum makalah ini bertujuan untuk melihat posisi daya saing agribisnis
Indonesia. Secara terperinci makalah ini ditujukan untuk :
1. Melihat kinerja sektor pertanian dan peranannya dalam pembangunan ekonomi;
2. Menempatkan peranan baru sektor pertanian dalam menjawab tantangan masa depan;
3. Tinjauan konseptual terhadap daya saing dan pengukurannya;
4. Mengkaji posisi peringkat daya saing Indonesia;
5. Mengkaji status dan kinerja daya saing beberapa komoditas pertanian;
6. Strategi peningkatan daya saing pertanian yang berorientasi peningkatan
kesejahteraan petani.

2
KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN PERANANNYA DALAM
PEMBANGUNAN EKONOMI

Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal
ini terlihat dari peran sektor pertanian dalam struktur perekonomian nasional
sebagaimana tercemin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB),
penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya terhadap perolehan devisa.

Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pembentukan PDB

Sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor strategis dalam perekonomian
Indonesia, yang ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap PDB nasional. Nilai PDB dan
Kontribusi PDB setiap sektor perekonomian disajikan pada Tabel 1. Kontribusi PDB
sektor pertanian termasuk perikanan dan kehutanan dalam lima tahun terakhir adalah
sebesar (13–14 %) dari nilai total PDB Nasional. Angka tersebut relatif besar, karena
kontribusi sektor pertanian tersebut menempati urutan ketiga setelah sektor industri
pengolahan (27–28 %) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (14–16 %). Bahkan
pada tahun 2008 menempati urutan kedua setelah sektor industri pengolahan.

Tabel 1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
(Milyar Rupiah)
Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007* 2008**
Pertanian, Peternakan, 329.124,6 364.169,3 433.223,4 541.592,6 713.291,4
Kehutanan & Perikanan (14,3) (13,1) (13,0) (13,7) (14.4)
205.252 309.014,1 366.520,8 441.006,6 543.363,8
Pertambangan & Penggalian
(8,9) (11,1) (11,0) (11,2) (10,9)
644.342,6 760.361,3 919.539,3 1.068.653,9 1.380.731,5
Industri Pengolahan
(28,1) (27,4) (27,5) (27,1) (27,8)
23.730,3 26.693,8 30.354,8 34.724,6 40.846,7
Listrik, Gas & Air Bersih
(1,0) (1,0) (0.9) (0,9) (0,8)
151.247,6 195.110,6 251.132,3 305.215,6 419.321,6
Konstruksi
(6,6) (7,0) (7,5) (7,7) 8,5)
Perdagangan, Hotel & 368.555,9 431.620,2 501.542,4 589.351,8 692.118,8
Restoran (16,1) (15,6) (15,0) (14,9) (14,0)
142.292 180.584,9 231.523,5 264.264,2 312.454,1
Pengangkutan dan Komunikasi
(6,2) (6,5) (6,9) (6,7) (6,3)
Keuangan, Real Estate & Jasa 194.410,9 230.522,7 269.121,4 305.213,5 368.129,7
Perusahaan (8,5) (8,3) (8,1) (7,7) (7,4)
236.870,3 276.204,2 336.258,9 399.298,6 483.771,3
Jasa-jasa
(10,3) (10,0) (10,1) (10,1) (9,8)
Produk Domestik Bruto 2.295.826,2 2.774.281,1 3.339.216,8 3.949.321,4 4.954.028,9
Produk Domestik Bruto
2.083.077,9 2.458.234,3 2.967.040,3 3.532.807,7 4.426.384,7
Tanpa Migas
Sumber : BPS, 2009 (diolah)
Keterangan : Angka ( ) adalah persentase terhadap Total PDB
*Angka sementara
** Angka sangat sementaea

Pada tahun 2007 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar (13,7 %) dan
meningkat menjadi (14,4 %) pada tahun 2008. Begitupun kontribusi sektor industri
pengolahan terhadap PDB mengalami peningkatan yaitu (27,1 %) pada tahun 2007
menjadi (27,8 %)pada tahun 2008. Apabila dilihat laju pertumbuhannya, dalam empat
tahun terakhir PDB sektor pertanian selalu mengalami peningkatan dan tumbuh sebesar
(4,77 %) pada tahun 2008 (Tabel 2). Laju pertumbuhan tersebut berada di bawah sektor-

3
sektor lainnya kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang hanya tumbuh sebesar
(0,51 %) dan Industri Pengolahan yang tumbuh (3.66 %) di tahun 2008.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik BrutoAtas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha (Persen)

Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007* 2008**


1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 2,82 2,72 3,36 3,43 4,77
2. Pertambangan dan Penggalian -4,48 3,20 1,70 2,02 0,51
3. Industri Pengolahan 6,38 4,60 4,59 4,67 3,66
4. LIstrik, Gas dan Air Bersih 5,30 6,30 5,76 10,33 10,92
5. Konstruksi 7,49 7,54 8,34 8,61 7,31
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 5,70 8,30 6,42 8,41 7,23
7. Pengangkutan dan Komunikasi 13,38 12,76 14,23 14,04 16,69
8. Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 7,66 6,70 5,47 7,99 8,24
9. Jasa-jasa 5,38 5,16 6,16 6,60 6,45
Produk Domestik Bruto 5,03 5,69 5,50 6,28 6,06
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 5,97 6,57 6,11 6,87 6,52
Sumber: BPS, 2009
Keterangan : * Angka sementara
** Angka sangat sementara

Peranan besar yang dimiliki sektor pertanian dalam pertumbuhan PDB memberikan
sinyal positif bagi Indonesia untuk lebih serius dan secara konsisten menerapkan
revitalisasi pembangunan pertanian terutama dalam memecahkan masalah kemiskinan
dan pengangguran. Revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian, yaitu
(Krisnamurthi, 2006): (a) sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian; (b) bentuk
rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian; serta (c) sebagai kebijakan dan
strategi besar melakukan proses “revitalisasi pertanian” itu sendiri. Peran revitalisasi
pertanian tidak hanya sebatas membangun kesadaran pentingnya pertanian semata,
tetapi juga terkait dengan adanya perubahan paradigma pola pikir masyarakat yang
memandang pertanian tidak hanya sekedar bercocok tanam menghasilkan komoditas
untuk dikonsumsi. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda (multiplier efect) yang
besar terkait dengan adanya keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and
backward linkages) dengan sektor-sektor lainnya, terutama industri pengolahan dan
jasa. Disamping itu, kontribusi sektor pertanian harus diartikan secara lebih luas,
sebagai suatu kegiatan penciptaan nilai tambah mulai dari usahatani (kandang) hingga
makanan yang tersaji di atas meja kita, from farm to table business.

Kontribusi Sektor Pertanian dalam Penyerapan Tenaga Kerja

Pembangunan ekonomi yang dipilih saat ini adalah dengan menerapkan “Strategi Tiga
Jalur (Triple Tracks Strategy), yakni : stabilitas ekonomi makro; pengembangan sektor
riil, utamanya melalui pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan usaha mikro dan
kecil; serta revitalisasi pertanian dan pedesaan (Krisnamurthi, 2009). Strategi tersebut
telah dijadikan panduan dalam menggerakkan ekonomi melalui berbagai kebijakan
pemerintah. Tiga jalur ini berasaskan pro-growth, pro-employment, dan pro-poor dalam
setiap program pembangunan ekonomi. Sektor pertanian telah mampu memberikan
kontribusi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Dalam hal ini sektor pertanian
melalui pendekatan agribisnis menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah
pengangguran yang kian tahun kian meningkat. Masalah pengangguran merupakan
masalah yang secara makro menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya.
4
Data BPS menunjukkan pada bulan Februari 2008, sektor pertanian telah menyerap
tenaga kerja sebesar 42,61 juta orang dan mengalami peningkatan menjadi 43,03 juta
orang pada bulan Februari tahun 2009. Penyerapan tenaga kerja ini menempati urutan
pertama dibandingkan sektor-sektor lainnya. Besarnya kontribusi sektor pertanian
terhadap penyerapan tenaga kerja tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian
masih bersifat padat karya (labor intensive) dibandingkan padat modal (capital
intensive).

Tabel 3. Perkembangan Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2005-2009

Sumber : BPS, 2009

Apabila ditinjau dari tahun 2005 sampai 2009, persentase tenaga kerja pertanian
terhadap jumlah angkatan kerja berkisar antara 41-44 persen. Angka ini masih
menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian masih dominan
dibandingkan sektor lainnya. Pada Tabel 4 diperlihatkan bahwa pada tahun 2009
dibandingkan dengan kontribusi sektor industri pengolahan, yang menyumbang PDB
hampir 30 persen, sektor industri hanya menyerap 12,1 persen tenaga kerja. Sektor
perdagangan-rumah makan-hotel dengan kontribusi sekitar 14 persen hanya mampu
menyerap 20,9 persen tenaga kerja. Sektor pertambangan dan penggalian dengan
kontribusi terhadap PDB sekitar 11 persen hanya menyerap 1,1 persen tenaga kerja. Ini
berarti bahwa sektor pertanian menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja, terutama di
perdesaan.

5
Tabel 4. Tenaga Kerja (TK) menurut Sektor Tahun 2009*
Rata-rata TK Prosentase TK
Sektor
(juta orang) (sektor/nasional)
Pertanian, Kehutanan, Perburuan & 43,0 41,2
Perikanan
Pertambangan & penggalian 1,1 1,1
Industri Pengolahan 12,6 12,1
Listrik, Gas & Air 0,2 0,2
Bangunan 4,6 4,4
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan 21,8 20,9
& Hotel
Angkutan, Pergudangan & Komunikasi 5,9 5,7
Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan 1,4 1,4
Bangunan , Tanah & Jasa Perusahaan
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan 13,6 13,0
perorangan
Total 95,2 100,0
Keterangan: * sampai dengan Februari 2009;
Sumber : BPS, 2009 (diolah)

Namun demikian bila dilihat dari aspek produktivitas, rendahnya kontribusi sektor
pertanian dalam PDB yang hanya sebesar (13,4 %) dibandingkan sektor industri yang
mencapai (27,8 %) yang menyebabkan tidak seimbangnya kontribusi PDB dan jumlah
tenaga kerja yang diserap, maka tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian
dapat dikatakan yang terendah. Bandingkan dengan sektor industri yang menyumbang
(27,8 %) terhadap PDB nasional, namun hanya menyerap tenaga kerja sebesar (12,1 %).
Sebagai akibatnya, kesejahteraan rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian akan
lebih rendah dibanding yang bekerja di sektor industri.

Kontribusi Sektor Pertanian dalam Pembentukan Devisa Negara

Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan devisa negara dapat dilihat dari
kontribusi sektor tersebut dalam perdagangan internasional, dapat ditunjukkan oleh
posisi beberapa komoditas pertanian di pasar dunia. Berdasarkan data dari Departemen
Pertanian, pada kurun waktu tiga tahun terakhir nilai dan volume ekspor komoditi
pertanian yang terbagi dalam empat subsektor yaitu subsektor tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan mengalami kecenderungan meningkat (Tabel
5). Dari keempat subsektor, subsektor perkebunan memberikan kontribusi terbesar
dalam ekspor komoditi pertanian.

Dilihat dari neraca perdagangan, pada kurun waktu tiga tahun terakhir sektor pertanian
mengalami surplus neraca perdagangan, hal ini mengindikasikan bahwa kinerja sektor
pertanian telah benar-benar tumbuh dan mampu memberikan kontribusi dalam
perbaikan neraca perdagangan non-migas. Diharapkan kinerja sektor pertanian pada
tahun-tahun ke depan dapat dipertahankan dan ditingkatkan sehingga tidak hanya
ketergantungan terhadap impor yang dapat ditekan tetapi juga kinerja ekspor produk
pertanian baik segar maupun olahan dapat semakin ditingkatkan. Beberapa komoditi
unggulan Indonesia di pasar dunia adalah kelapa sawit, kakao, dan kelapa. Berdasarkan
data nilai ekspor beberapa komoditas pertanian, dapat terlihat bahwa kelapa sawit,
kakau, dan kelapa menunjukkan nilai ekspor yang meningkat dari tahun 2006 sampai
tahun 2008 (Tabel 6).

6
Tabel 5. Neraca Ekspor-Impor Indonesia, 2006-2008
2006 2007 2008
No Subsektor
Volume (KG) Nilai (USD) Volume (KG) Nilai (USD) Volume (KG) Nilai (USD)
1 Tanaman Pangan
Ekspor 861.218 264.154 999.460 289.049 550.624 231.690
Impor 11.456.511 2.568.454 9.398.521 2.729.147 5.197.866 2.455.225
Neraca -10.595.293 -2.304.300 -8.399.061 -2.440.098 -4.647.242 -2.223.535
2 Holtikultura
Ekspor 456.890 238.064 393.863 254.765 356.518 294.134
Impor 923.867 527.414 1.293.411 795.121 11.111.931 693.792
Neraca -466.977 -289.350 -899.548 -540.356 -755.413 -399.658
3 Perkebunan
Ekspor 21.378.189 13.972.064 22.089.288 19.964.870 15.692.949 18.968.369
Impor 1.776.174 1.675.067 4.268.424 2.731.627 1.934.635 3.113.710
Neraca 19.602.015 12.296.997 17.821.045 17.233.243 13.758.314 15.854.659
4 Peternakan
Ekspor 198.407 388.939 458.900 748.531 413.770 782.992
Impor 880.430 1.190.396 950.518 1.695.459 733.951 1.653.914
Neraca -682.023 -801.457 -491.618 -947.928 -320.181 -870.922
5 Pertanian
Ekspor 22.894.704 14.863.221 23.941.511 21.257.215 17.013.861 20.277.185
Impor 15.036.982 5.961.331 15.910.692 7.952.354 8.978.383 7.916.641
Neraca 7.857.722 8.901.890 8.030.819 13.304.861 8.035.478 12.360.544
Sumber: BPS, 2009.

Tabel 6. Perkembangan Nilai Ekspor Beberapa Komoditas Unggulan Pertanian

Nilai Ekspor (000US$)


No Komunitas
2006 2007 2008
1 Kelapa Sawit 5.551.160 9.078.283 9.652.908
2 Kakao 855.047 924.237 829.908
3 Kelapa 363.081 695.921 707.932
4 Kopi 588.502 636.417 658.284
5 Tembakau 102.549 424.721 341.636
6 Gandum/ Meslim Olahan 184.468 190.227 153.712
7 Lada 77.258 132.497 147.623
8 Susu dan Produk Susu 71.542 4.075 113.707
9 Teh 134.515 126.615 108.145
10 Pinang 79.017 94.598 75.996
11 Tebu 48.521 29.726 43.060
12 Ubi Kayu Segar 14.836 6.197 21.938
13 Gandum/ Meslim 3.315 13.730 17.671
14 Jagung Segar 4.306 18.503 16.503
15 Kubis/ Kol Segar atau dingin 7.903 9.242 6.865
16 Kacang Tanah Segar 2.579 4.569 6.624
17 Kedelai Olahan 5.515 6.147 4.338
18 Ubi Jalar Segar 6.259 6.197 4.151
19 Kacang Tanah Olahan 8.164 4.957 3.084
20 Manggis 3.612 4.951 3.044
21 Kentang Segar 5.917 2.855 1.513
22 Kedelai Segar 2.891 2.466 1.416
23 Jamur 1.322 2.322 1.314
24 Bawang Merah Segar 6.366 3.492 996
25 Beras 531 466 454
Sumber: BPS, 2009.

7
Produksi dan Produktivitas Komoditi Pertanian

Nilai produksi beberapa komoditi pertanian diperlihatkan pada Tabel 7. Untuk


subsektor tanaman pangan selain komoditi padi, ubi kayu merupakan komoditi yang
mempunyai nilai produksi yang cukup tinggi. Sedangkan pisang, kelapa sawit, dan
daging broiler merupakan komoditi pertanian yang memiliki nilai produksi terbesar
dimasing-masing subsektor tersebut. Produktivitas beberapa komoditi pertanian penting
juga cenderung mengalami peningkatan (Tabel 8). Hal ini tentunya tidak terlepas dari
peran empat faktor penggerak pembangunan, yaitu sumberdaya alam (pertanian),
sumberdaya manusia (SDM), teknologi, serta kelembagaan yang senantiasa
ditingkatkan. Namun demikian upaya peningkatan produksi dan produktivitas harus
senantiasa dilakukan sehingga sektor pertanian akan lebih berperan dalam
perekonomian nasional.

Tabel 7. Produksi Beberapa komoditi dan Hasil Pertanian, 2002-2007


(000 Ton)
Komoditi 2004 2005 2006 2007
Tanaman Pangan
Padi 54,088.00 54,151.00 54,455.00 57,157.00
Jagung 11,225.00 12,524.00 11,609.00 13,287.00
Ubi Kayu 19,425.00 19,321.00 19,987.00 19,988.00
Kedelai 723.00 808.00 748.00 592,00
Hortikultura
Jeruk 2,071.00 2,214.00 2,565.00 2,625.00
Pisang 4,874.00 5,178.00 5,037.00 5,454.00
Alpukat 222.00 226.00 239.00 201,00
Perkebunan
Karet 2,066.00 2,271.00 2,637.00 2,755.00
Kelapa sawit 10,830.00 11,862.00 17,351.00 17,644.00
Kopi 647.00 640.00 683.00 676.00
Tebu 2,052.00 2,242.00 2,307.00 2,623.00
Peternakan
Daging Sapi 447.57 358.70 395.84 339.47
Daging Ayam Buras 296.42 301.42 341.25 294.88
Daging Ayam Ras Pedaging 846.09 779.10 861.26 942.78
Daging Domba 66.10 47.30 75.18 56.85
Telur 1,107.41 1,051.50 1,204.42 1,366.20
Susu 549.9 535.96 616.55 567,68

Sumber : Departemen Pertanian (diolah), 2009

8
Tabel 8. Produktivitas Beberapa Komoditas Pertanian, 2003-2007
2004 2005 2006 2007
Tanaman Pangan (Ku/Ha)
Padi 45.36 45.74 46.20 47.05
Jagung 33.44 34.54 34.70 36.60
Ubi Kayu 155.00 159.00 163.00 166.36
Kedelai 12.8 13.01 12.88 12.91
Hortikultura (Ku/Ha)
Jeruk 286.40 326.20 354.40 388.50
Pisang 510.80 510.30 535.10 555.70
Alpukat 142.70 132.80 153.20 117.10
Perkebunan (Kg/Ha)
Karet 839.00 862.00 967.00 993.00
Kelapa sawit 2,833.00 2,925.00 3,498.00 2,994.00
Kopi 665.8 683.13 695.00 673.00
Tebu 5,950.36 5,871.89 5,961.00 6,133.00
Keterangan : *) angka Sementara
Sumber : Departemen Pertanian (diolah), 2009

PERANAN BARU DAN TANTANGAN SEKTOR PERTANIAN

Peranan Baru Sektor Pertanian

Pertanian dijadikan sebagai way of life dan sumber kehidupan sebagian besar
masyarakat pertanian di pedesaan. Sekitar 45 persen tenaga kerja kita tergantung dari
sektor pertanian primer. Peranan sektor pertanian selama ini dalam perekonomian
nasional secara tradisional kerap hanya dilihat melalui sejauh mana kontribusinya dalam
pembentukan PDB, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat
dan perolehan devisa. Peranan baru sektor pertanian sekarang ini dapat diletakkan
dalam kerangka ”3 F contribution in the economy”, yaitu food (pangan), feed (pakan)
dan fuel (bahan bakar). Namun, apabila kita tidak mampu mengelola pertanian dengan
baik, maka akan dapat menciptakan Jebakan Sindrom 3 F, yaitu Food, Feed, and Fuel,
seperti yang diungkapkan oleh (Putri, 2009).

Peranan pertanian kaitannya dengan ”food” adalah sektor pertanian menjadi leading
sector dalam pembangunan ketahanan pangan. Artinya peranan sektor pertanian sangat
menentukan terwujudnya sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas melalui
ketersediaan dan kecukupan pangan baik nabati maupun hewani. Hal ini menunjukkan
bahwa ketahanan pangan tidak lagi diartikan sebagai ketersediaan dan kecukupan
pangan tetapi juga disertai dengan kecukupan protein hewani dan pangan lainnya sesuai
dengan Pola Pangan Harapan (PPH). Sektor peternakan dalam kerangka pembangunan
pertanian dalam arti luas memiliki peranan yang besar dalam menciptakan pangan
hewani bermutu tinggi.

Kaitannya dengan “feed”, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar
bahan baku utama pakan ternak. Jagung merupakan komoditi pertanian terbesar yang
digunakan untuk pakan ternak unggas. Pakan ternak unggas menggunakan bahan baku
yang berasal dari jagung sebesar ± 60 %. Selama beberapa tahun terakhir ini, jagung
digunakan sebagai penghasil sumber energi terbarukan (renewable) untuk keperluan

9
bahan bakar (fuel). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian telah berperan sebagai
penghasil energi, biofuel. Industri etanol (biofuel) di Amerika Serikat (AS) meningkat
tajam, dari 166 pabrik pada tahun 2006, sekarang meningkat tajam menjadi 429 pabrik
biofuel. Tidak heran, apabila permintaan sumber energi terbarukan ke depan dari
biomassa seperti jagung akan semakin meningkat. Presiden Bush mentargetkan 20 %
konsumsi bahan bakar akan berganti dengan biofuel pada 2017. Naiknya harga minyak
dunia mendorong riset dan pembangunan pabirk biofuel menjadi feasible.

Pasar jagung dunia telah mengindikasikan bahwa alokasi jagung bagi kebutuhan pakan
ternak akan berkurang karena tersedotnya jagung untuk keperluan bahan baku etanol
(biofuel). Konsumsi jagung yang meningkat untuk pengembangan biofuel sebagai salah
satu alternatif bahan bakar di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) akan
mengurangi pasokan jagung untuk pakan ternak. AS telah mengalokasikan 55 juta ton
jagung untuk industri etanol (biofuel) dalam negeri pada tahun 2006 dan diperkirakan
tahun 2008 meningkat menjadi 82 juta ton. Perkembangan industri biofuel akan diikuti
oleh Cina yang memasok 20% jagung dunia. Kecenderungan penggunaan jagung
sebagai sumber energi oleh AS dan negara-negara lain akan terus meningkat di masa
mendatang, sehingga harga jagung akan tetap bertahan dengan harga relatif tinggi. Oleh
karena itu, kecenderungan permintaan jagung yang meningkat baik untuk pemenuhan
industri pakan ternak maupun pengembangan energi alternatif bahan bakar (biofuel)
akan diikuti oleh naiknya harga jagung di pasar dunia. Dalam jangka panjang, kenaikan
harga jagung yang tinggi mendorong re-alokasi penggunaan lahan untuk memproduksi
jagung sehingga produksi bahan makanan lainnya menurun. Akibatnya, harga bahan
pokok akan meningkat. Pada saat ini negara-negara yang makanannya jagung, seperti
Meksiko, harga tortillas telah meningkat sampai 60%.

Besarnya peranan sektor pertanian termasuk di dalamnya aspek food (pangan), feed
(pakan) dan fuel (bahan bakar) menunjukkan bahwa eksistensi sektor pertanian telah
mampu menciptakan rantai nilai tambah bisnis yang berasal dari lahan usaha hingga
makanan yang siap saji (from farm to table business). Sektor pertanian tidak hanya
berkaitan dengan on-farm saja. Namun, lingkup sektor pertanian juga berkaitan dengan
off-farm, baik hulu hingga hilir. Hal ini memperlihatkan bahwa sektor pertanian
memiliki peran yang strategis untuk mewujudkan pembangunan secara komperehensif
sehingga pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan, sekaligus menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan.

Tantangan Sektor Pertanian

Tidak dapat dielakan sektor pertanian juga mengalami berbagai permasalahan dan
tantangan yang dihadapi. Hal ini tidak terlepas dari beberapa hambatan dalam
pengembangan pertanian di negara-negara berkembang antara lain adalah : pertama,
belum terciptanya efisiensi teknis dan ekonomis usaha pada sektor pertanian sehingga
rendahnya daya saing komoditi pertanian. Kedua, Kondisi politik, ekonomi dan
keamanan yang masih tidak menentu sehingga tidak kondusif bagi para investor untuk
menanamkan modal pada sektor pertanian. Ketiga, kondisi infrastruktur yang buruk
karena pada dasarnya pembangunan tingkat output sektor pertanian sangat tergantung
pada infrastruktur yang baik. Keempat, kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang
relatif rendah. Kelima, kebijakan pemerintah belum berpihak pada sektor pertanian.
Walaupun Revitalisasi Pertanian sudah dicanangkan, tetapi di lapangan masih terlihat
adanya inkonsistensi kebijakan (policy inconsistency).

10
Gejolak kenaikan harga barang-barang pertanian yang tidak menentu, dapat saja
memiliki dampak pengganda (multiplier effects) yang sangat tinggi, maka
dikhawatirkan dalam waktu dekat akan menimbulkan gejolak sosial dan politik yang
tidak remeh. Pemerintah dinilai gagal melakukan langkah antisipatif. Walaupun
Indonesia memiliki potensi sumberdaya pertanian, tetapi hingga saat ini kita masih
mengimpor kedelai sebesar 70 persen, daging sapi 25 persen, jagung 10 persen, kacang
tanah 15 persen, susu 90 persen dan gula 30 persen dari kebutuhan nasional.

Sayangnya, peranan sektor pertanian yang besar belum dapat dimanfaatkan secara
optimal oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Padahal, potensi besar
pertanian berada di negara-negara berkembang sekaligus tingkat kemiskinan terbesar
juga berada di LDC.

Disamping itu, permasalahan sektor pertanian di Indonesia tidak terlepas dari beragam
isu dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian global meliputi isu dan
tantangan dalam perdagangan internasional (peningkatan biaya dan pajak impor,
AFTA/WTO dan globalisasi), investasi sektor swasta asing, permasalahan teknologi
(biaya inovasi teknologi baru mahal dan di Indonesia penerapan teknologi sebagian
besar masih berupa teknologi yang rendah), biaya tidak efisien dan permasalahan rantai
pasok pangan, prasyarat kesehatan pangan, referensi untuk produk impor dan
keterkaitan struktur antar departemen (Gambar 1).

Gambar 1. Isu-isu dan Tantangan yang Dihadapi dalam Pengembangan Agribisnis


Global
Sumber : Gumbira-Said, 2007

TINJAUAN KONSEPTUAL TENTANG DAYA SAING DAN


PENGUKURANNYA

Sebagian pakar mengemukakan bahwa konsep daya saing (competitivness) berpijak


dari konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) dari Ricardo yang
merupakan konsep ekonomi. Namun, sebagian pakar lain mengemukakan bahwa
konsep daya saing (competitiveness) atau keunggulan kompetitif (competitive
11
advangtage) bukan merupakan konsep ekonomi, melainkan konsep politik dan atau
konsep bisnis yang digunakan sebagai dasar bagi banyak analisis strategis untuk
meningkatkan kinerja perusahaan.

Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep


keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam
artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi
sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki
efisiensi secara ekonomi. Keunggulan kompetitif atau (revealed competitive
advantage/RCA) merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi
perekonomian aktual. Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan
ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari
suatu aktivitas. Sumber distorsi yang dapat mengganggu tingkat daya saing antara
lain adalah (1) kebijakan pemerintah (governmet policy), baik yang bersifat
langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi); dan (2) distorsi
pasar, karena adanya ketaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya
adanya monopoli/monopsoni domestik.

Esterhuizen et. al. (2008) mendefinisikan daya saing (competitivness) “as the ability of a
sector, industry or firm to compete successfully in order to achieve sustainable growth
within the global environment while earning at least the opportunity cost of return on
resources employed”. Daya saing didefinisikan sebagai kemampuan suatu sektor,
industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan
yang berkelanjutan didalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah
dari penerimaan sumberdaya yang digunakan.

Dapat terjadi bahwa di tingkat produsen suatu komoditi memiliki keunggulan


komparatif, memiliki biaya oportunitas (opportunity cost) yang relatif rendah,
namun ditingkat konsumen ia tidak memiliki daya saing (keunggulan kompetitif)
karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya transaksi yang tinggi. Atau hal
sebaliknya juga dapat terjadi: karena adanya dukungan (campur tangan) kebijakan
pemerintah, suatu komoditi memiliki daya saing di tingkat konsumen padahal ia
tidak memiliki keunggulan komparatif di tingkat produsen.

Pengukuran status daya saing sektor agribisnis/industri/komoditi dapat menggunakan


Relative Trade Advantage/RTA (Balasa, 1989; Volrath, 1991). Sedangkan analisis
status daya saing terutama dari executive opinion dapat dilakukan dengan Agibusiness
Executive Survey (AES). Sementara itu, untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada
level kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confodence Index
(ACI). Alat ukur daya saing yang juga banyak digunakan adalah Revealed Competitive
Advantage (RCA). Belakangan ini, dengan menggunakan Policy Analysis Matrix
(PAM) akan dihasilkan dua indikator pengukur daya saing, yaitu Private Cost Ratio
(PCR) yang merupakan indikator keunggulan kompetitif yang menunjukkan
kemampuan sistem untuk membayar biaya sumber daya domestik dan tetap kompetitif
pada harga privat dan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator
keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumber daya domestik yang dapat
dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa (Monke and Pearson, 1995).

Michael Porter, Profesor Ilmu Ekonomi dan ahli manajemen strategi  dari Harvard
University (1990; 1998), melakukan studi kasus yang sukses di sepuluh negara maju
atau negara industri (Jerman, Itali, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Swiss, Inggris,

12
Denmark, USA, dan Zwitzerland) dengan melakukan studi pada 100 perusahaan. Porter
mengemukakan bahwa : “we need a new perspective and new tools-an approach to
competitivness that grows directly out of an analysis of internatioanally succesful
industries, without regard to traditional ideology or current intellectual fashion. We
need to know, very simple, what work and why.” Secara ringkas Porter mendefiniskan
daya saing (competitiveness) sebagai suatu kemampuan negara untuk menciptakan nilai
tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk
mempertahankan tingkat kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya.

Porter berusaha untuk mengkaji daya saing (competitiveness) dari perspektif mikro
(perusahaan) ke perspektif daya saing bangsa/negara (national competitive advantage),
yang bukunya dipublikaskan dengan judul “The Competitive Advantage of Nations”.
Intinya adalah pentingnya inovasi dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep
Porter ini dikenal sebagai Diamond of Competitive Advantage (Gambar 1):
1. Faktor conditions, yaitu posisi negara dalam hal penguasaan faktor produksi,
seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, merupakan syarat kecukupan
untuk bersaing dimana industri sudah given.
2. Demand conditions, secara alamiah besarnya permintaan pasar domestik (home-
market) untuk produk-produk dan jasa-jasa industri.
3. Relating and supporting industries, kehadiran industri pemasok (pendukung)
dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan daya
saing industri-industri di pasar internasional.
4. Firms strategy, structure and rivalry, kondisi pemerintahan di dalam suatu
negara bagaimana perusahaan-perusahaan diciptakan, diorganisasi dan di kelola,
sebaik persaingan domestik secara alamiah.

Di samping itu, Porter (1990) juga memasukkan dua variabel di luar model,
yaitu peranan kesempatan dan peranan pemerintah yang turut akan mempengaruhi
model. Dimana peran pemerintah menjadi faktor penting dalam meningkatkan daya
saing.

Chance Firm strategy, structure Goverment


and rivalry

Factor conditions Demand conditions

Goverment Related and supporting Chance


industries

Gambar 2. Porter’s Diamond


Sumber : Porter, 1990

13
Peringkat Daya Saing

World Economic Forum (WEF), sebuah lembaga pemeringkatan daya saing ternama,
mendefinisikan daya saing sebagai himpunan kelembagaan, kebijakan dan faktor-faktor
yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. WEF menggunakan 12 pilar utama
yang mempengaruhi daya saing (Gambar 2). Kedua belas pilar tersebut digolongkan
menjadi tiga kelompok besar penentu daya saing, yakni kelompok persyaratan dasar
(basic requirements) yang terdiri dari pilar kelembagaan (institutions), pilar
infrastruktur (infrastructure), pilar stabilitas makroekonomi (macroeconomic stability),
dan pilar kesehatan dan pendidikan dasar (health dan primary education). Kelompok
kedua disebut sebagai kelompok penambah/peningkat efisiensi (efficiency enhancers)
yang terdiri dari pilar pendidikan tinggi dan pelatihan (higher education and training),
pilar efisiensi pasar barang (goods market efficiency), pilar efisiensi pasar tenaga kerja
(labour market efficiency), pilar efisiensi pasar keuangan (financial market efficiency),
pilar kesiapan teknologi (technological readiness) dan pilar ukuran pasar (market size).
Kelompok ketiga merupakan kelompok inovasi dan kecanggihan (innovation and
sophistication) yang terdiri dari pilar kecanggihan bisnis (business sophistication) dan
pilar inovasi (innovation).

Gambar 3. World Economic Forum: 12 Pillars of Competitiveness

WEF menempatkan Indonesia di urutan 54 dari 131 negara pada tahun 2007-2008
menurun pada tahun 2008-2009 menjadi urutan 55 dari 133 negara yang disurvei. Pada
tahun 2009-2010, Indonesia berada dalam peringkat 51 dari 133 negara. Walaupun
Indonesia lebih baik dari Filipina, tetapi peringkatnya kalah jauh dengan negara-negara
seperti Singapura, China, Malaysia, Thailand dan India (lihat Tabel 9). Lembaga
pemeringk lain, International Institute for Management Development (IMD)
menempatkan Indonesia pada urutan ke-54 dari 55 negara di dunia yang disurvei pada

14
tahun 2007. Tetapi pada tahun 2009, Indonesia digolongkan sebagai negara yang
memiliki prestasi yang sangat baik (the most spectacular movement). Posisi Indonesia
yang pada tahun 2008 menempati ranking 51 dari 55 negara, naik pesat ke posisi 42 dari
57 negara yang disurvei. IMD menggunakan 4 faktor utama dalam mengukur daya
saing, yaitu kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis dan ketersediaan
infrastruktur.

Sementara itu, menurut laporan hasil penelitian yang dikeluarkan oleh International
Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia mengenai “Doing Business Index 2010″,
Indonesia menduduki peringkat 122 dari 183 negara dalam hal kemudahan berbisnis.
Peringkat ini naik dari posisi 129 dari 181 negara pada tahun 2009.

Pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke 129 dalam kemudahan berbisnis.
Peringkat ini lebih baik dari Kamboja (135), Filipina (140) dan Laos (165). Sementara
negara-negara ASEAN lainnya memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia.
Singapura di peringkat 1, Thailand di peringkat 13, Malaysia di peringkat 20, Brunei
Darussalam di peringkaty 88 dan Vietnam di peringkat 92.

Tabel 9. Rangking Global Competitiveness Indeks (GCI) Tahun 2009 dan Perbandingan
Dengan Tahun-Tahun Sebelumnya
 
No Negara GCI 2009-2010 GCI 2008-2009 GCI 2007-2008
Rank Rank Rank
1 Indonesia 54 55 54
2 Thailand 36 34 28
3 Singapore 3 5 7
4 Vietnam 75 70 68
5 Malaysia 24 21 21
6 India 49 50 48
7 China 29 30 34
8 Philippines 87 71 71
Source : World Economic Forum, 2009

Gambar 4 menunjukkan penilaian daya saing Indonesia berdasarkan 12 pilar. Indonesia


termasuk katagori negara transisi menuju negara “Efficiency Driven”. Peringkat daya
saing menunjukkan sejauh mana iklim investasi di suatu negara menarik bagi investor
untuk menanamkan modalnya. Semua pilar yang menentukan daya saing perlu kita
perbaiki secara serempak, holistik, komprehensif dan teritegrasi, tidak parsial dan tidak
egosektoral.

Laporan WEF (2009) juga mengemukakan persoalan-persoalan utama yang dihadapi


oleh Indonesia dalam peningkatan daya saing nasional. Persoalan-persoalan utama
tersebut yang memerlukan prioritas penanganan dalam rangka peningkatan daya saing
antara lain adalah (a) kualitas birokrasi yang tidak efisien, (b) ketersediaan infrastruktur
yang tidak memadai, (c) kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, (d) tingginya
tingkat korupsi dan (e) kesulitan dalam akses permodalan/pembiayaan.

15
Sumber: WEF, 2009

Gambar 4. Daya Saing Indonesia Berdasarkan 12 Pilar

16
Sumber: WEF (2009)

Gambar 5. Persoalan-Persoalan Utama Dalam Peningkatan Daya Saing di Indonesia

Daya saing Indonesia juga dapat digambarkan melalui pendekatan indeks RCA
(revealed comparative advantage). Indeks RCA menunjukkan rasio perbandingan
antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap
pangsa ekspor komoditas tersebut di dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa dari indeks
RCA menggambarkan arah konsentrasi diversifikasi produk ekspor suatu negara.
Berdasarkan indeks RCA, Indonesia masih mengandalkan resource abundance dan
ketergantungan pada sumber daya alam (Tabel 10). Produk-produk yang termasuk
dalam kategori ”food, beverage and tobacco” yang memiliki daya saing tinggi dengan
RCA > 1, antara lain produk perikanan, produk kopi, teh dan rempah-rempah dan
tembakau. Produk-produk yang tergolong dalam ”agricultural raw materials” yang
meiliki daya saing tinggi antara lain crude rubber, cork and woods, pulp and waste
paper, coal, coke and briquette, fixed vegetable fats and oils, animal and vegetable fats
and oils dan crude fertlizer. Produk-produk yang tergolong dalam kategori
”manufacturing” yang memiliki daya saing tinggi adalah fertilizer, cork and wood
manufactures, rubber manufacturing, textiles, furniture, clothing dan footwear. Dari
gambaran di atas terlihat bahwa keunggulan daya saing ekspor Indonesia masih berbasis
kepada produk-produk berbasis sumberdaya alam dan tenaga kerja, belum didasarkan
kepada produk-produk industri yang knowledge-based.

17
Tabel 10. Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia

18
Tabel 10. Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia (lanjutan)

Sumber : Athukorala, 2006

KINERJA DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

Kinerja Daya saing Komoditas Pertanian Utama

Untuk melihat keragaan daya saing beberapa komoditas pertanian seperti padi, palawija,
hortikultura, dan perkebunan, serta peternakan akan dilakukan review, yang telah
dilakukan beberapa peneliti di PSE-KP. Dalam melihat status komoditas pertanian
kebanyakan peneliti menggunakan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif, dengan menggunakan indikator domestic resource cost ratio (DRCR) dan
private cost ratio (PCR). Suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan komparatif
apabila memiliki koefisien DRCR < 1, artinya untuk menghasilkan nilai tambah
keluaran pada harga sosial diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu. Demikian
juga, suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila memiliki
koefisien PCR < 1, artinya untuk menghasilkan nilai tambah keluaran pada harga privat
diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu.

Komoditas Padi

19
Hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif beberapa komoditas pertanian
memberikan beberapa gambaran sebagai berikut. Untuk komoditas padi, meskipun
hingga saat ini tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namun
keunggulan yang dimiliki semakin rendah dan rentan terhadap perubahan eksternal.
Sebagai ilustrasi nilai koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR
(Private Cost Ratio) untuk komoditas padi pada berbagai tipe irigasi dibeberapa
wilayah memberikan gambaran sebagai berikut (Rachman, dkk, 2004): (1) Nilai
koefisen DRCR padi daerah sentra produksi di Pulau Jawa dengan mengambil kasus di
Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat diperoleh nilai kisaran antara 0,78-
0,99; sedangkan di Klaten, Jawa tengah berkisar antara 0,74-0,96; sementara itu di
Kediri dan Ngawi Jawa Timur berkisar antara 0,70-1,00; (2) Nilai koefisen PCR padi
wilayah sentra produksi di Pulau Jawa, untuk Kabupaten Indramayu dan Majalengka,
Jawa Barat diperoleh nilai kisaran antara 0,70-0,88; sedangkan di Klaten, Jawa Tengah
berkisar antara 0,76-0,94; sementara itu di Kediri dan Ngawi Jawa Timur berkisar
antara 0,69-94; (3) Nilai koefisien DRCR padi beberapa wilayah sentra produksi Luar
Jawa, untuk Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berkisar antara 0,56-0,88; sedangkan
di Kabupaten Agam Sumatera Barat berkisar antara 0,70-0,98; dan (4) Nilai koefisien
PCR padi beberapa wilayah sentra produksi Luar Jawa, untuk Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan berkisar antara 0,55-0,87; sedangkan di Kabupaten Agam Sumatera
Barat berkisar antara 0,68-0,79.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif padi
atau beras relatif rendah, keunggulan komparatif tersebut masih dapat diwujudkan
menjadi keunggulan kompetitif karena masih adanya proteksi pemerintah baik berupa
subsidi input maupun melalui kebijakan tarif impor beras.

Kelompok Komoditas Palawija

Untuk komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Hasil
kajian analisis keunggulan komparatif dan kompetitif untuk komoditas kedelai di lahan
sawah pada berbagai tipe irigasi mefefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut
(Rusastra, dkk., 2004) : (1) Nilai koefisen DRCR kedelai di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah diperoleh nilai kisaran antara 0,92-0,99; (2) Nilai koefisen PCR kedelai di
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah berkisar antara 0,94-1,04; (3) Nilai koefisien DRCR
kedelai di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur berkisar antara 0,75-1,15; dan (4) Nilai
koefisien PCR kedelai di Kabupaten Ngawi Jawa Timur berkisar antara 1,00-1,05.

Artinya untuk komoditas kedelai tidak atau kurang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif lagi. Hal inilah yang menjadi penjelas begitu kran impor dibuka secara luas
dan perlindungan kepada petani dilonggarkan, maka petani banyak meninggalkan
komoditas kedelai dan melakukan substitusi ke komoditas lain yang dipandang lebih
menguntungkan, serta meningkatnya volume impor kedelai baik dari Amerika maupun
RRC.

Untuk komoditas jagung memiliki status keunggulan komparatif dan kompetitif yang
relatif baik. Hasil kajian analisis keunggulan komparatif dan kompetitif untuk
komoditas jagung pada berbagai tipe lahan sawah mefefleksikan beberapa hal pokok
sebagai berikut (Rusastra, dkk., 2004) : (1) Nilai koefisen DRCR jagung di Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah diperoleh nilai kisaran antara 0,30-0,50, sedangkan di Kediri, Jawa
Timur berkisar antara 0,37-0,56; (2) Nilai koefisen PCR jagung di Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah berkisar antara 0,52-0,84; sedangkan Kediri, Jawa Timur diperoleh nilai
20
kisaran antara 0,65-0,80; (3) Nilai koefisien DRCR jagung di Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan berkisar antara 0,56-0,65; dan (4) Nilai koefisien PCR jagung di lahan
sawah untuk Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berkisar antara 0,80-0,85.

Untuk komoditas kacang tanah status keunggulan komparatif dan kompetitif yang
cukup baik. Hasil kajian analisis keunggulan komparatif dan kompetitif untuk
komoditas Kacang tanah pada berbagai jenis lahan sawah adalah sebagai berikut
(Rusastra, dkk., 2004) : (1) Nilai koefisen DRCR kacang tanah di lahan sawah pada
berbagai tipe irigasi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah diperoleh nilai kisaran antara
0,59-60; (2) Nilai koefisen PCR kacang tanah di lahan sawah pada berbagai jenis irigasi
di Kabupaten Klaten Jawa Tengah sebesar 0,61; (3) Nilai koefisien DRCR kacang
tanah di lahan sawah pada berbagai tipe irigasi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan
berkisar antara 0,57-0,63; dan (4) Nilai koefisien PCR kacang tanah di lahan sawah
pada berbagai tipe irigasi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berkisar antara 0,57-
0,65.

Artinya untuk komoditas jagung dan kacang tanah cukup memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif meskipun perlindungan terhadap komoditas ini hampir
dilepas. Salah satu faktor penting yang menentukan adalah penanaman jagung benih
bermutu baik jenis hibrida dan komposit yang meluas disertai intensifikasi usahatani.
Adanya tarikan permintaan jagung dan kacang tanah oleh industri pakan ternak dan
industri makanan uga memberikan andil besar.

Kelompok Komoditas Sayuran

Hasil kajian Saptana dkk., (2001) tentang keunggulan kelompok komoditas sayuran
seperti kentang, kubis, bawang merah dan cabai merah, memberikan beberapa
gambaran sebagai berikut : (1) Di Wonosobo (Jawa Tengah) maupun Tanah Karo
(Sumatera Utara) komoditas kentang memiliki keunggulan komparatif yang cukup
tinggi, masing-masing dengan nilai koefisien DRCR 0,31-0,48 dan 0,55-0,64,
sedangkan keunggulan kompetitifnya berbeda di dua lokasi tersebut, untuk Kabupaten
Wonosobo, komoditas kentang masih memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi
(koefisien PCR 0,31), sedang di Tanah Karo tidak mempunyai keunggulan kompetitif
lagi (nilai PCR 1,09); (2) Komoditas kubis, baik di Wonosobo maupun di Tanah Karo,
masih memiliki keunggulan komparatif mesing-masing dengan nilai koefisien DRCR
0,62-0,66 dan 0,62-0,68, namun keunggulan kompetitifnya relatif rendah, masing-
masing dengan nilai koefifisen PCR 0,85-0,88 di Wonosobo dan 0,70-0,97 di tanah
Karo; (3) Komoditas bawang merah, baik di Brebes (Jawa Tengah) maupun Simalungun
(Sumatera Utara) memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi, masing-masing
dengan nilai koefisien DRCR 0,49-0,51, dan juga memiliki keunggulan kompetitif
dengan nilai koefisien PCR 0,40-0,50; dan (4) Cabai merah memberikan gambaran yang
sama, usahatani cabai mera di Brebes, dan di Simalungun memiliki keunggulan
komparatif yang sangat tinggi, masing-masing dengan nilai koefisien DRCR 0,28-0,31
dan memiliki keunggulan kompetitif yang juga tinggi dengan nilai koefisien PCR 0,31-
0,47.

Secara umum hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif untuk komoditas
hortikultura sayuran memiliki keunggulan yang baik, namun faktanya masih sulit
bersaing untuk memasuki pasar ekspor Singapura karena masalah kualitas dan
kontinuitas pasokan. Hal ini sangat terkait dengan belum adanya perencanaan
pengaturan produksi yang disesuaikan dengan permintaan pasar, sistem panen dan
21
penanganan pasca panen yang prima, serta sistem distribusi yang menimbulkan resiko
kerusakan fisik yang tinggi.

Komoditas Perkebunan

Komoditas perkebunan yang akan dikemukakan terbatas pada komoditas tebu dan
tembakau di lahan sawah yang keduanya merupakan tanaman perkebunan rakyat. Hasil
kajian Saptana dkk., (2004) tentang keunggulan komoditas tebu dan tembakau
merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut : (1) Di Kabupaten Kediri dan
Ngawi, Jawa Timur maupun Kabupaten Klaten, Jawa Tengah menunjukkan bahwa
komoditas tebu tidak memiliki keunggulan komparatif dengan nilai koefisien DRCR
masing-masing 1,38-1,57; 1,50-1,68; dan 1,42, sementara itu keunggulan kompetitif
yang dimilki jaga rendah (mendekati angka satu) masing-masing nilai koefisien PCR
sebesar 0,78-0,86; 0,84-0,91; dan 0,82; (2) Komoditas tembakau asepan dan rajangan di
Kabupaten Klaten memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi dengan nilai
koefisien DRCR masing-masing 0,42-0,45 dan 0,65, sementara itu komoditas tembakau
juga masih memiliki keunggulan kompetitif masing-masing dengan nilai PCR 0,62-
0,65; dan 0,55.

Hasil analisis tersebut menunjukkan pada komoditas tebu atau gula tidak memiliki
keunggulan komparatif, namun masih memiliki keunggulan kompetitif karena adanya
proteksi pemerintah melalui kebijakan tarif impor dan pembatasan impor. Kondisi
inilah yang menyebabkan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Jawa Timur selalu menyuarakan
pentingnya perlindungan dari anjloknya harga gula. Sementara itu, komoditas
tembakau masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghasilkan
komoditas tembakau baik asepan maupun rajangan, meskipun petani mendapatkan
kebijakan disinsentif dengan kebijakan bia cukai yang sangat memberatkan petani
tembakau dalam persaingan yang makin tajam ini.

Kelompok Komoditas Peternakan

Komoditas peternakan yang akan dikemukakan terbatas pada komoditas ayam ras
petelur (layer) dan pedaging (broiler). Hasil kajian Saptana dkk., (1999) tentang
keunggulan usahaternak ayam ras petelur dan pedaging di Jawa Barat merefleksikan
beberapa hal pokok sebagai berikut : (1) Usahaternak ayam ras petelur Di Kabupaten
Bogor dan Tasikmalaya, Jawa Barat memiliki keunggulan komparatif, namun
keunggulan yang dimiliki relatif rendah dengan nilai koefisien DRCR 0,72-0,82 dan
0,72-0,78, namun kurang atau tidak memilki keunggulan kompetitif lagi masing-masing
dengan nilai PCR 0,85-1,14; dan (2) Usahaternak ayam ras pedaging Di Kabupaten
Bogor dan Tasikmalaya, Jawa Barat memiliki keunggulan komparatif yang rendah dan
atau tidak memiliki keunggulan komparatif lagi dengan nilai koefisien DRCR 0,83-1,92
dan 0,79-0,88 dan juga kurang atau hampir tidak memilki keunggulan kompetitif lagi
masing-masing dengan nilai PCR 0,92-0,99.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif


komoditas peternakan ayam ras relatif rendah dan kurang atau tidak memiliki
keunggulan kompetitif, terutama semenjak krisis ekonomi, karena sebagian besar bahan
baku pakan adalah impor. Hal ini juga menjadi salah satu faktor penjelas kenapa
berbagai pola kemitraan seperti KINAK SUPER yang ditujukan untuk segmen pasar
ekspor sulit diwujudkan.

22
STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING PERTANIAN

Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas

Esensi dari daya saing suatu industri, perusahaan, atau komoditas adalah efisiensi dan
produktivitas. Sumber pertumbuhan produksi pertanian berasal dari pengembangan luas
areal tanam dan peningkatan produktivitas. Pertumbuhan produksi pertanian melalui
perluasan areal semakin terbatas untuk di Pulau Jawa, namun masih terbuka secara luas
untuk Luar Pulau Jawa. Sementara itu, sumber pertumbuhan produktivitas berbagai
komoditas pertanian masih ada ruang yang cukup luas baik di Jawa maupun Luar Pulau
Jawa. Hal tersebut dapat ditunjukkan masih tingginya kesenjangan produktivitas
potensial dan produktivitas aktualnya serta kesenjangan produktivitas antar lokasi atau
wilayah dalam agroekologi yang sama.

Sumber pertumbuhan produktivitas, antara lain adalah (Coelli et. al., 1998): perubahan
teknologi (tehnical change, TC) dan efisiensi teknis (tehnical efficiency, TE), dan skala
usaha (economic of scale). Hampir pada semua komoditas pertanian sumber
pertumbuhan produktivitas dari ke tiga aspek tersebut masih terbuka secara luas dan
realisasinya melalui revitalisasi pertanian sangat relefan.

Investasi Faktor Penting Dalam Meningkatkan Daya Saing Pertanian

Iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu
yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha
atau investasi secara produktif dan berkembang. Beberapa faktor yang sangat
berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia adalah tidak hanya
menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi
infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan),
berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu
ketenagakerjaan), regulasi, perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang
diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian
dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
keuntungan kegiatan investasi, hak milik (property rights) mulai dari tanah sampai
kontrak dan penegakan hukum (law enforcement).

Investasi di Indonesia selama ini dinilai tidak efisien karena tingkat incremental capital
output ratio (ICOR) atau perbandingan antara kebutuhan investasi dan pertumbuhan
output sangat tinggi. Akibatnya investasi yang ditanamkan tidak sebanding dengan hasil
yang dicapai. Salah satu penyebab ICOR kita yang cukup tinggi adalah besarnya tingkat
kebocoran dalam investasi akibat korupsi atau ekonomi biaya tinggi.

Menurut WDR (World Development Report), Indonesia dikelompokkan sebagai


transforming countries. Semakin tinggi pendapatan per kapita, kontribusi relatif sektor
pertanian terhadap GDP dan juga sumbangan relatif pertumbuhan sektor pertanian
terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan semakin rendah. Sebagai
contoh di kelompok negara ABC, TC dan dan UC, rata-rata sumbangan sektor pertanian
berturut-turut sebesar 31 persen, 15 persen dan 6 persen. Sumbangan pertumbuhan
sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di masing-masing
kelompok negara adalah 27 persen (ABC), 8 persen (TC), dan 4 persen (UC). Fenomena

23
ini disebut sebagai paradoks investasi di bidang pertanian untuk mempercepat terjadinya
transformasi struktural (Paradox of investing in agriculture to foster structural
transformation).

Indonesia, sebagai negara transforming countries dicirikan bahwa sebagian besar petani
menggarap kurang dari setengah hektar lahan dan hasil panen tradisional hanya
menyediakan sedikit peluang penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan.
Strategi baru yang seyogyanya diadopsi oleh Pemerintah kita adalah perubahan orientasi
pembangunan pertanian yang selama ini terfokus pada tanaman bernilai rendah (low-
value commodities) ke yang bernilai tinggi (high-value commodities), dari orientasi
pasar domestik ke pasar internasional, dari pertanian on farm ke agribisnis dan
agroindustri di pedesaan yang menciptakan nilai tambah (value added) yang lebih
tinggi. Kehidupan para petani tradisional dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
produktivitas yang membutuhkan investasi besar dalam perbaikan infrastruktur
pertanian, pengelolaan lahan dan air, serta penelitian dan pengembangan pertanian. Hal
ini juga membutuhkan peningkatan iklim investasi untuk sektor pertanian dan
agribisnis.

Menarik pula untuk dikemukakan di sini bahwa semakin maju suatu negara (semakin
tinggi pendapatan per kapita-nya), maka sumbangan relatif sektor agribisnis (agro-
manufacturing dan agro-services) terhadap GDP juga semakin besar, sementara
sumbangan relatif sektor pertanian terhadap GDP semakin kecil. Ke depan, Indonesia
perlu meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor, dengan lebih banyak mengekspor
produk-produk pertanian olahannya, dan ekspor komoditas pertanian tidak lagi
didominasi bahan baku. Gambar 1 memperlihatkan arah perkembangan agribisnis yang
harus diikuti Indonesia. Gambar 5, juga memperlihatkan potensi dan arah investasi
pertanian ke depan. Indonesia memiliki peluang yang sangat besar (room for
improvement) untuk meningkatkan kinerja agribisnis-nya.

Gambar 5. Kontribusi Relatif Pertanian dan Agribisnis (agro-industry


dan agro-services) seiring dengan Peningkatan Pendapatan.

24
Laporan Bank Dunia tersebut sebenarnya mempertegas kesadaran kita bahwa sektor
pertanian dapat dijadikan sektor andalan perekonomian bagi Indonesia yang kaya
dengan sumberdaya alam. Rekomendasi Bank Dunia juga sejalan dengan keyakinan kita
selama ini bahwa Indonesia perlu merevitalisasi pertanian untuk menciptakan
pembangunan yang menciptakan pertumbuhan sekaligus pemerataan (growth with
equity). Pertumbuhan pertanian yang berkelanjutan membutuhkan dukungan investasi
yang lebih baik dan lebih besar. Selama ini pembangunan pertanian kita tidak ditopang
dengan tingkat investasi yang memadai (under investment). Bahkan investasi di bidang
pertanian yang sangat terbatas tersebut dialokasikan secara tidak benar pula (mis-
investment).

Transformasi Pertanian

Pembangunan pertanian yang berkelanjutan dapat diwujudkan melalui peningkatan daya


saing sektor pertanian, baik on-farm maupun off-farm. Tentunya peningkatan daya saing
sektor pertanian harus dapat menyentuh hingga ke tingkat petani. Pembangunan
pertanian yang berdaya saing dapat dilakukan dengan menerapkan transformasi
pertanian itu sendiri. Hal ini disebabkan karena pembangunan pertanian pada dasarnya
adalah sebuah proses transformasi pertanian, yaitu suatu proses perubahan, bukan hanya
pergeseran sektoral (primer-sekunder-tersier atau pertanian-industri-jasa), namun juga
perubahan dinamika sosial ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Sebagai negara
agraris, sebagian besar penduduk pedesaan di Indonesia menggantungkan hidupnya dari
bidang pertanian. Sekitar 71 persen tenaga kerja di Indonesia berada di sektor pertanian.
Secara bertahap tekanan yang berat di sektor pertanian harus dikurangi melalui
transformasi yang benar.

Kata transformasi diambil dari terjemahan kata transformation yang dapat diartikan
sebagai proses perubahan. Dalam arti yang lebih luas, transformasi mencakup bukan
saja perubahan pada bentuk luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan
struktur atau karakteristik perekonomian suatu masyarakat. Transformasi pertanian atau
agribisnis di pedesaan, dapat diartikan sebagai perubahan bentuk, ciri, struktur, dan
kemampuan sistem pertanian yang dapat menggairahkan, menumbuhkan,
mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pedesaan.

Transformasi masyarakat pedesaan dapat dipandang sebagai proses modernisasi atau


pembangunan. Dalam pembangunan, sektor pertanian atau kegiatan agribisnis dapat
dipandang sebagai leading sector-nya. Pranadji (1995), menjelaskan tentang
transformasi ekonomi pertanian yang berciri budaya tradisional/subsisten ke yang
berciri budaya modern/komersial. Transformasi pertanian di pedesaan merupakan
respons dan antisipasi terhadap tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik, dan
globalisasi pasar.

Penerapan transformasi pola pertanian tradisional harus menyadari bahwa upaya


menyesuaikan struktur pertanian dalam rangka memenuhi tuntutan atau permintaan
bahan pangan yang semakin meningkat harus meliputi perubahan-perubahan yang
mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat pedesaan.
Maka dari itu, faktor-faktor yang dibutuhkan “to get agriculture moving” antara lain
adalah kombinasi antara teknologi yang tepat, kelembagaan pedesaan yang fleksibel,
dan orientasi pasar yang memungkinkan petani memperoleh imbalan yang memadai
dari upaya yang telah dikeluarkannya.

25
Transformasi pertanian tentunya berkaitan dengan peningkatkan produktivitas
pertanian, penggunaan sumber daya yang dihasilkan untuk pembangunan di luar sektor
pertanian, serta integrasi pertanian dengan ekonomi nasional melalui pengembangan
infrastruktur dan akses pasar. Transformasi pertanian diterapkan tidak lain untuk
mewujudkan sektor pertanian dan pedesaan yang maju, modern, dan mampu memberi
kesejahteraan bagi para pelakunya. Tentunya penerapan transformasi pertanian
diperlukan upaya-upaya yang terstruktur dan terukur. Berbagai upaya tersebut tentunya
perlu dipetakan dalam dimensi waktu menurut prioritas dan kepentingannya. Ada
upaya-upaya yang memang perlu dilakukan secara terus-menerus (rutin), dan ada upaya
yang harus selesai pada kurun waktu tertentu. Upaya-upaya jangka pendek perlu
diidentifikasi untuk diletakkan secara harmonis menjadi kesatuan dengan upaya-upaya
yang bersifat jangka menengah dan jangka panjang, sehingga terlihat kesinambungan
antara masa kini dan masa depan.

Upaya peningkatan kesejahteraan petani melalui transformasi pertanian dapat


diringkaskan ke dalam dua kelompok agenda besar, yaitu: (a) perbaikan dan
peningkatan penguasaan petani terhadap aset atau tanah pertanian, dan (b) peningkatan
nilai produk yang dihasilkan per satuan aset yang dikuasai.

Untuk perbaikan dan penigkatan penguasaan petani terhadap aset pertanian, maka
agenda ke depan yang dapat dilakukan antara lain adalah:

1. Secara konsisten melaksanakan reforma agraria yang memungkinkan petani


dapat memperoleh akses yang lebih luas terhadap sumberdaya lahan dan
pertanian.
2. Memperluas kesempatan kerja di luar usahatani, melalui pengembangan
agroindustri di pedesaan yang berbasiskan sumberdaya lokal serta
pengembangan industri yang bersifat padat tenaga kerja (labor intensive) yang
mampu menyerap kelebihan tenaga kerja sektor pertanian.
3. Memperbaiki akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan baik untuk
investasi maupun modal kerja.
4. Memperbaiki prasarana dan sarana pertanian dan pedesaan yang memungkinkan
lahan-lahan yang selama ini tidak produktif (terbengkalai) dapat diusahakan oleh
petani.
5. Meningkatkan pendidikan dan kesehatan anggota rumah-tangga petani, sehingga
keluarga tani mampu mengadopsi teknologi yang lebih menguntungkan, dan
mampu memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk berkompetisi dan
memperoleh pendapatan dari luar usahatani ataupun luar pertanian.

Sedangkan peningkatan nilai produk dari setiap satuan aset yang digunakan dapat
ditempuh dengan perbaikan produktivitas, perbaikan kualitas, dan peningkatan harga
per satuan produk yang diterima petani. Agenda yang dapat dilakukan antara lain
adalah:

1. Memperbaiki dan meningkatkan teknologi di setiap tahapan produksi, yang


memungkinkan peningkatan kuantitas dan kualitas produksi per satuan asset
ataupun per satuan tenaga kerja.
2. Memperkuat kelembagaan yang memungkinkan terjadinya transfer teknologi
dengan benar dan cepat.
3. Memperbaiki kualitas dan meningkatkan kuantitas ketersediaan sarana produksi
pertanian.

26
4. Memperbaiki dan meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi pertanian
dan akses pada pembiayaan untuk modal kerja.
5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pertanian dan pedesaan.
6. Mengurangi resiko harga yang dihadapi petani, baik harga output maupun input
pertanian melalui kebijakan yang tepat.
7. Meningkatkan pendidikan dan kesehatan bagi petani sehingga petani mampu
memanfaatkan peluang-peluang yang memungkinkan untuk meningkatkan nilai
produksi per satuan aset yang diusahakannya.
8. Menghapuskan berbagai pungutan yang membebani produk pertanian, terutama
pungutan liar ataupun yang menurunkan daya saing.
9. Meningkatkan kerjasama antar daerah otonom dalam mengelola sumberdaya
alam.
10. Melindungi petani dari persaingan yang tidak sehat dan tidak adil. Berbagai
program dan kebijakan tersebut akan sulit memperoleh hasil yang memuaskan
apabila lingkungan ekonomi yang bersifat makro tidak mendukung. Kebijakan
moneter (nilai tukar, suku bunga, maupun inflasi) dan kebijakan fiskal (pajak,
tarif, maupun subsidi) perlu memperhitungkan dampaknya bagi pembangunan
pertanian dan pedesaan.

Pentingnya Kebijakan yang Kondusif Dalam Meningkatkan Daya Saing Pertanian

Berdasarkan masalah dan penyebab masalah yang dihadapi dalam


pengembangan usaha agribisnis (mencakup pertanian skala kecil) yang berdaya saing,
maka disusun pokok-pokok kebijakan sebagai berikut:

1. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi distorsi pasar, baik


distorsi karena ketidak sempurnaan pasar maupun distorsi kebijakan pemerintah
baik pusat maupun daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
2. Kebijakan-kebijakan yang berpihak pada petani baik kebijakan bersifat insentif
(perlindungan melalui kebijakan tarif) maupun domestic support berupa subsidi
input, pengembangan infrastruktur pertanian di perdesaan, infrastruktur
pemasaran, penelitian dan pengembangan, serta kemudahan ekspor.
3. Peningkatan akses pelaku agribisnis terhadap pembiayaan usaha agribisnis.
Salah satu hambatan pokok petani Indonesia dalam mengembangkan usaha
pertanian yang berdaya saing adalah terbatasnya modal dan lemahnya akses
terhadap sumber permodalan. Dalam upaya mengatasi permodalan petani, perlu
dikembangkan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK), serta mewujudkan
lembaga keuangan mikro di pedesaan yang tidak mensyaratkan adanya
collateral, dengan memanfaatkan sumber dana yang berasal dari program-
program pemerintah. Hal ini juga harus disertai dengan kegiatan pengembangan
kelembagaan petani, dan peningkatan kualitas SDM petani/kelompok usaha.
4. Peningkatan akses terhadap informasi pasar. Pemasaran produk pertanian
merupakan aspek penting dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing.
Dengan demikian, guna mengembangkan usaha agribisnis perlu ditempuh
kegiatan-kegiatan yang mampu mendorong peningkatan pemasaran produk-
produk pertanian baik dalam bentuk bahan mentah/segar maupun dalam bentuk
hasil olahan.

27
5. Mempercepat penyampaian inovasi teknologi pertanian ke pelaku agribisnis.
Pengembangan agribisnis perlu didukung oleh teknologi, sehingga diseminasi
inovasi teknologi harus dipercepat agar dapat memberikan hasil yang optimal.
6. Peningkatan kapasitas usaha pelaku agribisnis dan mutu produk. Untuk
mengurangi kehilangan, meningkatkan mutu hasil dan nilai tambah produk
pertanian serta penanganan pemasaran perlu dikembangkan sarana penanganan
pasca panen dan pengolahan hasil, pembinaan-pembinaan dan pelatihan-
pelatihan bagi pelaku usaha agribisnis/kelompok usaha.
7. Penguatan lembaga penyuluh pertanian. Dalam rangka revitaslisasi penyuluhan,
kegiatan diarahkan pada pengembangan dan pemantaan Lembaga Penyuluhan,
pelatihan dan pendampingan, penumbuhan tenaga penyuluh kontrak/swakarsa,
serta perbaikan metodologi penyuluhan di era otonomi daerah. Di tingkat
perdesaan perlu dikembangkan “village centre for agribussines” yang
merupakan pusat pelayanan informasi dan teknologi.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor strategis dalam perekonomian
Indonesia, yang ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap PDB nasional, dimana
pada lima tahun terakhir memberikan kontribusi sebesar (13–14 %) dari nilai total
PDB Nasional. Angka tersebut relatif besar, karena kontribusi sektor pertanian
tersebut menempati urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan (27–28 %)
dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (14–16 %). Bahkan pada tahun 2008
menempati urutan kedua setelah sektor industri pengolahan. Sementara itu, peran
sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 42,61 juta orang dan
mengalami peningkatan menjadi 43,03 juta orang pada bulan Februari tahun 2009.
Penyerapan tenaga kerja ini memempati urutan pertama dibandingkan sektor-
sektor lainnya. Besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga
kerja tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian masih bersifat padat karya
(labor intensive) dan berimplikasi pada rendahnya produktivitas sektor pertanian.

2. Peranan baru sektor pertanian sekarang ini dapat diletakkan dalam kerangka ”3 F
contribution in the economy”, yaitu food (pangan), feed (pakan) dan fuel (bahan
bakar). Peranan pertanian kaitannya dengan ”food” adalah sektor pertanian
menjadi leading sector dalam pembangunan ketahanan pangan. Artinya peranan
sektor pertanian sangat menentukan terwujudnya sumberdaya manusia (SDM)
yang berkualitas. Kaitannya dengan “feed”, sektor pertanian memiliki peranan
sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak. Selama beberapa tahun
terakhir ini, jagung digunakan sebagai penghasil sumber energi terbarukan
(renewable) untuk keperluan bahan bakar (fuel). Hal ini menunjukkan bahwa
sektor pertanian telah berperan sebagai penghasil energi, biofuel.

3. Daya saing (competitiveness) dapat ditinjau dari banyak perspektif. Daya


saing dapat diartikan dalam perspektif konsep keunggulan komparatif
(comparative advantage) dari Ricardo yang merupakan konsep ekonomi.
Sementara itu, daya saing juga dapat diartikan dalam perspektif keunggulan
kompetitif (competitive advangtage). Konsep keunggulan kompetitif ini bukan
merupakan konsep ekonomi semata, tetapi juga merupakan konsep politik
dan atau konsep bisnis yang digunakan sebagai dasar bagi banyak analisis

28
srategis untuk meningkatkan kinerja industri. Perkembangannya selanjutnya
para ekonom mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil kombinasi
dari adanya distorsi pasar dan keunggulan komparatif (comparartive
advangtage). Daya saing didefinisikan sebagai kemampuan suatu sektor, industri,
atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang
berkelanjutan didalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah
dari penerimaan sumberdaya yang digunakan.

4. Hasil kajian empiris Michael Porter melalui studi di sepuluh negara industri pada
100 perusahaan menyimpulkan daya saing (competitiveness) didefinisikan sebagai
suatu kemampuan negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan
melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan tingkat
kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Daya saing industri,
perusahaan, atau bangsa ditentukan oleh empat faktor utama, yang mencakup : (a)
Faktor conditions; (b) Demand conditions;(c) Relating and supporting industries;
dan (d) Firms strategy, structure and rivalry. Intinya adalah pentingnya inovasi
dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung industri-industri
yang memiliki keunggulan kompetitif.

5. WEF mengukur daya saing berdasarkan dua belas pilar, yang terbagi dalam tiga
kelompok. Kelompok pertama, yang merupakan persyaratan dasar (basic
requirements) terdiri dari pilar kelembagaan (institutions), pilar infrastruktur
(infrastructure), pilar stabilitas makroekonomi (macroeconomic stability), dan
pilar kesehatan dan pendidikan dasar (health dan primary education). Kelompok
kedua disebut sebagai kelompok penambah/peningkat efisiensi (efficiency
enhancers) terdiri dari pilar pendidikan tinggi dan pelatihan (higher education and
training), pilar efisiensi pasar barang (goods market efficiency), pilar efisiensi
pasar tenaga kerja (labour market efficiency), pilar efisiensi pasar keuangan
(financial market efficiency), pilar kesiapan teknologi (technological readiness)
dan pilar ukuran pasar (market size). Kelompok ketiga merupakan kelompok
inovasi dan kecanggihan (innovation and sophistication) yang terdiri dari pilar
kecanggihan bisnis (business sophistication) dan pilar inovasi (innovation). WEF
menempatkan Indonesia di urutan 54 dari 131 negara pada tahun 2007-2008
menurun pada tahun 2008-2009 menjadi urutan 55 dari 134 negara yang disurvei.
Pada tahun 2009-2010, Indonesia menempati posisi yang ke 54 dari 133 negara
yang disurvei. Walaupun Indonesia lebih baik dari Filipina, tetapi peringkatnya
kalah jauh dengan negara-negara seperti Singapura, China, Malaysia, Thailand
dan India.

6. Secara umum status daya saing komoditas pertanian ditinjau dari keunggulan
komparatif (DRCR) maupun keunggulan kompetitif (PCR) menunjukkan kondisi
yang cukup mengkawatirkan terutama untuk komoditas padi (beras), kedelai, dan
tebu (gula) di mana nilai DRCR dan PCR mendekati satu (0,80-1,00), beberapa
kasus > 1. Sedangkan untuk komoditas jagung dan kacang tanah, serta peternakan
memiliki daya saing yang moderat di mana nilai koefisien DRCR dan PCR antara
0,50-70. Sementara itu, untuk produk-produk hortikultura (sayuran) dan tembakau
memiliki daya saing yang cukup tinggi dengan DRCR dan PCR jauh (0,30-0,60).

7. Berdasarkan indeks RCA, Indonesia masih mengandalkan resource abundance


dan ketergantungan pada sumber daya alam. Industri agro yang memiliki RCA >

29
1, antara lain produk perikanan, produk kopi, teh dan rempah-rempah, tembakau
dan produk minyak nabati dan hewani. Sedangkan, komoditas industri manufaktur
Indonesia yang meningkat pangsa pasarnya di dunia masih didominasi produk
berteknologi sederhana seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu dan gabus.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa keunggulan daya saing ekspor Indonesia
belum didasarkan kepada produk-produk industri yang knowledge-based.

8. Hasil analisis keunggulan komparatif tersebut merupakan bahan yang


diperlukan dalam penyusunan peta pewilayahan komoditi. Peta tersebut
berisikan informasi tentang informasi potensi wilayah, jenis dan jumlah
komoditas yang perlu diproduksi, peta pemasaran, dan neraca keseimbangan
komoditi. Untuk menyusun peta seperti itu dan mendukung perencanaan
pengemabangan komoditi secara umum, diperlukan kajian terus menerus
tentang dinamika dari pasar suatu komoditi. Fungsi ini perlu dikembangkan di
tiap Direktorat Jenderal Teknis terkait, kerjasama dengan pihak pengusaha
yang berkepentingan dengan pengembangan komoditi tertentu.

9. Peningkatkan daya saing pertanian dari perspektif mikro dapat dilakukan dengan
peningkatan efisiensi dan produktivitas, mendorong investasi, mendorong
transformasi pertanian serta melalui kebijakan kondusif bagi pengembangan
komoditas pertanian. Sementara itu, mengacu pada perspektif makro Porter
peningkatan daya saing pertanian dapat dilakukan melalui beberapa strategi yang
mengfokuskan pada lima faktor, yaitu pertama, factor (input) conditions, yang
mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi, seperti tenaga kerja,
sumber daya alam, modal dan infrastruktur; kedua, demand conditions, mengacu
pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan menjadi elemen penting
dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan kemampuan
untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan
barang dan jasa berkualitas serta adanya kedekatan hubungan antara perusahan
dan pelanggan; ketiga, related and supporting industries, mengacu pada
tersedianya serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung
dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada
peningkatan daya saing; keempat, firm strategy, structure and rivalry, mengacu
pada strategi dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas
persaingan pada industri tertentu; dan kelima, regional governance, dimana
peran pemerintah menjadi faktor penting dalam meningkatkan daya saing. Peran
pemerintah bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang
dimiliki memberikan fasilitasi, katalis, dan tatanan bagi sektor pertanian.

10. Peran pemerintah dalam meningkatkan daya saing pertanian harus mengarah pada
penciptaan iklim usaha yang kondusif sehingga mampu merangsang investor baik
domestik maupun asing. Hal ini dapat dilakukan dengan menjamin keamanan dan
dukungan infrastruktur penunjang lainnya seperti infrastuktur publik (jalan, sarana
dan prasarana produksi lainnya, air, listrik, dan infrastruktur penelitian (R&D))
yang mendukung investasi. Pembangunan infrastruktur dapat dianggap sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru. Oleh
karena itu, summit pembangunan infrastruktur jangan hanya terbatas membangun
jalan bebas hambatan atau pelabuhan, tetapi harus difokuskan kepada
pembangunan infrastruktur pertanian.

30
11. Iklim yang kondusif di bidang pertanian juga tidak terlepas dari sisi pemerintahan
(birokrasi) dengan mencanangkan program reformasi birokrasi agar birokrasi
dapat melayani kepentingan bisnis dengan biaya yang tidak berlebihan dan
mengedepankan prinsip-prinsip Good Governance (transparancy, accountability,
fairness and responsibility). Kebijakan-kebijakan pelayanan, seperti prosedur
perizinan, prosedur investasi, prosedur ekspor, dilakukan dengan tiga prinsip
dasar cepat, mudah, dan murah.

DAFTAR PUSTAKA

Athukorala, P. 2006. Post-Crisis Export Performance: The Indonesian Experience in


Regional Perspective, Bulletin of Indonesian Economic Studies 42(2), 177 – 211.

BPS. 2004-2009. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistis Indonesia. Jakarta.

BPS. 2009. Neraca Ekspor-Impor. Badan Pusat Statistis Indonesia. Jakarta.

Coelli, T.J., D.S.P. Rao and G.E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and
Productivity Analysis, Kluwer-Nijhoff, Boston.

Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.

Departemen Pertanian. 2004-2007. Statistik Pertanian 2004-2008. Departemen


Pertanian. Jakarta.

Esterhuizen, Dirk, J. V. Royen and Luc D’Haese. 2008. An Evaluation of The


Competitivness Sector in South Africa. Advanced in Competitiveness Research
16(1-2), 31-46.

IMD (International Institute for Management Development). 2009. IMD World


Competitiveness Year Book 2009. IMD, Geneve.

Krisnamurthi, Bayu. 2006. Revitalisasi Pertanian : Sebuah Konsekuensi Sejarah dan


Tuntutan Masa Depan. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit
Buku Kompas. Jakarta.

Krisnamurthi, Bayu. 2009. Pengembangan Agribisnis Buah Indonesia. Bunga Rampai


Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Monke, Eric A. and Scott R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for
Agricultural Development. Cornel University Press. Ithaca and London.

Pranadji,, T. 1999. Perekayaan Sosio – Budaya Dalam Percepatan Tranformasi


Masyarakat Pedesaan Secara Berkelanjutan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.

31
Porter, M.E. (1990, 1998). The Competitive Advantage of Nations. London.
Macmillan.

Putri, E. I. K. 2009. Ancaman dan Solusi atas Krisis Pangan, Energi, dan Air serta
Peran Keilmuan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dalam Mengatasi Krisis
Tersebut. Orange Book. Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam
Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor. IPB Press.

Rachman, B., P. Simatupang dan T. Sudaryanto. 2004. Efisiensi dan Daya saing
Usahatani Padi dalam Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa
Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Rusastra I.W. B. Rachman, dan S. Friyatno. 2004. Efisiensi dan Daya saing Usahatani
Palawija dalam Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas
Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Gumbira-Said, E. 2007. Prospek dan Tantangan Agribisnis dalam Pasar Global.


Makalah disampaikan pada Manager Conference Minamas Plantation. Hotel Ritz
Carlton, Jakarta. 27 Oktober 2007.

Saptana, Sumaryanto, M. Siregar, H. Mayrowani, I. Sadikin, dan S. Friyatno. 2001.


Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap


Profitabilitas dan Daya saing Sistem Komoditi Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis
S2. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian. Bogor.

Saptana, S. Friyatno dan T. B. H. Purwantini. 2004. Efisisen dan Daya saing Usahatani
Tebu dan Tembakau dalam Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa
Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Simatupang, P. 1991. The Conception of Domestic Resource Cost and Net Economic
Benefit for Comparative Advantage Analysis, Agribusiness Division Working
Paper No. 2/91, Centre for Agro-Socioeconomic Research. Bogor.

Sudaryanto, T dan P. Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis: Suatu


Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis
di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

World Economic Forum. 2009. The Global Competitiveness Report 2009-2010. World
Economic Forum. Geneve.

32

Anda mungkin juga menyukai