Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan dapat

melahirkan bayi yang sempurna. Seperti yang telah diketahui, ada dua cara

persalinan yaitu persalinan pervaginam yang lebih dikenal dengan persalinan

normal atau alami dan persalinan dengan operasi caesar dapat juga disebut

dengan bedah sesarea atau sectio caesarea , yaitu bayi dikeluarkan lewat

pembedahan perut (Partilah, 2014).

Pertolongan operasi caesar merupakan tindakan dengan tujuan untuk

menyelamatkan ibu maupun bayi (Manuaba, 2013). Tiap-tiap tindakan

pembedahan harus didasarkan atas indikasi, yakni pertimbangan-pertimbangan

yang menentukan bahwa tindakan perlu dilakukan demi kepentingan ibu dan

janin. Sudah tentu kepentingan ibu dan janin harus sama-sama diperhatikan, akan

tetapi dalam keadaan terpaksa kadang-kadang seorang dokter terpaksa lebih

memperhatikan kepentingan ibu daripada kepentingan janinnya (Saifuddin ,

2014).

Persalinan caesar tidak ditujukan hanya demi kenyamanan dan kepentingan

dokter atau orang tua atau alasan lain yang sifatnya nonmedis. Operasi cesar

harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan, maka

logikanya kemajuan teknologi kedokteran akan membawa perubahan pada

1
jumlah antara Angka Kematian Ibu (AKI) yang melahirkan dan angka ibu yang

harus menjalani operasi caesar, yaitu semakin kecil tahun ke tahun.

Menurut SDKI pada tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia

359 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2015 baru mencapai 161 per

100.000 kelahiran hidup,sementara target MDG’s Indonesia adalah 102 per

100.000 kelahiran hidup. Survei Nasional pada tahun 2009, 921.000 persalinan

dengan operasi cesar dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8% dari seluruh

persalinan.

Indikasi yang menambah tingginya angka persalinan seksio sesaria adalah

tindakan seksio sesaria pada letak sungsang, seksio sesaria berualang, kehamilan

prematuritas, kehamilan dengan resiko tinggi, pada kehamilan kembar,

kehamilan dengan pre-eklamsia dan eklampsia, konsep well born baby dan well

health mother dengan orientasi persalinan. (Manuaba , 2013).

Adapun masalah keperawatan yang muncul menurut NANDA 2012 pada

post sectio caesarea salah satunya adalah nyeri akut berhubungan dengan agen

cedera (misal biologis, zat kimia, fisik dan psikologis). Penatalaksanaan nyeri

menurut NIC 2012 adalah manajemen nyeri, kelola analgetik, terapi relaksasi,

dan manajemen lingkungan.

Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan Masalah Nyeri

Akut di Ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu.

2
B. Batasan Masalah

Masalah pada kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada Pasien Post

Sectio Caesarea dengan masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura

Palu.

C. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan

masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu ?

D. Tujuan

1. Tujuan umum

Melaksanakan asuhan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea

dengan masalah nyeri akut di ruangan Kasuari RSU Anutapura Palu.

2. Tujuan khusus

a. Melakukan pengkajian pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan

masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu

b. Menetapkan diagnosa keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea

dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu

c. Menyusun perencanaan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea

dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada Pasien Post Sectio Caesarea

dengan masalah nyeri akut di RSU Anutapura Palu

3
e. Melakukan evaluasi pada Pasien Post Sectio Caesarea dengan masalah

nyeri akut di RSU Anutapura Palu

E. Manfaat Penelitian

1. Tempat Penelitian

Membantu dalam perencanaan dan penatalaksanaan pengendalian nyeri

pada Pasien Post Sectio Caesarea

2. Perkembangan ilmu keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan untuk

perkembangan ilmu keperawatan

3. Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan atau

literatur sehingga dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Masa Nifas

1. Pengertian

Masa nifas atau purperium adalah dimulai sejak 1 jam setelah

lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu. Persalinan

pasca persalinan harus terselenggara pada masa itu untuk memenuhi

kebutuhan ibu dan bayi, yang meliputi upaya pencegahan, deteksi dini dan

pengobatan komplikasi dan penyakit yang mungkin terjadi, serta

penyediaan pelayanan pemberian ASI, cara menjarangkan kehamilan,

imunisasi, dan nutrisi bagi ibu. (Sarwono, 2009 )

Masa nifas (Puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan

berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum

hamilyang berlangsungselama kira-kira 6 minggu, atau masa nifas adalah

masa yang dimulai dari beberapa jam setelah lahir plasenta sampai 6

minggu berikutnya. (Rahayu dkk, 2012)

Puerperium adalah periode pemulihan dari perubahan anatomis dan

fisiologis yang terjadi selama kehamilan. Puerperium (masa nifas) atau

periode pasca persalinan umumnya berlangsung selama 6 – 12 minggu

setelah kelahiran anak. (Serri, 2009)

5
2. Tujuan Asuhan Masa Nifas

Pada masa nifas ini terjadi perubahan-perubahan fisik maupun psikis

berupa perubahan organ reproduksi, terjadinya proses laktasi, terbentuknya

hubungan antara orang tua dan bayi dengan memberi dukungan. Atas dasar

tersebut perlu dilakukan suatu pendekatan antara ibu dan keluarga dalam

manajemen keperawatan.

Adapun tujuan asuhan masa nifas adalah sebagai berikut :

a. Menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun psikis

b. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah,

mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.

c. Memberikan pendidikankesehatan tentang perawatan kesehatan diri,

nutrisi, KB, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayi dan perawatan

bayi sehat.

d. Memberikan pelayanan KB.

3. Tahapan masa nifas

Nifas dibagi dalam 3 periode :

a. Puerperium dini

Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan lamanya

bisa sampai 40 hari

6
b. Puerperium intermedial

Kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia, lamanya 6-8 minggu.

c. Remote puerperium

Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila

selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi bermingu-

minggu, berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun.

4. Perubahan masa nifas

Pada masa nifas terjadi perubahan fisiologis yaitu :

a. Involusi uterus

Involusi uteri adalah proses uterus kembali kekondisi sebelum hamil.

Uterus bisaanya berada di organ pelvic pada hari ke-10 setelah

persalinan. Involusi uterus lebih lambat pada multipara.

Penurunan ukuran uterus dipengaruhi oleh proses autolysis protein

intraseluler dan sitoplasma miometrium. Proses involusi uterus :

1) Autolysis

Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi didalam

otot uterin.

2) Terdapat polymorph phagolitik dan macrophages didalam sistem

vaskuler dan sistem lymphatic.

7
3) Efek oksitoksin

Penyebab kontraksi dan retraksi otot rahim dan sehingga akan

mengompres pembuluh darah akan mengurangi suplai darah ke

uterus, proses ini akan mengakibatkan ukuran rahim semakin

berkurang. (Buku Ajar Masa Nifas Dan Menyusui, 2012)

Tabel 2.1 Tinggi fundus uteri dan involusi uteri

Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus


Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gr
7 hari (1 minggu) Pertengahan pusat dan simpisis 500 gr
14 hari (2 minggu) Tak teraba 350 gr
42 hari (6 minggu) Sebesar hamil 2 minggu 50 gr
56 hari (8 minggu) Normal 30 gr
Sumber : (Rahayu dkk, 2012)

b. Pengeluaran lochea

Lochea adalah cairan yang keluar dari liang vagina pada masa nifas.

Cairan ini dapat berupa darah atau sisa lapisan rahim. Berbau amis

serta berbeda-beda pada setiap wanita. (Rahayu dkk, 2012)

Karakteristik lochea :

1) Lochea rubra

Merupakan kumpulan dari sisa darah, partikel desidua dan mucus.

Terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga melahirkan lochea

berwarna merah tua.

8
2) Lochea sanguinolenta

Berwarna merah kekuningan berisi darah campur lendir, terjadi

setelah hari ketiga sampai hari ketujuh.

3) Lochea serosa

Lochea serosa terdiri atas eksudat, leukosit, eritrosit, dan mucus

serviks, tetapi kandungan eritrosit mulai berkurang. Terjadi pada

hari keempat lochea berubah warna dari merah tua menjadi merah

jambu atau kuning kecokelatan, berlangsung setelah hari ke 7 - 14

hari

4) Lochea alba

Lochea alba berwarna putih kekuningan, yang berlangsung

setelah hari ke-14 hingga 21 hari postpartum. Lochea alba

mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, lemak dan mucus

serviks. Adanya perdarahan merah segar setelah lochea alba atau

serosa mengindiksikan adanya infeksi atau perdarahan yang lama.

(Deswani, 2012)

c. Laktasi dan pengeluaran ASI

Terdapat 2 reflek menyusui yaitu :

1) Refleks prolaktin

Progerteron dan estrogen yang dihasilkan placenta merangsang

pertumbuhan kelenjar-kelenjar sus, sedangkan progeteron juga

9
merangsang pertumbuhan saluran (duktus) kelenjar. Kedua

hormon tersebut menekan prolaktin (LTH).

Setelah plasenta lahir maka produksi prolaktin meningkat

sehingga merangsang laktasi (pembentukan ASI).

2) Refleks Let Down

Dalam proses menyusui reflex pengeluaran oksitoksin di sebut jua

sebagai “letdown reflex atau love reflex”, reflex ini

mengakibatkan memancarnya ASI keluar, isapan bayi akan

merangsang puting susu dan areola yang dikirim lobus posterior

melalui nervus vagus, dari grandula pituitary posterior

dikeluarkan hormone oksitoksin kedalam peredaran darah yang

menyebabkan adanya kontraksi otot-otot myoepitel dari saluran

air susu, karena adanya kontraksi ini maka ASI akan terperas

kearah ampula. Produksi ASI akan meningkat sesudah 2-2 hari

post partum payudara menjadi besar, keras dan nyeri ini

menunjukan permulaan sekresi ASI. (Rahayu dkk, 2012)

d. Perubahan sistem pencernaan

Bisaanya ibu mengalami konstipasi setelah persalinan karena pada

waktu melahirkan alat pencernaan mendapat tekanan yang

menyebabkan kolon menjadi kosong karena pengeluaran cairan yang

berlebihan pada waktu persalinan, kurang makan, laserasi jalan lahir.

Agar buang air besar kembali teratur dapat diberikan diet atau makan

10
yang mengandung serat dan pemberian cairan yang cukup. (Rahayu

dkk, 2012)

e. Perubahan sistem perkemihan

Perubahan hormonal pada masa hamil (kadar steroid yang tinggi)

turut menyebabkan peningkatan fungsi ginjal, sedangkan penurunan

kadar steroid setelah wanita melahirkan sebagian menjelaskan sebab

penurunan fungsi ginjal selama pasca partum. Fungsi ginjal kembali

normal dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan.

Diperlukan kira-kira 2-8 minggu ureter dan pelvic kembali ke

keadaan sebelum hamil. (Icemi & Wahyu, 2013)

f. Perubahan sistem endokrin

Setelah plasenta lahir hormone estrogen dan progesterone menurun

sehingga akan mendorong pengeluaran hormone FSH dan LH untuk

memulai kesiklus menstruasi. Kelenjar tiroid kembali kebentuk

normal dan rata-rata metabolic basal kembali normal. (Rahayu dkk,

2012)

g. Perubahan sistem musculoskeletal

1) Diding perut bisaanya pulih kembali dalam 6 minggu

2) Kadang-kadang pada wanita yang asthenis terjadi diastasis dari

otot-otot recti abdominis sehingga sebagian dari dinding perut di

garis tengah hanya terdiri dari peritoneum dan kulit

11
3) Tulang-tulang sendi panggul dan ligamentum kembali dalam

waktu sekitar 3 bulan (Rahayu dkk, 2012)

h. Perubahan tanda-tanda vital

1) Tekanan darah bisaanya tidak berubah, kemungkinan tekanan

darah akan rendah setelah ibu melahirkan karena ada perdarahan.

Tekanan darah tinggi pada post partum dapat menandakan

terjadinya preeklamsi post partum

2) Suhu

Kembali normal setelah selama persalinan sedikit meningkat

(37,3ºC) dan akan stabil dalam waktu 24 jam, kecuali jika ada

infeksi

3) Nadi

Jika denyut nadi lebih dari 100 kali per menit merupakan tanda

infeksi atau terjadi perdarahan. Beberapa wanita mungkin

mengalami bradikardi setelah persalinan atau dalam beberapa jam

setelah post partum. (Rahayu dkk, 2012)

i. Perubahan psikologis

Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan ibu akan melalui fase-

fase sebagai berikut :

1) Fase taking in

Fase ini juga disebut sebagai fase menerima. Timbul pada jam-

jam pertama kelahiran sampai dengan dua hari post partum. Pada

12
fase ini adalah suatu waktu yang penuh dengan kegembiraan dan

kebanyakan orang tua sangat suka mengkomunikasikannya.

Mereka sangat perlu menyampaikan pengalaman mereka tentang

kehamilan dan kelahiran dengan kata-kata pada orang lain yang

berada di sekitarnya saat itu.

2) Fase Taking Hold

Fase ini berlangsung antara 3-10 harisetelah melahirkan. Pada

fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa

tanggungjawabnya dalam merawat bayi. Selain itu perasaan yang

sangat sensitive sehingga mudah tersinggung jika

komunikasinya kurang hati-hati. Oleh karena itu ibu

memerlukan dukungan karena saat ini merupakan kesempatan

yang baik untuk menerima berbagai penyululan dalam merawat

diri dan bayinya sehingga tumbuh rasa percaya diri.

3) Fase Letting Go

Merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya

yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai

menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan

untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.

(Rahayu dkk, 2012)

13
5. Penatalaksanaan

a. Mobilisasi

Ibu harus cukup istirahat 2 jam post partum ibu harus tidur terlentang

untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum. Setelah 2 jam ibu

boleh miring kiri dan kanan untuk mencegah adanya thrombosis. Pada

hari kedua bila perlu dilakukan senam nifas.

b. Pemberian cairan

Untuk mencegah terjadinya hipertermi, dehidrasi dan komplikasi pada

organ-organ tubuh lainnya dan minum sedikit kurang lebih 2,5 liter air

setiap hari. Tetapi untuk perdarahan aktif pada waktu persalinan

pemberian cairan per intra vena harus cukup mengandung banyak

elekroloit yang diperlukan tubuh

c. Pemeriksaan fisik

d. Observasi kontraksi uterus, fundus dan perdarahan

e. Menjaga kebersihan diri

f. Istirahat yang cukup

g. Nutrisi

1) Makan dengan diet seimbang untuk mendapatkan protein, mineral

dan vitamin yang cukup

2) Tablet besi Fe kurang lebih selama 40 hari pasca persalinan

3) Kapsul vitamin A (200-600 unit) agar bisa memberikan vitamin A

pada bayi melalui ASI. (Serri, 2009)

14
6. Komplikasi

a. Inkontinensia urin

b. Konstipasi

c. Nyeri punggung

d. Anemia

e. Eklamsia dan preeklamsia

f. Perdarahan

g. Infeksi masa nifas (Serri, 2009)

B. Konsep Sectio Caesarea

1. Pengertian

Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin

dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim

dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.

(Sarwono, 2009)

Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak

lewat insisi abdomen dan uterus. (Harry & william, 2010)

Sectio caesarea adalah pelahiran janin lewat insisi menembus dinding

uterus dan abdomen. (Dorland, 2012)

Seksio caesarea (SC) didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui

insisi di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).

(Ventura, 2010)

15
2. Indikasi Sectio Caesarea

a. Indikasi mutlak

1) Indikasi ibu

a) Panggul sempit

b) Kagagalan melahirkan secara normal karena kurang

adekuatnya stimulasi

c) Obstruksi jalan lahir

d) Stenosis serviks atau vagina

e) Plasenta previa

f) Ruptur uteri

2) Indikasi janin

a) Kelainan letak

b) Gawat janin

c) Prolapsus plasenta

d) Perkembangan bayi yang terhambat

e) Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklamsia

b. Indikasi relatif

1) Riwayat section caesarea sebelumnya

2) Persentasi bokong

3) Distosia

4) Fetal distress

5) Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes

16
6) Ibu dengan HIV positif

7) Gemeli, menurut Eastman sectio caesarea dianjurkan :

a) Bila janin pertama letak lintang atau persentasi bahu

b) Bila terjadi interlock

c) Distosia oleh karena tumor

d) IUFD (Intra Uterine Fetal Death). (Rasjidi, 2010)

3. Tipe-tipe Sectio Caesarea

a. Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda dengan insisi di segmen

bawah uterus. Tipe ini yang paling banyak dilakukan. Segmen bawah

uterus tidak begitu banyak mengandung pembuluh darah dibanding

segmen atas sehingga resiko perdarahan lebih kecil. Karena segmen

bawah terletak diluar kavum peritonei, kemungkinan infeksi pasca

bedah juga tidak begitu besar. Di samping itu resiko rupture uteri pada

kehamilan dan persalinan berikutnya akan lebih kecil jika jaringan parut

hanya terbatas pada segmen bawah uterus. Kesembuhan luka bisaanya

baik karena segmen bawah merupakan bagian uterus yang tidak begitu

aktif.

Keuntungan insisi segmen bawah rahim menurut kehier :

1) Segmen bawah rahim lebih tenang

2) Kesembuhan lebih baik

3) Tidak banyak menimbulkan perlekatan

17
Kerugiannya :

1) Terdapat kesulitan pada waktu mengeluarkan janin

2) Terjadi perluasan luka insisi dan menimbulkan perdarahan

b. Sectio cesarea klasik (korporal) menurut Sanger

Insisi dibuat pada korpus uteri. Dilakukan kala segmen bawah tidak

terjangkau karena melekat eratnya dinding uterus pada perut karena

section sesarea yang sudah-sudah, insisi disegmen bawah uterus

mengandung bahaya perdarahan banyak berhubung dengan letaknya

plasenta pada plasenta previa, atau apabila dikandung maksud untuk

melakukan histerektomi setelah janin dilahirkan.

Keuntungannya adalah mudah dilakukan karena lapangan operasi

relative luas, adapun kerugiannya :

1) Kesembuhan luka operasi relative sulit

2) Kemungkinan terjadinya rupture uteri pada kehamilan berikutnya

lebih besar

3) Kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih

besar

c. Sectio caesarea ekstraperitoneal

Dahulu dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal, sekarang

tidak banyak dilakukan karena sulit dalam tehniknya dan seringkali

terjadi sobekan peritoneum.

18
d. Sectio caesarea histerektomi menurut Porro

Operasi SC Histerektomi dilakukan secara Histerektomi supra vaginal

untuk menyelamatkan jiwa ibu dan janin dengan indikasi :

1) Sectio caesarea disertai infeksi berat

2) Sectio caesarea dengan Antonio uteri dan perdarahan

3) Sectio caesarea disertai uterus coovelaire (solusio plasenta). (Harry

& Forte, 2010)

4. Penatalaksanaan

a. Monitor tanda-tanda vital

Observasi harus dilakukan tiap 30 menit 2 jam pertama dan tiap jam

minimal selama 4 jam. Tanda vital yang perlu di evaluasi adalah :

1) Tekanan darah

2) Nadi

3) Suhu

4) Jumlah urin

b. Jumlah perdarahan

c. Status fundus uteri

d. Pemberian analgesik

e. Terapi cairan intravena

Umumnya pemberian cairan intravena 3 liter cairan untuk 24 jam

pertam setelah tindakan.

19
Namun, apabila pengeluaran urin turun dibawah 30 ml/jam harus dinilai

kembali apakah ada pengeluaran darah yang tidak diketahui, efek

antidiuretik dari oksitoksin dan lainnya.

f. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus

Kateter vesika urinaria umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jam

setelah operasi. Kemampuan pasien mengosongkan vesika uerinaria

sebelum terjadi distensi berlebihan harus dipantau seperti pada

persalinan pervaginam. Pada kasus nonkomplikata makanan padat

dapat diberikan 8 jam setelah pembedahan.

g. Ambulansi

Pada sebagian besar kasus, satu hari setelah pembedahan pasien dapat

turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan paling sedikit dua kali.

Waktu ambulansi diatur agar analgetik yang baru diberikan dapat

mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan

bantuan. Dengan ambulansi dini, thrombosis venadan emboli paru

jarang terjadi.

h. Perawatan luka

Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan dapat diangkat pada hari

keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga pasca persalinan mandi

tidak membahayakan luka insisi. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara

lain :

20
1) Jaringan subkutan yang tebal (>3 cm) merupakan faktor risiko

untuk infeksi luka operasi. Oleh karena itu, perlu pemantauan

terhadap tanda-tanda infeksi.

2) Luka dibersihkan setiap hari dan menjaga agar tetap kering

3) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar,

nyaman dan berbahan katun. (Rasjidi, 2010)

5. Komplikasi dan efek persalinan sectio caesarea

Komplikasi utama persalinan sectio caesarea adalah kerusakan organ-

organ seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi,

komplikasi anastesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli.

Kematian ibu lebih besar pada persalinan sectio caesarea dibandingkan

persalinan pervaginam.

Takipnea sesaat bayi baru lahir lebih sering terjadi pada persalinan sectio

caesarea. Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah terjadinya

plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta dan ruptur uteri. (Rasjidi,

2010)

21
6. Asuhan keperawatan Post operatif

a. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan

dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari pasien sehingga akan

diketahui berbagai permasalahan yang ada. (A. Azis, 2012).

Adapun pengkajian pada post sectio caesarea meliputi :

1) Status respiratorik

a) Kebebasan saluran napas dan bunyi napas

b) Kedalaman bernapas, kecepatan (frekuensi) dan sifatnya

2) Status sirkulatik

Observasi perubahan suhu, frekuensi nadi, dan tekanan darah

3) Status neurogenik

Kaji tingkat kesadaran bila dibuktikan melalui pertanyaan sederhana

yang di jawab oleh pasien atau pasien dianjurkan untuk melakukan

sesuatu. Variasi tingkat kesadaran dimulai dari siuman sampai

ngantuk harus diobservasi.

4) Kenyamanan

Kaji posisi tubuh. Pasien hendaknya dibaringkan pada posisi yang

nyaman sertav memperlancar ventilasi. Dan yang perlu diperhatikan

tidak boleh ada tekanan didaerah sekitar operasi. Kaji juga adanya

nyeri, mual muntah atau perubahan posisi yang dibutuhkan sesuai

indikasi. (Pelapina, 2014)

22
b. Diagnosa keperawatan

Menurut NANDA 2014 diagnosa keperawatan merupakan sebuah label

singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di

lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah actual, potensial

atau diagnose sejahtera. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul

pada post sectio caesarea meliputi :

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera ;

biologis, kimia, fisik dan psikologis

2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan

volume cairan aktif, asupan cairan yang tidak adekuat

3) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan penyakit kronis,

penekanan system imun, ketidak adekuatan imunitas dapatan,

pertahanan primer yang tidak adekuat, pertahanan lapis dua yang

tidak memadai, peningkatan pemajanan lingkungan terhadap

pathogen, pengetahuan yang kurang untuk menghindari pajanan

pathogen, prosedur invasive, kerusakan jaringan, dan trauma

4) Kurang perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan

merasakan bagian tubuh, gangguan musculoskeletal, gangguan

persepsi kognitif.

5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kendala lingkungan,

gangguan neuromuskular, nyeri.

23
c. Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan suatu proses penyusunan rencana

keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau

mengatasi masalah-masalah pasien. (A. Azis, 2012).

Adapun intervensi dari diagnose diatas menurut NANDA NIC-NOC

2014 meliputi :

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera ;

biologis, kimia, fisik dan psikologis

a) Batasan karakteristik

Subjektif:

(1) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri

dengan isyarat

Objektif:

(1) Posisi untuk mengindari nyeri

(2) Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak

bertenaga

(3) Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan

tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil

(4) Perubaan selera makan

(5) Perilaku distraksi misal, mondar-mandir, mencari orang

atau aktifitas lain, aktivitas berulang

24
(6) Perilaku ekspresif misal; gelisah, merintih, menangis,

kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan

menghela napas panjang

(7) Wajah topeng; nyeri

(8) Perilaku menjaga atau sikap melindungi

(9) Fokus menyempit, misal; gangguan persepsi waktu,

gangguan proses piker, interaksi menurun.

(10) Bukti nyeri yang dapat diamati

(11) Berfokus pada diri sendiri

(12) Gangguan tidur, misal : mata terlihat layu, gerakan tidak

teratur atau tidak menentu.

b) Hasil & NOC

(1) Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap

kemudahan fisik psikologis

(2) Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk

mengendalikan nyeri

(3) Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau

dilaporkan

(4) memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang

efektif untuk mencapai kenyamanan

(5) mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala

0-10)

25
(6) melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis

(7) mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan

untuk memodifikasi faktor tersebut

(8) melaporkan nyeri kepada penyedia pelayan kesehatan

(9) melaporkan pola tidur yang baik

c) Intervensi NIC

(1) Pengkajian :

(a) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan

pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian

(b) Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.

Gunakan bagan alur nyeri untuk memantau peredaan

nyeri oleh analgesik dan kemungkinan efek

sampingnya.

(c) Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan

lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien

(d) Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata

yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien

Manajemen nyeri:

(a) lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,

frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri

dan faktor presipitasinya.

26
(b) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan,

khususnya pada mereka yang tidak mampu

berkomunikasi efektif.

(2) Penyuluhan untuk pasien/keluarga

(a) Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat

khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi

pemberian, kemungkinan efek samping,

kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus

saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang

yang harus dihubungi bila mengalami nyeri

membandel.

(b) Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada

perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai

(c) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang

dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi

koping yang ditawarkan

(d) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik

narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau

overdosis)

27
Manajemen nyeri :

(a) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab

nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi

ketidaknyamanan akibat prosedur

(b) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misal

umpan balik biologis, transcutaneous electrical

nerve stimulation (TENS), hipnotis, relaksasi,

imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi

bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat

atau dingin, dan masase).

(3) Aktivitas kolaboratif

Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate

yang terjadwal (misal, setiap 4 jam selama 36 jam) atau

PCA

(4) Aktivitas lain

(a) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan

yang efektif dimasa lalu seperti distraksi, relaksasi

atau kompres hangat atau dingin.

(b) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan

rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu

relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut :

28
(c) Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan

relaksasi.

(d) Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan

sikap yang mendukung

(e) Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang

menyangkut aktivitas perawatan.

(f) Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas

bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan

melakukan pengalihan melalui televise, radio, dan

interaksi dengan pengunjung.

Manajemen nyeri :

Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika

memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan

(misal: suhu ruangan, pencahayaan dan kegaduhan)

e.

29
C. Konsep Nyeri

1. Pengertian

Nyeri adalah suatu perasaan yang menimbulkan penderitaan secara

fisik dan mental, perasaan nyeri menimbulkan ketegangan atau menjadi

siksaan bagi yang mengalaminya. (Lyndon, 2013)

Nyeri secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak

nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri bersifat sangat individual dan

tidak dapat di ukur secara subjektif, serta hanya pasien yang dapat

merasakan adanya nyeri. (Pelapina, 2014)

Menurut international association the study of pain nyeri adalah

suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

sehubungan dengan actual dan potensial kerusakan jaringan.

Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang sangat subjektif dan

hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan

mengevaluasi perasaan tersebut. (Tamsuri, 2014)

2. Klasifikasi nyeri

a. Jenis nyeri

1) Nyeri perifer

Nyeri perifer dapat dibagikan menjadi tiga jenis yaitu :

1) Nyeri superficial

Rasa nyeri muncul akibat rangsangan pada kulit dan mukosa

30
2) Nyeri visceral

Rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada reseptor nyeri

dirongga abdomen, cranium, dan toraks

2) Nyeri alih

Rasa nyeri dirasakan didaerah lain jauh dari jaringan nyeri

3) Nyeri sentral

Nyeri sentral adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan pada

medulla spinalis, batang otak, dan thalamus.

4) Nyeri psikogenik

Nyeri psikogenik adalah nyeri yang penyebabnya tidak diketahui.

Umumnya nyeri ini disebabkan oleh faktor psikologis

(Lyndon,2013)

b. Menurut bentuknya

1) Nyeri akut

Nyeri akut dapat menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah

keadaan pulih pada keadaan rusak. Fungsi dari nyeri akut adalah

memberikan peringatan akan cederaatau penyakit yang akan dating.

Nyeri akut bisaanya berlangsung singkat.

31
2) Nyeri kronik

Nyeri kronik dapat menjadi penyebab utama ketitidak mampuan

fisik dan psikologis sehingga akan timbul masalah seperti

ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sedarhana,

disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga atau teman-teman.

Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, penurunan berat

badan, depresi, putus asa, dan kemarahan. Nyeri kronik berkembang

lebih lambat dan terjadi dalam waktu yang lama. (Pelapina, 2014)

3. Fisiologi nyeri

a. Nosisepsi

System saraf perifer mengandung saraf sensorik primer yang berfungsi

mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan beberapa sensasi,

salah satunya adalah nyeri. Nyeri dihantarkan oleh reseptor yang

disebut nociseptor. Nociseptor merupakan ujung saraf perifer yang

bebas dan tidak bermielin atau hanya memiliki sedikit myelin. Reseptor

ini tersebar dikulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian,

dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri tersebut dapat

dirangsang oleh stimulus mekanis, termal, listrik, dan kimiawi

(misalnya histamin, bradikinin, dan prostaglandin).

32
1) Tranduksi

Ransangan (stimulus) yang membahayakan memicu pelepasan

mediator biokimia (misalnya histamine, bradikinin, prostaglandin,

dan subtansi P). mediator ini kemudian mensensitisasi nosiseptor.

2) Tranmisi

Tahap tranmisi terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

a) Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditranmisikan berupa

impuls nyeri dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis . jenis

nociseptor yang terlibat dalam tranmisi ini ada dua jenis, yaitu

serabut C dan serabut A-delta. Serabut C mentramisikan nyeri

tumpul dan menyakitkan, sedangkan serabut A-delta

mentramisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi.

b) Nyeri ditanmisikan dari medulla spinalis kebatang otang dan

thalamus melalui jalur spinotalamikus (spinothalamic tract atau

SST) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi stimulus

ke thalamus.

c) Sinyal diteruskan kekorteks sensorik somatic (tempat nyeri

dipersepsikan). Impuls yang ditranmisikan melalui SST

mengaktifkan respons otonomik dan limbik.

33
3) Persepsi

Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi

nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan

timbulnya berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi

komponen sensorik dan afektif nyeri.

4) Modulasi atau system desenden

Neuron dibatang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ketanduk

dorsal medulla spinalis yang terkonduksi denagn nosiseptor impuls

supresif. Serabut desenden tersebut melepaskan subtansi seperti

opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat impuls

asenden yang membahayakan di bagian dorsal medulla spinalis.

(Lyndon, 2013)

b. Teori awal

Suatu teori yang menjelaskan nyeri sebagai suatu mekanisme relative

sederhana yang menjelaskan bahwa respon nyeri timbul apabila suatu

stimuli nyeri mengaktivasi reseptor nyeri (nociceptor). Stimuli dapat

berupa zat kimia, listrik, panas, mekanik maupun mikroorganisme, baik

dari dalam maupun luar tubuh.

Informasi dari reseptor nyeri mencapai sistem saraf sentral melalui saraf

asenden. Bila informasi ini telah sampai di thalamus, maka seseorang

akan merasakan suatu sensasi serta mempelajari tentang lokasi dan

kekuatan stimulus.

34
Bila informasi telah sampai pada korteks serebri, maka seseorang akan

menjadi lebih terlibat pada sensasi nyeri, mencoba menginterpretasi arti

nyeri dan mencari cara untuk menghindari sensasi lebih lanjut.

(Pelapina, 2014)

c. Teori Gate Control

Menurut Melzak dan wall teori ini lebih komprehensif dalam

menjelaskan tranmisi dan persepsi nyeri. Dalam teori ini dijelaskan

bahwa subtansi gelatinosa, yaitu suatu area dari sel-sel khusus pada

bagian ujung dorsal serabut saraf sumsum tulang belakang (spinal cord)

mempunyai peran sebagai mekanisme pintu gerbang (gating

mechanism). Mekanisme pintu gerbang ini dapat mengubah sensasi

nyeri yang datang sebelum mereka sampai korteks serebri dan

menimbulkan persepsi nyeri. (Pelapina, 2014)

4. Faktor yang mempengaruhi nyeri

a. Usia

Usia merupakan variable penting yang mempengaruhi nyeri. Toleransi

terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, misalnya

semakin bertambah usia seseorang maka semakin bertambah pula

pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya.

35
b. Jenis kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon

terhadap nyeri.

c. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri

d. Makna nyeri

Individu akan mempersepsika nyeri dengan cara yang berbeda-beda

e. Perhatian

Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri.

f. Kecemaan

Kecemasan seringkali meningkatkan persepsi nyeri

g. Keletihan

Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan

menurunkan kemampuan koping. Kelelahan juga meningkatkan nyeri

dan banyak orang merasa lebih nyaman setelah istirahat.

h. Pengalaman sebelumnya

Individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti

bahwa individu tersebut akan menerima nyeri denagn lebih mudah pada

masa yang akan datang.

36
i. Mekanisme koping

Mekanisme koping individu sangat mempengaruhi cara setiap orang

dalam mengatasi nyeri.

j. Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang dapat mempengaruhi respon pasien adalah kehadiran

orang-orang terdekat.

k. Faktor lingkungan

Nyeri dapat diperberat dengan adanya ransangan dari lingkungan yang

berlebihan misalnya : kebisingan, cahaya yang sangat terang dan

kesendirian. (Pelapina, 2014)

5. Respon individu terhadap nyeri

a. Tahap aktivasi

Dimulai saat pertama individu menerima ransangan nyeri sampai tubuh

bereaksi terhadap nyeri yang meliputi :

1) Respon yang tidak disengaja seringkali juga dinamakan respon

autonom juga bersifat protektif, mencakup :

a) Peningkatan pengeluaran keringat

b) Tekanan darah naik

c) Respirasi meningkat

d) Dilatasi pupil

e) Ketegangan otot

37
f) Mual muntah

g) Pucat

2) Respon muscular

Respon yang disengaja merupakan reaksi otot yang mencetuskan

usah untuk menghilangkan ransangan rasa sakit, juga bersifat

protektif, sebagai contoh :

a) Mengeliat kesakitan

b) Mengusap daerah yang sakit

c) Imobilitas

d) Mengambil posisi tertentu, contoh : menarik lutut sampai

menekan perut bilamana rasa sakit diperut tidak tertahankan

3) Respon emosional

Respon emosional terhadap rasa sakit mempunyai ambang yang

sangat luas dan berbeda-beda dari orang ke orang terhadap sakit

antara lain :

a) Bergejolak

b) Mudah tersinggung

c) Perubahan tingkah laku

d) Berteriak

e) Menangis

f) Diam

g) Kewaspadaan menigkat

38
b. Tahap pemantulan

Nyeri sangat hebat tetapi sangat singkat, pada tahap ini sistem saraf

parasimpatis mengambil alih tugas, sehingga terjadi respons yang

berlawanan dengan tahap aktivasi.

c. Tahap aktivasi

Saat nyeri berlangsung lama, tubuh mencoba untuk beradaptasi melalui

peran endorphin. Reaksi adaptasi tubuh ini terhadap dapat berlangsung

beberapa jam/hari. Bila nyeri berkepanjangan maka akan menurunkan

sekresi norepinefrin sehingga individu merasa tidak berdaya, tidak

berharga dan lesu.

Tabel 2.2 Respon perilaku yang mempengaruhi nyeri

Vokal Ekpresi Wajah Gerakan Tubuh Interaksi Sosial

1. Menangis 1. Meringis 1. Gelisah 1. Menghindar


untuk bicara
2. Berteriak 2. Menagtup 2. Imobilisasi 2. Menghindar
gigi untuk
kontak
sosial
3. Merintih 3. Melotot 3. Otot tegang 3. Perhatian
terhadap
lingkungan
sekitar
4. Menggigit berkurang
4. Bicara bibir 4. Berjalan mondar-
terengah- mandir
engah 5. Mengambil posisi
tertentu
S

Sumber : Pelapina, 2014

39
6. Pengukuran intensitas nyeri

Intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain dengan

menggunakan skala nyeri menurut Hayward, skala nyeri menurut McGill

(McGill scale), dan skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale.

a. Skala nyeri menurut Hayward

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri Hayward

dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan

(0-10) yang ia rasakan. Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan

sebagai berikut :

0 : tidak nyeri

1–3 : nyeri ringan

4–6 : nyeri sedang

7–9 : sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas

yang bisaa dilakukan

10 : sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan

b. Skala nyeri menurut McGill

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri McGill

dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan

(0 – 5) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri

yang ia rasakan.

Skala nyeri menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut :

40
0 : tidak nyeri

1 : nyeri ringan

2 : nyeri sedang

3 : nyeri berat atau parah

4 : nyeri sangat berat

5 : nyeri hebat

c. Skala wajah atau Wong-Baker FACE Rating Scale

Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan dengan cara

memperhatikan mimic wajah pasien pada saat nyeri tersebut

menyerang.

Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan intensitas

nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-anak dan lansia. (Lyndon,

2013)

Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Skala wajah

41
7. Penatalaksanaan Nyeri

a. Penatalaksanaan farmakologis

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid

(narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflammation Drugs),

dan adjuvan, serta ko-analgesik.

b. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Penatalaksanaan nonfarmakologis terdiri dari berbagai tindakan

penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun prilaku kognitif.

1) Penanganan fisik meliputi :

a) Masase kulit

Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot. Rangsangan masase otot itu dipercaya akan

merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu

memblok atau menurunkan impuls nyeri.

b) Kompres

Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga

dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang

mengalami kerusakan.

Penggunaan panas selain member efek mengatasi atau

menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi

fisiologis antara lain :

42
(1) Meningkatkan respon inflamasi

(2) Meningkatkan aliran darah dalam jaringan

(3) mengurangi pembentukan edema

c) stimulasi kontralateral

Stimulasi kontra lateral adalah memberi stimulasi pada daerah

kulit disisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri.

d) Acupresure (pijat refleksi)

Terapis ini member tekanan jari-jari pada berbagai titik organ

tubuh seperti pada akupuntur.

e) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

Stimulasi saraf elektrik transkutan menggunakan satu unit

peralatan yang dijalankan dengan elektroda yang dipasang pada

kulit untuk mrenghasilkan sensasi kesemutan, getaran, atau

mendengung pada area kulit tertentu.

f) Imobilisasi

Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat

mungkin dapat meredakan nyeri.

43
2) Perilaku kognitif

a) Distraksi

Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri

ke stimulus yang lain. Macam-macam distraksi antara lain :

(1) Distraksi visual : seperti membaca dan menonton televisi

(2) Distraksi pendengaran : humor, mendengar musik

(3) Distraksi intelektual : main kartu atau menyalurkan hobi

b) Relaksasi

Relaksasi dengan teknik relaksasi napas dalam, medidasi, dan

relaksasi otot rangka. Relaksasi otot rangka dipercaya dapat

menurunkan nyeri dengan merelaksasikan ketegangan otot yang

mendukung rasa nyeri

8. Asuhan keperawatan

a. Pengkajian keperawatan

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan

dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari pasien sehingga akan

diketahui berbagai permasalahan yang ada. (A. Azis, 2012).

Pengkajian keperawatan pada masalah nyeri dengan memperhatikan

tanda-tanda verbal dan nonverbal, secara umum mencakup lima hal,

yaitu pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan

44
waktu serangan. Cara mudah untuk mengingatnya adalah dengan

PQRST

P : Provoking (pemicu), yaitu faktor yang menimbulkan nyeri dan

mempengaruhi berat dan ringannya nyeri.

Q : Quality (kualitas nyeri), misalnya rasa tajam atau tumpul

R : Region (daerah/lokasi), yaitu perjalanan ke daerah lain

S : Severity (keparahan), yaitu intensitas nyeri

T : Timing (waktu), yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi

Nyeri (Lyndon, 2013)

b. Diagnosa keperawatan menurut NANDA 2013

Menurut NANDA 2014 diagnosa keperawatan merupakan sebuah label

singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di

lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah actual, potensial

atau diagnose sejahtera. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul

pada pasien dengan masalah nyeri meliputi :

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misal biologis, zat

kimia, fisik dan psikologis)

2) Nyeri kronik berhubungan dengan ketunadayaan fisik dan

psikososial kronik

45
c. Rencana keperawatan menurut NIC 2013

Intervensi keperawatan merupakan suatu proses penyusunan rencana

keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau

mengatasi masalah-masalah pasien. (A. Azis, 2012).

Adapun intervensi dari diagnose keperawatan diatas menurut NANDA

NIC-NOC 2014 meliputi :

1) Batasan karakteristik

Subjektif:

(2) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri

dengan isyarat

Objektif:

(13) Posisi untuk mengindari nyeri

(14) Perubahan tonus otot dengan rentang lemas sampai tidak

bertenaga

(15) Respon autonomic misalnya diaphoresis, perubahan

tekanan darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil

(16) Perubaan selera makan

(17) Perilaku distraksi misal, mondar-mandir, mencari orang

atau aktifitas lain, aktivitas berulang

(18) Perilaku ekspresif misal; gelisah, merintih, menangis,

kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan

menghela napas panjang

46
(19) Wajah topeng; nyeri

(20) Perilaku menjaga atau sikap melindungi

(21) Fokus menyempit, misal; gangguan persepsi waktu,

gangguan proses piker, interaksi menurun.

(22) Bukti nyeri yang dapat diamati

(23) Berfokus pada diri sendiri

(24) Gangguan tidur, misal : mata terlihat layu, gerakan tidak

teratur atau tidak menentu.

d) Hasil & NOC

(10) Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap

kemudahan fisik psikologis

(11) Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk

mengendalikan nyeri

(12) Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau

dilaporkan

(13) memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang

efektif untuk mencapai kenyamanan

(14) mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala

0-10)

(15) melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis

(16) mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan

untuk memodifikasi faktor tersebut

47
(17) melaporkan nyeri kepada penyedia pelayan kesehatan

(18) melaporkan pola tidur yang baik

e) Intervensi NIC

(5) Pengkajian :

(a) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan

pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian

(b) Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.

Gunakan bagan alur nyeri untuk memantau peredaan

nyeri oleh analgesik dan kemungkinan efek

sampingnya.

(c) Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan

lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien

(d) Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata

yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien

Manajemen nyeri:

(c) lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,

frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri

dan faktor presipitasinya.

(d) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan,

khususnya pada mereka yang tidak mampu

berkomunikasi efektif.

48
(6) Penyuluhan untuk pasien/keluarga

(e) Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat

khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi

pemberian, kemungkinan efek samping,

kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus

saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang

yang harus dihubungi bila mengalami nyeri

membandel.

(f) Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada

perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai

(g) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang

dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi

koping yang ditawarkan

(h) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik

narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau

overdosis)

Manajemen nyeri :

49
(a) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab

nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi

ketidaknyamanan akibat prosedur

(b) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misal

umpan balik biologis, transcutaneous electrical

nerve stimulation (TENS), hipnotis, relaksasi,

imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi

bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat

atau dingin, dan masase).

(7) Aktivitas kolaboratif

Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate

yang terjadwal (misal, setiap 4 jam selama 36 jam) atau

PCA

(8) Aktivitas lain

(a) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan

yang efektif dimasa lalu seperti distraksi, relaksasi

atau kompres hangat atau dingin.

(b) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan

rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu

relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut :

(c) Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan

relaksasi.

50
(d) Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan

sikap yang mendukung

(e) Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang

menyangkut aktivitas perawatan.

(f) Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas

bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan

melakukan pengalihan melalui televise, radio, dan

interaksi dengan pengunjung.

Manajemen nyeri :

Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika

memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan

(misal: suhu ruangan, pencahayaan dan kegaduhan)

d. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam tahap proses keperwatan

dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan)

yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan . (A. Aziz,

2012)

e. Evaluasi

Evalusi keperawatan pada masalah nyeri dapat dinilai dari kemampuan

pasien dalam merespon serangan nyeri, hilangnya rasa nyeri, menurunnya

51
intensitas nyeri, terdapat respon fisiologis yang baik, dan kemampuan untuk

menjalankan kegiatan sehari-hari tanpa keluhan nyeri. (Lyndon,2013)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan

pada pasien post sectio caesaria dengan nyeri akut.

B. Batasan Istilah

1. Definisi operasional post sectio caesaria

Post sectio caesaria adalah suatu keadaan setelah menjalani pembedahan

guna melahirkan bayi lewat insisi pada dinding abdomen dan dinding

uterus.

2. Definisi operasional nyeri

52
Nyeri merupakan suatu perasaan yang menimbulkan penderitaan secara

fisik dan mental,dan perasaan nyeri bisaanya menimbulkan ketegangan atau

siksaan fisik bagi yang mengalaminya.

C. Partisipan

Subjek yang digunakan adalah dua pasien dengan masalah dan diagnosis

keperawatan yang sama yaitu pasien post sectio caesaria dengan nyeri akut.

D. Lokasi dan waktu penelitian

Studi kasus ini dilakukan di Rumah Sakit Anutapura Palu, sejak pasien pertama

kali masuk rumah sakit sampai pasien pulang minimal 4 hari.

E. Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi

1. Wawancara

a. Identitas

Berisi tentang identitas pasien dan penanggung jawab

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama

Keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien berobat atau keluhan

saat awal dilakukan pengkajian.

53
2) Riwayat kesehatan sekarang

Faktor yang melatarbelakangi atau hal-hal yang mempengaruhi atau

mendahului keluhan dan bagaimana sifat terjadinya gejala.

3) Riwayat kesehatan masa lalu

Riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit

yang pernah dialami.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat kesehatan atau keperawatan yang di miliki pada salah satu

anggota keluarga

5) Riwayat psikososial

Merupakan masalah psikologis yang dialami klien yang ada

hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat, keluarga dan lainya.

6) Riwayat kebidanan

a) Riwayat haid

b) Riwayat perkawinan

c) Riwayat kehamilan

d) Riwayat persalinan

7) Pola persepsi – pemeliharaan kesehatan

Data tentang persepsi pasien terhadap penyakit atau sakit, arti

kesehatan, dan penatalaksanaan kesehatan.

8) Pola aktivitas – latihan

54
Data ini meliputi tentang aktivitas sehari-hari pasian seperti makan,

mandi, berbakaian, toileting, tingkat mobilitas, kekuatan otot, dan

lain-lain.

9) Pola nutrisi dan metabolisme

Penjelasan tentang pola nutrisi dan metabolisme pasien meliputi nafsu

makan, jumlah makan dan minum, ada tidaknya mual muntah, dan

diet khusus yang diinstrusikan sebelumnya.

10) Pola eliminasi

Penjelasan tentang kebisaaan pasien meliputi kebisaaan defeksi, ada

tidaknya kostipasi, kebisaaan alvi, ada tidaknya disuria, nocturia,

hematuri,inkontinensia dan retensi.

11) Pola tidur – istirahat

Pengkajian pola tidur seperti jumlah jam tidur pada malam dan siang

hari, dan masalah selama tidur.

12) Pola seksual – reproduksi

Pengumpulan data tentang pola seksual dan reproduksi meliputi

periode menstruasi terakhir, masalah menstruasi, pemeriksaan

payudara, dan masalah seksual yang berhubungan dengan penyakit.

(A. Aziz, 2012)

2. Observasi dan pemeriksaan fisik

55
Bagian yang diobservasi antara lain respon fisik dan psikologis, respon

emosi, serta rasa aman dan nyaman yang dirasakan klien. Pemeriksaan fisik

dapat dilakukan dengan emapat cara sebagai berikut :

a. Inspeksi

Menggunakan indera penglihatan, memerlukan bantuan pencahayaan

yang baik, dan pengamatan yang teliti.

b. Perkusi

Pemeriksaan ini menggunakan prinsip vibrasi dan getaran udara.

Dilakukan dengan mengetuk permukaan tubuh denagn tangan

pemeriksaan.

c. Palpasi

Palpasi menggunakan serabut saraf sensoris di permukaan telapak

tangan untuk mengetahui kelembapan, suhu, tekstur, adanya massa,

penonjolan, lokasi dan ukuran organ, serta pembengkakan

d. Auskultasi

Menggunakan indera pendengaran, bisa menggunakan alat bantu

(stetoskop) ataupun tidak. (Debora, 2012)

56
57

Anda mungkin juga menyukai