Anda di halaman 1dari 19

Bab I

Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 membawa banyak perubahan pada sistem politik dan sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu perubahan mendasar yang
dilahirkan adalah perubahan dalam sistem penyelenggeraan pemerintahan
daerah. Paradigma politik ketatanegaraan yang semula cenderung
bernuansa otoritarian berubah menjadi lebih demokratis. Pola kekuasaan
eksekutif yang terpusat dan terlalu dominan diakui sebagai pola yang
kurang mendukung dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi
masyarakat di tanah air. Seiring dengan derasnya tuntutan masyarakat,
penerapan pola pemerintahan yang sentralistik semakin tidak relevan
dengan situasi, kondisi, dan perkembangan kehidupan masyarakat
sehingga perubahan ke arah demokratisasi dan desentralisasi menjadi
suatu hal yang mutlak. Dalam konteks hubungan antara pusat dengan
daerah, sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah bergeser dari sistem
yang sentralistik menjadi sistem yang mengedepankan otonomi dengan
berpijak pada prinsip desentralisasi. Penerapan prinsip desentralisasi
sebagai dasar berpijak penyelenggaraan pemerintahan daerah membangun
konstelasi baru sistem otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab yang memberikan hak dan wewenang kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Dalam lintasan sejarah, setelah 25 tahun mengawal perjalanan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah yang cenderung
bersifat sentralistik digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tidak lama bertahan karena dibentuk dengan semangat

1
kebebasan yang begitu tinggi ditengah memuncaknya euforia reformasi
sehingga banyak pengaturan yang tidak proporsional dan cenderung
mengarah pada otonomi yang kebablasan. Pada perkembangan lebih
lanjut, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai langkah perbaikan dan penyempurnaan atas
kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Hal yang mendasar dari adanya perubahan Undang-Undang tersebut
adalah memberikan kesempatan dan kekuasaan daerah untuk membangun
daerahnya dan lebih memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa
dan kreativitas serta meningkatkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Daerah otonom diberikan hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan pengaturan ini adalah kewenangan bagi daerah untuk
membentuk Peraturan Daerah.
Secara konstitusional Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (perubahan kedua) menyatkan bahwa
“pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Kemudian dalam Pasal 136 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 diatur bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas
pembantuan.
Seiring dengan itu, pengakuan dan penghormatan atas satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, di era pasca
reformasi mendapat porsi lebih daripada era sebelumnya. Pasal 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
merupakan hasil dari amandemen kedua menyatakan:

2
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Berangkat dari itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Propinsi Papua.
Terkait dengan pelaksanaan otonomi khusus Pemerintahan Aceh dan
Provinsi Papua tersebut, dibutuhkan pula peraturan daerah yang bersifat
khusus bagi daerah otonomi khusus tersebut. Aceh sebagai daerah otonomi
khusus, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memiliki
peraturan daerah yang bersifat khusus pula yaitu Qanun Aceh dan Qanun
Kabupaten/Kota. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan
sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh, sedangkan Qanun
Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan
daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
Begitu pula Provinsi Papua sebagai daerah otonomi khusus, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, selain memiliki Peraturan

3
Daerah, juga memiliki instrumen hukum tersendiri dalam men gatur
daerahnya yaitu Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Istimewa.
Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal
tertentu dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, sedangkan
Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa itu Peraturan Daerah ?
2. Apa itu Pearturan daerah Khusus ?

1.3. Tujuan masalah


1. Untuk mengetahui Pearturan Daerah
2. Untuk mengetahui Peraturan Daerah khusus

4
BAB II
ISI

2.1. Pengerian Peraturan Daerah


Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/wali kota). Peraturan
Daerah terdiri atas: Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota . Di Provinsi Aceh, Peraturan Daerah dikenal dengan
istilah Qanun. Sementara di Provinsi Papua, dikenal istilah Peraturan
Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.
Pengertian peraturan daerah provinsi dapat ditemukan dalam pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan[1], sebagai berikut :
Selanjutnya pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan pula
dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[2], sebagai berikut :
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

2.1.2 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH


 Dalam pasal 14 undang-undang nomor 12 tahun 2011 menetapkan
bahwa materi muatan peraturan daerah, adalah seluruh materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
 Dalam pasal 15 ayat (1) menetapkan bahwa materi muatan
mengenai ketentuan pidana dapat dimuat dalam :

5
a) Undang-undang
b) Peraturan daerah provinsi; atau
c) Peraturan daerah kabupaten/kota.
Dalam pasal 15 ayat (1) ini menjelaskan bahwa peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah kabupaten dan kota dapat memuat
materi mengenai kententuan hukum pidana.
 Dalam pasal 15 ayat (3) menetapkan peraturan daerah provinsi dan
peraturan daerah kabupaten/kota dapat memuat ancaman pidana
kurungan atau pidana selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lainnya.
2.1.2. FUNGSI PERATURAN DAERAH
fungsi peraturan daerah merupakan fungsi yang bersifat atribusi
yang diatur berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun. 2004
tentang pemerintahan daerah, terutama pasal 136, dan juga
merupakan fungsi delegasian dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Fungsi peraturan daerah ini dirumuskan dalam pasal 136 undang-
undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai
berikut :
1. menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan.
2. menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
3. menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan
dengan kepentingan umum.
4. menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang
dimaksud disini adalah tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat.

6
2.1.3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI TINGKAT
DAERAH
1. peraturan daerah provinsi
Peraturan daerah provinsi adalah peraturan yang dibentuk
oleh gubernur/kepala daerah provinsi bersama-sama dengan dewan
perwakilan rakyat daerah (dprd) provinsi, dalam melaksanakan
otonomi daerah yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi.
Menurut undang-undang no.12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dimaksud
degan peraturan daearah adalah peraturan perundangan-undangan
yang dibentul oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan
persetujuan kepala daerah.
Kewenangan pembentukan peraturan daerah provinsi ini
merupakan sautu kewenangan (atribusian) untuk mengatur
daerahnya sesuai pasal 136 undang-undang no.32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, namun demikian pembentukan suatu
peraturan daerah ini dapat juga merupakan pelimpahan wewenang
(delegasi) dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
2. peraturan gubernur/kepala daera provinsi
Peraturan gubernur/kepala daerah provinsi ( peraturan
gubernur KHD provinsi) adalah peraturan perundang-undangan di
daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan
daerah provinsi, yang dibentuk berdasalkan pasal 146 undang-
undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
3. peraturan daerah kabupaten/kota
Peraturan daerah kabupaten/kota adalah peraturan yang
dibentuk oleh bupati atau walikota/kepala daerah kabupaten/kota
bersama-sama dengan dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota, dalam melaksanakan otonommi daerah yang
diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.Yaitu bupati

7
atau walikkota/kepala daerah kabupaten/kota dan dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota.
Kewenangan pembentukan daerah kabupaten/kota ini
merupakan suatu pemberian wewenang (atribusian) untuk
mengatur daerahnya sesuai pasal 136 undang-undang no.32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah.Pembentukan suatu peraturan
daerah kabupaten/kota dapat juga merupakan pelimpahan
wewenang (delegasi) dari suatu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
4. peraturan bupati atau walikota/kepala daerah kabupaten/kota
Peraturan bupati atau walikota/kepala daerah
kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan yang
meruapakan peraturan pelaksanaan dari peraturan daerah
kabupaten/kota, yang dibentuk berdasarkan pasal 146 undang-
undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, jadi
kewenangannya merupakan pelimpahan (delegasi) dari peraturan
daerah kabupaten kota, ataupun untuk mengatur urusan-urusan
dalam rangka tugas pembantuan (medebewind).
Berdasarkan pasal 146 tersebut, untuk melaksanakan
peraturan daerah atau atas kuasa perautan perundang-undangan (
yang lebih tinggi) kepala daerah dapat juga membentuk keputusan
kepala daerah, namun pada saat ini keputusan kepala daerah
tersebut hanya yang bersifat penetapan.

2.2. Peraturan Daerah Khusus

Ada 3 (tiga) Provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang


mempunyai Peraturan
Daerah yang bersifat khusus, yaitu :
1. Provinsi Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), berdasarkan Undang-
Undang ;

8
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; dan
2. Provinsi Aceh, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh.
3. Provinsi Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Salah satu jenis dari Peraturan Perundang-Undangan adalah Peraturan
Daerah , baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-
Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dengan
per4setujuan bersama Gubernur. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah
Peraturan Perundang-Undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Di Indonesia ada 3 (tiga) Provinsi yang mempunyai Peraturan Daerah yang
bersifat khusus yaitu :

2.2.1. PROVINSI PAPUA


Provinsi Papua adalah (yang dahulu Provinsi Irian Jaya) yang diberi
Otonomi Khusus, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua.
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, menyebutkan :
a. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi Khusus
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan
kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan
hak-hak dasar masyarakat Papua.

9
Salah satu ciri kekhususan dari Provinsi Papua adalah sebagaimana
tercantum dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, huruf :
f. Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP,
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Papua sebagai badan Legeslatif Daerah
Provinsi Papua;
g. Majlis rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi
kultural orang asli Papua, yang memiliki kewenangan tertentu dalam
rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini;
i. Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal
tertentu dalam Undang-Undang ini;
j. Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Pertdasi, adalah
Peraturan Daerah Provinsi Papua daalam rangka pelaksanaan kewenangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-
wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang
jumlahnya masing-masing sepertiga dari jumlah anggota MRP. MRP
mempunyai tugas antara lain, memberikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama
dengan Gubernur.
Pasal 7 ayat (1) huruf f :
Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di
Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat.

10
2.2.2. PERATURAN DAERAH KHUSUS (PERDASUS) DAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI (PERDASI).

Peraturan daerah khusus (Perdasus) dibuat dan ditetapkan oleh


DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan
MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dibuat dan ditetapkan oleh
DPRP bersama-sama Gubernur. Tata cara pemberian pertimbangan oleh
MRP terhadap Perdasus diatur dengan Perdasi. Pelaksanaan Perdasus dan
Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Perdasus, Perdasi dan
Keputusan Gubernur (yang bersifat mengatur) diundangkan dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi. Perdasus, Perdasi dan
Keputusan Gubernur mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah
diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi.
HAL-HAL YANG DIATUR DENGAN PERDASUS
1. Lambang daerah (dengan berpedoman pada PUU).
2. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.
3. Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur yang berkaitan
dengan perjanjian
internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang terkait dengan
kepentingan Provinsi Papua.
4. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP.
5. Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) dilakukan dengan tetap
menghormati hak masyarakat hukum adat.
6. Perhatian dan penangan khusu bagi pengembangan suku yang terisolir,
terpencil dan terabaikan di Provinsi Papua.
7. Pelaksanaan pengawasan hukum, pengawasan politik dan pengawasan
sosial dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, benar,
berwibawa, transparan dan bertanggung jawab.
HAL-HAL YANG DIATUR DENGAN PERDASI
• Kebijakan kepegawaian Provinsi.

11
• Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP dalam
pembuatan dan penetapan Perdasus oleh DPRP bersama Gubernur.
• Pelaksanaan bantuan luar negeri.
• Perubahan dan perhitungan APB Provinsi Papua/Papua Barat.
• Tata cara penyusunan dan pelaksanaan APBProvinsi, perubahan,
perhitungan serta pertanggungjawaban dan pengawasannya.
• Tata cara penyertaan modal Pemerintah Provinsi Papua.
• Tugas Kepolisian.
• Pendidikan.
• Perlindungan, pembinaan dan pengembangan kebudayaan asli Papua.
• Pelayanan kesehatan.
• Penempatan penduduk.

2.2.3. DAERAH ISTIMEWA ACEH


Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, Pasal 1 (Ketentuan Umum) angka 2 menyebutkan :
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam system dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pedmbentukan Peraturan
Perundang-Undangan, penjelasan Pasal 7 ayat (1) :
huruf f :Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang
berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta
Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat.
Huruf g : Termasuk dalam Peraturan Daerah Kebupaten/Kota adalah
Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.

12
QANUN (UU No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh),
menyebutkan :
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan
daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat Aceh. (Pasal 1 angka 21). Qanun Kabupaten/Kota
adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah
kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh. (Pasal 1 angka 22).
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan
daerahprovinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat Aceh. (Pasal 1 angka 21). Qanun Kabupaten/Kota
adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan
daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh. (Pasal 1 angka 22).

DPRA DAN DPR


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh yang selanjutnya disebut
Dewan Perwakilan akyat Aceh (DPRA) adalah unsur penyelenggara
pemerintahan Daerah Aceh yang anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum. (Pasal 1 angka 10).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya
disebut Dewan
Perwakilan rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) adalah unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. (Pasal 1 angka 11).
DPRA dan DPRK mempunyai fungsi : Legeslasi, anggaran dan
pengawasan. (Ps. 22 ayat (1).
TUGAS DAN WEWENANG DPRA dan DPRK

13
DPRA (Pasal 23 ayat (1) :
a. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk
mendapat persetujuan bersama.
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun dan PUU
lainnya.
DPRA/DPRK mempunyai hak, antara lain :
a. Mengajukan Rancangan Qanun;
b. Mengadakan perubahan atas Rancangan Qanun.

2.2.4. AZAS PEMBDENTUKAN QANUN (Pasal 236 UU No.


11/2006).
Qanun dibentuk berdasarkan azas pembentukan PUU yang meliputi :
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. keterlaksanaan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

2.2.5. AZAS MATERI MUATAN QANUN


(Pasal 237 UU No. 11/2006).
Materi muatan Qanun mengandung azas :
a. pengayomam;
b. kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. keanekaragaman;
f. keadilan;
g. nondiskriminasi;
h. kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

14
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

KETENTUAN PIDANA
(1) Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan
hukum seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan.
(2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000.-(lima puluh juta rupiah).
(3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana
dimaksud ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-
Undangan lain.
(4) Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).

PARTISIPASI MASYARAKAT (Pasal 238 UU No. 11/2006).


Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan Qanun. Setiap tahap
penyiapan dan pembahasan Qanun harus terjamin adanya ruang
partisipasi publik.
PENGESAHAN QANUN (Pasal 232 UU No. 11/2006).
Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan
bersama dengan DPRA. Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh
Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK.
Pasal 233 ayat (2) :
Qanun sebagaimana dimaksud dapal pasal 232 berlaku setelah
diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh atau Lembaran Daerah
Kabupaten/kota.

15
PENGUNDANGAN
Qanun diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh, Lembaran Daerah
Kabupaten/Kota.
• Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam :
Berita Daerah Aceh, Berita Daerah Kabupaten/Kota. Pengundangan
Qanun dan Peraturan Gubernur dilakukan oleh Sekretariat Daerah Aceh.
Pengundangan Qanun dan Peraturan Bupati/Walikota dilakukan oleh
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota.

PENYEBARLUASAN QANUN
Pemerintah Aceh wajib menyebarluaskan Qanun dan Peraturan Gubernur
yang telah diundangkan dalam lembaran Daerah Aceh dan Berita Daerah
Aceh. Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyebarluaskan Qanun dan
Peraturan Bupati/Walikota yang telah diundangkan dalam Lembaran
Daerah Kabupaten/Kota dan Berita Daerah Kabupaten/Kota.

2.2.5. DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, maka kedudukan sebagai
daerah istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta diamui secara yuridis
dan memiliki kepastian hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 1 angka :
1. Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya disebut DIY, adalah daerah
provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki
oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal asul menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan
mengurus kewenangan stimewa,

16
3. Keweangan istimewa adalah kewenangan tambahan tertentu yang
dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-
undang tentangan Pemerintahan Daerah.
4. Peraturan Daerah Istimewa DIY selanjutnya disebut Perdais, adalah
Peraturan Daerah DIY yang dibentuk oleh DPRD DIY bersama Gubernur
untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan istimewa.
Dalam Undang-Undang Nomro 13 Tahun 2012 Tengang Keistimewaan
Dearah Istimewa Yogyakarta:
Pasal 6 Kewenangan istimewa DIY berada di Provonsi.
Pasal 7 (1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan
urusan keistimewaan yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
(2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur
dan wakil Gubernur;
b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
c. kebudayaan;
d. pertanahan; dan
e. tata ruang.
(3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan local dan
keberpihakan kepada rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan dalam urusan
Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Perdais.
Pasal 10 ayat (2) Gubernur berwenang:
a. mengajukan rancangan Perda dan rancangan Perdis;
b. menetapkan Perda dan Perdias yang telah mendapat persetujuan

17
bersama DPRD DIY;
Pasal 11 Gubernur berhak :
a. menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan Kewenangan istimewa;
b. mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang
diperlukan untuk perumusan kebijakan mengenai keistimewaan DIY;
c. mengusulkan perubahan atau penggantian Perdias.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan
Peraturan Daerah (Peraturan daerah) adalah “peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah”.
Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan
dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam
hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah
inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah
rancangan Perda (legal draft).
2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di
DPRD.
3. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh
Sekretaris Daerah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009
http://gumilar69.blogspot.com/2013/10/makalah-pembentukan-perda-
peraturan.html
http://handikap60.blogspot.com/2013/01/contoh-pengertian-dan-proses-
penyusunan_31.html
Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan
SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan,200), hlm. 5
Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978,
hlm.150-151.
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum
Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 198, hlm. 52
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti, 1980), hlm. 160.
Srijanti & A. Rahman. Etika Berwarga Negara (ed.2). (Jakarta: Salemba
Empat, 2008). hal 106-107

19

Anda mungkin juga menyukai