Anda di halaman 1dari 13

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi asma

Asma dikenal sebagai penyakit alergi, biasanya dimulai pada masa kanak-
kanak, dengan karakteristik obstruksi aliran udara yang reversibel dan bersifat
episodik dan prognosis yang menguntungkan karena responnya yang baik
terhadap obat anti inflamasi (Papaiwannou et al., 2014).

GINA (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma menurut karakteristiknya


secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis, adanya episodik sesak napas
terutama pada malam hari, sering disertai dengan batuk yang merupakan ciri
utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu, terdapat obstruksi saluran
napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Berdasarkan patologisnya
terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan dengan perubahan struktur jalan
napas. Asma melibatkan komponen genetik dan lingkungan, dengan
patogenesisnya belum jelas, sehingga penjelasan operasional asma menurut
konsekuensi secara fungsional dari inflamasi jalan napas yaitu, merupakan
penyakit inflamasi kronik pada jalan napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan episode berulang mengi, sesak napas, sesak di dada, dan batuk
terutama saat malam atau dini hari. Episode ini bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.

Dijelaskan dalam ICSI (2012), penyakit inflamasi jalan napas ini melibatkan
sel-sel inflamasi seperti eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitelial, dan juga
mengaktivasi limfosit yang mengeluarkan berbagai sitokin, molekul adhesi dan
mediator lainnya. Ciri lain yaitu hiperesponsifitas terhadap rangsangan alergen,
iritan lingkungan, infeksi virus dan olahraga, dimana setiap penderita memiliki
stimulus yang tidak selalu sama (Djojodibroto, 2012).

Universitas Sumatera Utara


6

2.2. Faktor resiko

Faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya asma dapat dibagi menjadi


faktor yang menyebabkan perkembangan asma, faktor penjamu (genetik) dan
faktor yang memicu asma, faktor lingkungan. Bukan hanya kedua faktor tersebut
yang berperan tetapi juga diperlukan adanya interaksi antara keduanya dan telah
diketahui gen yang berhubungan dengan interaksi gen-lingkungan misalnya
CD14, TLR2 dan TLR4 (Vercelli, 2010).

Gambar 2.2.1 Faktor penjamu dan faktor lingkungan

Faktor Penjamu Faktor Lingkungan

Genetik, misalnya Alergen

• Genetik atopi • Dalam ruangan : tungau


• Genetik domestik, serpihan kulit,
hipereaktivitas bulu binatang
bronkus (anjing,kucing), kecoa,
• Genetik asma jamur, dll.
Obesiti • Luar ruangan : tepung sari,
Jenis kelamin jamur, infeksi terutama virus

Sensitisasi lingkungan : dalam


rumah, luar rumah dan tempat kerja
• Asap rokok (aktif & pasif)
• Asap dapur (biomassa, gas)
• Asap kendaraan
• Asap pabrik

ASMA

Sumber : Dewan Asma Indonesia

Universitas Sumatera Utara


7

2.3. Patogenesis asma

Keterbatasan aliran udara yang masuk disebabkan oleh banyaknya faktor


yang berperan dalam patogenesis asma. Faktor utama yaitu terjadi inflamasi pada
saluran napas. National Heart, Lung, and Blood Institute dalam Expert Panel
Report 3 (2007) menjelaskan ada beberapa perubahan yang terjadi pada jalan
napas. Perubahan yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus sehingga
saluran napas menjadi sempit . Hal ini merupakan respon utama terhadap paparan
berbagai rangsangan termasuk alergen atau zat iritan. IgE terutama sebagai
antibodi pada reaksi alergi fase cepat setelah fase sensitisasi. Alergen yang masuk
diendositosis oleh APCs, terdeteksi oleh sel T lalu sel T berdiferensiasi menjadi
sel Th2. Selanjutnya, sel Th2 menginduksi produksi IgE oleh sel B. IgE kemudian
menempel pada reseptor nya di permukaan sel mast dan basofil (Ishmael, 2011).
Akibat aktivasi oleh antigen ini maka dilepaskan mediator-mediator yang
menginisiasi bronkospasme seperti histamin, leukotriens, tryptase, prostaglandin
D2 dan mediator inflamasi sitokin lainnya.

Proses inflamasi yang progresif dan persisten membuat aliran udara semakin
terbatas. Banyak sel yang berperan dalam proses inflamasi ini, dimana melibatkan
peningkatan eosinofil dan sitokin Th2 sebagaimana juga digunakan sebagai
biomarker dalam pengobatan (Manuyakorn, 2012). Meningkatnya jumlah
eosinofil berkorelasi dengan derajat keparahan asma karena eosinofil mengandung
enzim-enzim inflamasi, leukotriens, dan sitokin pro-inflamasi. Th2 dan IL-5 yang
dihasilkan oleh sumsum tulang meningkatkan jumlah eosinofil (Ishmael, 2011).
Selanjutnya eosinofil akan masuk ke matriks saluran napas dan bertahan lama
akibat adanya IL-4 dan GM-CSF. IL-4 penting untuk diferensiasi Th2, dan
diperlukan IL-13 untuk pembentukan IgE. Banyaknya mediator yang berperan
tersebut menyebabkan inflamasi yang persisten, termasuk edema lokal,
hipersekresi mukus, hipertropi serta hiperplasia otot polos jalan napas (NHLBI,
2007).

Hiperresponsif jalan napas termasuk dalam salah satu fakto resiko dalam
perkembangan gejala asma pada dewasa dan anak-anak, yang terkait dengan

Universitas Sumatera Utara


8

keparahan gejala, penurunan fungsi paru, dan sebagai penentu pengobatan.


Hiperresponsif bronkus merupakan respon obstruksi jalan napas yang berlebihan
akibat stimulus obat-obatan, kimia dan fisik termasuk histamin, metakolin, AMP,
sulfur dioksida, asap, dan udara dingin (Meurs et al., 2008).

Struktur utama jalan napas yaitu sel epitel, fibroblas, dan sel otot polos.
Respon terhadap inflamasi adalah dengan perbaikan jalan napas, akan tetapi
perbaikan jalan napas pada penderita asma merupakan perbaikan patologis dengan
perubahan struktur jalan napas yang disebut remodelling. Remodelling
mempunyai karakteristik penebalan subepitel oleh karena deposisi kolagen,
denudasi epitel dengan metaplasia sel goblet, meningkatkan lapisan otot polos,
angiogenesis, dan masuknya komponen matriks ekstraselular seperti kolagen,
proteoglikan, glikoprotein pada dinding saluran napas (Manuyakorn, 2014).

2.4. Diagnosis asma

Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit
keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan
kapan terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala
berupa mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat
malam atau pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu
oleh infeksi virus, olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan
seperti asap (GINA, 2014).

Simptom yang dikeluhkan pasien sangatlah bervariasi, dengan pemeriksaan


fisik auskultasi, temuan abnormal yang paling sering didapatkan adalah mengi.
Mengi (wheezing) adalah napas yang berbunyi seperti suling yang menunjukkan
adanya penyempitan saluran napas, baik secara fisiologis (oleh karena dahak)
maupun secara anatomik (oleh karena konstriksi) (Djojodibroto, 2012). Namun,
mengi kadang tidak ditemukan atau hanya ditemukan bila dengan ekspirasi paksa
saat eksaserbasi asma yang berat, hal ini disebut juga silent chest.

Universitas Sumatera Utara


9

Untuk menegakkan diagnosis asma dibutuhkan pemeriksaan penunjang yaitu


pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif
yang standar dipakai yaitu pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow
(PEF). Pemeriksaan spirometri dan PEF sangat membutuhkan kemampuan dan
kerjasama penderita bersamaan dengan pemahaman yang jelas oleh intruksi
pemeriksa. Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam
menegakkan diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan
(Rengganis, 2008).

Peak flow meter yang merupakan alat sederhana dibuat untuk monitoring dan
bukan alat diagnostik, karena dengan spirometer lebih sensitif dari PFM. Namun
PEF dapat menegakkan diagnosa asma jika pasien tidak bisa melakukan
pemeriksaan FEV1 (Rengganis, 2008). Monitor PEF dibuat untuk self-monitoring
untuk melihat respon pengobatan. Setelah menggunakan ICS, monitor PEF jangka
pendek dilakukan dua kali sehari selama 3 bulan.

Pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan IgE, tanda inflamasi, dan uji


hiperaktivitas bronkus juga dapat membantu menegakkan diagnosa asma. Foto
thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. Skin
prick test untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit dimana uji
ini untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Analisis sputum
yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl
Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Uji
hiperreaktivitas bronkus dapat dilakukan dengan tes provokasi, dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik (Rengganis, 2008).

2.5. Klasifikasi asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan atau asma


terkontrol. Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi

Universitas Sumatera Utara


10

pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat-ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma dan sangat penting dalam
penatalaksanaan asma.

Tabel 2.5.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis

Derajat asma Gejala Gejala Faal paru


malam

Intermitten Bulanan APE≥80%

- Gejala<1x/minggu ≤ 2 kali - VEP1≥80% nilai


. sebulan prediksi APE≥80%
- Tanpa gejala nilai terbaik.
diluar serangan.
- Serangan singkat. - Variabiliti
APE<20%.
Persisten ringan Mingguan APE>80%

- Gejala>1x/minggu >2 kali - VEP1≥80% nilai


tetapi<1x/hari. sebulan prediksi APE≥80%
- Serangan dapat nilai terbaik.
mengganggu - Variabiliti APE 20-
aktifiti dan tidur 30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80%

- Gejala setiap hari. >2 kali - VEP1 60-80%


- Serangan sebulan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80%
aktifiti dan tidur. nilai terbaik.
- Membutuhkan - Variabiliti
bronkodilator APE>30%.
setiap hari.
Persisten berat Kontinyu APE 60≤%

- Gejala terus Sering - VEP1≤60% nilai


menerus prediksi
- Sering kambuh APE≤60% nilai
- Aktifiti fisik terbaik
terbatas

Universitas Sumatera Utara


11

- Variabiliti
APE>30%

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004

2.6. Penatalaksanaan asma

Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol agar


memiliki kualitas hidup baik yang tidak mengganggu aktivitas dan mencegah
kematian saat serangan. Penatalaksaan asma ini dikutip berdasarkan GINA
(2012), yang mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat
kontrol asma (controllers) dan obat pelega asma (reliever).

Obat controllers adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka
waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah
dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses
inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol :

a. Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan


jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di
paru akan berikatan dengan reseptornya, menghambat sintesis sitokin
proinflamasi, dan menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga sel
mast. Penggunaan kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru,
menurunkan hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam
kunjungan gawat darurat (Raissy et al, 2013). Kepatuhan menggunakan obat ini
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21%
penurunan resiko kematian akibat serangan asma (Sloan et al, 2013).

Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih


minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi
bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek

Universitas Sumatera Utara


12

sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun,
dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik dengan
menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi
efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi
saluran napas atas.

b. Kortikosteroid sistemik

Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara


inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius.
Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat
yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari
parenteral (intramuskular, intravena, subkutan) karena pertimbangan waktu paruh
oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit.

Efek samping yang ditakutkan misalnya osteoporosis, hipertensi, diabetes,


obesitas, penekanan axis hipotalamus-hipofisa-korteks adrenal, purpura, penipisan
kulit, striae, disfoni.

c. Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agnonist) inhalasi

Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang


mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk
dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam.
Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi
jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru
meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan
kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma
dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik.
Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk
pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah-
medium.

d. Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil

Universitas Sumatera Utara


13

Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma


persisten ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu
sebagai obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi
pelepasan mediator sel mast dan eosinofil (NHLBI, 2007). Kromolin juga bisa
menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan
percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran
histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga (Yazid et al, 2013).
Namun, efek anti-inflamasi kromolin lemah dan kurang efektif jka dibandingkan
dengan inhalasi kortikosteroid dosis rendah.

e. Methyxanthine

Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot
polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek
bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin
maupun inhibisi PDE (fosfodiesterase). Adenosin dapat menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari
sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin,
maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu,
penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi
akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos
termasuk otot polos bronkus (Louisa dan Dewoto, 2011).

Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol


gejala dan perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas
lambat dapat digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan
teofilin sebagai alternatif menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin
tidak lebih efektif dari inhalasi beta-2 agonis.

f. Leukotriene modifiers

Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-leukotriene 1


(CysLT1) dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan derivat asam
arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat bebas.

Universitas Sumatera Utara


14

Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat bebas


menjadi leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4, E4.
Leukotrin yang sudah terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1 yang
ditemukan pada eosinofil, monosit, sel-sel otot polos saluran napas, neutrofil, sel
B, sel plasma, dan makrofag jaringan. Dari mekanisme di atas, terlihat bahwa
leukotrin dianggap sebagai mediator inflamasi yang mampu mengaktivasi
eosinofil, meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, sekresi mukus, proliferasi
dan penyempitan otot polos, serta diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan
oleh leukotrin lebih besar daripada efek oleh histamin (Scichilone, 2013).

Leukotriene modifiers digunakan sebagai terapi tambahan dengan kombinasi


inhalasi glukokortikosteroid. Namun, beberapa penelitian mengatakan bahwa
leukotriene modifiers kurang efektif jika dibandingkan dengan inhalasi β2 agonis
sebagai tambahan terapi. Zileuton menghambat langsung kerja enzim 5-
lipoxygenase; montelukas, pranlukas, dan zafirlukas menghambat reseptor
leukotrin.

Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk


membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya
seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat.

a. Short-acting β2 agonis inhalasi (SABA)

SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat


eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma.
Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun
pemberian yang lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena
mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek samping yang minimal.
SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan
merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan
eosinfil. Yang termasuk obat golongan SABA adalah salbutamol, levalbuterol,
biltolterol, pirbuterol, isoproterol, metaproternol, terbutaline,epinephrine.

Universitas Sumatera Utara


15

b. Anticholinergic

Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme


kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitf
menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus,
blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan
menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi bronkodilator
antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA. Namun, Obat
ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai
alternatif pada penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia,
tremor dengan pemakaian SABA.

c. Methylxantin

Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya


akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek
bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis. Penambahan
teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak memperkuat respon
bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive. Pemberian
teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi
teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring kadarnya dalam darah.

Tabel 2.6.1. Pengobatan sesuai berat asma

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega


bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi Alternatif / Pilihan lain Alternatif
pengontrol harian lain
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid · Teofilin lepas lambat ------
Persisten
Ringan inhalasi · Kromolin

(200-400 ug BD/hari · Leukotriene modifiers


atau ekivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid Ditambah
Persisten inhalasi (400-800 ug BD agonis

Universitas Sumatera Utara


16

Sedang glukokortikosteroid atau ekivalennya) beta-2


ditambah Teofilin lepas kerja lama
(400-800 ug BD/hari lambat ,atau oral, atau
atau ekivalennya)
dan

agonis beta-2 kerja Glukokortikosteroid ·


lama Ditambah
inhalasi (400-800 ug BD teofilin
atau ekivalennya) lepas
ditambah agonis beta-2 lambat
kerja lama oral, atau

·
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau

·
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers

Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/


Persisten glukokortikosteroid metilprednisolon oral
Berat selang sehari 10 mg
(> 800 ug BD atau
ekivalennya) dan ditambah agonis beta-2
agonis beta-2 kerja kerja lama oral, ditambah
lama, ditambah ≥ 1 teofilin lepas lambat
di bawah ini:

- teofilin lepas
lambat

- leukotriene
modifiers

Universitas Sumatera Utara


17

-
glukokortikosteroid

Oral

Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling


tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi
seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai