Chapter II PDF
Chapter II PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Asma dikenal sebagai penyakit alergi, biasanya dimulai pada masa kanak-
kanak, dengan karakteristik obstruksi aliran udara yang reversibel dan bersifat
episodik dan prognosis yang menguntungkan karena responnya yang baik
terhadap obat anti inflamasi (Papaiwannou et al., 2014).
Dijelaskan dalam ICSI (2012), penyakit inflamasi jalan napas ini melibatkan
sel-sel inflamasi seperti eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitelial, dan juga
mengaktivasi limfosit yang mengeluarkan berbagai sitokin, molekul adhesi dan
mediator lainnya. Ciri lain yaitu hiperesponsifitas terhadap rangsangan alergen,
iritan lingkungan, infeksi virus dan olahraga, dimana setiap penderita memiliki
stimulus yang tidak selalu sama (Djojodibroto, 2012).
ASMA
Proses inflamasi yang progresif dan persisten membuat aliran udara semakin
terbatas. Banyak sel yang berperan dalam proses inflamasi ini, dimana melibatkan
peningkatan eosinofil dan sitokin Th2 sebagaimana juga digunakan sebagai
biomarker dalam pengobatan (Manuyakorn, 2012). Meningkatnya jumlah
eosinofil berkorelasi dengan derajat keparahan asma karena eosinofil mengandung
enzim-enzim inflamasi, leukotriens, dan sitokin pro-inflamasi. Th2 dan IL-5 yang
dihasilkan oleh sumsum tulang meningkatkan jumlah eosinofil (Ishmael, 2011).
Selanjutnya eosinofil akan masuk ke matriks saluran napas dan bertahan lama
akibat adanya IL-4 dan GM-CSF. IL-4 penting untuk diferensiasi Th2, dan
diperlukan IL-13 untuk pembentukan IgE. Banyaknya mediator yang berperan
tersebut menyebabkan inflamasi yang persisten, termasuk edema lokal,
hipersekresi mukus, hipertropi serta hiperplasia otot polos jalan napas (NHLBI,
2007).
Hiperresponsif jalan napas termasuk dalam salah satu fakto resiko dalam
perkembangan gejala asma pada dewasa dan anak-anak, yang terkait dengan
Struktur utama jalan napas yaitu sel epitel, fibroblas, dan sel otot polos.
Respon terhadap inflamasi adalah dengan perbaikan jalan napas, akan tetapi
perbaikan jalan napas pada penderita asma merupakan perbaikan patologis dengan
perubahan struktur jalan napas yang disebut remodelling. Remodelling
mempunyai karakteristik penebalan subepitel oleh karena deposisi kolagen,
denudasi epitel dengan metaplasia sel goblet, meningkatkan lapisan otot polos,
angiogenesis, dan masuknya komponen matriks ekstraselular seperti kolagen,
proteoglikan, glikoprotein pada dinding saluran napas (Manuyakorn, 2014).
Peak flow meter yang merupakan alat sederhana dibuat untuk monitoring dan
bukan alat diagnostik, karena dengan spirometer lebih sensitif dari PFM. Namun
PEF dapat menegakkan diagnosa asma jika pasien tidak bisa melakukan
pemeriksaan FEV1 (Rengganis, 2008). Monitor PEF dibuat untuk self-monitoring
untuk melihat respon pengobatan. Setelah menggunakan ICS, monitor PEF jangka
pendek dilakukan dua kali sehari selama 3 bulan.
pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat-ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma dan sangat penting dalam
penatalaksanaan asma.
- Variabiliti
APE>30%
Obat controllers adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka
waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah
dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses
inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol :
a. Kortikosteroid inhalasi
sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun,
dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik dengan
menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi
efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi
saluran napas atas.
b. Kortikosteroid sistemik
e. Methyxanthine
Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot
polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek
bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin
maupun inhibisi PDE (fosfodiesterase). Adenosin dapat menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari
sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin,
maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu,
penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi
akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos
termasuk otot polos bronkus (Louisa dan Dewoto, 2011).
f. Leukotriene modifiers
b. Anticholinergic
c. Methylxantin
·
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau
·
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers
- teofilin lepas
lambat
- leukotriene
modifiers
-
glukokortikosteroid
Oral