Anda di halaman 1dari 3

Demokrasi Lemah Syahwat

Tuhan menghadirkan manusia dalam sebuah ruang dan waktu yang terbatas, di representasi
dari jangka hidup dan alam semesta. Memberi firman pertamanya, agar manusia membaca
dalam setiap hidupnya. Membaca persoalan kecil tentang siapa diri kita, siapa kawan kita,
hingga siapa musuh kita. Sampai pada tahap membaca persoalan besar tentang karakterisasi
setiap orang, kerangka berpikir setiap orang, sampai keadaan bangsa dan negara kita. Dari
membaca ini melahirkan sebuah rahim-rahim pengetahuan seperti halnya dialektika. Meninjau
tokoh filsafat asal Jerman yaitu, George Wilhelm Hegel. Merumuskan suatu konsep tentang
Tesis, Antitesis, dan Sintesis yang dihadirkan dari membaca keadaan dimasa itu.

Dari membaca diatas, memberikan sebuah pencerahan pikiran, untuk membaca persoalan
dialektika Demokrasi Indonesia dan Kota Depok. Demokrasi tentu merupakan representasi dari
suatu kumpulan kata yang memiliki arti penuh makna dan intepretasi para ahli dengan makna
subtantif relatif sama, yakni; sistem pemerintahan yang kekuasaanya berada ditangan rakyat.
Tentu dengan esensial demokrasinya mencipta sebuah tujuan besar untuk kesejahteraan dan
keadilan bagi rakyat. Diperkuat dengan pendapat Abraham Lincoln yaitu “ Demokrasi adalah
sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat “. Pendapat ini merupakan
suatu hasil dari pengertian secara etimologis dan penerapannya.

Membaca demokrasi Indonesia dan Kota Depok , seperti layaknya membutuhkan sebuah
kacamata, agar terhindar dari debu jalanan (sentimen kaum fanatisme) dan dapat memperjelas
apa yang nanti kita akan lihat . Pada proses membaca pun, diperlukan sebuah pikiran dan nurani
agar dapat memahami maksud dan tujuannya, sehingga orisinal pandangan dapat memberi
konsumtif bagi paradigma pembaca, untuk menentu langkah kemajuan.

Mulai membaca, Demokrasi Indonesia. Belum lama bangsa ini melewati eksistensial
demokrasi pada tahun 2019 yakni Pemilihan Umum Raya (Pemilu). Mencipta sebuah isu dan
hoaks untuk membuat segmentasi Manusia Indonesia menjadi Cebong dan Kampret.
Menggunakan nilai ketuhanan untuk kedok kekuasaan, sampai memperalat akal sehat untuk
pembenaran kebohongan. Semua dilakukan untuk demokrasi kekuasaan, alhasil terdapat kaum
fanatisme mencipta segala pertikaiaan argumentasi rendahan. Selain itu, Demokrasi Indonesia
menghadiahkan beberapa produk gagal. Produk gagal demokrasi Indonesia ialah pengkebirian
KPK serta rekonsiliasi pasca kemenangan. Mencipta sebuah problematika yang aktual baru-
baru ini.

Salah satunya Kasus Suap Komisioner KPU yang sepertinya melibatkan partai besar PDI-P,
membuat sebuah tanya tentang fungsional Partai terhadap menjaga kestabilan demokrasi agar
dapat mencapai tujuan demokrasi sepertinya hanya bualan semata, ditambah keikutsertaan
Kementrian Hukum dan Ham sebagai pengacara, mencipta penurunan kredibilitas dan marwah
Demokrasi kita. Selain itu kasus Natuna juga menjadi sorotan akan kebijakan Kementriaan
Pertahanan yang tak sesuai janji kampanye untuk kedaualatan bagi negeri. Membuat kembali
wajah demokrasi kita tak lagi cerah, memupuskan sebuah harapan akan tujuan esensial
demokrasi kita untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia.

Ironinya beberapa korban dikambing hitamkan untuk memuluskan langkah kepentingan. Salah
satunya Dede Luthfi, pemuda pembawa bendera pasca aksi reformasi dikorupsi. Mendekam
dipenjara atas intervensi pemangku kekuasaan. Penggusuran makin menjadi untuk para
pemegang uang, agar para abdi tetap kenyang. Inilah kasatmata demokrasi Indonesia.

Lanjut membaca, Demokrasi kota Depok. Lingkup kecil Indonesia, daerah tempat penulis
berkuliah sampai singgah untuk berkegiatan dan BerMuhammadiyah. Melihat kondisi,
nampaknya sebentar lagi eksistensial demokrasi di depok akan disegelanggarakan, yakni
Pemilihan Wali Kota Depok di tahun 2020. Maka dari itu ketertarik membaca sekilas tentang
masa depan kontestasi politik Kota Depok, dengan sebuah tanya.

Apa demokrasi hanya sebagai pemuas rasa sensualitas kepentingan, membaca kurang lebih
kepemimpinan dua dekade , nampak tidak ada perubahan yang signifikan, kebijakan
kontroversi diterapkan. Sepertinya rakyat hanya sebagai umpan untuk meraih keinginan dan
jabatan, karena inilah mencipta sebuah klausa, masih banyaknya masyarakat yang permisif
terhadap pragmatisme, integritas dan profesionalitas panitia penyelanggara yang masih
dipertanyakan, serta keterlibatan ASN sebagai pemangku kepentingan saat ini.

Meninjau keadaan kebijakan publik, fasilitas umum yang nampak kurang memadai namun
memberi wacana kebijakan ganjil genap. Perumahan Grand Depok City tak kunjung selesai,
hingga jalan rusak memakan korban, sampai wacana lagu lampu lalu lintas. Ironi, padahal para
investor juga mulai masuk, dari terlihatnya apartement yang mulai di dirikan. Namun taka ada
check and balance kebijakan untuk masyarakat umum.

Asumsi manis akhirnya terpikirkan, atas dasar bacaan dua keadaan. Bahwa sanya demokrasi
kita sepertinya lemah syahwat. Dimana dalam esensial demokrasi yang seharusnya sistem
pemerintahan ada ditangan rakyat dengan tujuan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat,
sepertinya tidak akan tercapai, karena lemahnya syahwat demokrasi kita. Tak ada Hasrat,
nafsu, keinginan, ambisi, kehendak untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.
Alhasil potensial permasalahan akan muncul saat kontestasi politik di kota depok nantinya,
seperti, politik uang, politik identitas, serta keterlibatan ASN terhadap kekuasaan.

Untuk itu, sebelum berjalannya eksistensial demokrasi di Depok ini, sepertinya perlu ada
refleksi bagi kita kaum muda, untuk memberikan terapi pengobatan bagi Demokrasi kita yang
sudah lemah syahwat ini. Mari kawal, bangun kembali syahwat demokrasi kita, edukasi
masyarakat untuk hilangkan permisif terhadap pragmatisme, pantau paniatia penyelenggara
untuk tetap integritas dan profesionalitas, bangun kembali partsipan masyarakat, bahwa pemilu
bukan hanya pencoblosan bersifat eksitensial. Karena kalau bukan kita pemuda, siapa lagi ?

Anda mungkin juga menyukai