Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjalani kehamilan itu berat, apalagi kehamilan yang tidak


dikehendaki. Terlepas dari alasan apa yang menyebabkan kehamilan, aborsi
dilakukan karena terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Apakah
dikarenakan kontrasepsi yang gagal, perkosaan, ekonomi, jenis kelamin atau
hamil di luar nikah.

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin


dapat hidup diluar kandungan.Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.Rata-rata terjadi 114 kasus
abortus perjam.Sebagian besar studi menyatakan kejadian abortus 15-20%
dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih jauh kejadian abortus sebenarnya
mendekati 50% .Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical pregnancy
lossyang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi.Sebagian
besar kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya
sperma dan disfungsi oosit).

Tiga penyebab klasik kematian ibu di dunia ini disebabkan oleh 3 faktor
yaitu keracunan kehamilan, perdarahan, infeksi sedangkan penyebab ke empat
yaitu abortus. World Health Organization (WHO) melaporkan setiap tahun 42
juta wanita mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yang menyebabkan
abortus, terdiri dari 20 juta merupakan unsafe abortion, yang paling sering
terjadi pada negaranegara dimana abortus itu illegal.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015), lima penyebab kematian ibu


terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus
lama/macet, dan abortus.

Menurut Sekretariat Pembangunan Kesehatan pasca-2015 (2015) saat ini


telah dicanangkan program tujuan pembangunan berkelanjutan atau
Sustainable Development Goals (SDG’s) yang berlangsung pada tahun 2015
sampai 2030 dengan 17 tujuan dan 169 target. Masalah kesehatan merupakan
tujuan ke-3 SDG’s yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong
kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Menurunkan angka kematian
ibu hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup merupakan target dari
tujuan ke- 3 SDG’s. Kementerian Kesehatan RI (2016) juga menambahkan
bahwa hal terpenting yang perlu ditekankan bahwa SDG’s tidak dapat
dilaksanakan sendiri, tanpa dukungan semua pihak. Dalam pelaksanaannya
diperlukan partisipasi aktif dari pemerintah, LSM, sektor swasta, akademisi,
dan media. Selain itu, ada tiga elemen utama dalam pelaksanaan SDG’s yaitu
kerangka kebijakan, struktur institusi dan keterlibatan masyarakat.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) pada tahun 2012 angka
kematian ibu di Indonesia yaitu 359/ 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun
2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and
Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu
sebesar 25% yang dilaksanakan pada provinsi dengan jumlah angka kematian
ibu yang besar, salah satunya yaitu Jawa Tengah. Namun, menurut Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2015) angka kematian ibu di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2014 mengalami peningkatan dari tahun 2013 sebesar
118,62/100.000 kelahiran hidup menjadi 126,55/100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2014.

Perlu adanya penjelasan yang menyeluruh mengenai abortus, maka dari


itu kami membuat makalah tentang abortus sehingga dapat diketahui
penjelasan yang menyeluruh tentang abortus.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah mkalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa itu abortus imminen?


2. Apakah dalam kejadian di lapangan sesuai degan teori tentang abortus
imminen ?
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang abortus imminen.


2. Untuk mengetahui tentang kasus yang mengenai abortus serta
pembahasannya berdasarkan teori.

D. Manfaat Penuliasan
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Manfaat teoritis
a. Menambah landasan dalam pembuatan makalah yang terkait tentang
abortus imminen.
b. Memberikan informasi abortus imminen.
2. Manfaat praktis
a. Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang abortus imminen.
b. Sesama profesi
Menjadi masukan bagi sesama profesi saat melaksanakan pelayanan
kebidanan dan menjumpai kasus abortus imminen.
c. Pembaca
Menjadi sumber informasi yang dapat diterapkan saat meminta
pelayanan kebidanan yang terkait dengan abortus imminen dan jika
menemui kasus tentang abortus, maka pembaca dapat member saran.

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Medis


1. Pengertian
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010; h. 136) abortus adalah
terhentinya kehamilan sebelum janin dapat bertahan hidup yaitu sebelum
kehamilan berusia 22 minggu atau berat janin belum mencapai 500 gram.
Aborsi ialah menggugurkan kandungan atau dalam dunia
kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”.Berarti pengeluaran hasil
konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin
sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh (Sujiyatini,2009:22).
2. Klasifikasi Abortus
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010; h. 142) abortus dapat dibagi
menjadi:
a. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului
faktor-faktor mekanis atau ataupun medisinalis, semata-mata
disebabkan pleh faktor alamiah.
b. Abortus profokatus (induced abortion) adalah abortus yang disengaja,
baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat.
c. Abortus medisinalis (abortus therapeutica) adalah abortus karena
tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis).
d. Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-
tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
e. Unsafe abortion adalah upaya untuk terminasi kehamilan muda di
mana pelaksanaan tindakan tidak mempunyai cukup kehamilan dan
prosedur standar yang aman sehingga membahayakan keselamatan
jiwa pasien.
f. Abortus Imminens, yaitu terjadi perdarahan bercak yang menunju
ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi
seperti ini kehamilan masih mungkin berlajut atau dipertahankan,
ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang, serviks menutup,
uterus sesuai usia gestasi, kram perut bawah, nyeri memilin karena
kontraksi tidak ada atau sedikit sekali, tidak ditemukan kelainan pada
serviks.
g. Abortus Insipiens, terjadi perdarahan ringan hingga sedag pada
kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam kavum
uteri. Kondisi ini menunjukkan proses abortus sedang berlangsung dan
akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit, dengan tanda-
tanda perdarahab sedang hingga masih/banyak, kadang-kadang keluar
gumpalan darah, serviks terbuka, uterus sesuai masa kehamilan, kram
nyeri perut bawah karena kontraksi Rahim kuat, akibat kontraksi
uterus terjadi pembukaan, belum terjadi eksplusi hasil konsepsi.
h. Abortus inkomplit, perdarahan pada kehamilan muda di mana sebagian
dari hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis
serviks yang tesesuai usia kehamilan; kram atau nyeri rtinggal pada
desidua atau plasenta ditandai: perdarahan sedang, hingga
masih/banyak dan setelah terjadi abortus dengan pengeluaran jaringan
perdarahan berlangsung terus; serviks terbuka, karena masih ada benda
di dalam uterus yang dianggap orpus alliem maka uterus aan berusaha
mengeluarkannya degan mengadakan kontraksi tetapi kalau keadaan
ini dibiarkan lama, serviks akan menutup kembali; uterus sesuai usia
kehamilan; kram perut atau nyerii perut bagian bawah dan terasa
mules-mules; ekspulsi sebagian hasil konsepsi.
i. Abortus komplit, yakni perdarahan pada kehamilan muda di mana
seluuruh dari hasil konsepsi telah dikeluatkan dari kavum uteri,
ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang, serviks
tertutup/terbuka, uterus lebih kecil dari usia gestasi, sedikit atau tanpa
nyeri perut bawah dari riwayat hasil konsepsi, pada abortus komplit
perdarahan segera berkurang setelah isi Rahim dikeluarkan dan
selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali,
karena dalam masa ini luka Rahim telah sembuh dan epitelisasi telah
selesai. Dan jika dalam 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan
juga, maka abortus inkomplit atau endometriosis post abortum harus
dipikirkan.
j. Missed abortus, perdaraha pada kehamilan muda, disertai retensi hasil
konsepsi yang telah mati, hingga 8 minggu lebih, dengan gejala
dijumpai amenore, erdarahan sedikit yang berulang pada
permulaannya serta selama observasi fundus tidak bertambah tinggi
malahan tambah rendah, kalau tadinya ada gejala kehamilan
belakangan menghilang, diiringi dengan reaksi yang menjadi negative
pada 2- minggu sesudah fetus mati, serviks tertutup da nada darah
sedikit, sekali-kali pasien merasa perutnya dingin atau kosong.
k. Abortus hubitualis, suatu keadaan dimana penderita mengalami
keguguran berturut0turut 3 kali atau lebih.
3. Etiologi
a. Penyebab genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip
embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama
merupakan kelainan sitogenetik.Kelainan sitogenetik embrio biasanya
berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya
nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal.Separuh
dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa
trisomi autosom.Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis
selama gemetogenensis pada pasien dengan kariotip normal. Insiden
trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan
kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab
terbanyak. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada
trisomi kromosom 1.Sindroma Turner merupakan penyebab 20-25%
kelainan sitogenetik pada abortus.Sepertiga dari fetus dengan
Sindroma Down (trisomi 21) bisa bertahan. Pengelolaan standar
menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua
ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Resiko ibu terkena
aneuploidi adalah 1: 80, karena angka kejadian kelainan kromosom/
trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun (Saifuddin,2009:461-
462).
Kelaina sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena
adanya mutasi gen yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan
menyebabkan abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering
menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy, yang
berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini
progresif, dan penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen
yang abnormal dan gangguan fungsi uterus (Saifuddin,2009:462).
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan,
Sindroma Ehlers-Danlos, homosisteinuri & pseudoxanthoma
elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle cell anemia beresiko
tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada
plasenta. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2
kromosom yang abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah
satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada
kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga beresiko abortus
(Saifuddin,2009:462).
b. Penyebab anatomik
Anomali uterus termasuk malformasi congenital, defek uterus
yang didapat (Astherman’s syndrome dan defek sekunder terhadap
dietilestilbestrol), leiomyoma, dan inkompentensia serviks.Meskipun
anomaly-anomali ini sering dihubungkan dengan abortus spontan,
insiden, klasifikasi dan peranannya dalam etiologi masih belum
diketahui secara pasti. Abnormalitas uterus terjadi pada 1,9 dalam
populais wanita, dan 13 sampai 30 % wanita dengan abortus spontan
berulang. Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita dengan anomaly
didapat seperti Astherman’s syndrome, adhesi uterus, dan anomaly
didapat seperti paparan dietilestilbestrol memiliki angka kemungkinan
hidup fetus yang lebih rendah dan meningkatnya angka kejadian
abortus spontan (Sujiyatini,2009:26).
c. Penyebab autoimun
Pada kehamilan normal, sistem imun meternal tidak bereaksi
terhadap spermatozoa atau embrio.Namun 40% pada abortus berulang
diperkirakan secara immunologis kehadiran fetus tidak diterima.
Respon imun dapat dipicu oleh beragam faktor endogen dan eksogen,
termasuk pembentukan antibody antiparental, gangguan autoimun
yang mengarah pada pembentukan antibodi autoimun (antibodi
antifosfolipid, antibody antinuclear, aktivasi sel B poliklonal), infeksi,
bahan-bahan toksik, dan stress (Sujiyatini,2009:26-27).
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan
penyakit autoimiun. Misalnya, pada Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan
antibodi spesifik yang didapati pada perempuan SLE. Kejadian abortus
pada pasien SLE 10%, dibanding populasi umum. Bila digabung
dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3,
maka diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan
terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan
dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang akan berikatan
dengan sisi negatif fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang
diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus
Anticoagulant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan
biologically false-positive untuk syphilis (FP-STS). APS
(antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa
keadaan obstetric, misalnya pada preeklamsia, IUGR dan prematuritas.
Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu
trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik,
kore dan hipertensi pulmonum (Saifuddin,2009:463).
d. Penyebab infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai
diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan
pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata
terpapar brucellosis.Beberapa jenis organisme tertentu diduga
berdampak pada kejadian abortus antara lain:

1) Bakteria b) Rubela
a) Listeria c) Herpes simplek virus (hsv)
d) Human immuno deficiency
monositogenes
b) Klamidia trakomatis virus (hiv)
c) Ureaplasma e) Parvovirus
3) Parasit
urealitikum
a) Toksoplasmosis gondii
d) Mikoplasma hominis
b) Plasmodium falsiparum
e) Bakterial vaginosis
4) Spirokaeta
2) Virus
- Treponema pallidum
a) Sitimegalovirus

Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi


terhadap risiko abortus/EPL, di antaranya sebagai berikut.
1) Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
2) Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup.
3) Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa
berlanjut kematian janin.
4) Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah
(misal Mikoplasma hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum,
HSV) yang bisa mengganggu proses implantasi.
5) Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram negatif, listeria
monositogenes).
Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal (misalnya Rubella, parvovirus
B19, sitomegalovirus, koksakie virus B, varisella zooster, kronik
sitomegalovirus CMV, HSV).
(Saifuddin,2009:465)
e. Faktor lingkungan
1) Gas anestesi
Nitrat oksida dan gas-gas anestesi lain diyakini sebagai factor
risiko untuk terjadinya abortus spontan. Pada suatu tinjauan oleh
Tannenbaum dkk, wanita yang bekerja di kamar operasi sebelum dan
selama kehamilan mempunyai kecenderungan 1,5 sampai 2 kali
untuk mengalami abortus spontan. Pada suatu penelitian meta
analisis yang lebih baru, hubungan antara pekerjaan maternal yang
terpapar gas anestesi dan risiko abortus spontan digambarkan adalah
1,48 kali daripada yang tidak terpapar (Sujiyatini,2009:28).
2) Air yang tercemar
Beberapa penelitian epidemiologi telah mendapatkan data dari
fasilitas-fasilitas air di daerah perkotaan untuk mengetahui paparan
lingkungan. Suatu penelitian prospektif di California menemukan
hubungan bermakna antara risiko abortus spontan pada wanita yang
terpapar trihalometana dan terhadap salah satu turunannya,
bromodikhlorometana. Demikian juga wanita yang tinggal di daerah
Santa Clara daerah yang dengan kadar bromide pada air permukaan
paling tinggi tersebut, memiliki resiko 4 kali lebih tinggi untuk
mengalami abortus spontan (Sujiyatini,2009:28).

3) Dioxin
Dioxin telah terbukti menyebabkan kanker pada manusia dan
binatang, dan menyebabkan anomaly reproduksi pada binatang.
Beberapa penelitian pada manusia menunjukkan hubungan antara
dioxin dan abortus spontan. Pada akhir tahun 1990, dioxin ditemukan
di dalam air, tanah, air minum di kota Chapaevsk Rusia. Kadar
dioxin dalam air minum pada kota itu merupakan kadar dioxin
tertinggi yang ditemukan di Rusia, dan ternyata frekuensi rata-rata
abortus spontan pada kota tersebut didapatkan lebih tinggi dari kota-
kota yang lain (Sujiyatini,2009:28-29).
4) Pestisida
Resiko abortus spontan telah diteliti pada sejumlah kelompok
pekerja yang menggunakan pestisida.Suatu peningkatan prevalensi
abortus spontan terlihat pada istri-istri pekerja yang menggunakna
pestisida di Italia, India, dan Amerika Serikat, pekerja rumah hijau di
Kolombia dan Spanyol, pekerja kebun di Argentina, petani tebu di
Ukraina, dan wanita yang terlibat di bidang agricultural di Amerika
Serikat dan Finlandia. Suatu peningkatan prevalensi abortus yang
terlambat telah diamati juga dia antara wanita peternakan di
Norwegia, dan pekerjaan agricultural atau horticultural di Kanada
(Sujiyatini,2009:29).
5) Gaya hidup seperti merokok dan alkoholisme
Penelitian epidemiologi mengenai merokok tembakau dan
abortus menemukan bahwa merokok tembakau dapat sedikit
meningkatkan risiko untuk terjadinya abortus spontan.Namun,
hubungan antara merokok dan abortus spontan, kariotipe fetal, dan
status sosekonomi. Peningkatan angka kejadian abortus spontan pada
wanita alkoholik mungkin berhubungan dengan akibat tak langsung
dari gangguan terkait alkoholisme (Sujiyatini,2009:29).
6) Radiasi
Radiasi ionisasi dikenal menyebabkan gangguan hasil
reproduksi, termasuk malformasi congenital, restriksi pertumbuhan
intrauterine, dan kematian embrio. Pada tahun 1990, komisi
internasional terhadap perlindungan radiasi menyerahkan untuk
wanita dengan konsepsi tidak terpapar lebih dari 5mSv selama
kehamilan. Penelitian-penelitian mengenai kontaminasi radioaktif
memperlihatkan akibat Chernobyl yang meningkatkan angka
kejadian abortus spontan di Finlandia dan Norwegia
(Sujiyatini,2009:29-30).
7) Faktor hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada
koordinasi yang baik sistem pengaturan hormone maternal. Oleh
karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormone secara
keseluruhan, fase luteal dan gambaran hormone setelah konsepsi
terutama kadar progesterone (Saifuddin,2009:465).
a. Diabetes mellitus
Perempuan yang diabetes yang dikelola dengan baik resiko
abortusnya tidak lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa
diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar HbA1c
tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi janion
meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan
control glukosa tidak adekuat punya peluang 2-3 kali lipat
mengalami abortus (Saifuddin,2009:466).
b. Kadar progesterone yang rendah
Progesteron punya poeran penting dalam mempengaruhi
reseptivitas endometrium dalam implantasi embrio. Pada tahun
1929, Allen dan Corner mempublikasikan tentang proses fisiologi
korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang
rendah berhubungan dengan resiko abortus. Support fase luteal
punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat
dimana trofoblast harus menghasilkan cukup steroid untuk
menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia
7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila progesterone
diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan
(Saifuddin,2009:466).
c. Defek fase luteal
Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep
insufisiensi progesterone saat fase luteal, dan kejadian ini
dilaporkan pada 23-60% perempuan dengan abortus
berulang.Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk
mendiagnosis gangguan ini. Pada penelitian terhadap perempuan
yang mengalami lebih daroi atau samadengan 3 kali, didapatkan
17% kejadian defek fase luteal. Dan, 50% perempuan dengan
histology defek fase luteal punya gambaran progesterone yang
normal (Saifuddin,2009:466).
d. Pengaruh hormonal terhadap imunitas decidua
Perubahan endometrium terhadap desidua mengubah semua
sel pada mukosa uterus. Perubahan morfologi dan fungsional ini
mendukung proses implantasi juga proses migrasi trofoblast dan
mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Di sini
berperan penting interaksi antara trofoblast exstra vilous dan
infiltrasi leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini
berupa large granular lymphocytes (LGL) dan makrofag, dengan
sedikit sel T dan sel B (Saifuddin,2009:466).
Sel NK dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada
endometrium yang terpapar progesterone. Peningkatan sel NK
pada tempat implantasi saaat trimester pertama mempunyai peran
penting dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan
mendahului membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa
ekspresi HLA. Trofoblas ekstravilous (dengan pertumbuhan cepat
HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK decidua, sehingga
memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk plasenta yang
normal (Saifuddin,2009:466).
e. Faktor hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek
plasentasi dan adanya mikrotombi pada pembuluh darah
plasenta.Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang
peranan penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan
plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi
dikarenakan:
1) Peningkatan kadar factor prokoagulan
2) Penurunan factor anti koagulan
3) Penurunan aktivitas fibrinolitik
(Saifuddin,2009:466-467)
Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen meningkat selama
kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sehingga
didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpala dan kawan-kawan
menun jukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang,
sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan
pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin
saat usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-
prostasiklin memacu vasespasme serta agregrasi trombosit, yang akan
menyebabkan mikrotombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai
penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida. Defisiensi factor XII
(Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik ataupun
plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus
berulang pada lebih dari 22% kasus. Homosistein merupakan asam
amino yang dibentuk selama konversi metionin ke
sistein.Hiperhomosisteinemia, bisa congenital ataupun akuisita,
berhubungan dengan trombisis dan penyakit vascular dini.Kondisi ini
berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan
diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat
adalh defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan folat akan
mengembalikan homosistein normal dalam beberapa hari
(Saifuddin,2009:467).
Trombofilia merupakan keadaan hiperkoagulasi yang
berhubungan dengan predisposisi terhadap trombolitik. Kehamilan
akan mengawali keadaan hiperkoagulasi dan melibatkan
keseimbangan antara jalur prekoagulan dan antikoagulan. Trombofili
dapat merupakan kelainan yang herediter atau didapat. Terdapat
hubungan antara antibodi antifosfolipid yang didapat dan abortus
berulang dan semacam terapi dan kombinasi terapi yang melibatkan
heparin dan aspirin telah direkomendasikan untuk meyokong
pemeliharaan kehamilan sampai persalinan. Pada sindrom
antifosfolipid, antibody antifosfolipid mempunyai hubungan dengan
kejadian thrombosis vena, thrombosis arteri, arbortus atau
trombositopenia.Namun, mekanisme pasti yang menyebabkan
antibodi antifosfolipid mengarah ke thrombosis masih belum
diketahui. Pada perkembangan terbaru, beberapa gangguan
trombolitik yang herediter atau didapat telah dihubungkan dengan
abortus berulang termasuk faktor V Leiden, defisiensi protein
antikoagulan dan antitrombin, hiperhomosistinemia, mutasi genetic
protombin, dan mutasi homozigot pada gen metileneterhidrofolat
reduktase (Sujiyatini,2009:27).
4. Komplikasi
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-
sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfuse darah. Kematian
karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan
pada waktunya (Sujiyatini,2009:31).
b. Perforsi
Perforasi uterus pada kuretase dapat terjadi terutama pada uterus
dalam posisi hiperretrofleksi.Jika terjadi peristiwa ini penderita perlu
idamati dengan teliti jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan
laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan
luka perforasi atau perlu histerektomi.Perforasi uterus pada abortus
yang dikerjakan oleh seorang awam menimbulkan persoalan gawat
karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi pada
kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian
terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk
menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-
tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi (Sujiyatini,2009:31).
c. Infeksi
Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus
tetapi biasanya didapatkan pada abortus inkomplet yang berkaitan erat
dengan suatu abortus yang tidak aman (unsafe abortion)
(Sujiyatini,2009:31).
d. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik)
dan karena infeksi berat (syok endoseptik) (Sujiyatini,2009:31).

B. Tinjauan Teori Askeb


1. Identitas pasien dan
penanggung jawab
a. Umur
Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama
merupakan kelainan sitogenetik.Kelainan sitogenetik embrio biasanya
berupa aneuploidy. Pengelolaan standar menyarankan untuk
pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia
lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Resiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:
80, karena angka kejadian kelainan kromosom/ trisomi akan
meningkat setelah usia 35 tahun (Saifuddin,2009:461-462).
b. Pekerjaaan
Wanita yang bekerja dikamar operasi sebelum dan selama kehamilan
mempunyai kecenderungan 1,5 sampai 2 kali untuk mengalami abortus
spontan (Sujiyatini,2009:28).
c. Alamat
Beberapa penelitian epidemiologi telah mendapatkan data dari
fasilitas-fasilitas air di daerah perkotaan untuk mengetahui paparan
lingkungan. Suatu penelitian prospektif di California menemukan
hubungan bermakna antara risiko abortus spontan pada wanita yang
terpapar trihalometana dan terhadap salah satu turunannya,
bromodikhlorometana. Demikian juga wanita yang tinggal di daerah
Santa Clara daerah yang dengan kadar bromide pada air permukaan
paling tinggi tersebut, memiliki resiko 4 kali lebih tinggi untuk
mengalami abortus spontan (Sujiyatini,2009:28).
2. Data Subyektif
a. Alasan Datang dan keluhan utama
Ibu yang mengalami abortus imminens akan mengeluh perdarahan
pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita
mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali
perdarahan pervaginam (Saifuddin,2009:467).
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010; h. 143) dalam kondisi abortus
imminens ibu akan mengeluh kram perut bawah, nyeri memilin karena
kontraksi tidak ada.

b. Riwayat Kesehatan
1) Sistem kardiovaskular (penyakit jantung)
Menurut Sofian (2012; h. 104) kehamilan dapat memperbesar
penyakit jantung bahkan dapat menyebabkan payah jantung
(dekompensasi kordis). Pengaruh penyakit jantung terhadap
kehamilan adalah :
a) dapat tejadi abortus,
b) prematuritas,
c) dismaturitas,
d) lahir rendah,
e) lahir dengan apgar rendah atau lahir mati,
f) kematian janin dalam rahim.
2) Darah
a) Antagonis RH
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan
penyakit autoimiun. Misalnya, pada Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies (aPA).
aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada
perempuan SLE. Kejadian abortus pada pasien SLE 10%,
dibanding populasi umum. Bila digabung dengan peluang
terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka
diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan
terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin
dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi
yang akan berikatan dengan sisi negatif fosfolipid. Paling
sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis
yang penting, yaitu Lupus Anticoagulant (LAC),
anticardiolipin antibodies (aCLs), dan biologically false-
positive untuk syphilis (FP-STS). APS (antiphospholipid
syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan
obstetric, misalnya pada preeklamsia, IUGR dan prematuritas.
Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu
trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia
hemolitik, kore dan hipertensi pulmonum
(Saifuddin,2009:463).
b) Leukemia
Terhadap hasil konsepsi dapat terjadi abortus dan prematuritas
(Sofian, 2012; h. 111).
c) Anemia
Hasil konsepsi (janin, plasenta, darah) membutuhkan zat
besi dalam jumlah besar untuk pembentukan butir-butir darah
merah dan pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat besi. Jumlah
ini merupakan 1/10 dari seluruh besi dalam tubuh (Sofian,
2012; h. 109).
Menurut Sofian (2012; h. 109-110) selama masih
mempunyai cukup persediaan besi, Hb tidak akan turun dan
bila persediaan ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan
ke 5-6 kehamilan, ada waktu janin membutuhkan banyak zat
besi. Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi
adalah :
(1) kematian mudigah (keguguran),
(2) kematian janin dalam kandungan,
(3) kematian janin waktu lahir,
(4) kematian perinatal tinggi,
(5) prematuritas,
(6) dapat terjadi cacat bawaan,
(7) cadangan besi kurang.
3) Penyakit paru
Penyakit paru-paru perlu mendapat perhatian karena selama
hamil paru-paru penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin melalui pertukaran CO2 dan O2. Gangguan fungsi paru-paru
yang berat sebagai penyalur O2 dan pengeluaran CO2 dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin sampai dengan
keguguran. Beberapa penyakit paru-paru yang penting adalah
tuberkulosis paru, asma bronkia, pneumonia, bronchitis, dan
influenza (Manuaba, dkk, 2012; h. 336).
4) Penyakit gastrointestinal
Penyakit infeksi tifus abdominalis yang disertai demam
tinggi dan kemungkinan perforasi, sehingga memerlukan diet
cairan secara tidak langsung dapat menimbulkan gangguan pada
kehamilan yang menyebabkan keguguran, persalinan prematuritas,
atau lahir mati (Manuaba, dkk, 2012; h. 338).
5) Sistem Endokrin
a) Diabetes Melitus
Perempuan yang diabetes yang dikelola dengan baik
resiko abortusnya tidak lebih jelek jika dibanding perempuan
yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan
kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan
malformasi janion meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-
dependen dengan control glukosa tidak adekuat punya peluang
2-3 kali lipat mengalami abortus (Saifuddin,2009:466).
Manurut Manuaba, dkk (2012; h. 346) pengaruh penyakit
diabetes terhadap kehamilan di antaranya :
(1) dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin dalam rahim:
terjadi keguguran, persalinan premature, kematian dalam
rahim, lahir mati atau bayi yang besar,
(2) dapat terjadi hidramnion,
(3) dapat menimbulkan pre-eklampsia-eklampsia.
b) Hipertiroid
Hipertiroid dalam kehamilan pada umumnya disebabkan
oleh penyakit Grave (struma difusa toksika). Insidensi penyakit
Grave dalam kehamilan di atas 20 minggu adalah 2 %.
Penyebab teranyak lainnya adalah struma multinodosa, tetapi
kelainan ini hanya terjadi pada golongan usia di atas 40 tahun.
Hipertiroid dalam kehamilan menyebabkan resiko abortus dan
janin mati dalam rahim 3 kali dari kehamilan normal.
(Saifuddin, 2009; h. 285)
6) Sistem Urogenital
a) Gagal ginjal akut
Keadaan dan penyakit yang dapat menyebabkan adalah:
(1) Abortus septik, trauma disebabkan Chlostridium welchii ,
toksemmi hamil, solutio plasenta, sepsis puerperalis
(2) Hemolisis karena kesalahan transfusi darah
(3) Setiap syok yang hebat dan irreversible (Sofian,2012:168)

b) TORCH
Semula infeksi TORCH3 meliputi komponen
toksoplasmosis, sitomegalo virus, herpes simpleks dan rubella
yang dapat menimbulkan kelainan kongenital dalam bentuk
hampir sama yaitu mikrosefal, ketulian, dan kebitaan,
kehamilan dapat terjadi abortus, persalinan prematur, dan
pertumbuhan janin terlambat (Manuaba, dkk, 2012; h. 340).
7) Penyakit hati
Terjadi abortus, partus prematurus, dan kematian janin dalam
kandungan (Sofian, 2012; h. 119).
8) Penyakit saraf (Epilepsi)
Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan menurut Sofian (2012; h.
127) adalah :
a) dapat terjadi abortus dan partus prematurus,
b) anak, secara herediter, dilahirkan dengan epilepsi pula,
c) angka kejadian cacat bawaan lebih tinggi.
9) Sistem Reproduksi
a) Kista ovarium
Kista ovarium dalam kehamilan dapat menyebabkan nyeri
perut oleh karena putaran tangkai, pecah atau perdarahan.
(Saifuddin, 2009:269)
b) Tumor rahim
Menurut Sofian (2012; h. 103) tumor yang besar dapat
menghambat pertumbuhan janin sehingga menyebabkan
abortus dan partus prematurus.
c) Kanker
Karsinoma serviks adalah jenis kanker yang paling sering
terdiagnosa selam kehamilan. Jika pasien harus menjalani
biobsi kerucut untuk mengangkat jaringan serviks, sedangkan
hasil pemeriksaan sitologi serviks menunjukkan adanya
perubahan awal, terapi biasanya ditunda sampai akhir
kehamilan untuk mencegah risiko perdarahan dan keguguran
(Holmes,2011:100).
d) Kelainan uterus
Anomali uterus termasuk malformasi congenital, defek
uterus yang didapat (Astherman’s syndrome dan defek
sekunder terhadap dietilestilbestrol), leiomyoma, dan
inkompentensia serviks. Meskipun anomaly-anomali ini sering
dihubungkan dengan abortus spontan, insiden, klasifikasi dan
peranannya dalam etiologi masih belum diketahui secara pasti.
Abnormalitas uterus terjadi pada 1,9 dalam populais wanita,
dan 13 sampai 30 % wanita dengan abortus spontan berulang.
Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita dengan anomaly
didapat seperti Astherman’s syndrome, adhesi uterus, dan
anomaly didapat seperti paparan dietilestilbestrol memiliki
angka kemungkinan hidup fetus yang lebih rendah dan
meningkatnya angka kejadian abortus spontan
(Sujiyatini,2009:26).
c. Riwayat Obstetri
1) Riwayat Kehamilan sekarang
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010; h. 136) abortus adalah
terhentinya kehamilan sebelum janin dapat bertahan hidup yaitu
sebelum kehamilan berusia 22 minggu
2) Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu
Perlu diketahui riwayat kehamilan sebelumnya, apakah
berakhir dengan keguguran, ataukah berakhir dengan persalinan;
apakah persalinanya normal, diselesaikan dengan tindakan atau
dengan operasi, dan bagaimana nasib anaknya.Infeksi nifas dan
kuretase dapat menjadi sumber infeksi panggul menahun dan
kemandulan. Dalam hal infertilitas perlu diketahui apakan itu
disengaja akibat penggunaan cara-cara kontrasepsi dan cara apa
yang digunakan, ataukah perempuan tidak menjadi hamil secara
alamiah. Jika perempuan tersebut pernah mengalami keguguran,
perlu diketahui apakah sengaja atau spontan. Perlu juga ditanyakan
banyaknya perdarahan dan apakan dilakukan kuretase
(Anwar,2011:112).
Komplikasi obstetrik sebelumnya, seperti perlunya tindakan
seksio sesaria, perlu dibahas hingga tuntas bersama ibu untuk
menentukan metode persalinan yang mungkin digunakan pada
persalinan mendatang, jika memiliki riwayat berapa kali
mengalami keguguran , ini berisiko tinggi untuk mengalaminya
kembali , dan ia juga berpeluang mengalami persalinan premature
serta berbagai masalah terkait (Holmes,2011:50).
d. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-Hari
1) Pola Nutrisi
Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan
paling besar menjadi predisposisi abortus. Meskipun demikian,
ditemukan bukti yang menyatakan bahwa defisiensi salah
satu/semua nutrient dalam makan merupakan suatu penyebab
abortus yang penting (Rukiyah dan Yulianti,2010; h. 140).
2) Pola Sexual
Menurut Manuaba, dkk (2012; h. 120) hamil bukan
merupakan halangan untuk melakukan hubungan seksual.
Hubungan sekusal disarankan untuk dihentikan bila:
a) Terdapat tanda infeksi dengan pengeluaran cairan disertai rasa
nyeri atau panas.
b) Terdapat perdarahan saat hubungan seksual.
c) Terdapat pengeluaran cairan (air) yang mendadak.
d) Hentika hubungan seksual pada mereka yang sering mengalami
keguguran, persalinan sebelum waktunya, mengalami kematian
dalam kandungan, sekirar dua minggu menjelang persalinan.
Menurut Marmi (2014; h. 123) prostaglandin yang dihasilkan oleh
sperma dapat membuat ketuban menjadi pecah dan menimbulkan
persalinan.
3) Pola Hidup Sehat
a) Minum minuman beralkohol
Menurut Marmi (2014; h. 112) risiko dari minum alkohol
yang terus menerus, tentunya juga berhubungan dengan dosis
yang akan menyebabkan berbagai masalah yang serius seperti
meningkatkan risiko keguguran, lahir prematur, berat lahir
yang rendah, komplikasi selama masa persiapan kelahiran,
persalinan dan FAE (Fetal Alkohol effect).
b) Merokok
Kandungan nikotin di dalam rokok dapat mengakibatkan
efek vasokonstiksi kuat dan meningkatkan tekanan darah,
frekuensi janutng, peningkatan epinefrin dan CO2
(meningkatkan risiko kasus terjadinya abortus spontan,
plasenta abnormal, pre-eklampsi, BBLR) ( Marmi, 2014; h.
112).
e. Data Psikososial Dan Spiritual
Faktor psikologis dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus
yang berulang dengan keadaan mental akan tetapi belum dapat
dijelaskan sebabnya. Yang peka terhadap terjadinya abortus ialah
wanita yang belum matang secara emosional dan sangat dan sangat
penting dalam menyelamatkan kehamilan. Usaha-usaha dokter untuk
mendapat kepaercayaan paien, dan menerangkan segala sesuatu
kepadanya, sangat membantu (Rukiyah dan Yulianti, 2010; h. 140).
Jika kehamilan tidak diharapkan, secara otomatis ibu akan sangat
membenci kehamilannya, sehingga tidak ada keinginan untuk
melakukan hal-hal positif yang akan meningkatkan kesehatan bayinya.
pada kasus ini kita waspada akan adanya keguguran, prematur dan
kematian janin. pada kehamilan di luar nikah hampir bisa dipastikan
bahwa pasangan masih belum siap dalam hal ekonomi ( Marmi, 2014;
h. 112).
2. Data Obyektif
Pemeriksaan fisik yang didapat pada abortus imminens menurut Rukiyah
dan Yulianti (2010; h. 143) yaitu:
a. Abdomen : uterus sesuai usia gestasi, kontraksi tidak ada atau sedikit
sekali.
b. Vulva : perdarahan bercak hingga sedang.
c. Pemeriksaan inspekulo : tidak ditemukan kelainan pada serviks dan
serviks menutup.

Tabel 2.3 Usia Kehamilan Berdasarkan Tinggi Fundus Uteri


Tinggii Fundus Uteri Usia Kehamilan

1/3 di atas simfisis 12 minggu

½ di atas simfisis-pusat 16 minggu

2/3 di atas simfisis 20 minggu


Sumber : Manuaba, dkk (2012; h. 100)

3. Assesment
a. Diagnosa kebidanan
Ny…. Umur … G..P…A… Usia kehamilan. …. Minggu, janin
tunggal, hidup intrauteri, dengan abortus imminens.
b. Masalah
Masalah sering berhubungan dengan bagaimana wanita ini mengalami
kenyataan terhadap diagnosisnya. ( Sulistyawati,2013: 229)
c. Kebutuhan pasien
Dalam bagian ini bidan menentukan kebutuha pasien berdasarkan
keadaan dan masalahnya. Contohnya kebutuhan untuk KIE
(Sulistyawati,2013:229).
d. Diagnosa potensial
1) Abortus Insipiens, terjadi perdarahan ringan hingga sedang pada
kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam kavum
uteri. Kondisi ini menunjukkan proses abortus sedang berlangsung
dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit
(Rukiyah dan Yulianti, 2010; h. 142).
2) Infeksi
Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus
tetapi biasanya didapatkan pada abortus inkomplet yang berkaitan
erat dengan suatu abortus yang tidak aman (unsafe abortion)
(Sujiyatini,2009:31).
3) Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik)
dan karena infeksi berat (syok endoseptik) (Sujiyatini,2009:31).

e. Antisipasi/tindakan segera
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010; h. 148) antisipasi yang
diberikan yaitu berikan ibu tablet Fe dengan dosis 1x1/ hari. Menurut
Hani, dkk (2011; h. 11) untuk mencegah anemia seorang wanita
sebaiknya mengkonsumsi sedikitnya 60 mg zat besi.
4. Pelaksanaan
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010; h. 147-148) berikut adalah
pelaksanaan ibu hamil yang mengalami abortus imminens:
a. Memberitahu ibu dan keluarga tentang keadaan ibu dan janin.
Hasil : ibu telah mengetahui keadaan ibu dan janin.
b. Memberitahu ibu tanda-tanda bahaya abortus.
Hasil : ibu telah mengetahui tanda-tanda abortus.
c. Menganjrkan ibu untuk istirahat, dengan cara intirahat baring, karena
dengan istirahat baring bisa bertambahnya aliran darah ke uterus, dan
akan mengurangi rangsangan.
Hasil : ibu berjanji akan melaksanakan anjuran yang diberikan.
d. Memberikan ibu tablet Fe dengan dosis 1x1/ hari dengan diminum di
malam hari sebelum tidur, diminum menggunakan air putih dan jangan
menggunakan air teh atau kopi karena akan mempengaruhi proses
penyerapan zat besi itu sendiri.
Hasil : ibu telah diberikan tablet Fe.

Temanggung, April 2016


Pembimbing Prodi, Mahasiswa,

Sri Widatiningsih, M.Mid Dewik Fitri Rahayu

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kasus diketahui bahwa ibu mengalami abortus imminens, karena
dalam keluhan utama ibu, ibu mengeluh perdarahan flek-flek dan terasa mules
melilit. Faktor predisposisi terjadinya abortus pada ibu adalah usia ibu yang
>35 tahun yaitu 36 tahun. Dalam pelaksanaannya, kasus telah sesuai dengan
teori, hanya saja ada beberapa yang tidak sesuai seperti pemberian antibiotic
pada kasus. Namun hal itu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan
infeksi yang terjadi.
B. Saran
Adapun saran dari penulis adalah sebagai berikut:
1. Tenaga kesehatan terutama bidan
Bidan sebaiknya memberikan penyuluhan tentang perencanaan kehamilan
pada masa pra nikah sehingga ketika sudah menjadi pasangan suami istri,
maka pasangan tersebut dapat merencanakan reproduksi sehat.
2. Mahasiswa dan pembaca
Mahasiswa dan prmbaca sebaiknya ikut serta dalam memberikan
informasi kepada khalayak umum tentang reproduksi sehat, sehingga
terhindar dari abortus.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Mochamad. Ilmu Kandungan.Jakarta:Bina Pustaka Prawirohardjo; 2011.


h. 112.

Hani Ummi, Kusbandiyah J, Marjati, dan Yulifah R. Asuhan Kebidanan pada


Kehamilan Fisiologis. Jakarta: Salemba Medika; 2011. h. 11.

Holmes, Debbie dan Baker, Philip N.Buku Ajar Ilmu Kebidanan.Jakarta:EGC;


2011. h. 50, 100.

Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI; 2015.

Manuaba IAC, Manuaba IBGF, dan Manuaba IBG. Ilmu Kebidanan Penyakit
Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan . Jakarta :
EGC; 2012. h. 120, 336-8, 340.

Marmi. Asuhan Kebidanan pada Masa Antenatal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;


2014. h. 112. 123.

Rukiyah dan Yulianti. Asuhan Kebidanan Patologi Kebidanan. Jakarta: Trans Info
Media; 2010. h. 136, 140-8.
Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2009. h. 269, 285, 461-7.

Sekretariat Pembangunan Kesehatan Pasca-2015. Kesehatan alam Kerangka


Suitainable Development Goals (SDG’s). Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2015.

Sofian, A. Rustam Mochtar, Sinopsisi Obstetri, Obstetri Fisiologis, Obstetri


Patologis. Jilid 1. Jakarta: EGC; 2011. h. 103-109, 110-9, 168, 210.

Sujiyatini. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2009. h. :22-9,


30-1.

Sulistyawati A dan Nugraheny E. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta:


Salemba Medika; 2013. h. 229.

Anda mungkin juga menyukai