Anda di halaman 1dari 14

FUNCTIONAL FOOD AND NUTRACEUTICAL PAPER

DIET KETOGENIK​, ​PUASA INTERMITEN ​& ​PEMBATASAN


KALORI DALAM MENGATASI PENYAKIT DIABETES

Oleh:
Abigail Sabrina Kandou (01113180031)
Cindy Octaviana (01113180013)
Jessica Sunardi (01113180034)

Pengajar:
Dr. Tan Tjie Jan

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2019
Daftar Isi
Abstrak
Pendahuluan
Diet Ketogenik
Definisi Diet Ketogenik
Mechanisme Diet Ketogenik
Diet Pembatasan Kalori
Definisi Pembatasan Kalori
Mechanisme Diet Pembatasan Kalori
Diet Puasa Intermittent
Definisi Puasa Intermittent
Mechanisme Puasa Intermittent
Diabetes
Definisi Diabetes Tipe II
Pengaruh setiap diet terhadap diabetes
Abstrak
Pendahuluan
Banyak orang menganggap bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kesehatan
yang lebih baik adalah melalui diet. Diet seringkali digunakan oleh orang-orang
untuk sekadar memperbaiki penampilan, terutama dalam menurunkan berat
badan. Namun, selain dapat menurunkan berat badan, diet sendiri memiliki
banyak kelebihan antara lain sebagai tindakan penyembuhan terhadap penyakit
kanker, tekanan darah, penyakit jantung, dan resiko diabetes. Kata “diet” dapat
diartikan sebagai jumlah energi dan nutrisi yang diperoleh dari makanan dan
minuman yang dikonsumsi secara teratur oleh individu. “​Balanced diet​” dapat
diartikan sebagai diet yang mengandung energi dan nutrisi yang dapat memenuhi
segala kebutuhan untuk pertumbuhan dan aktivitas yang sehat, termasuk nutrisi
makro (karbohidrat, lemak dan protein) dan nutrisi mikro (vitamin dan mineral).

Dengan meningkatnya popularitas diet, lahirlah beragam jenis diet yang sekarang
dikenal luas di kalangan masyarakat. Beberapa tipe diet antara lain ada paleo,
vegan, mediterania, atkins, ​intermittent diet (puasa intermittent), ​calorie restricted
(pembatasan kalori) dan ketogenik. Setiap diet mempunyai ciri khas
masing-masing. Namun semuanya itu dinilai baik bagi tubuh apabila dijalankan
dengan benar.

Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan mekanisme, menganalisis pro-kontra, dan
membandingkan diet ketogenik, puasa intermittent, dan pembatasan kalori.
Diet Ketogenik (​Ketogenic Diet​)
Diet Ketogenik (KD) merupakan salah satu diet paling populer dalam
dekade terakhir ini karena dalam beberapa tahun terakhir, ​diet ketogenik diketahui
telah digunakan selama hampir 100 tahun sebagai salah satu cara mengatasi
penyakit epilepsi. Kriteria diet ketogenik adalah menu yang mengandung
makanan yang mengandung lemak tinggi, karbohidrat rendah, dan protein yang
cukup sambil mempertahankan jumlah kalori yang normal.
Ide dasar diet ketogenik adalah stimulasi oksidasi lemak karena asupan
lemak yang tinggi dan karbohidrat yang rendah. ​Menu untuk diet ketogenik ini
dirancang untuk meniru perubahan biokimia yang terjadi ketika puasa. Diet
ketogenik menginduksi produksi keton, terutama β-hydroxybutyrate​, ​acetoacetate,​
dan aseton, dari oksidasi asam lemak di hati dan penurunan konsentrasi glukosa
darah. Keton merupakan substrat alternatif dari glukosa untuk sumber energi.
Pada saat diet ketogenik, konsentrasi ​free fatty acids ​(FFA), asam lemak bebas
dalam darah meningkat. FFA tersebut dipindahkan ke dalam mitokondria, proses
ini memerlukan senyawa karnitina.
Dalam mitokondria, FFA tersebut didegradasi menjadi keton melalui
proses oksidasi beta. ​β-hydroxybutyrate merupakan keton utama yang dapat
diukur dalam darah dan sering digunakan untuk mengukur tingkat ketosis badan
selama menjalankan diet ini. Degradasi ​β-hydroxybutyrate m ​ enghasilkan
peningkatan aseton, oleh karena itu nafas orang yang mengalami ketosis sering
kali berbau aseton (Bough & Rho, 2007; Politi, ​et al​., 2011).

Diet Keto vs Diet tinggi karbohidrat (​Keto Diet vs High Carbohydrate Diet)​
Dalam diet yang kaya akan karbohidrat, glukosa adalah substrat utama
yang menghasilkan energi. Glukosa dikatabolisme dalam sitoplasma sel via proses
glikolisis dan menghasilkan ​adenosine triphosphate ​(ATP) dan ​nicotinamide
adenine dinucleotide, (​ NADH). NADH yang dihasilkan dapat digunakan dalam
electron transport chain (ETC) mitokondria untuk menghasilkan suatu gradien
proton yang melintasi membran mitokondria dalam yang kemudian digunakan
dalam fosforilasi oksidatif untuk memproduksi ATP. Produk akhir glikolisis
adalah piruvat yang masuk ke dalam mitokondria dan dikonversi menjadi
asetil-KoA. Asetil-KoA berperan penting dalam metabolisme energi yang dapat
bergabung dengan ​oxaloacetate untuk masuk ke dalam ​tricarboxylic acid cycle
(TCA) untuk memproduksi NADH yang digunakan dalam ETC. Ketika
diperlakukan diet KD, metabolisme tubuh akan beralih dari metabolisme berbasis
glukosa ke arah metabolisme berbasis lemak. Asam lemak yang dikonsumsi akan
dimetabolisme dalam mitokondria hati menjadi keton yang dilepaskan ke dalam
aliran darah. Dalam mitokondria neuron dan sel glial, keton akan dikatabolisme
menjadi asetil-KoA. Asetil-KoA kemudian masuk ke dalam siklus TCA untuk
memproduksi NADH atau dapat juga digunakan dalam lipogenesis untuk
memproduksi asam lemak (Youngson, ​et al.​, 2017; Harvey, ​et al​., 2019).
Ketone body metabolism
Proses pembentukan ATP pada mitokondria menggunakan energi dari ECT
respiratori dimana elektron dari substrat masuk ke dalam berbagai pusat katalitik
dan melalui berbagai pasangan redoks dalam rantai untuk pada akhirnya
menggabungkan H​+ dengan O​2 untuk membentuk senyawa H​2​O. ECT respiratori
bermula dengan kompleks multienzim NADH yang memiliki substrat yaitu
NADH mitokondria bebas. Potensi redoks antara NADH bebas dan padangan O​2
akan menyebabkan terjadinya perpindahan elektron melalui rantai respiratori yang
menghasilkan energi. Energi yang didapatkan dari transpor elektron mitokondria
tersebut dipindahkan ke proses pemompaan proton dari fase mitokondria ke fase
sitosolik pada situs I, III, dan IV. Proses ini menghasilkan gradien elektrokimia
proton antara kedua fase. Gradien proton yang dihasilkan energi redoks rantai
respiratori akan kemudian menjadi sumber energi untuk perpindahan proton dari
sitosol kembali ke mitokondria via kompleks F1 ATPase dalam proses yang
efisien dan reversibel. Untuk setiap elektron yang bergerak melalui rantai
respiratori, 3 ATP terbentuk (Veech, 2003).

Calorie Restricted Diet


Caloric Restriction(CR) adalah metode diet yang asupan makanan harian
seseorang dibatasi pada jumlah tertentu, dan menurunkan konsumsi kalori sebesar
30 hingga 40 %, sementara mempertahankan nutrisi yang dibutuhkan. Metode CR
ini terbukti efektif untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan biomarker
metabolik, namun dalam jangka panjang mempertahankan metode diet tersebut
merupakan hal yang sulit dilakukan sehingga seringkali menyebabkan berat
badan yang naik kembali.
CR merupakan satu-satunya intervensi yang diketahui sampai saat ini yang
mengurangi tingkat penuaan dan meningkatkan rata-rata panjang umur. CR
merupakan intervensi dengan potensi untuk menangkal penyakit terkait usia dan
menunda kematian dari beberapa studi yang dilakukan sejak tahun 1930 oleh
McCay pada beberapa spesies (tikus, khamir, cacing, laba-laba, dan lalat) yang
dapat meningkatkan panjang umur, namun mekanisme dari manfaat tersebut
belum sepenuhnya dijelaskan. Manfaat yang diperoleh dari CR ini masih belum
diketahui jika dapat diaplikasikan pada manusia. CR yang berkepanjangan
mengurangi glukosa darah puasa dan konsentrasi insulin; dua faktor yang
berkontribusi pada proses penuaan yang disebabkan oleh glikasi protein dan aksi
mitogenik secara berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan berat badan
dengan metode CR dapat menjadi cara yang paling efektif untuk meningkatkan
sensitivitas insulin yang juga menurunkan resiko diabetes mellitus.
The Comprehensive Assessment of Long-term Effects of Reducing Intake
of Energy Phase 2 (CALERIE 2) trial adalah studi pertama yang meneliti efek
jangka panjang CR pada risiko penyakit dan umur panjang pada manusia yang
tidak obesitas. Studi tersebut menyimpulkan bahwa CR dapat menghasilkan
adaptasi metabolik dan perbaikan pada faktor risiko penyakit kronis, yang
menunjukkan bahwa CR dapat meningkatkan rentang kesehatan manusia dengan
berat badan normal. Hasil tersebut meningkatkan kemungkinan bahwa lebih
banyak orang dapat mencoba mengaplikasikan CR dalam upaya untuk
meningkatkan rentang hidup dan kesehatan. (Martin​ et al,​ 2016)
CR dapat menyebabkan penurunan berat badan dan memiliki efek yang
menguntungkan pada kadar plasma dari trigliserida, kolesterol, dan tekanan darah,
yang mencegah atau memperlambat timbulnya penyakit yang berkaitan dengan
usia. Hormon yang berasal dari jaringan adiposa(leptin dan adinopektin)
diregulasi sebagai respons terhadap pengurangan lemak tubuh. Leptin dan
adinopektin penting dalam meregulasi rasa kenyang dan nafsu makan di
hipotalamus, dan sebagai “pengatur berat badan” kadar leptin yang bersirkulasi
berbanding lurus dengan jumlah total jaringan adiposa visceral. Perlakuan CR
dapat menurunkan leptin, dan meningkatkan adinopektin(Pallauf ​et al,​ 2014).
Leptin dan fibroblast growth factor 21 (FGF21) berkaitan dengan regulasi
konsumsi makanan dan keseimbangan energi. Leptin adalah hormon pengatur
nafsu makan utama yang diproduksi dalam jaringan adiposa putih yang bekerja
pada hipotalamus. Leptin menekan asupan makanan dan meningkatkan
pengeluaran energi melalui stimulasi adrenergik dan menstimulasi oksidasi lemak
perifer dan mempengaruhi homeostasis glukosa dengan aksi langsung pada sel β
pankreas. Oleh karena itu, defisiensi leptin atau reseptornya memfasilitasi
obesitas, meningkatkan resistensi insulin dan merusak toleransi glukosa. Pada
manusia, diet dengan pembatasan lemak dan karbohidrat menurunkan kadar
leptin. FGF21 adalah protein yang disekresi dan berfungsi dalam meregulasi
metabolisme, yang memainkan peran dalam homeostasis glukosa, sensitivitas
insulin, dan ketogenesis. FGF21 meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan
konsentrasi trigliserida, dan memperbaiki hiperglikemia dan hiperlipidemia yang
berhubungan dengan obesitas. FGF21 juga dapat menekan lipogenesis de novo
dengan memediasi sterol pengikat elemen protein transkripsi 1c. Selain itu,
FGF21 diusulkan sebagai mediator regulasi glukagon dari glukosa dan
metabolisme lipid dan dapat memprediksi sindrom metabolik pada orang
dewasa(Reynoso ​et al​, 2015).
Sebuah tinjauan dalam Genes & Development oleh Guarente menyatakan
hipotesis bahwa CR dapat memperlambat penuaan dan penurunan kesehatan
dengan mengaktivasi yeast sir2p, yang secara kolektif disebut sirtuin. Sirtuin
adalah ​NAD-dependent histone deacetylases yang mengandung domain inti
katalitik dan dapat dibedakan dalam urutan protein di sekitar domain tersebut dan
lokalisasi seluler. Sirtuin berperan sebagai protein ​deacetylases dan/atau
ADP-ribosyltransferases​. Telah diusulkan bahwa aktivitas sirtuin tergantung pada
keadaan metabolisme sel dikarenakan ketergantungannya terhadap NAD. Telah
dihipotesiskan bahwa sirtuins dapat menghubungkan asupan energi dengan umur.
Menurut penelitian, mutasi penghambatan dari SIRT1 ortholog SIR2 dalam ragi
memperpendek umur, sedangkan overekspresi SIR2 memperpanjang umur.
Hingga saat ini, SIRT1 adalah sirtuin yang paling banyak dipelajari dan juga
disebut pelindung terhadap stres oksidatif seluler dan kerusakan DNA. Terlepas
dari faktor transkripsi p53 dan FoxO yang mengalami deasetilasi, SIRT1 terbukti
berinteraksi dengan NFkB, gamma reseptor yang diaktifkan proliferasi
peroksisom (PPARγ), dan koaktivator PPAR dan penginduksi biogenesis
mitokondria PGC-1α().
Gen PPARG2 yang mengkode faktor transkripsi intraseluler berperan
dalam adipogenesis, homeostasis glukosa dan lipid, dan dalam distribusi lemak
tubuh. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan dengan polimorfisme Pro12Ala
(rs1801282) dari gen PPARG2 telah menunjukkan adanya korelasi positif dengan
penambahan berat badan; hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, pembawa
carrier Ala12 bertambah berat dari waktu ke waktu dibandingkan dengan
noncarrier Ala12. Namun, adapun studi lain yang menyatakan bahwa
polimorfisme Pro12Ala PPARG2 tidak berkaitan dengan BMI atau parameter
sindrom metabolik pada wanita pascamenopause, namun hasil studi tersebut tidak
dapat digeneralisasikan pada seluruh populasi. Di sisi lain, masih belum jelas
pengaruh genotipe PPARG2 terhadap penurunan berat badan sebagai respons
terhadap CR pada manusia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Vidal Puig et
al, telah diamati bahwa perlakuan diet rendah kalori secara spesifik menurunkan
regulasi mRNA PPARG2 dalam jaringan adiposa manusia obesitas, yang dapat
mendukung pengurangan massa lemak. Dalam hal ini, beberapa penelitian telah
dilakukan untuk menilai hubungan antara genotipe PPARG dan penurunan berat
badan. Dalam hal ini, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi
hubungan antara genotipe PPARG dan penurunan berat badan(Abete ​et al,​ 2012).
Menurut penelitian in vivo, CR terbukti meningkatkan regulasi kadar
protein SIRT1 mamalia pada otot, otak, lemak, dan ginjal. Dalam jaringan adiposa
putih SIRT1 ditunjukkan untuk melakukan deasetilasi dan menghambat PPARγ.
Reseptor nuklir ini yang diinduksi oleh asam lemak mengaktifkan sintesis lemak
dan adipogenesis. Dengan demikian, PPARγ yang dihambat oleh SIRT1
menyebabkan hilangnya lemak. Penurunan jaringan adiposa umumnya dapat
menurunkan rasio leptin dan adiponektin, sehingga mendukung sensitivitas insulin
dan penuaan yang sehat. Selanjutnya telah ditunjukkan bahwa aktivasi SIRT1
menggeser metabolisme dari penggunaan glukosa sebagai sumber energi(terjadi
pengurangan penggunaan glukosa sebagai sumber energi). Sementara SIRT1
menyebabkan penghambatan PPARγ, PPARα yang mentranskripsi gen yang
terlibat dalam oksidasi asam lemak diaktifkan oleh SIRT1 melokalisasi ke elemen
respon PPAR pada CR. Selain itu, deasetilasi PGC-1α(peroxisome
proliferator-activated receptor gamma coactivator 1 alpha) oleh SIRT1 tampaknya
mengarah pada aktivasi transkripsi gen glukoneogenik, sementara ekspresi gen
yang terlibat dalam glikolisis menurun. Dengan CR, PGC-1α juga diinduksi pada
tingkat transkripsional dan diaktifkan oleh fosforilasi yang dimediasi oleh AMPK.
PGC-1α yang teraktivasi meningkatkan biogenesis mitokondria dengan
mengekspresikan beberapa komponen rantai pernapasan. Selain itu, PGC-1α
berkontribusi terhadap perubahan metabolisme dari glikolisis dalam kondisi
nutrisi yang terbatas dengan mempromosikan oksidasi asam lemak mitokondria
dan glukoneogenesis.
AMPK merupakan sensor nutrisi utama yang memiliki kemampuan untuk
mengatur metabolisme tubuh. AMPK diaktifkan pada peningkatan rasio AMP /
ATP, yang mencerminkan status energi sel. Sebuah penilitian yang
menggabungkan pendekatan struktural dan biokimiawi mengungkapkan bahwa,
selain dari AMP, juga pengikatan ADP juga dapat berkontribusi besar terhadap
aktivasi AMPK. Setelah teraktivasi, AMPK mengaktifkan jalur katabolik untuk
mengembalikan kadar ATP;baik dalam jangka waktu pendek, dengan
mempromosikan glikolisis dan oksidasi asam lemak, dan dalam jangka waktu
panjang, dengan meningkatkan konten mitokondria dan penggunaan substrat
mitokondria sebagai sumber energi. Aktivasi AMPK umumnya dikaitkan dengan
stimulasi respons metabolik untuk mencegah krisis metabolisme dan energi dalam
situasi di mana sintesis ATP terganggu, seperti pada hipoksia, iskemia,
ketersediaan nutrisi yang rendah, atau konsumsi ATP dipercepat, seperti saat
berolahraga atau berpuasa. Akibatnya, aktivasi AMPK merangsang proses
katabolik untuk menghasilkan ATP dan menghambat proses anabolik yang
mengonsumsi ATP yang tidak diperlukan untuk kelangsungan hidup sel().
AMP-activated protein kinase(AMPK) adalah protein kinase
serine/threonine yang merupakan sensor energi seluler. Status energi seluler yang
dikompromi menimbulkan peningkatan rasio AMP seluler; ATP yang
mengaktivasi AMPK dan AMPK tersebut juga mempromosikan fosforilasi
subunit α pada Thr172 melalui kinase hulu. Pada tahun 1973, telah diamati bahwa
aktivitas AMPK terkait dengan hydroxy-methylglutaryl CoA reductase (HMGCR)
dan asetil-CoA karboksilase (ACC), yang merupakan modulator utama untuk
sintesis kolesterol dan asam lemak. Dalam mamalia, AMPK diyakini bertindak
sebagai kunci utama yang memodulasi metabolisme lipid dengan secara langsung
memfosforilasi protein atau memodulasi transkripsi gen dalam jaringan tertentu
seperti hati, lemak dan otot(Wang ​et al,​ 2018).
Pengurangan berat badan secara langsung mempengaruhi jaringan adiposa,
yang mempengaruhi aktivitasnya, penyimpanan energi dan fungsi endokrin
adiposit dengan meningkatkan gangguan metabolisme yang umumnya dikaitkan
dengan kelebihan berat badan. Berbagai penelitian telah dilakukan yang
mengamati perubahan ekspresi gen dalam jaringan ini selama program penurunan
berat badan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Franck et al., yang bertujuan
dalam mengidentifikasi gen-gen yang dipengaruhi oleh asupan kalori terlepas dari
perubahan berat badan, gen-gen yang terlibat dalam lipogenesis dan resistensi
insulin menurun responnya(​downregulation)​ , sementara gen-gen yang terlibat
dalam sintesis protein dan b-oxidation meningkat responnya terhadap
stimulus(​upregulation​). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa CR berdampak
positif pada fungsi jaringan adiposa, terlepas dari perubahan berat badan ataupun
massa lemak.
Program penurunan berat badan berupa metode CR telah terbukti
mempengaruhi berkurangnya otot rangka, metabolisme protein seluruh tubuh, dan
pengeluaran energi. Tingkat dan durasi dari ​energy restriction merupakan faktor
penentu dari efek yang diamati, dikarenakan ​energy restriction dapat mengarah
pada peningkatan oksidasi asam amino dan ekskresi nitrogen sebagai konsekuensi
dari peningkatan proteolisis. Efek ini terbalik pada CR dalam jangka panjang
sebagai hasil dari mekanisme adaptif. Selain itu, akhir-akhir ini telah diamati
bahwa kekurangan energi yang akut mengarah pada ​downregulation dalam
sintesis protein otot rangka dikarenakan penurunan pada sinyal intraseluler.
Downregulation ini disebabkan oleh pengurangan fosforilasi protein kinase B
(juga dikenal sebagai RAC- alpha serine / threonine-protein kinase, AKT1), yang
mengurangi inisiasi mRNA translasi EIF4EBP1 yang menyebabkan penurunan
inisiasi translasi protein. Selain itu, telah dilaporkan bahwa CR meningkatkan
efisiensi energi tubuh dengan meningkatkan biogenesis pada mitokondria, yang
berarti penggunaan oksigen yang lebih sedikit dan penurunan produksi spesies
oksigen reaktif. Menurut penelitian yang dilakukan, program CR selama 6 bulan
pada subjek nonobese telah terbukti meningkatkan tingkat ekspresi faktor
transkripsi A, mitokondria (TFAM) dan PPARGC1A, yang menunjukkan
peningkatan dalam biogenesis mitokondria pada otot rangka. Selanjutnya, hasil
penelitian menunjukkan peningkatan dalam ekspresi sirtuin 1 (SIRT1) setelah CR
pada otot rangka, yang diperkirakan menyebabkan peningkatan ekspresi aktivator
biogenesis mitokondria, dan menghasilkan berkurangnya stres oksidatif dan
perlindungan terhadap kerusakan DNA.
Puasa Intermittent (​Intermittent fasting)​
Definisi
Puasa Intermittent (IF) merupakan metode diet yang melibatkan
pengaturan pola makan dengan cara berpuasa selama beberapa waktu. Puasa
Intermittent ini berbeda dengan metode diet pada umumnya yang mengurangi
asupan makronutrien tertentu sehingga menyebabkan kelaparan atau malnutrisi.
Bagi banyak orang IF ini dianggap kurang ketat dibandingkan dengan metode diet
lainnya karena IF melibatkan memakan asupan kalori normal setiap hari dengan
pembatasan kalori yang pendek dan ketat. Makanan hanya dikonsumsi dalam
jangka waktu tertentu dalam hari-hari tertentu (Harvie & Howell, 2017).
Puasa intermiten dapat mendorong penurunan berat badan dengan
menurunkan kadar insulin. Tubuh memecah karbohidrat menjadi glukosa yang
akan digunakan oleh sel sebagai energi atau juga dapat diubah menjadi lemak
yang akan disimpan. Insulin adalah hormon yang bertanggung jawab dalam
membantu penyerapan glukosa ke dalam sel. Kadar insulin dapat turun ketika
seseorang tidak mendapatkan asupan makanan. Sehingga selama masa puasa, ada
kemungkinan terjadi penurunan kadar insulin yang dapat menyebabkan sel
melepaskan cadangan glukosa sebagai energi. Selain itu, tubuh juga mulai
memanfaatkan keton yang muncul sebagai hasil dari transformasi asam lemak.
Asam lemak dan keton dapat menjadi sumber energi utama bagi sel. Transisi
tersebut dapat disebut dengan ​Intermiten Metabolic Switching (IMS) atau
glukosa-keton (G ke K) switchover. Oleh karena itu, puasa intermiten, dapat
menyebabkan penurunan berat badan. Secara keseluruhan, waktu puasa juga dapat
mendorong konsumsi kalori yang lebih sedikit sehingga dapat berkontribusi pada
penurunan berat badan (Malinowski ​et al.,​ 2019).
Terdapat beberapa cara untuk melakukan ​intermittent fasting​, antara lain
adalah dengan menggunakan metode 16/8 atau 14/10, metode 5:2 dan metode
puasa 24 jam (Cleveland Clinic, 2019).
- (​Time restricted ​eating)​ - metode 16/8 atau 14/10 merupakan metode yang
membagi waktu makan dan waktu berpuasa. 16/8 membagi waktu 16 jam
berpuasa dan 8 jam makan (contoh. Hanya makan antara pukul 11 pagi
dan 7 malam, lalu berpuasa). 14/10 membagi waktu 14 jam berpuasa dan
10 jam makan (contoh. Hanya makan antara pukul 10 pagi dan 8 malam,
lalu berpuasa).
- Metode 5:2 (​twice a week method)​ - merupakan metode yang mengatur
pola makan dengan cara makan 5 hari dalam seminggu (200-300 kalori)
dengan makanan tinggi serat, protein namun rendah kalori dan dilanjutkan
dengan berpuasa selama 2 hari.
- Metode puasa 24 jam (​eat:stop:eat method) - metode ini menerapkan
sistem berpuasa penuh selama 1-2 hari seminggu selama 24 jam. Namun,
minum air, teh, dan minum minuman bebas kalori lainnya selama periode
puasa masih diperbolehkan. ​Time restricted ​feeding​, ​alternate day fasting,​
dan 5:2 diet regim tidak dimaksudkan untuk menjadi ketogenik, tetapi
untuk mendorong peningkatan kesehatan melalui mekanisme khusus yang
terkait dengan penurunan berat badan.

Mekanisme
Anton ​et al. m ​ enggunakan istilah “​metabolic switch”​ untuk
menggambarkan pergeseran preferensi tubuh dari pemanfaat glukosa dari
glikogenolisis menjadi asam lemak dan asam lemak yang berasal dari keton
(​fatty-acid derived ketones​). Mereka menunjukan bahwa keton merupakan bahan
bakar pilihan untuk otak dan tubuh selama periode puasa dan masa olahraga yang
diperpanjang. ​Metabolic switch akan terjadi ketika cadangan glikogen di dalam
hati habis, umumnya 12 jam setelah penghentian asupan makanan, dan lipolisis
jaringan adiposa akan meningkat untuk menghasilkan lebih banyak asam lemak
dan gliserol. Asam lemak bebas diangkut ke hati dan asam lemak tersebut
dioksidasi menjadi ​β-hydroxybutyrate dan ​acetoacetate​. Keduanya akan
dikonversi menjadi energi melalui beta oksidasi. Secara umum, proses ini
melibatkan peningkatan asam lemak yang bersirkulasi dan perubahan lain yang
terkait dengan metabolisme glukosa dan asam lemak (Stockman ​et al.,​ 2019).
Peroxisome proliferator-activated receptor alpha (PPAR-α) menginduksi
ekspresi gen yang memediasi oksidasi asam lemak dalam sel otot. Resistensi
insulin akan memperpanjang waktu yang diperlukan untuk membalik saklar
metabolisme dan dengan demikian di antara penderita diabetes mungkin
diperlukan waktu lebih lama untuk mulai menggunakan asam lemak untuk energi.
Peroxisome Proliferator-Activated Receptor alpha (​ PPAR-α) menginduksi
ekspresi gen yang memediasi oksidasi asam lemak dalam sel otot. Resistensi
insulin yang merupakan karakteristik utama dari diabetes tipe 2, telah lama
diketahui mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dengan cara melakukan
intermittent fasting​. Setelah periode puasa, sensitivitas insulin menjadi meningkat
dan kadar insulin akan menurun. Hal ini dapat menghasilkan peningkatan kadar
glukosa puasa dan postprandial. Selain itu, karena insulin menginduksi
pertumbuhan jaringan adiposa, maka dapat berpotensi untuk menurunkan berat
badan (Stockman ​et al.,​ 2019).
Resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan keadaan inflamasi
termasuk peningkatan protein C-reaktif, penurunan adiponektin, LDL, dan faktor
metabolisme lain yang semuanya memiliki kontribusi atau terkait dengan
aterosklerosis dan pengembangan penyakit arteri koroner. Selain itu, insulin
diketahui bersifat aterogenik serta meningkatkan risiko retensi cairan dan gagal
jantung kongestif. Dengan demikian, mengurangi kadar insulin melalui puasa
intermiten akan berpotensi mengurangi penyakit-penyakit kardiovaskular yang
dapat terjadi (Stockman ​et al.,​ 2019).
DAFTAR PUSTAKA

Bough, K. J. & Rho, J. M. (2007). Anticonvulsant mechanisms of the ketogenic diet.


Epilepsia.​ 48: 43-58.
Cleveland Clinic. (2019). ​Intermittent Fasting: 4 Different Types Explained.​ Retrieved
from
https://health.clevelandclinic.org/intermittent-fasting-4-different-types-explained/.
de Lima, P. A., Sampaio, L. P. B., & Damasceno, N. R. T. (2014). Neurobiochemical
mechanisms of a ketogenic diet in refractory epilepsy. ​Clinics​. 69: 699-705.
Harvey, K. L., Holcomb, L. E., & Kolwicz Jr., S. C. (2019). Ketogenic diets and exercise
performance. Nutrients. 11:2296.
Harvie, M. & Howell, A. (2017). Potential benefits and harms of intermittent energy
restriction and intermittent fasting amongst obese, overweight and normal weight
subjects—a narrative review of human and animal evidence. ​Journal of
Behavioral Sciences,​ ​7(1),​ 4.
Malinowski, B., Zalewska, K., Wesierska, A., Sokolowska, M. M., Socha, M., Liczner,
G., Pawlak-Osinska, K. & Wicinski, M. (2019). Intermittent fasting in
cardiovascular disorders. ​Nutrients,​ ​11(3), ​673.
Masino, S. A. & Rho, J. M. (2012). Mechanisms of Ketogenic Diet Action in Jasper's
Basic Mechanisms of the Epilepsies 4th Edition (Noebles, J. L., Avioli, M.,
Rogawaskki M. A., et al. editors).​ Bethesda, MD: NAtional Center for
Biotechnology Information (US).
Politi, K., Shermer-Meiri, L., Shuper, A., & Aharoni, S. (2011). The ketogenic diet 2011:
how it works. ​Epilepsy Research and Treatment​.
doi:​http://dx.doi.org/10.1155/2011/963637
Stockman, M., Thomas, D., Burke, J. & Apovian, C. M. (2019). Intermittent fasting: is
the wait worth the weight? ​Current Obesity Report Author Manuscript​, ​7(2), ​172
- 185.
Veech, R. L. (2003). The therapeutic implications of ketone bodies: the effects of ketone
bodies in pathological conditions: ketosis, ketogenic diet, redox states, insulin
resistance, and mitochondrial metabolism. ​Prostaglandins, Leukotrienes and
Essential Fatty Acids​. 70: 309-319.
Youngson, N. A., Morris, M. J., & Ballard, J. W. O. (2017). The mechanisms mediating
the antiepileptic effect of the ketogenic diet, and potential opportunities for
improvement with metabolism-altering drugs. ​Seizure​. 52:15-19.

Anda mungkin juga menyukai