Oleh:
Abigail Sabrina Kandou (01113180031)
Cindy Octaviana (01113180013)
Jessica Sunardi (01113180034)
Pengajar:
Dr. Tan Tjie Jan
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2019
Daftar Isi
Abstrak
Pendahuluan
Diet Ketogenik
Definisi Diet Ketogenik
Mechanisme Diet Ketogenik
Diet Pembatasan Kalori
Definisi Pembatasan Kalori
Mechanisme Diet Pembatasan Kalori
Diet Puasa Intermittent
Definisi Puasa Intermittent
Mechanisme Puasa Intermittent
Diabetes
Definisi Diabetes Tipe II
Pengaruh setiap diet terhadap diabetes
Abstrak
Pendahuluan
Banyak orang menganggap bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kesehatan
yang lebih baik adalah melalui diet. Diet seringkali digunakan oleh orang-orang
untuk sekadar memperbaiki penampilan, terutama dalam menurunkan berat
badan. Namun, selain dapat menurunkan berat badan, diet sendiri memiliki
banyak kelebihan antara lain sebagai tindakan penyembuhan terhadap penyakit
kanker, tekanan darah, penyakit jantung, dan resiko diabetes. Kata “diet” dapat
diartikan sebagai jumlah energi dan nutrisi yang diperoleh dari makanan dan
minuman yang dikonsumsi secara teratur oleh individu. “Balanced diet” dapat
diartikan sebagai diet yang mengandung energi dan nutrisi yang dapat memenuhi
segala kebutuhan untuk pertumbuhan dan aktivitas yang sehat, termasuk nutrisi
makro (karbohidrat, lemak dan protein) dan nutrisi mikro (vitamin dan mineral).
Dengan meningkatnya popularitas diet, lahirlah beragam jenis diet yang sekarang
dikenal luas di kalangan masyarakat. Beberapa tipe diet antara lain ada paleo,
vegan, mediterania, atkins, intermittent diet (puasa intermittent), calorie restricted
(pembatasan kalori) dan ketogenik. Setiap diet mempunyai ciri khas
masing-masing. Namun semuanya itu dinilai baik bagi tubuh apabila dijalankan
dengan benar.
Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan mekanisme, menganalisis pro-kontra, dan
membandingkan diet ketogenik, puasa intermittent, dan pembatasan kalori.
Diet Ketogenik (Ketogenic Diet)
Diet Ketogenik (KD) merupakan salah satu diet paling populer dalam
dekade terakhir ini karena dalam beberapa tahun terakhir, diet ketogenik diketahui
telah digunakan selama hampir 100 tahun sebagai salah satu cara mengatasi
penyakit epilepsi. Kriteria diet ketogenik adalah menu yang mengandung
makanan yang mengandung lemak tinggi, karbohidrat rendah, dan protein yang
cukup sambil mempertahankan jumlah kalori yang normal.
Ide dasar diet ketogenik adalah stimulasi oksidasi lemak karena asupan
lemak yang tinggi dan karbohidrat yang rendah. Menu untuk diet ketogenik ini
dirancang untuk meniru perubahan biokimia yang terjadi ketika puasa. Diet
ketogenik menginduksi produksi keton, terutama β-hydroxybutyrate, acetoacetate,
dan aseton, dari oksidasi asam lemak di hati dan penurunan konsentrasi glukosa
darah. Keton merupakan substrat alternatif dari glukosa untuk sumber energi.
Pada saat diet ketogenik, konsentrasi free fatty acids (FFA), asam lemak bebas
dalam darah meningkat. FFA tersebut dipindahkan ke dalam mitokondria, proses
ini memerlukan senyawa karnitina.
Dalam mitokondria, FFA tersebut didegradasi menjadi keton melalui
proses oksidasi beta. β-hydroxybutyrate merupakan keton utama yang dapat
diukur dalam darah dan sering digunakan untuk mengukur tingkat ketosis badan
selama menjalankan diet ini. Degradasi β-hydroxybutyrate m enghasilkan
peningkatan aseton, oleh karena itu nafas orang yang mengalami ketosis sering
kali berbau aseton (Bough & Rho, 2007; Politi, et al., 2011).
Diet Keto vs Diet tinggi karbohidrat (Keto Diet vs High Carbohydrate Diet)
Dalam diet yang kaya akan karbohidrat, glukosa adalah substrat utama
yang menghasilkan energi. Glukosa dikatabolisme dalam sitoplasma sel via proses
glikolisis dan menghasilkan adenosine triphosphate (ATP) dan nicotinamide
adenine dinucleotide, ( NADH). NADH yang dihasilkan dapat digunakan dalam
electron transport chain (ETC) mitokondria untuk menghasilkan suatu gradien
proton yang melintasi membran mitokondria dalam yang kemudian digunakan
dalam fosforilasi oksidatif untuk memproduksi ATP. Produk akhir glikolisis
adalah piruvat yang masuk ke dalam mitokondria dan dikonversi menjadi
asetil-KoA. Asetil-KoA berperan penting dalam metabolisme energi yang dapat
bergabung dengan oxaloacetate untuk masuk ke dalam tricarboxylic acid cycle
(TCA) untuk memproduksi NADH yang digunakan dalam ETC. Ketika
diperlakukan diet KD, metabolisme tubuh akan beralih dari metabolisme berbasis
glukosa ke arah metabolisme berbasis lemak. Asam lemak yang dikonsumsi akan
dimetabolisme dalam mitokondria hati menjadi keton yang dilepaskan ke dalam
aliran darah. Dalam mitokondria neuron dan sel glial, keton akan dikatabolisme
menjadi asetil-KoA. Asetil-KoA kemudian masuk ke dalam siklus TCA untuk
memproduksi NADH atau dapat juga digunakan dalam lipogenesis untuk
memproduksi asam lemak (Youngson, et al., 2017; Harvey, et al., 2019).
Ketone body metabolism
Proses pembentukan ATP pada mitokondria menggunakan energi dari ECT
respiratori dimana elektron dari substrat masuk ke dalam berbagai pusat katalitik
dan melalui berbagai pasangan redoks dalam rantai untuk pada akhirnya
menggabungkan H+ dengan O2 untuk membentuk senyawa H2O. ECT respiratori
bermula dengan kompleks multienzim NADH yang memiliki substrat yaitu
NADH mitokondria bebas. Potensi redoks antara NADH bebas dan padangan O2
akan menyebabkan terjadinya perpindahan elektron melalui rantai respiratori yang
menghasilkan energi. Energi yang didapatkan dari transpor elektron mitokondria
tersebut dipindahkan ke proses pemompaan proton dari fase mitokondria ke fase
sitosolik pada situs I, III, dan IV. Proses ini menghasilkan gradien elektrokimia
proton antara kedua fase. Gradien proton yang dihasilkan energi redoks rantai
respiratori akan kemudian menjadi sumber energi untuk perpindahan proton dari
sitosol kembali ke mitokondria via kompleks F1 ATPase dalam proses yang
efisien dan reversibel. Untuk setiap elektron yang bergerak melalui rantai
respiratori, 3 ATP terbentuk (Veech, 2003).
Mekanisme
Anton et al. m enggunakan istilah “metabolic switch” untuk
menggambarkan pergeseran preferensi tubuh dari pemanfaat glukosa dari
glikogenolisis menjadi asam lemak dan asam lemak yang berasal dari keton
(fatty-acid derived ketones). Mereka menunjukan bahwa keton merupakan bahan
bakar pilihan untuk otak dan tubuh selama periode puasa dan masa olahraga yang
diperpanjang. Metabolic switch akan terjadi ketika cadangan glikogen di dalam
hati habis, umumnya 12 jam setelah penghentian asupan makanan, dan lipolisis
jaringan adiposa akan meningkat untuk menghasilkan lebih banyak asam lemak
dan gliserol. Asam lemak bebas diangkut ke hati dan asam lemak tersebut
dioksidasi menjadi β-hydroxybutyrate dan acetoacetate. Keduanya akan
dikonversi menjadi energi melalui beta oksidasi. Secara umum, proses ini
melibatkan peningkatan asam lemak yang bersirkulasi dan perubahan lain yang
terkait dengan metabolisme glukosa dan asam lemak (Stockman et al., 2019).
Peroxisome proliferator-activated receptor alpha (PPAR-α) menginduksi
ekspresi gen yang memediasi oksidasi asam lemak dalam sel otot. Resistensi
insulin akan memperpanjang waktu yang diperlukan untuk membalik saklar
metabolisme dan dengan demikian di antara penderita diabetes mungkin
diperlukan waktu lebih lama untuk mulai menggunakan asam lemak untuk energi.
Peroxisome Proliferator-Activated Receptor alpha ( PPAR-α) menginduksi
ekspresi gen yang memediasi oksidasi asam lemak dalam sel otot. Resistensi
insulin yang merupakan karakteristik utama dari diabetes tipe 2, telah lama
diketahui mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dengan cara melakukan
intermittent fasting. Setelah periode puasa, sensitivitas insulin menjadi meningkat
dan kadar insulin akan menurun. Hal ini dapat menghasilkan peningkatan kadar
glukosa puasa dan postprandial. Selain itu, karena insulin menginduksi
pertumbuhan jaringan adiposa, maka dapat berpotensi untuk menurunkan berat
badan (Stockman et al., 2019).
Resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan keadaan inflamasi
termasuk peningkatan protein C-reaktif, penurunan adiponektin, LDL, dan faktor
metabolisme lain yang semuanya memiliki kontribusi atau terkait dengan
aterosklerosis dan pengembangan penyakit arteri koroner. Selain itu, insulin
diketahui bersifat aterogenik serta meningkatkan risiko retensi cairan dan gagal
jantung kongestif. Dengan demikian, mengurangi kadar insulin melalui puasa
intermiten akan berpotensi mengurangi penyakit-penyakit kardiovaskular yang
dapat terjadi (Stockman et al., 2019).
DAFTAR PUSTAKA