Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Kemajuan yang pesat dalam bidang tekhnologi turut mempengaruhi gaya hidup dan
dinamika kesehatan masyarakat menyebabkan bermunculan berbagai masalah kesehatan
yang menurunkan kualitas hidup hingga menyebabkan kematian. Masalah kesehatan
yang dialami oleh seseorang akan mempengaruhi kondisifisiologis dan mekanisme
koping pasien tersebut hingga terjadi penurunan kondisi sampai pada tahapan kritis
hingga akhir kehidupan.

Kondisi pasien saat akhir kehidupan digambarkan sebagai penurunan fungsi fisiologis
tubuh yang tidak dapat disembuhkan atau ditunda dengan perawatan medis, bersifat
individual karena setiap orang memiliki proses perjalanan penyakit yang unik,
mekanisme koping serta faktor sosial dan budaya lainnya yang dapat mempengaruhi
persepsi mengenai akhir kehidupannya (Jeffers, 2012). Penyakit terminal sangat rentan
untuk menjadi parah karena proses perjalanan penyakit yang membutuhkan kontrol
terhadap symptom yang mengikuti, stressor dan lingkungan. Seringkali pasien harus
menjalani pengobatan di unit kritikal (ICU) sehingga permasalahan yang akan dialami
oleh pasien menjadi semakin komplek, pasien menjadi tidak mampu mengendalikan
keadaan hidup mereka, menjadi bergantung pada orang lain dan kehilangan rasa percaya
diri dan otonomi (Nesbitt, 2012; Nielson, 2012).

Masalah yang paling sering terjadi adalah penurunan status fisiologis sehingga
mengharuskan pasien menggunakan alat bantu medis (Easley, 2018), ancaman
mortalitas yang tinggi yaitu 60,43% (Buletin Data dan Informasi Kesehatan, 2012),
konflik dan situasi emosional yang muncul baik dari pasien, keluarga maupun orang
terdekat pasien lainnya, pasien juga harus berjuang melawan rasa sakit seperti nyeri,
situasi emosional berhubungan dengan keberadaan keluarga dan orang yang dicintai
serta beban yang akan ditanggung oleh anggota keluarga saat ia telah tiada (Fuller,
2018), keluarga yang ditinggalkan akan merasa kebingungan, frustrasi dan

Universitas Indonesia
2

menggantungkan harapan kepada paramedis dan perawat yang merawat pasien


(Garwood, 2016)

Masalah kesehatan yang paling ditakuti yang menjadi fokus penting karena tingginya
angka kematian diantaranya adalah Penyakit Tidak Menular (PTM) yaitu penyakit yang
tidak dapat ditularkan kepada orang lain. Menurut World Health Organization (WHO,
2014) terdapat empat PTM yang utama yaitu diabetes, gangguan jantung, pernapasan
dan kanker.

Tingginya angka prevalensi dan mortalitas akibat penyakit tidak menular tersebut
mencapai angka yang cukup tinggi. WHO mengungkapkan bahwa dari 57 juta
kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, terdapat 36 juta atau hampir dua
pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM dapat terjadi pada usia muda
dan berakibat fatal hingga kematian. Di Indonesia, Buletin Data Nasional (2012)
menyebutkan penyakit kronis memiliki proporsi kasus rawat inap dengan mortalitas
pada tahun 2009-2010 mempunyai pola yang sama yaitu terbanyak adalah penyakit
tidak menular (60,43%), kemudian penyakit menular (20,11), cedera (7.85) dan
penyakit maternal dan perinatal (11.8%). Selain itu penyakit kanker juga menempati
angka mortalitas yang tinggi di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi kanker memiliki kecendrungan tinggi
terjadi pada bayi (0,3%) kemudian meningkat pada umur lebih dari 15 tahun, dan
mencapai angka tertinggi pada umur lebih dari 75 tahun (5%).

Fokus asuhan keperawatan pasien penyakit terminal pada tahap akhir kehidupan adalah
bagaimana mempersiapkan pasien untuk dapat meninggal dengan keadaan tenang.
Adalah hal yang sulit untuk mendefinisikan “Meninggal dengan keadaan yang tenang
(Dying Dignity)” karena banyak faktor akan mempengaruhi persepsi pasien atau
keluarga mengenai Dying Dignity, antara lain sosial kultural, keyakinan pribadi, sikap
dan prilaku (Miller & Margaret Rowland, 2015). Menjelang tahap akhir kehidupan,
fokus asuhan terdapat pada tindakan kenyamanan, penghentian dukungan hidup,
komunikasi dengan pasien dan anggota keluarga, kemungkinan ketidaksepakatan
dengan perintah dokter, perawatan yang sia-sia serta agama atau keyakinan spiritual
(Fuller, 2018). Unsur-unsur spiritual pada akhir kehidupan dapat mencakup penguatan

Universitas Indonesia
3

atau memperbarui iman, memahami kembali makna kehidupan, mengidentifikasi


ketakutan yang terkait dengan proses kematian, dan mengandalkan berbagai
kepercayaan agama dan budaya untuk mengatasi penyakit dan proses kematian (Jeffers,
2012).

Di banyak negara, spiritualitas saat kondisi menjelang ajal menjadi perhatian terutama
semenjak istilah paliatif diperkenalkan pada 40 tahun silam oleh dokter Kanada Balfour
Mount pada tahun 1973, banyak berkembang pertemuan para profesional kesehatan
dalam konferensi internasional dan penelitian membahas spiritualitas, khususnya dalam
perawatan paliatif (Puchalski et al., 2009; Nolan, Saltmarsh, &Leget, 2011; Puchalski,
Vitillo, Hull, & Reller, 2014; Teresa, 2018). Di Indonesia, perawatan paliatif mulai
menjadi perhatian sejak di terbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan SK Menkes
No. 812/MENKES/SK/VII/2007 tentang kebijakan perawatan paliatif. Salah satu yang
menjadi dimensi penting dalam perawatan paliatif berdasarkan SK Menkes RI adalah
pemenuhan kebutuhan pasien akan psiko, sosial dan spiritual pada akhir kehidupan
sehingga pasien diharapkan mendapatkan kematian yang bermartabat dan berdasarkan
keyakinannya masing-masing (Dying Dignity).

Spiritual (religion) merupakan salah satu aspek yang berpengaruh dalam perawatan
akhir kehidupan, menurut penelitian keyakinan spiritual pasien akan meningkatkan
harapan dan kekuatan untuk berjuang melawan penyakitnya, keyakinan spiritual
tersebut berupa pasrah, ikhlas dan menerima takdir yang diberikan oleh tuhan (Susanti,
Hamid, & Afiyanti, 2011). Sejalan dengan penelitian ini, Taylor (2002) dalam Ricci-
allegra (2015) menyebutkan bahwa keyakinan spiritual sebagai cara yang membawa
kualitas spiritual kehidupan,kesejahteraan dan semua fungsi dalam dimensi kesehatan
pasien. Spiritualitas yang dikelola dengan baik akan menjadi sumber bagi rasa nyaman
pasien saat akhir kehidupan (Drury, 2016).

Perawat merupakan salah seorang yang berada pada garda terdepan dalam perawatan
paliatif yang memegang peranan penting dalam pelayanan kepada pasien-pasien paliatif
melalui asuhan keperawatan yang holistik meliputi bio, psiko, sosial, spiritual hingga
akhir kehidupan. Dimensi asuhan spiritual yang dilaksanakan oleh perawat tidak bisa
dipisahkan dengan asuhan lainnya, sesuai dengan teori keperawatan yang dikemukan

Universitas Indonesia
4

oleh Jean Watson (1978-1999) yang mengemukakan bahwa caring transpersonal yang
meliputi dimensi spiritual dan nilai-nilai humanistik dalam hubungan interpersonal dan
transpersonal akan membantu pasien mencapai keharmonisan jiwa, raga dan pikiran
yang akan menimbulkan self control, self healing, self care dan self knowladge melalui
interaksi dengan lingkungan termasuk perawat yang memberikan interaksi paling lama
bersama pasien (Alligood, 2014)

Sebuah penelitian pada perawat di ruang paliatif menyebutkan bahwa perawatan


spiritual merupakan bagian penting dari perawatan dalam tahap akhir kehidupan dan
bahwa perawat memiliki peran dalam membantu pasien untuk menggunakan sumber
daya spiritual mereka untuk mengatasi penyakit karena pasien berbagi pemikiran agama
dan spiritual dengan perawat setiap hari, sebanyak sembilan perawat merasakan
kemampuan mereka untuk memberikan perawatan spiritual lemah atau terbatas
(Bahraini, Gifford, & Hammond, 2016). Sejalan dengan penelitian tersebut,
dikemukakan juga dalam sebuah meta analisis yang mengeksplorasi hubungan antara
agama dan spiritualitas bahwa 89% dari responden sangat setuju bahwa mereka
memiliki peran dalam mendukung perawatan spiritual pasien baik secara pribadi atau
dengan merujukkepada orang lain meskipun hanya 77,4% yang merasa percaya diri
untuk menyampaikan hal ini (Shah, Frey, Shipman, Gardiner, & Milne, 2018).
Meskipun asuhan secara holistik telah menjadi hal penting dalam keperawatan, namun
masih banyak banyak perawat merasa sulit untuk melakukan perawatan holistik
terutama yang berhubungan dengan kebutuhan spiritual pasien (Miller & Margaret
Rowland, 2015).

Kesenjangan atau masalah utama yang diidentifikasi antara lain: (a) Kurang
terstrukturnya asuhan keperawatan baik pengkajian, perencanaan, dan implementasi
perawatan spiritual, atau komunikasi terkait rencana perawatan spiritual antar
profesional kesehatan; (b) Tidak adanya skrining yang mengidentifikasi distres spiritual;
(c) Tidak ada penggambaran yang jelas tentang peran dan tanggung jawab terkait
dengan perawatan spiritual, yang mengarah pada ketegangan antara beberapa disiplin
ilmu; (d) Tidak ada pendidikan atau pelatihan penyedia layanan kesehatan tentang
pemahaman kerohanian, menilai kebutuhan spiritual, dan menanggapi distres spiritual
(Drury, 2016). Selain itu sebuah penelitian dengan melakukan survey pada 34 orang

Universitas Indonesia
5

perawat ruang ICU, sebanyak 67% perawat melaporkan bahwa keterlambatan dokter
dalam membahas tujuan perawatan dan prognosis sebagai aspek yang membuat perawat
kesulitan untuk menyampaikan perkembangan terkini terkait kondisi penyakit kepada
keluarga dan orang terdekat (Sedhom & Barile, 2017). Dilain sisi, perawat yang
sebagian besar perempuan memiliki keterbatasan dalam meningkatkan profesi serta
pengetahuan perawat yang tidak cukup untuk bertukar pendapat dengan dokter sehingga
peran dokter menjadi dominan dalam pengambilan keputusan (Yetti, 2018).

Perawat memiliki kewenangan yang jelas untuk terlibat secara profesional dalam
pemberian asuhan pada pasien termasuk pada tahap akhir kehidupan sesuai dengan
Undang-Undang Keperawatan No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Dalam SNARS
2018 pada elemen Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP) standar PAP 7 dinyatakan pula
bahwa dilakukan assesmen dan asesmen ulang terhadap pasien dan keluarga pada tahap
terminal sesuai dengan kebutuhan mereka. Pelaksanaan asuhan kepada pasien harus
dilaksanakan dengan komprehensif menggunakan proses-proses manajemen baik dalam
proses keperawatan maupun pelayanan (management of services) untuk mengelola
aktivitas keperawatan sehingga menghasilkan asuhan keperawatan yang bermutu
(Marquis & Huston, 2012).

Manajemen keperawatan menjelaskan suatu proses yang sejajar dan saling menunjang
dalam sebuah manajemen asuhan pasien berupa proses keperawatan, meliputi tahapan-
tahapan:
a) pengkajian; b) diagnosa keperawatan; c) perencanaan; d) pelaksanaan dan e)
evaluasi (Gillies, 2000). Pakar teori keperawatan end of life, Rulland dan Moore (1984)
mengemukakan bahwa perawat perlu melakukan pengkajian dan menginterpretasikan
isyarat yang mereflesikan pengalaman seseorang dalam menghadapi kematian dan
mengintervensi dengan tepat untuk memperoleh atau mempertahankan pengalaman
yang damai. Bahkan sekalipun pasien yang akan menghadapi kematian dengan keadaan
tidak dapat komunikasi verbal.

Studi kualitatif yang dilakukan di sebuah pelayanan kesehatan di Ontario, Kanada pada
empat orang case manager dalam mengelola asuhan spiritual pasien menjelang ajal
menemukan tema yaitu perawat manajer kasus dalam penelitian ini memupuk koneksi

Universitas Indonesia
6

dengan pasien dan keluarga, mengatasi ketakutan pasien akan kematian, dan mencapai
kedamaian di akhir hayat. Tema terakhir yang berjudul penggunaan terapeutik diri
muncul ketika partisipan menciptakan kondisi di mana pasien merasa mampu
mendiskusikan harapan dan ketakutan mereka (Zyblock, 2009). Penelitian
mengungkapkan bahwa sebagian besar pasien (91%) menilai hubungan mereka dengan
perawat sebagai baik. Selain itu, 91,8% dari peserta menggambarkan perlindungan
privasi sebagai sedang/baik. Hanya 6,5% subjek yang menilai sangat baik. Mayoritas
pasien (84,4%) percaya independensi mereka dipertahankan (Raee, Abedi, & Shahriari,
2017)

Manajemen asuhan keperawatan juga perlu mempertimbangkan pendekatan multi


disiplin dalam mengelola asuhan pasien. Penelitian kualitatif yang melibatkan
multidisiplin dalam mengelola asuhan spiritual pasien menjelang ajal mengungkapkan
bahwa kedekatan perawat dengan pemuka agama akan memberikan pengaruh yang
positif dalam manajemen asuhan spiritual pasien(Oland, 2017). Manajemen asuhan
spiritual harus dapat mengintegrasikan pendekatan multidisiplin dalam menerapkan
asuhan spiritual dan pentingnya manajer memastikan bahwa perawat pelaksana
menerapkan asuhan spiritual kepada pasien (Miller, 2015).

Di Propinsi Aceh, pelayanan spiritual terhadap pasien giat digalakkan oleh pemerintah
daerah melalui konsensus penerapan syariat Islam. Hal ini berimplikasi pada berlakunya
penerapan syariat Islam dalam tatanan pelayanan kesehatan di propinsi Aceh.Seperti
pada rumah sakit Dr Zainul Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Rumah Sakit yang telah
SNARS dan menuju akreditasi JCI ini memiliki BOR sebesar 80,81% dan jumlah
perawat dengan pendidikan ners sebanyak 226 orang. Misi RSUZA adalah menerapkan
prinsip-prinsip islami dalam mengembangkan pelayanan kesehatan yang di
manifestasikan dengan memberlakukannya aturan-aturan islami termasuk pada pasien
menjelang ajal. Sejak tahun 2015 lalu, RSUZA menerapkan peraturan dalam asuhan
pasien menjelang ajal dengan memberlakukan “talqin” yaitu bimbingan melaksanakan
kalimat syahadat bagi penganut agama Islam saat pasien akan menjelang ajal yang
dituangkan dalam Standar Operasional Prosedur (SPO) pasien menjelang ajal. Selain itu
komitmen RSUZA dalam asuhan pasien tahap akhir juga dijalankan dengan assesmen

Universitas Indonesia
7

tahap akhir kehidupan melalui SPO tahap akhir kehidupan dan SPO penapisan pasien
paliatif. Dokumen lainnya yang menjadi kebijakan antara lain adalah SPO tentang
kriteria pasien yang merupakan holding therapy (pasien yang kondisinya masih dapat
diupakan pengobatan) maupun withdrawl (pasien yang pengobatannya sudah harus
dihentikan, hanya support terhadap kebutuhan dasar saja), kriteria ini ditetapkan oleh
Komite Medik yang ada di RS. Selain itu RS ini memiliki instalasi pelayanan islami
yang memfasilitasi pelayanan spiritual terhadap pasien yang membutuhkan.

Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan melalui komunikasi telepon


terhadap perawat yang bertugas pada ruang ICU RSUZA Banda Aceh, dijelaskan bahwa
manajemen asuhan keperawatan diberikan dengan menggunakan metode tim dan setiap
anggota tim bertanggungjawab terhadap satu orang pasien. Asuhan keperawatan
dilakukan sesuai dengan tahapan proses keperawatan meliputi pengumpulan data
melalui pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, menetapkan perencanaan
tindakan, implementasi dan evaluasi. Pengumpulan data spiritual dilakukan melalui
pengkajian terhadap pasien dan keluarga menggunakan format assesmen akhir
kehidupan, namun perawat mengatakan tidak melakukan intervensi terhadap diagnosa
spiritual yang muncul karena lebih berfokus kepada diagnosa fisiologis. Pemenuhan
kebutuhan spiritual pasien dilakukan perawat dengan mengikuti standar operasional
prosedur pelayanan yang berlaku secara umum di RSUZA Banda Aceh seperti
mengingatkan waktu sholat, membaca basmallah sebelum melakukan tindakan dan
melakukan talqin (pembacaan kalimat syahadat) saat pasien pada tahap akhir
kehidupan. Pada saat akhir kehidupan, anggota keluarga diperbolehkan menemani
pasien untuk memberi dukungan spiritual selain itu hak otonomi pasien terhadap
tindakan seperti DNR (Do Not Resuscitation) juga diperhatikan oleh perawat dengan
menjalankan proses DNR sesuai SPO yang dimiliki dan bersama dengan tim medis
menjelaskan prognosa dan tindakan serta mengajukan inform consent. Namun, perawat
mengakui bahwa mereka lebih menyerahkan asuhan spiritual pasien kepada Intalasi
Pelayanan Islami yang ada di RS dan fokus pada kebutuhan dasar lainnya.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti memandang perlu melakukan penelitian


untuk menggali lebih jauh dan mendapatkan intisari dari pengalaman perawat dalam

Universitas Indonesia
8

memberikan asuhan keperawatan spiritual bagi pasien pada tahap akhir kehidupan
dengan menggunakan studi fenomenologi deskriptif.

1.2 Rumusan Masalah


Pada tahap akhir kehidupan, pasien akan menggantungkan harapan perawatannya
kepada perawat sebagai orang yang berada paling lama dan paling banyak berinteraksi
dengan pasien. Untuk itu perawat dituntut untuk dapat menerapkan caring secara
holistik meliputi biologis, psikologis,sosial dan kebutuhan spiritual pasien. Dalam
menjalankan dimensi spiritual dalam asuhan keperawatan terkadang perawat harus
dapat menjadi advokat bagi pasien untuk menjelaskan penyakitnya dan mempersiapkan
pasien dalam menerima kondisi akhir kehidupannya.

Banyak konflik yang akan terjadi pada perawat sebagai pemberi asuhan pada tahap
akhir kehidupan termasuk juga masalah etik dan pengalaman emosional yang dapat
terjadi saat memberikan perawatan pada pasien menjelang ajal (End of Life) seperti Do
not Resuscitation, pemutusan alat bantu medis yang digunakan dan sebagainya.
Perawatan pasien pada tahap akhir kehidupan harus dilakukan secara komprehensif dan
holistik sesuai dengan keunikan dari setiap individu.

Penelitian terkait pengalaman perawat dalam asuhan spiritual telah banyak dilakukan di
negara lainnya. Namun di Indonesia, belum terdapat penelitian yang membahas
bagaimana pengalaman perawat dalam memberikan asuhan spiritual kepada pasien pada
tahap akhir kehidupan serta bagaimana pengalaman yang dijalani oleh perawat maupun
pengelola pelayanan keperawatan dalam memberikan asuhan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menganggap bahwa penelitian ini harus dilakukan
karena belum diketahui bagaimana asuhan yang tepat bagi pasien tahap akhir
kehidupan.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat mengenai asuhan
spiritual yang diberikan kepada pasien pada tahap akhir kehidupan.

Universitas Indonesia
9

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Pengelola Pelayanan Kesehatan
Diharapkan hasil penelitian mengenai pengalaman perawat dalam memberikan asuhan
spiritual kepada pasien pada tahap akhir kehidupan dapat dijadikan data dasar bagi
pengelola pelayanan kesehatan untuk menentukan dan menyusun kebijakan terkait
asuhan keperawatan spiritual yang komprehensif dan menjadi kesatuan dalam tata nilai
dan kebijakan pelayanan kesehatan serta sesuai dengan kultur masyarakat. Bagi perawat
klinis dapat memberikan gambaran pola komunikasi dan asuhan spiritual yang meliputi
pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan dan Pengembangan Ilmu Keperawatan


Diharapkan agar dari hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai
pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan spiritual pasien pada
tahap menjelang ajal. Menambah referensi mengenai perawatan spiritual dan sebagai
evidence base practice dibidang keperawatan sehingga dapat menjadi acuan bagi
pengembangan kurikulum pendidikan terkait asuhan spiritual pasien.

1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya


Hasil dari penelitian pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
spiritual kepada pasien yang dilakukan diharapkan dapat menjadi gambaran sehingga
dapat mengembangkan penelitian lanjutan mengenai manajemen asuhan spiritual.
Menjadi data dasar bagi penelitian berikutnya yang ingin memperdalam mengenai
manajemen asuhan spiritual pasientahap akhir kehidupan.

Universitas Indonesia
10

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai