Anda di halaman 1dari 7

PAPER

MATA KULIAH UNDANG-UNDANG KEFARMASIAN

“APOTEKER MENULIS RESEP OBAT”

Anggota Kelompok : Dede Maulana Sidik


Cindy Hermawati
Fitrinalis
Rini Arsinni
Titan Shufina
Sri Zulfah
Risya Ayudia Hayat
Syifa Ayudia Finuzi

PROGRM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan


kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan
kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan
pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang


kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan
obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam
pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas
mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang
benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).

Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan


belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan
Pemerintah, dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan
dengan era otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam
memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan,
dan Tenaga Kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi
dirasakan masih belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk


meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai
perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur
Pekerjaan Kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur:

1. Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian;

2. Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan, Produksi, Distribusi, atau


Penyaluran dan Pelayanan Sediaan Farmasi;

3. Tenaga Kefarmasian;

4. Disiplin Tenaga Kefarmasian; serta

5. Pembinaan dan Pengawasan;


BAB II
DASAR TEORI

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, apoteker adalah sarjana


farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah apoteker.
Apoteker sangat erat kaitannya dengan apotek, dimana apotek merupakan salah satu tempat
dilakukannya pekerjaan kefarmasian.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan pelayanan farmasi klinik. Salah satu
tugas apoteker dalam melakukan pelayanan farmasi klinik, yaitu penyerahan dan pelayanan
obat berdasarkan resep dokter.

Pelayanan farmasi klinik meliputi, pengkajian resep, dispensing, Pelayanan


Informasi Obat (PIO), konseling, Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care),
Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO). Resep adalah
permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper
maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan
yang berlaku.
BAB III

PEMBAHASAN

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017


Tentang Apotek, Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan
kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik untuk menyediakan dan
menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan bagi pasien. Berdasarkan definisi
tersebut resep hanya boleh ditulis oleh dokter. Apoteker tidak boleh menulis resep, peran
apoteker adalah menerima resep dari dokter kemudian menyediakan dan menyerahkan
sediaan farmasi bagi pasien sesuai dengan yang tertulis pada resep dari dokter.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017


Tentang Apotek Pasal 21 ayat 1 disebutkan Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan
tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1 disebutkan bahwa pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Berdasarkan peraturan yang telah disebutkan diatas, pekerjaan kefarmasian adalah


melakukan pelayanan atas resep dokter tidak disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian
adalah menulis resep obat. Jadi berdasarkan peraturan perundang undangan yang telah
disebutkan diatas, apoteker tidak memiliki tugas untuk menulis resep obat. Apabila dilihat
dari kompetensi seorang apoteker, apoteker merupakan seorang sarjana farmasi yang
mempelajari segala hal yang berkaitan dengan obat. Apoteker bertanggung jawab terhadap
obat mulai dari proses formulasi, pembuatan, sampai menjadi sebuah obat jadi yang akan
didistribusikan ke pasien. Dibandingkan dengan dokter, apoteker lebih menguasai tentang
obat, karena apoteker mempelajari apa yang tidak dokter pelajari tentang obat. Namun
apoteker juga mempelajari anatomi tubuh manusia dan patofisiologi dari penyakit seperti
yang dipelajari oleh dokter, agar obat bisa digunakan dan diserahkan dengan tepat sesuai
penyakit pasien.

Saat ini, banyak dokter yang melakukan kesalahan dalam meresepkan obat, baik
dalam pemilihan obat maupun dosis yang disarankan. Apoteker yang menerima resep harus
menyarankan kepada dokter untuk penggantian obat yang lebih tepat. Tidak dipungkiri ada
sebagian dokter yang mau menerima saran dari apoteker dan ada dokter yang tetap pada
pendiriannya. Padahal seperti yang diketahui, bahwa penggunaan obat yang tidak tepat bisa
merugikan pasien. Pada tahun 2003, di Inggirs, apoteker diberi legalitas sebagai penulis
resep tambahan (supplementary prescriber) dan baru pada tahun 2006 mendapat legalitas
sebagai penulis resep independen (independent prescriber). Seorang apoteker dapat
menjadi supplementary prescriber atau independent prescriber, atau bahkan mendapatkan
status keduanya. Independent prescriber memiliki tanggung jawab untuk membuat
penaksiran klinis tentang pasien termasuk menegakkan diagnosis dan meresepkan obat yang
diperlukan.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Apoteker di Indonesia mampu menjadi


independent presciber atau supplementari presciber? Di beberapa rumah sakit, apoteker
seringkali menuliskan resep sebagai pengganti dokter, hal ini tercantum dalam Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan
Dokter Gigi menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau
prosedur kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai dengan ruang
lingkup keterampilan mereka. Ketentuan tersebut memberikan batas tanggungjawab baik
bagi dokter maupun apoteker, apabila di dalam pelayanannya menimbulkan kerugian pada
pasien.

Apoteker, dengan pengetahuan yang tinggi mengenai obat dan penggunaannya,


mempunyai kontribusi yang perlu dipertimbangkan sebagai penulis resep. Namun, tidak
semua apoteker di Indonesia kompeten dalam bidangnya, sehingga untuk menjadi
independent presciber atau supplementari presciber perlu dilakukan penyaringan misalnya
melalu sebuah uji kompetensi untuk menentukan apoteker tersebut layak atau tidak sebagai
penulis resep agar apoteker yang menjadi independent presciber atau supplementari
presciber benar-benar apoteker yang kompeten.
BAB IV

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa peraturan tentang
dapat atau tidaknya apoteker dalam menulis resep, Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek, Bahwa resep hanya ditulis oleh
Dokter, Apoteker tidak boleh menulis resep, peran apoteker adalah menerima resep dari
dokter kemudian menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi bagi pasien sesuai
dengan yang tertulis pada resep dari dokter, begitu juga pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1 yang
tidak menyebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah menulis resep. Namun dalam
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional
Dokter dan Dokter Gigi disebutkan bahwa dokter dan dokter gigi dapat mendelegasikan
tindakan atau prosedur kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai
dengan ruang lingkup keterampilan mereka, yang artinya dokter dapat memberikan
tanggung jawab pada apoteker salah satunya dalam menulis resep.

Anda mungkin juga menyukai