a) Anatomi
1. Makroskopis
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus
abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di
bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar
suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada
orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira
sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat
seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.
Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan
dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal
kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi
tempat lobus hepatis dexter yang besar. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut
oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak
(lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut
tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong
yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks
renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks
renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid.
Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-
segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid
membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari
banyak duktus pengumpul.
2. Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta
buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari
kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul.
(Price, 2012) Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat
sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut
dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-
kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus.
Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar
melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit)
dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan
molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang.
Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan
arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.
3. Vaskularisasi ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra
lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak
disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut
bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya
membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang
tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk
arteriola aferen pada glomerulus (Price, 2012). Glomeruli bersatu membentuk
arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang
mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular.
Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan
vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan
vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar
1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung
(5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks
sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah
otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik
yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah
arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
tetap konstan ( Price, 2012).
4. Persarafan Pada Ginjal
Menurut Price (2012) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis
(vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam
ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal”.
b) Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat
vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/membersihkan” darah.
Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring
menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat
ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin
sebanyak 1-2 liter/hari.
Fungsi Ginjal Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam
pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b) mempertahankan keseimbangan cairan tubuh, c)
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan d)
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak. e)
Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang. f) Produksi hormon yang
mengontrol tekanan darah. g) Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu
pembuatan sel darah merah.
c) Tahap Pembentukan Urine :
1. Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti
kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap
protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih
kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal
(RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200
ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui
glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR =
Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat.
Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler
glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler
glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik
filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi
glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga
oleh permeabilitas dinding kapiler. pembentukan-urine.
2. Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat
tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara
alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi
dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus
distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen
dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium
keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan
tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi,
hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan
disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini
(hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis
ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan
lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat
menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan
kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.
B. Definisi
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2015).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan.
Diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m², seperti pada tabel berikut:
Batasan penyakit ginjal kronik
Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
(Price, S.A. & Wilson, 2003)
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju
filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah. Untuk mendapatkan GFR kita harus mengukur konsentrasinya dalam
sampel plasma (Px), konsentrasinya dalam sampel urine(Ux), dan volume urin dalam periode
tertentu (V) berdasarkan angka tersebut, persamaan untuk GFR (dalam ml per menit), dapat
diuraikan seperti dalam persamaan:
GFR (ml/mnit) =UX (mg/ml)V(ml/mnt)
Px (mg/ml)
Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1
adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal
dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan
yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal,
dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Price, S.A. & Wilson, 2015).
Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73 m²)
0 Risiko meningkat ≥ 90 dengan faktor risiko
1 Kerusakan ginjal disertai LFG ≥ 90
normal atau meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
A. Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis menurut (Price, 2012), adalah :
1. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa memandang
usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih umumnya dibagi dalam dua kategori besar :
Infeksi saluran kemih bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran
kencing bagian atas (pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis kronik adalah
penyebab utama gagal ginjal tahap akhir pada anak-anak.
2. Penyakit peradangan
Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh
glomerulonepritis kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan terjadi kerusakan
glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya gagal
ginjal.
3. Nefrosklerosis hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin
merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit
ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui
mekanisme retensi natrium dan air, serta pengaruh vasopresor dari sistem renin-
angiotensin.
4. Gangguan kongenital dan herediter
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan penyakit herediter yang
terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir dengan gagal ginjal
meskipun lebih sering dijumpai pada penyakit polikistik.
5. Gangguan metabolic
Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik antara lain diabetes
mellitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan amiloidosis.
6. Nefropati toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan kimia karena
alasan-alasan berikut :
a. Ginjal menerima 25 % dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak
dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.
b. Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada
daerah yang relatif hipovaskular.
c. Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat, sehingga
insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi
dalam cairan tubulus.
Sedangkan etiologi berdasarkan letak penyebab:
1. Pre Renal (hipoperfusi ginjal)
Gagal ginjal tipe pre renal disebabkan oleh menurunnya aliran cairan (perfusi cairan)
tubuh ke ginjal, misalnya terjadi pada keadaan-keadaan seperti dehidrasi, atau perdarahan
hebat, pasca operasi dan sebagainya. Kondisi-kondisi seperti ini tentunya akan
menyebabkan fungsi ginjal membuang cairan dan toksin dalam tubuh menjadi turun.
Etiologi:
a. Penurunan volume vaskuler:
1) kehilangan darah/plasma: perdarahan, luka bakar
2) kehilangan cairan ekstraseluler: muntah, diare
b. Kenaikan kapasitas vaskuler
1) Sepsis
2) blokade ganglion
3) reaksi anafilaksis
c. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung:
1) renjatan kardiogenik
2) payah jantung kongestif
3) tamponade jantung
4) disritmia
5) emboli paru
6) infark jantung
2. Intra Renal (kerusakan aktual jaringan ginjal)
Gagal ginjal akut tipe renal disebabkan oleh adanya batu ginjal yang mengganggu filtrasi
cairan di ginjal. Adanya batu ginjal yang tidak ditatalaksanakan dengan baik, pada
akhirnya akan dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut, bahkan juga kronik.
Etiologi:
GNA, nefrosklerosis, Nefritis interstitialis, Nekrosis tubuler akut, Nekrosis kortikal akut,
Sindrom uremik.
3. Post Renal (obstruksi aliran urin)
Gagal ginjal tipe post renal disebabkan oleh adanya sumbatan pada saluran-saluran yang
keluar dari ginjal, seperti adanya batu di ureter, terjadinya pembesaran prostat atau
adanya tumor di kandung kemih, dan sebagainya. Terjadinya sumbatan tersebut akan
menyebabkan turunnya fungsi pembuangan cairan oleh ginjal. Etiologi:
a. Obstruktif:
1) saluran kencing: batu, pembekuan darah, tumor, kristal, dll
2) tubuli ginjal: kristal pigmen, protein (mieloma)
b. Ekstravasasi
B. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (Brunner &
Suddarth, 2012).
C. Patofisiologi
Pada GGK terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk akhir
metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga tertimbun didalam
darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh. Dan semakin
banyak timbunan produk sampah uremia maka gejala yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens kreatinin akan
menurun sehingga kreatinin akan meningkat. Kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya juga
meningkat. Ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara
normal dan sering terjadi retensi natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema,
gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi sistem
rennin angiotensin aldosteron.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum sehingga terjadi
penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium menyebabkan sekresi kadar
pharathormon, terjadi respon abnormal sehingga kalsium dalam tulang menurun
menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik. Disamping itu penyakit tulang juga
disebabkan penurunan produksi metabolit aktif vitamin D (1,25 dehidrokolekalsiferol).
Patogenesis gagal ginjal kronik yaitu semakin buruk dan rusaknya nefron – nefron yang
disertai berkurangnya fungsi ginjal, ketika kerusakan ginjal berlanjut dan jumlah nefron
berkurang, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi nefron demikian tinggi hingga
keseimbangan glomerolus tubulus (keseimbangan antar peningkatan filtrasi dan peningkatan
reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat dipertahankan lagi. Fleksibilitas baik pada proses
konversi(perubahan) solute dan air menjadi kurang. Reabsorbsi kalium yang merupakan salah
satu fungsi ginjal juga mengalami gangguan dimana seharusnya 50% kalium direabsorbsi di
tubulus paroksimal, 40% di pars asendens tebal dan sisanya di bagian akhir nefron duktus
pengumpul di medulla. Karena kerusakan ginjal pada pasien GGK hal ini menjadi indikasi
untuk dilakukannya hemodialisa pada pasien GGK.
Kerusakan ginjal bisa disebabkan oleh diabetes melitus yaitu pada diabetes melitus
terjadi peningkatan konsentrasi gula darah sehingga ginjal tidak dapat menyerap semua dan
jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan berkurangnya fungsi nefron dan terjadi kerusakan
pada nefron tersebut. Sehingga glukosa muncul di urin dan menyebabkan glukosuria serta
dapat meningkatkan pengeluaran cairan dan elektrolit. Ini mengakibatkan pada pasien akan
terjadi poliuri (banyak kencing), polidipsi (banyak minum), dan turgor kulit menurun.
Selain itu kerusakan ginjal juga dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis
(peradangan pada glomerulus) yaitu antibodi (IgG) dapat dideteksi pada kapiler glomerular
dan terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga terbentuk agregat molekul, agregat molekul
tersebut diedarkan ke seluruh tubuh dan ada beberapa yang terperangkap di glomerulus
menyebabkan respon inflamasi, jika kejadian ini berulang akan mengakibatkan ukuran ginjal
berkurang seperlima dari ukuran normal, respon inflamasi juga menyebabkan korteks
mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1mm-2mm. Ini mengakibatkan berkas jaringan parut
merusak sisa korteks dan permukaan ginjal menjadi kasar dan ireguler sehingga glomeruli dan
tubulus menjadi jaringan parut serta terjadi kerusakan glomerulus yang parah sehingga respon
ginjal yang sesuai terhadap masukan cairan dan elektrolit tidak terjadi serta terjadi retensi
cairan dan natrium yang akan menyebabkan oedem. Kerusakan glomerulus yang parah juga
menyebabkan uremia dan anemia.
Nefropati toksik juga menyebabkan kerusakan pada ginjal yang diakibatkan karena
penurunan fungsi filtrasi dan menyebabkan kerusakan nefron sehingga dapat juga
menyebabkan kerusakan glomerulus yang parah. Penyebab kerusakan ginjal yang lain yaitu
nefropati obstruktif (batu saluran kemih), infeksi saluran kemih dan gangguan pada jaringan
penyambung.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR
dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal
(Soeparman, 2001).
D. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Brunner &
Suddarth, 2012).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih
dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan
usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan
gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal
ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu
indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis,
dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular,
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
Gejala CKD menurut Mansjoer, dkk., 2016 antara lain dapat dilihat pada tabel berikut.
Umum : Fatig, malaise, gagal tumbuh
Kulit : Pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia
Kepala dan Leher : Fetor uremik, lidah kering dan berselaput
Mata : Fundus hipertensif, mata merah
Kardiovaskuler : Hipertensi,kelebihan cairan, gagal jantung,
perikarditis uremik.
Pernafasan : Hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura
Gastrointestinal : Anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, kolitis
uremik, diare karena antibiotik.
Kemih : Nokturia, poliuria, haus, proteinuria
Reproduksi : Penurunan libido, amenore
Saraf : Letargi, tremor, mengantuk, kebingungan, kejang,
Tulang koma
Sendi : Defisiensi vitamin D
Hematologi : Gout, kalsifikasi ekstra tulang
: Anemia, defisiensi imun, mudah mengalami
perdarahan
F. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang
terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan
penunjang diagnosis rutin dan khusus (Brunner & Suddarth, 2012).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit
termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik
(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal
ginjal.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai
sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
b. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:
a. Urine: Volume, Warna, Sedimen,Berat jenis, Kreatinin, Protein
b. Darah : BUN / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum,
Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum
c. Pielografi intravena : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter,
d. Pielografi retrograd: Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel,
Arteriogram ginjal, Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular,
massa.
e. Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam
ureter, retensi.
f. Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
g. Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
h. Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor Selektif.
i. Pemeriksaan Jantung: EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda-tanda perikarditis.
j. Pemeriksaan laboratorium :
1) Urine: Volume : oliguria atau anuria, warna keruh, berat jenis kurang dari
1,015, osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg, klirens kreatinin mungkin agak
menurun, natrium > 40 mEq/L, proteinnuria (3-4+).
2) Darah: BUN/Kreatinin meningkat (kreatinin 10 mg/dl), Hematokrit menurun,
HB < 7-8 g/dL), Gas darah arteri : pH < 7,2, bikarbonat dan PCO2 menurun.
Natrium mungkin rendah atau normal, kalium, magnesium/ fosfat meningkat,
kalsium menurun, protein (khususnya albumin) menurun, osmolalitas serum >
285 mOsm/kg.
G. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada
stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan (Mansjoer Arif, 2016).
H. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis ginjal,
transplantasi ginjal, pemasangan double lumen
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat. Hemodialisis di
Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di
banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre
kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
b. Dialisis Ginjal
Dialisis ginjal adalah proses penyesuaian kadar elektrolit dan air dalam darah pada
orang yang fungsi ginjalnya buruk atau rusak.pada prosedur ini darah dilewatkan
melalui suatu medium artificial yang mengandung air dan elektrolit dengan
konsentrasi yang telah ditentukan sebelumnya, medium artificial adalah cairan
dialysis.
1) CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis)
Pada dialysis peritoneum membrane peritoneum digunakan sebagai sawar
semipermeabel alami. Larutan dialisat yang telah dipersiapkan sebelumnya
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui sebuah kateter menetap
yang diletakkan di bawah kulit abdomen. Larutan dibiarkan dalam rongga
peritoneum selama waktu yang ditentukan biasanya 4 sampai 6 jam. Selama
waktu ini proses difusi air dan elektrolit terjadi
2) AAPD (automatic ambulatory peritoneal dialysis)
Adalah dialisa yang dilakukan diluar tubuh dengan menggunakan mesin
dimana darah dikeluarkan tubuh melalui sebuah mesin besar dan dalam mesin
tersebut terdapat 2 ruangan yang dipisahkan oleh selaput
semipermeabel.darah dimasukkan ke salah satu ruang, sedangkan ruang yang
lain diisi oleh cairan pen dialysis dan diantaranya akan terjadi difusi dan
setelah itu darah akan dikembalikan ke tubuh.
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
d. Pemasangan double lumen
Catheter Double Lumen adalah : sebuah alat yang terbuat dari bahan plastik
PVC mempunyai dua cabang, selang merah (Arteri) untuk keluarnya darah dari
tubuh ke mesin dan selang biru (Vena) untuk masuknya darah dari mesin ke
tubuh. Pada ujung dan sisi catheter terdapat lobang untuk keluar dan masuk
darah. Sedangkan menurut Henrich, William. L, ( 2017), kateter double lumen
adalah salah satu akses vaskuler untuk therapy dialisa akut.
Double lumen adalah salah satu akses temporer yaitu berupa kateter
yang dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah leher (Ahmad,
Suhail, 2018). Internal AVF and AFG lebih di pilih untuk di gunakan dari pada
kateter karena AVF dan AVG menurunkan kemungkinan infeksi, yang sangat
penting bagi pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang memiliki daya imun
rendah (Kidney Dialysis Foundation, 2014).
C. Rencana Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d efek agen farmakologis
Tujuan : Pola nafas normal
Kriteria Hasil: Dispnea menurun, penggunaan otot bantu nafas menurun, frekuensi nafas
membaik, RR normal 16-21x/menit
Intervensi:
Observasi:
- Monitor pola nafas
- Monitor bunyi nafas tambahan
Terapeutik:
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Posisikan semi fowler
- Berikan oksigen tambahan jika perlu
Edukasi:
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi:
- Pemberian bronkodilator, expectoran, mukolitik, jika perlu
2. Kelebihan volume cairan b.d penyakit ginjal
Brunner & Suddarth. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning
and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M.Jakarta: EGC; 2015
Mansjoer, Arif (2000) . Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculspius.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition.
Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 2003 Ralp & Rosenberg. 2013. Nursing
Diagnosis: Definition & classification 2005-2006. Philadelphia USA
Soeparman, et al. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
KONSEP DASAR HEMODIALISA
A. Definisi Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses
berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel. Terapi hemodialisa
merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan
ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2012).
Tujuan dari hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan
ketubuh pasien. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun
demikian, hemodialisa tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal dan
tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan
ginjal dan tampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner &
Suddarth, 2012).
B. Prinsip-prinsip Hemodialisa
Ada 3 prinsip dasar dalam HD yang bekerja pada saat yang sama yaitu:
1. Proses Difusi
Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang disebabkan karena adanya
perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan dialisat. Perpindahan molekul
terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke yang berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD
pergerakan molekul / zat ini melalui suatu membrane semi permeable yang membatasi
kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
Proses difusi dipengaruhi oleh:
a. Perbedaan konsentrasi
b. Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu keluar)
c. QB (Blood Pump)
d. Luas permukaan membrane
e. Temperatur cairan
f. Proses konvektik
g. Tahanan / resistensi membrane
h. Besar dan banyaknya pori pada membrane
i. Ketebalan / permeabilitas dari membrane
Faktor-faktor di atas menentukan klirens dialiser. Klirens suatu dializer adalah
kemampuan dializer untuk mengeluarkan zat-zat yaitu jumlah atau banyaknya darah yang
dapat dibersihkan dari suatu zat secara komplit oleh suatu dializer yang dinyatakan dalam
ml/mnt.
Klirens (K) =
K : klirens solute
Qb : kecepatan aliran darah (ml/mnt)
Cbi : Konsentrasi darah arteri (masuk ke dalam dializer)
Cbo : konsentrasi darah vena (keluar dari dializer)
Qf : Laju ultrafiltrasi (ml/mnt)
Laju aliran dialisat + 2 – 2,5 x Qb.
2. Proses Ultrafiltrasi
Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable akibat perbedaan
tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan
hidrostatik / ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar dari kompartemen darah ke
kompartemen dialisat. Besar tekanan ini ditentukan oleh tekanan positif dalam
kompartemen darah (positive pressure) dan tekanan negative dalam kompartemen dialisat
(negative pressure) yang disebut TMP (trans membrane pressure) dalam mmHg.
Perpindahan & kecepatan berpindahnya dipengaruhi oleh:
a. TMP
b. Luas permukaan membrane
c. Koefisien Ultra Filtrasi (KUF)
d. Qd & Q
e. Perbedaan tekanan osmotic
TMP =
Pbi : Tekanan di blood inlet
Pdi : Tekanan di dialisat inle
Pbo : Tekanan di blood outle
Pdo : Tekanan di dialisat outlet
KUF (koefisien ultra filtrasi) dalam ml/jam /mmHg merupakan karakteristik dari dializer
yang menyatakan kemampuan atau koefisien untuk mengeluarkan air dan luas permukaan
dializer.
3. Proses Osmosis
Air yang berlebihan dikeluarkan dari tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan tekanan gradient dengan kata lain air bergerak dari
daerah yang bertekanan tinggi (tubuh pasien) ke tempat yang lebih rendah (cairan
dialisat).
C. Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Hemodialisa
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju
filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru
perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah :
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
2. K serum > 6 mEq/L
3. Ureum darah > 200 mg/Dl
4. pH darah < 7,1
5. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
6. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak tetapi
hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa hipertensi (20-30% dari
dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala
(5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang belakang (2-5% dari dialisis), rasa
gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi
serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru.
Kontraindikasi dari pelaksanaan hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut
PERNEFRI (2016) kontraindikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses
vaskuler pada Hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
Kontra indikasi Hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
D. Komponen Hemodialisa
Proses osmosis ini lebih banyak ditemukan pada peritoneal dialysis. Komponen Utama pada
Hemodialisis:
HD terdiri dari 3 komponen dasar yaitu:
1. Sirkulasi darah
Bagian yang termasuk dalam sirkulasi darah adalah mulai dari jarum / kanula arteri
(inlet), arteri blood line (ABL), kompartemen darah pada dializer, venus blood line
(VBL), sampai jarum / kanula vena (outlet).
Sirkulasi darah ada 2:
a. Di dalam tubuh pasien (sirkulasi sistemik)
b. Di luar tubuh pasien (sirkulasi ekstrakorporeal)
Dimana kedua sirkulasi tersebut berhubungan langsung melalui akses vascular.
2. Sirkulasi dialisat
Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk prosedur HD. Berada dalam kompartemen
dialisat berseberangan dengan kompartemen darah yang dipisahkan oleh selaput semi
permeable dalam dializer.
Ada 2 dialisat :
a. Dialisat pekat (concentrate) ialah dialisat yang tersedia dalam kemasan gallon,
merupakan cairan pekat yang belum dicampur atau diencerkan dengan air. Dialisat
pekat ada yang berisi Acetate (acid) pada port A dan ada yang berisi Bicarbonat
(port B).
b. Air, Jumlah air yang dibutuhkan untuk 1 kali HD + 150 liter selama 5 jam HD.
Kualitas air yang dibutuhkan harus memenuhi standar untuk proses HD yang sudah
diolah melalui pengolahan air (water treatment).
3. Dializer
Membrane semi permeable adalah suatu selaput atau lapisan yang sangat tipis dan
mempunyai lubang (pori) sub mikroskopis. Dimana partikel dengan BM kecil & sedang
(small dan middle molekuler) dapat melewati pori membrane, sedangkan partikel dengan
BM besar (large molekuler) tidak dapat melalui pori membrane tersebut.
Dializer merupakan suatu tabung yang terdiri dari 2 ruangan (2 kompartemen) yang
dipisahkan oleh selaput semi permeable. Darah mengalir di 1 sisi membrane dan dialisat
pada membrane lainya. Di dalam dializer ini terjadi proses difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Material membrane :
a. Cellulose
b. Subtitusi cellulose
c. Cellulosynthetic
d. Synthetic
Berbagai sifat dializer :
a. Luas permukaan dializer
b. Ukuran besar pori atau permeabilitas ketipisanya
c. Koefisien ultrafiltrasi
d. Volume dializer
e. Kebocoran darah tidak boleh terjadi
f. Dapat di re-use tanpa merubah kemampuan klirens dan ultrafiltrasinya.
g. Harga
Pada mulanya HD dilakukan dengan menggunakan membrane yang mempunyai klirens
dan ultrafiltrasi yang rendah yang memerlukan waktu sampai 6 jam untuk mendialisis
pasien. Kemajuan biomaterial dializer memungkinkan dialysis lebih pendek lagi (4 jam)
dalam 3 kali seminggu.
Preskripsi Hemodialisis
Sebelum pasien dilakukan HD, sebelumnya harus direncanakan dahulu hal-hal sebagai
berikut:
a. Lama & frekwensi dialysis
b. Tipe dializer
c. Kecepatan aliran darah
d. Dosis antikoagulan / heparin
e. Banyaknya UF & UFR
f. Vaskulerisasi yang dipakai.
E. Asesoris Peralatan
1. Dialyzer: berfungsi sebagai ginjal buatan
2. Air untuk dialysis
3. Cairan dialisat
4. Mesin hemodialisa: terdiri dari blood pump, sistempengaturan dialisat, system monitor
pengawasdan komponentambahan berupa pompa heparin
5. Blood line
6. Cairan infuse
7. Akses vascular
8. Aksesori peralatan
a. Pompa darah
b. Pompa infuse untuk pemberian heparin
c. Alat monitor untuk mendeteksi suhu tubuh
d. Konsentrasi dialisat → minitor
e. Monitor perubahan tekanan udara dan kebocoran darah
Prosedur
1. Keluarkan peralatan dari pembungkusnya (dialiser,AVHL,selang infus, Naci)
2. Tempatkan dialiser pada tempatnya (Holder) dengan posisi inlet di atas (merah) outlet
di bawah (biru).
3. Hubungkan selang dialisat ke dialiser
Inlet dari bawah (to kidney)
Outlet dari atas (from kidney)
Kecepatan dialiasat (qd) = 500cc / menit
Berikan tekanan negativ (negative pressure) + 100 mmhg.
Biarkan proses ini berlangsung selama 10 menit (soaking)
4. Pasang ABL, tempatkan segmen pumb pada pompa darah (blood pump) dengan
baik.
5. Pasang VBL dan bubble trap (perangkap udara) dengan posisi tegak (vertical).
6. dengan teknik aseptic, buka penutup ( pelindung yang terdapat di ujung ABL dan
tempatkan pada dialiser) (inlet) . Demikian juga dengan VBL.
7. Hubungkan selang monitor tekanan arteri (arterial Pressure) dan selang monitor
tekanan vena (venous pressure).
8. Setiap 1000 cc NaCL, masukan 2000 Heparin kedalam kolf (2000/11).
Cairan ini gunasny untuk membilas dan mengisi sirkulasi ekstrakorporeal.
Siapkan NaCL 1 kolf lagi (500 cc) untuk di gunakan selama HD bilamana di
perlukan, dan sebagai pembilas pada waktu pengakiran HD.
9. Hubungkan NaCL melalui set infus ke ABL, yakinkan bahwa set infus bebas dari
udara dengan cara mengisinya terlebih dahulu.
10. Tempatkan ujung VBL ke dalam penampung. Hindarkan kontaminasi dengan
penampung dan jangan sampai terendam cairan yang keluar.
11. Putar dialiser dan peralatannya sehingga inlet di bawah,outlet di atas (posisi terbalik)
12. Buka semua klem termasuk klem infus.
13. Lkukan pengisian dan pembilasan sirkulasi ekstrakorporeal dengan cara :
Jalankan pompa darah dengan kecepatan (qb) + 100cc/Mnt
Perangkap udara (bubble tra[) di isi ¾ bagian
Untuk mengeluarkan udara lakukan tekanan secara intermiten dengan
menggunakan klem pada VBL (tekanan tidak boleh lebih dari 200 mmHg).
14. Teruskan priming sampai NaCL habis 1 liter dan sirkulasi bebas dari udara yang
sudah kolf yang baru (500 cc).
15. Ganti kolf NaCL yang sudah kosong dengan kolf yang baru (500cc).
16. Matikan pompa darah, klem kedua ujung AVBL, kemudian hubungkan kedua ujung
dengan konektor,semua klemdi buka.
17. Lakukan sirkulasi selama 5 menit dengan qb + 200 cc / mnt
18. Matikan pompa darah, kembalikan dialiser ke posisi semula.
19. Periksa fungsi peralatan yang lain sebelum HD di mulai, seperti misalnya:
Temperatur dialisat
Konduktifitas
Aliran (flow)
Monitor tekanan
Detector udara dan kebocoran darah.
3. Memulai HD
Persiapan pasien
- Timbang berat bada pasien (bila memungkinkan)
- Tidur terlentang dan berikan posisi yang nyaman.
- Ukur tekanan darah atau, nadi, suhu, pernafasan.
- Observasi kesadaran dan keluhan pasien dan berikan perawatan mental.
- Terangkan secara gratis besar prosedur yang akan di lakukan.
1. Menyiapkan sarana hubungan sirkulasi
Perlengkapan
1. Jarum punksi :
- jarum metal (AV. Fistula G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inch.
- Jarum dengan katheter (IV Catheter G.16,15,14) 1 – 1 ¼
inchi.
2. NaCL (untuk pengenceran)
3. Heparin injeksi
4. Anestesi local (lidocain, procain)
5. Spuit 1 cc,5 cc, 20 cc, 30 cc.
6. Kassa
7. Desinfektan (alcohol bethadin)
8. Klem arteri (mosquito) 2 buah.
9. Klem desimfektam
10. Bak kecil + mangkuk kecil
11. Duk (biasa,split, bolong)
12. Sarung tangan
13. Plester
14. pengalas karet atau plastik
15. Wadah pengukur cairan
16. botol pemeriksa darah
Persiapan
1. Tentukan tempat punksi atau periksa tempat shut atau katheter
di pasang dan di buka balutan.
2. Alas dengan pengalas karet / plastik.
3. Atur posisi
4. Kumpulkan peralatan dan dekatkan ke pasien
5. Siapkan heparin injeksi
Prosedur
Punksi Fistula (Cimino)
1. Pakai sarung tangan
2. Desinfeksi daerah daerah yang akan di punksi dengan bethadin
dan alcohol
3. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup
4. Punksi outlet (vena), yaitu jalan masuknya darah ke dalam tubuh
K/P lakukan anesteshi local
5. Ambil darah untuk pemeriksaan lab (bila diperlukan)
6. Bolus heparin injeksi yang sudah diencerkan dengan NaCL (dosis
awal)
7. Fiksasi dan tempat punksi di tutup kasa.
Shunt (Scribner)
1. Desinfeksi kanula, konektor dan daerah dimana shunt terpasang.
2. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup
3. Klem kedua kanula (arteri dan vena),sebelumnya di alas dengan
kassa
4. Lepaskan /buka konektor
5. Cek kedua kanula apakan alirannya lancar
6. Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium (bila di perlukan).
7. Bolus Heparin injeksi yang sudah di encerkan dengan NaCL (dosis
awal).
8. Fiksasi dan tutup daeah exit site.
9. Konektor di bersihkan dengan NaCL dan di simpan dalam bak.
Punksi femoral
1. Desinfeksi daerah lipatan paha dan daerah outle akan di puksi.
2. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup.
3. Punksi outlet (vena) yaitu jalan masuknya darah ke dalam tubuh,
k/p lakukan anesteshi local.
4. Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium (bila di perlukan)
5. Bolus heparin injeksi yang sudah di encerkan dengan NaCL (dosis
awal).
6. Fiksasi dan tempat punksi di tutup dengan kassa
7. Punksi inlet (vena femoralis), yaitu tempat jalan kelurnya darah
dari tubuh, dengan cara lakukan anesteshi infiltrasi sambil mencari
vena femoralis.
8. Vena femoralis di punksi secara perkutaneous dengan jarum
punksi (AV Fistula).
9. Fiksasi.
2. Mengalirkan darah kedalam sirkulasi ekstrakorporeal
Hubungkan ABL dengan inlet (Punksi Inlet atau canula arteri).
Ujung ABL disuci hamakan terlebih dahulu.
Tempat ujung VBL didalam wadah pengukur. Perhatikan jangan
sampai terkontaminasi.
Buka klem AVBL, canula arteri, klem slang infus ditutup, klem
canula vena tetap tertutup.
Darah dialirkan kedalam sirkulasi dengan menggunakan pompa
darah (QB + 100 cc / menit) dan cairan priming terdorong keluar.
Cairan priming ditampung diwadah pengukur.
Biarkan darah memasuki sirkulasi sampai cairan buble trap VBL
berwarna merah mudah.
Pompa darah dimatikan, VBL di klem.
Ujung VBL disuci hamakan, kemudian dihubungkan dengan
canula vena (perhatikan : Harus bebas udara) . Klem VBL dan
canula vena dibuka.
Pompa darah dihidupkan kembali dengan QB + 150 cc/menit .
Fiksasi canula arteri dan vena, AVBL tidak mengganggu
pergeraan.
Hisupkan pompa heparin ( dosis maintenance.)
Buka klem Slang monitor tekanan (AVP)
Hidupkan detector udara, kebocoran (Air dan Blood Leak detector)
Ukur tekanan darah, Nadi dan pernapasan.
Observasi Kesadaran dan keluhan pasien
Cek mesin dan sirkulasi dialisa.
Programkan HD.
Lakukan pencatatan (Isi formulir HD)
Rapikan peralatan.
II. MASALAH MEKANIS SELAMA HEMODIALISIS DAN
PENATALAKSANAANNYA