Anda di halaman 1dari 9

http://yudistiadewisilvia.wordpress.

com/2013/03/12/model-
pembelajaran-perubahan-konseptual/
DEWI SiLViA ZEGA

Model Pembelajaran Perubahan Konseptual


12 Mar

MODEL PEMBELAJARAN PERUBAHAN KONSEPTUAL

1. A. Pendahuluan

Model perubahan konseptual berdasarkan pada filosofi pembelajaran konstruktivisme.


Konstruktivisme merupakan proses

pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan


disusun dalam diri seseorang. Berdasarkan faham konstruktivime, dalam proses belajar mengajar
guru tidak serta merta
memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba sempurna. Pesert
a didik harus membangun suatu pengetahuan berdasarkan pengalaman masing-masing.
Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus
memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah
disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari pegangan kuat mereka, barulah kerangka
baru tentang suatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.

Dalam proses pembelajaran dengan konstruktivisme, siswa harus aktif mengembangkan


pengetahuan mereka dengan bantuan guru. Proses pembelajaran dengan penekanan siswa belajar
aktif ini sangat penting dan perlu dikembangkan karena keaktifan siswa akan membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitifnya. Mereka juga akan terbantu menjadi orang
kritis dalam menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja.

Pendekatan ini menekankan agar murid mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya,


memerlukan waktu belajar yang relatif lama, dan penanganan yang berbeda-beda untuk setiap
murid. Ini dapat menjadi hambatan terutama bila berhadapan dengan kurikulum yang sarat
muatan. Kendala lain dalam pelaksanaan konstruktivisme di Indonesia adalah situasi dan kondisi
setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang mempunyai sedikit sarana, dalam situasi
seperti ini kita harus tetap memilih dan mencoba beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
melibatkan siswa agar aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Kegiatan kelompok seperti
diskusi, menulis dan mempresentasikan hasil diskusi atau makalah, serta meneliti di lapangan
dapat menantang siswa untuk aktif berpikir dan membangun pengetahuan mereka.

Dalam proses belajar mengajar, guru harus sadar bahwa siswa sudah mempunyai pengetahuan
awal, yaitu pengetahuan yang akan menjadi dasar untuk membangun pengetahuan mereka
selanjutnya. Jadi, dalam hal ini guru harus mengetahui taraf pengetahuan siswa.

Adapun jawaban siswa terhadap suatu persoalan adalah jawaban yang terbaik bagi mereka saat
itu. Kalaupun jawaban tersebut salah, guru harus membantu atau memberi jalan kepada siswa
sehingga dengan demikian diharapkan jawaban menjadi lebih baik. Untuk itu, guru perlu
menciptakan suasana yang menyenangkan. Guru perlu membantu mengaktifkan siswa untuk
berpikir dengan memberikan orientasi dan arah, tetapi tidak memaksakan. Cara ini cukup
memakan waktu tapi siswa menemukan dan menyelesaikan sendiri dan ia akan siap untuk
menghadapi persoalan baru.

Peran guru dalam pembelajaran dengan konstruktivisme adalah sebagai mediator dan fasilitator
yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik. Peran ini dapat dijabarkan
dalam beberapa tugas berikut:

1. Menyediakan kondisi/pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa,


mendukung proses belajar siswa, memberi semangat, dan berpastisipasi aktif pada setiap
kegiatan siswa.
2. Menyediakan konflik kognitif dalam upaya mengubah miskonsepsi yang dibawa siswa
menuju kepada konsep ilmiah.
3. Menyediakan sarana yang memungkinkan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya,
merangsang siswa berpikir secara produktif atau membantu siswa dalam
mengekspresikan atau mengkomunikasikan gagasannya.
4. Memonitor, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik kepada siswa untuk
menunjukkan apakah pemikiran siswa berhasil atau tidak.

Perlu kita ketahui bahwa tidak semua model pembelajaran dapat digunakan di mana saja dan
dalam situasi apa saja. Seorang guru yang konstruktivis harus dapat mengembangkan metode
dalam suatu model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan awal siswanya.

Terdapat model pembelajaran yang bertolak dari pandangan konstruktivis tentang pembentukan
pengetahuan, salah satunya adalah model pembelajaran perubahan konseptual.
1. B. Model pembelajaran perubahan konseptual.

Model perubahan konseptual merupakan model pembelajaran yang banyak


digunakan dalam mata pelajaran IPA. Model ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh
Posner, dkk tahun 1982 dan sudah lebih dari satu dekade model ini telah banyak mempengaruhi
riset dalam bidang konsepsi anak. Model ini pertama kali dikembangkan di Cornell University
pada tahun 1978-1979 (Barlia, 2009).

Model perubahan konseptual merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang perlu
dikembangkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar yang diinginkan.
Pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik membantu siswa untuk
menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.

Model perubahan konseptual ini hampir sama dengan Model Struktur Ilmu
Pengetahuan (A Model of A Structure of Knowledge) dari Marlin L. Tanck (1969).
Model struktur ini menyajikan materi yang penuh dengan muatan konsep, generalisasi dan
teori. Gardner (1991) mengemukakan bahwa transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman
baru yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam
terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong munculnya atau menaikkan struktur
kognitif yang memungkinkan para siswa memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya.
Dalam seting kelas konstruktivistik, para siswa bertanggung jawab terhadap pelajarannya,
menjadi pemikir yang otonom, mengembangkan konsep
terintegrasi, mengembangkan pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya
secara mandiri.

1. C. Pembelajaran perubahan konseptual.

Ada beberapa model pembelajaran yang bertolak dari pandangan konstruktivisme tentang
pembentukan pengetahuan, salah satu diantaranya adalah model pembelajaran perubahan
konseptual (conceptual change). Davidson dalam Hudojo menjelaskan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme menekankan pada proses perubahan konseptual pelajar.
Dalam hal ini konsepsi-konsepsi yang dimiliki pelajar sebelum mengikuti pelajaran harus digali
terlebih dahulu.

Konsep adalah pengertian umum sedangkan konsepsi adalah pendapat seseorang tentang konsep.
Dalam hal ini konsepsi yang telah dimiliki siswa sebelum mengikuti pelajaran secara formal
disebut “konsepsi awal”. Pada umumnya konsepsi ini tidak sesuai dengan konsepsi ilmuan
Driver and Oldam dalam Sutrisno.

Ada bebeapa istilah untuk mengungkapkan konsepsi awal siswa, antara lain:

1. Children Science yang diungkapkan oleh Osborne (1980:1), untuk menggambarkan


pengetahuan para siswa tentang dunia dan arti dari istilah-istilah yang mereka gunakan.
Para siswa mengembangkannya untuk lebih memahami sesuatu yang ada di
lingkungannya.
2. Alternative Pre-Conception yang diungkapkan oleh Clernent (1982:66), yang
dikembangkan dengan alasan bahwa konsepsi alternatif dimiliki para siswa sebelum
mengikuti kegiatan belajar secara formal.
3. Alternative Framework yang diungkapkan oleh Driver (1986:443), untuk mengasumsikan
bahwa para siswa memiliki kerangka berpikir yang berlainan dengan kerangka berpikir
ilmuan.
4. Common Mis-conception yang diungkapkan oleh MC. Dermott (dalam Sutrisno, 1997:2),
untuk menyatakan pandangan (konsepsi) para siswa yang tidak sesuai dengan pandangan
para ilmuan. Dalam hal ini konsepsi awal siswa dianggap sebagai konsepsi yang keliru.
5. Prior Knowledge yang diungkapkan oleh Bell (dalam Sutrisno, 1997:4), diartikan
sebagai pengetahuan yang dimiliki para siswa sebelum mengikuti kegiatan pembelajaran.

Dari pengertian konsepsi awal di atas, maka disimpulkan bahwa konsepsi awal siswa adalah
pengetahuan awal siswa tentang suatu konsep yang sudah diperoleh dan dimiliki siswa sebelum
mengikuti pembelajaran. Sedangkan konsepsi siswa adalah pemahaman atau pengertian,
pendapat, atau kerangka berpikir siswa tentang suatu konsep yang diperoleh dan dimiliki siswa
sesudah mengikuti pembelajaran.

Terkait dengan konsepsi awal (prakonsepsi) dan miskonsepsi sering juga dipandang sebagai
padanan satu sama lain, meskipun tidak bisa dianggap tepat sama maknanya. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan prakonsepsi adalah konsep awal yang dimiliki oleh seseorang tentang sesuatu
objek. Konsep awal ini dapat diperoleh seseorang dari pendidikan formal dan dari pendidikan
secara tidak formal.

Konsep awal tentang sesuatu objek yang dimiliki oleh seseorang, tidak mustahil apabila berbeda
dengan konsep yang diajarkan di sekolah tentang objek yang sama. Juga bukan suatu yang
mengherankan kalau konsep yang diterima siswa di sekolah tidak tepat sama dengan konsep
yang diajarkan di perguruan tinggi. Dalam semacam inilah kemudian “prakonsepsi” itu dapat
menjadi suatu miskonsepsi. Soedjadi mengatakan bahwa dalam pembelajaran kimia,
miskonsepsi dapat dijumpai dalam beberapa sumber antara lain; makna kata, aspek praktis, sim-
plifikasi, ketunggalan struktur matematika, dan gambar. Dan tentu masih mungkin terdapat
sumber lain sebagai penyebab terjadinya miskonsepsi. Berg mengemukakan bahwa apabila guru
mengajar tanpa memperhatikan miskonsepsi yang sudah ada dalam proses berpikir siswa
sebelum pelajaran dilaksa-nakan, guru tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar. Oleh
karena itu, dibagian lain Berg mengatakan bahwa kunci untuk memperbaiki miskonsepsi siswa
dan konsepsi siswa yang sudah hampir benar adalah interaksi dengan siswa melalui latihan,
pertanyaan dan soal. Tanpa interaksi dengan siswa, guru tidak dapat mengetahui miskonsepsi
siswa, konsepsi siswa yang hampir benar dan tidak dapat memperbaikinya. Berg mengatakan
bahwa miskonsepsi adalah konsepsi siswa yang bertentangan dengan konsep para ilmuan.
Sedangkan Sedjadi mengatakan bahwa konsep awal siswa yang tidak sesuai dalam struktur
deduktif aksiomatik matematika. Berdasarkan pendapat di atas, maka yang dimaksud
miskonsepsi mahasiswa adalah pemahaman atau pengertian mahasiswa tentang konsep yang
sudah dipelajari yang tidak sesuai dengan pengertian konsep ilmuwan.

Strike dan Porner dalam Sutrisno mengatakan bahwa belajar merupakan pemahaman suatu ide
baru, menilai kebenaran ide dan konsistennya dengan ide yang lain. Anggapan dasarnya adalah
bahwa konsepsi yang dibawa oleh pelajar berpengaruh pada kemampuan untuk belajar dan
berpengaruh pada ide yang akan dipelajari. Lonning mengatakan bahwa “belajar perubahan
konseptual digambarkan sebagai assimilasi, yaitu perubahan konsep-konsep baru pada
pengetahuan yang telah ada dan sebagai akomodasi yaitu penyususnan ulang dan peng-gantian
ide baru dengan konsep yang lebih tepat”. Soedjadi mengatakan bahwa model perubahan
konseptual kemungkinan lebih sesuai digunakan untuk meluruskan suatu miskonsepsi. Hal ini
disebabkan suatu model pembelajaran yang dimulai dengan menggali terlebih dahulu konsepsi-
konsepsi pelajar sebelum mengikuti pembelajaran di kelas dan menuntut pelajar untuk
menyempurnakan pengetahuan yang sudah dimiliki serta merubah, menyusun ulang atau
mengganti pengetahuan yang sudah dimiliki tetapi salah dengan pengetahuan baru yang benar.
Jadi model pembelajaran perubahan konseptual yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
suatu model pengajaran yang disusun berdasarkan konsepsi mahasiswa dan dapat
diterapkan oleh pengajar untuk meluruskan konsepsi siswa yang kurang jelas atau
berbeda sekali dengan konsep ilmiah dan sekaligus membangun konsepsi baru. Melalui
perubahan konseptual dalam kegiatan pembelajaran, para pelajar diharapkan aktif membentuk
pengetahuannya sendiri dengan cara memodifikasi konsepsi yang telah dimilikinya.

1. D. Proses Terjadinya Perubahan Konseptual.

Menurut Posner (1982) dan Hewson (1989), jika perubahan konseptual akan terjadi, mula-mula
anak itu harus merasa tidak puas dengan gagasan yang ada. Walaupun demikian, ketidakpuasan
saja tidak cukup untuk mengganti gagasan lama dengan gagasan baru. Harus ditambahkan tiga
kondisi, yaitu gagasan baru itu haris intelligible (dapat dimengerti), plausible (masuk akal), dan
fraitfull (memberi suatu kegunaan). Pada umumnya focus pengajaran sains hanya pada
intelligiblety (Gunstone, 1992) dan jarang memperhatikan plausibility. Ternyata segi kegunaan
(fraitfull) sangat menentukan terjadinya perubahan konseptual.

Mengingat pentingnya perubahan konseptual dari pengetahuan awal siswa pada proses
pembelajaran yang berlandaskan pada pandangan constructivist. Novik (1982) mengemukakan
bahwa perubahan konseptual terjadi melalui akomodasi kognitif yang berawal dari pengetahuan
awal siswa. Untuk menciptakan proses akomodasi kognitif tersebut, Novick mengusulkan tiga
tahap strategi kemudian tiga tahap terangkum dalam suatu model pembelajaran, yang dikenal
dengan model pembelajaran Novick. Model pembelajaran Novick tersebut mempunyai pola
umum seperti bagan berikut:

Bagan model pembelajaran Novick diadaptasi dari Osborne 1985 : 103

1) Fase pertama, eksposing alternative framewok (mengukapkan konsepsi awal).

Terdapat dua hal utama yang perlu dilakukan pada fase pertama yaitu:

1. mengungkapkan konsepsi awal siswa

Mengungkapkan konsepsi awal siswa dalam mengajar ditujukan agar terjadi perubahan
konseptual sesuai dengan gagasan contructivist yang memungkinkan siswa membentuk konsepsi
baru yang lebih ilmiah dari konsepsi awalnya. Pengetahuan awal yang dimiliki siswa bisa benar
atau salah, unuk itu langkah penting yang harus dilakukan guru agar terjadi perubahan
konseptual yaitu membuat siswa sadar akan gagasan mereka sendiri tentang topik yang sedang
dipelajari. Dalam mengungkapkan konsepsi awal siswa, guru harus melakukan dua hal yaitu
menghadirkan suatu peristiwa baik yang sudah diketahui siswa atau yang baru diketahui siswa
kemudian meminta mereka untuk mendeskripsikannya.

1. Mendiskusikan dan mengevaluasi konsepsi awal siswa.

Tujuan langkah ini adalah untuk memperjelaskan dan meninjau kembali konsepsi awal siswa
melalui kelompok dan diskusi siswa. Hal pertama yang dapat dilakukan guru adalah dengan
bertanya pada siswa tentang uraian konsepsi mereka. Setelah semua konsep siswa diungkapkan,
guru memimpin kelas itu untuk mengevaluasi masing-masing konsepsi yang diajukan.

Menurut Natsir (1997:38) “evaluasi konsepsi yang diajukan berdasarkan kejelasannya atau
kemengertiannya (intelligible), dapat masuk akal (plausible) dan peluang keberhasilan (fruitfull)
dalam menjelaskan peristiwa yang dihadirkan. Nussbaum dan Novick (1982) menyatakan bahwa
“pada langkah ini guru harus menerima semua penyajian dan menahan diri untuk tidak
memberikan penilaian salah atau benar”. Walaupun guru tidak memberikan penilaian salah atau
benar, tetapi guru harus tetap mengevaluai gagasan mereka didasarkan pada kejelasannya,
kemengertiannya dan peluang keberhasilannya.

2) Fase kedua , creating conceptual conflict (menciptakan konflik konseptual)

Menciptakan konflik konseptual (konflik kognitif) dalam pikiran siswa adalah satu tahap penting
dalam pembelajaran, sebab dengan hanya adanya konflik tersebut siswa merasa tertantang untuk
belajar. Dengan kata lain mereka merasa tidak puas dengan kenyataan yang sedang dihadapinya.

Untuk menciptakan konflik konseptual, Niaz (Mas’ud 2006:67) memberikan contoh beberapa
situasi yang sekaligus menjadi indikator terjadinya konflik konseptual dalam diri siswa antara
lain :

1. Kejutan (surprise) yang diitimbulkan oleh munculnya seseorang yang kontradiksi dengan
persepsinya.
2. Pengetahuan yang penuh dengan teka-teki, merasa gelisah atau sebuah keingintahuan
intelektualnya.
3. Kekosongan akan pengalaman kognitif, seperti jika seseorang sadar akan segala sesuatu
dalam struktur kognitifnya yang hilang.
4. Ketidakseimbangan kognitif, dimana pertanyaan atau perasaan kosong muncul pada
situasi yang diberikan.

3) Fase ketiga, encouraging cognitive accomaodation (mengupayakan terjadinya akomodasi


kogntitif)

Dengan akomodasi, siswa mengubah konsep yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang
dihadapinya. Menurut Posner (1982) adapun syarat terjadinya akomodasi adalah sebagai berikut:
1. Harus ada ketidakpuasan (dissatisfaction) terhadap konsep lama yang telah ada dalam
struktur kognitif.
2. Ada konsepsi baru yang lebih mudah dimengerti (intelligible).
3. Ada konsepsi baru yang lebih masuk akal (plausible).
4. Ada konsepsi baru yang menyajikan peluang keberhasilan (fraitfull).

1. E. Langkah – Langkah Yang Dilakukan Dalam Pembelajaran Perubahan


Konseptual

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran perubahan konseptual untuk


membangkitkan perubahan konseptual dalam hal ini adalah;

1. Orientasi, yaitu pengajar membuka pelajaran dengan memberikan uraian singkat tentang
materi yang akan dipelajari dan tujuan pembelajaran.
2. Pemunculan ide, yaitu mahasiswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil.
Pengajar berusaha memunculkan ide siswa dengan siswa diminta untuk menyatakan
secara eksplisit idenya kepada teman dalam kelompok dan pengajar (guru).
3. Penyusunan ulang ide, yaitu siswa menyusun kembali ide yang telah diperoleh pada
langkah 2), yaitu meliputi;
1. Pertukaran ide, yaitu siswa mendiskusikan jawaban pada langkah pemunculan ide
dalam kelompoknya.
2. Pembukaan situasi konflik.

Hal ini dimaksudkan agar jawaban mereka sesuai dengan konsep ilmiah tentang materi yang
sedang dipelajari.

1. Pembentukan dan penilaian ide baru, yaitu siswa membangun sendiri ide atau
pengetahuan baru berdasarkan konsepsi mereka. Pada kegiatan ini guru dapat
memberikan bimbingan seperlunya. Dari kegiatan ini diharapkan siswa dapat menilai
sendiri idenya.
2. Penerapan ide baru (aplikasi), yaitu siswa mendiskusikan kembali jawaban pada tahap
pemunculan ide. Selain itu siswa diminta untuk menjawab tugas-tugas lainnya yang
berkaitan dengan materi yang dipelajari. Hal ini dimaksudkan untuk mencoba konsep-
konsep ilmuwan yang telah dikembangkan dan diperoleh siswa dalam situasi baru.
3. Pengkajian ulang perubahan ide, yaitu guru memberikan umpan balik untuk memperkuat
konsep ilmuwan yang dimiliki siswa.
4. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Perubahan Konseptual

Setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dan
kekurangan model pembelajaran perubahan konseptual adalah sebagai berikut :

1. Kelebihan
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pikiran, pendapat,
pemahamannya tentang suatu konsep sebelum dipelajari secara formal. Dengan demikian
siswa dilibatkan dalam merencanakan pengajarannya.
3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk peduli dengan konsepsi awalnya (terutama
konsepsi awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah). Dengan demikian siswa
diharapkan menyadari kekeliruannya dan bersedia memperbaiki kekeliruaan tersebut.
4. Dapat menciptakan suasana kelas yang hidup karena siswa dituntut untuk aktif
berdiskusi dengan teman dan gurunya. Dengan demikian cara belajar siswa aktif dapat
terlaksana.
5. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri pengetahuan yang diajarkan dengan
memperhatikan konsepsi awalnya. Dengan demikian akan terjadi pembelajaran yang
bermakna.
6. Guru yang mengajar menjadi kreatif karena harus berusaha mencarikan alternatif untuk
meluruskan konsepsi awal siswa yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah.
1. Kelebihan
2. Karena untuk menerapkan model pembelajaran perubahan konseptual menggali
konsepsi awal siswa sebelum siswa belajar secara formal, maka bagi siswa yang
belum terbiasa pada situasi ini merasa ”takut” dengan beberapa pertanyaan
berkenaan dengan materi yang belum dipelajari. Namun ini bisa diatasi dengan
memberikan informasi bahwa tes awal tidak mempengaruhi nilai siswa.
3. Membutuhkan waktu yang banyak, namun ini bisa diatasi dengan membatasi
waktu ketika membagikan kelompok.
4. Bagi guru yang kurang berpengalaman akan merasa kesulitan karena pengajaran
disusun berdasarkan pada konsepsi awal siswa yang beragam, namun ini bisa
diatasi dengan seringnya menerapkan model pembelajaran perubahan konseptual
pada materi yang ada miskonsepsinya.

Hasil dari pembelajaran model perubahan konseptual ini, diharapkan dapat


berdampak dan bermakna dalam hidup keseharian peserta didik. Hal ini
berdasarkan dari teori belajar bermakna David Ausubel. Menurut Ausubel, belajar
dapat dikalsifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan
dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui
penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa
dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang ada. Struktur kognitif ialah
fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah
dipelajari dan diingat oleh siswa. Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi
dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk penerimaan yang
menyajikan informasi dalam bentuk final, atau bentuk belajar penemuan yang
mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang
diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa dapat menghubungkan atau mengaitkan
informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep-konsep) yang dimilikinya, sehingga terjadi
belajar bermakna.

DAFTAR PUSTAKA

http//repository.upi.edu/operator/upload/s_bio_0706603_chapter2.Diakses tanggal 15 Oktober


2012

http// isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/281094859_0216-1370. Diakses tanggal 10 Oktober 2012.


http// journal.um.ac.id/index.php/pendidikan-dan-pembelajaran/…/693. oleh IN Sudyana –
2009. Diakses tanggal 15 Oktober 2012.

http: repository.upi.edu/operator/upload/t_pd_0808122_chapter1.pdf. Diakses tanggal 18


Oktober 2012

Anda mungkin juga menyukai