Anda di halaman 1dari 3

PATOGENESIS

Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan yang akan
menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk :1 1. Aktivasi dari imunitas oleh
CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen 2. Ambang
aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B) 3. Regularitas
dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ 4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun.
Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem
imun pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga antigen autoantibody, dan kompleks
imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi
dan penyakit berkembang.1 Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan
diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon
tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin
(IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik
SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming
growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah
produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan
berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang
menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.1 Aktivasi dari komplemen dan sel imun
mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.
Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan
keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang
kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan
jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya. (Kasper,2006)
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et all. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). In : Harrison’s
Manual of Medicine. 16th ed. New York : McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2006. 779-
85.
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan
karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia,
DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA
dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells(APCs) atau berikatan dengan antibodi
pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke
sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan
sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara
sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Joe,
2009).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B
untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan
ekspresi sel T. Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa
gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-
antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal
ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90
akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel
T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai
dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+
membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signalbagi CD8+ (Isenberg and
Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam
menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebutdouble
negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Joe, 2009). Ciri khas
autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan
komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ
secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA)
terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan
jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di
dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang
terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen
yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti
sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap
kerusakan jaringan (Joe, 2009).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada
limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis
yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal
ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan
tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya
deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-
mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Joe, 2009).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel
keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas)
dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami
apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi
sitoplasma.Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat
apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP,
dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran
seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin,
dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan
autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan
sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE
juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Joe, 2009).

Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES).
http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-lupus-
eritematosus-sistemik-les/, dikutip tanggal 3 Maret 2012

Anda mungkin juga menyukai