Anda di halaman 1dari 24

INOVASI ASESMEN: “PROSEDUR ASESMEN LEADERLESS GROUP DISCUSSION”

Eka Murdani
Prodi S3 Pendidikan IPA, Universitas Pendidikan Indonesia
ekamurdani@gmail.com

A. Pengertian dan Konsep Penilaian Otentik (authentic assessment)


Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk
menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran, yang
meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian autentik menilai kesiapan
peserta didik, serta proses dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga
komponen (input-proses-output) tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan hasil
belajar peserta didik, bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional
effects) dan dampak pengiring (nurturant effects) dari pembelajaran. Penilaian autentik
sebagai upaya pemberian tugas kepada peserta didik yang mencerminkan prioritas dan
tantangan yang ditemukan dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran, seperti meneliti, menulis,
merevisi dan membahas artikel, memberikan analisis oral terhadap peristiwa, berkolaborasi
dengan antarsesama melalui debat, dan sebagainya.
Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah (scientific
approach) , karena penilaian semacam ini mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar
peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menanya, menalar, mencoba, dan
membangun jejaring. Penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau
kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka yang
meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Karenanya, penilaian autentik sangat relevan
dengan pendekatan saintifik dalam pembelajaran di SMA. Penilaian autentik merupakan
pendekatan dan instrumen penilaian yang memberikan kesempatan luas kepada peserta didik
untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sudah dimilikinya dalam
bentuk tugas-tugas: membaca dan meringkasnya, eksperimen, mengamati, survei, projek,
makalah, membuat multi media, membuat karangan, dan diskusi kelas.
Jenis penilaian autentik antara lain penilaian kinerja, penilaian portofolio, dan
penilaian projek, termasuk penilaian diri peserta didik. Penilaian autentik adakalanya disebut
penilaian responsif, suatu metode untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik yang
memiliki ciri-ciri khusus, mulai dari mereka yang mengalami kelainan tertentu, memiliki

1
bakat dan minat khusus, hingga yang jenius. Penilaian autentik dapat diterapkan dalam
berbagai bidang ilmu seperti seni atau ilmu pengetahuan pada umumnya, dengan orientasi
utamanya pada proses dan hasil pembelajaran. Hasil penilaian autentik dapat digunakan oleh
pendidik untuk merencanakan program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau
pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian autentik dapat digunakan sebagai bahan untuk
memperbaiki proses pembelajaran yang memenuhi Standar Penilaian Pendidikan
Penilaian otentik (Authentic Assessment) adalah pengukuran yang bermakna secara
signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.Istilah Assessment merupakan sinonim dari penilaian, pengukuran, pengujian,
atau evaluasi. Sedangkan istilah otentik merupakan sinonim dari asli, nyata, valid, atau
reliabel.
Secara konseptual penilaian otentik lebih bermakna secara signifikan dibandingkan
dengan tes pilihan ganda terstandar sekali pun.Ketika menerapkan penilaian otentik untuk
mengetahui hasil dan prestasi belajar peserta didik, pendidik menerapkan kriteria yang
berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, aktivitas mengamati dan mencoba, dan nilai
prestasi luar pembelajaran.
Penilaian otentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam
pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Penilaian tersebut mampu
menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi,
menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik cenderung fokus
pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk
menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih otentik.
Penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki peserta didik
untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna, yang merupakan penerapan
esensi pengetahuan dan keterampilan. Penilaian otentik juga menekankan kemampuan
peserta didik untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan
bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan,
melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai sehingga penilaian
otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari
masukan (input), proses,dan keluaran (output) pembelajaran.
Penilaian otentik bertujuan untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai
konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan
tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada peserta didik untuk menulis topik-topik

2
tertentu sebagaimana halnya di kehidupan nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi
atau bedah buku, menulis untuk jurnal, surat, atau mengedit tulisan sampai siap cetak. Jadi,
penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing something, melakukan
sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai secara teoretis.
Penilaian otentik lebih menuntut pembelajar mendemonstrasikan pengetahuan,
keterampilan, dan strategi dengan mengkreasikan jawaban atau produk. Peserta didik tidak
sekedar diminta merespon jawaban seperti dalam tes tradisional, melainkan dituntut untuk
mampu mengkreasikan dan menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan
teoretis.
Penilaian otentik dalam implementasi kurikulum 2013 mengacu kepada standar
penilaian yang terdiri dari:
1. Penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian “teman
sejawat”(peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal. Laporan ini fokus kepada
observasi
2. Pengetahuan melalui tes tulis, tes, lisan, dan penugasan. Laporan ini fokus kepada
jawaban tulis dan lisan saat diskusi dalam Leaderless Group Discussion.
3. Keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek,
dan penilaian portofolio. Laporan ini fokus kepada praktik lisan diskusi atau
communication skills.

B. Manfaat Penilaian Otentik


1. Penggunaan penilaian autentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara
langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai indikator capain kompetensi yang
dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur capaian pengetahuan yang telah dikuasai
pembelajar hanya bersifat tidak langsung. Tetapi, penilaian autentik menuntut pembelajar
untuk berunjuk kerja dalam situasi yang konkret dan sekaligus bermakna yang secara
otomatis juga mencerminkan penguasaan dan keterampilan keilmuannnya. Unjuk kerja
tersebut bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyata dan
tampilannya juga dapat diamati langsung. Hal itu lebih mencerminkan tingkat capaian
pada bidang yang dipelajari. Misalnya, dalam belajar berbicara bahasa target, pembelajar
tidak hanya berlatih mengucapkan lafal, memilih kata, dan menyusun kalimat, melainkan
juga mempratikkannya dalam situasi konkret dan dengan topic aktual-realistik sehingga
menjadi lebih bermakna.
3
2. Penilaian autentik memberikan kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksikan
hasil belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar meminta pembelajar mengulang apa
yang telah dipelajari karena hal demikian hanyalah melatih mereka menghafal dan
mengingat saja yang kurang bermakna. Dengan penilaian autentik pembelajar diminta
untuk mengkonstruksikan apa yang telah diperoleh ketika mereka dihadapkan pada situasi
konkret. Dengan cara ini pembelajar akan menyeleksi dan menyusun jawaban
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan analisis situasi yang dilakukan agar
jawabannya relevan dan bermakna.
3. Penilaian autentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar,
dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu. Dalam pembelajaran tradisional,
juga model penilaian tradisional, antara kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan
sesuatu yang terpisah, atau sengaja dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan
model penilaian autentik. Ketiga hal tersebut, yaitu aktivitas guru membelajarkan, siswa
belajar, dan guru menilai capaian hasil belajar pembelajar, merupakan satu rangkaian
yang memang sengaja didesain demikian. Ketika guru membelajarkan suatu topik dan
pembelajar aktif mempelajari, penilaiannya bukan semata berupa tagihan terhadap
penguasaan topik itu, melainkan pembelajar juga diminta untuk berunjuk kerja
mempraktikkannya dalam sebuah situasi konkret yang sengaja diciptakan.
4. Penilaian autentik memberi kesempatan pembelajar untuk menampilkan hasil
belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap paling baik.Singkatnya, model ini
memungkinkan pembelajar memilih sendiri cara, bentuk, atau tampilan yang menurutnya
paling efektif. Hal itu berbeda dengan penilaian tradisional, misalnya bentuk tes pilihan
ganda, yang hanya memberi satu cara untuk menjawab dan tidak menawarkan
kemungkinan lain yang dapat dipilih. Jawaban pembelajar dengan model ini memang
seragam, dan itu memudahkan kita mengolahnya, tetapi itu menutup kreativitas
pembelajar untuk mengkreasikan jawaban atau kinerjanya. Padahal, unsur kreativitas atau
kemampuan berkreasi merupakan hal esensial yang harus diusahakan ketercapaiannya
dalam tujuan pembelajaran.

C. Ciri Penilaian Otentik


1. Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu.
2. Mencerminkan masalh dunia nyata bukan hanya dunia sekolah.
3. Menggunakan berbagai cara dan kriteria.
4. Holistik (kompetensi utuh merefleksikan sikap, ketrampilan, dan pengetahuan.
D. Karakteristik Penilaian Otentik

Menurut Santosa (2004) beberapa karakteristik penilaian otentik adalah sebagai berikut :
4
1. Penilaian merupakan bagian dari proses pembelajaran.
2. Penilaian mencerminkan hasil proses belajar pada kehidupan nyata.
3. Menggunakan bermacam-macam instrumen, pengukuran, dan metode yang sesuai
dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.
4. Penilaian harus bersifat komprehensif dan holistik yang mencakup semua aspek dari
tujuan pembelajaran.

Di sisi lain, Nurhadi (2004:173) mengemukakan terdapat beberapa karakteristik penilaian


otentik sebagai berikut.

1. Melibatkan pengalaman nyata (involves real-world experience).


2. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
3. Mencakup penilaian pribadi (self assesment) dan refleksi.
4. Hal yang diukur adalah keterampilan dan performansi bukan sekedar mengingat
fakta.
5. Bentuk penilaian yang berkesinambungan.
6. Sistem penilaian yang terintegrasi.
7. Dapat digunakan sebagai umpan balik terhadap guru.
8. Kriteria keberhasilan dan kegagalan diketahui siswa dengan jelas.

E. Tujuan dan Prinsip-Prinsip Penilaian Otentik

Santoso (2004) mengungkapkan beberapa tujuan penilaian otentik sebagai berikut.

1. Menilai kemampuan individu melalui tugas tertentu.


2. Menentukan kebutuhan pembelajaran.
3. Membantu dan mendorong siswa.
4. Membantu dan mendorong guru mengajar yang lebih baik.
5. Menentukan strategi pembelajaran.
6. Akuntabilitas lembaga.
7. Meningkatkan kualitas pendidikan.

Lebih jauh, Santoso (2004) mengungkapkan beberapa prinsip penilaian otentik sebagai
berikut.

1. Keeping track, yaitu harus mampu menelusuri dan melacak kemajuan siswa sesuai
dengan rencana pembelajaran yang telah ditetapkan.
2. Checking up, yaitu harus mampu mengecek ketercapaian kemampuan peserta didik
dalam proses pembelajaran.
3. Finding out, yaitu penilaian harus mampu mencari dan menemukan serta mendeteksi
kesalahan-kesalahan yang menyebabkan terjadinya kelemahan dalam proses
pembelajaran.
4. Summing up, yaitu penilaian harus mampu menyimpulkan apakah peserta didik telah
mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum.

5
F. Cakupan Penilaian Otentik

Terdapat tiga aspek dinilai dalam penilaian otentik, yaitu kognitif (kepandaian),
afektif (sikap), dan psikomotorik. Griffin dan Peter (1991:52-61) mengatakan bahwa setiap
aspek yang dinilai memiliki karakteristik sendiri-sendiri dan membutuhkan bentuk penilaian
yang berbeda seperti penjelasan di bawah ini.

1. Kognitif

Aspek ini berhubungan dengan pengetahuan individual (kepandaian/pemahaman)


yang ditunjukkan dengan siswa memperoleh hasil dari pembelajaran yang telah dilakukan.
Bentuk penilaian kognitif ini secara eksplisit maupun implisit harus merepresentasikan tujuan
pencapaian pembelajaran. Biasanya tes yang dilaksanakan oleh guru dapat berupa ujian untuk
mengetahui pemahaman terhadap materi.

2. Afektif

Alport (dalam Griffin dan Peter, 1991:56) menyatakan bahwa afektif merupakan
bentuk integrasi dari beberapa karakter, yaitu: prediksi respon baik dan tidak baik, sikap
dibentuk oleh pengalaman, dan tercermin dalam kegiatan sehari-hari. Karakteristik sikap
yang dinilai merupakan bentuk perasaan individual dan emosional siswa. Dalam melakukan
penilaian ini guru harus cermat dan hati-hati karena skala sikap biasanya sulit ditentukan
secara objektif. Komponen penilaian sikap pada siswa meliputi emosi, konsistensi,
target/tujuan, dan ketertarikan/minat. Indikator yang dapat digunakan pada skala sikap
misalnya baik-tidak baik, indikator pada minat misalnya tertarik-tidak tertarik dan
sebagainya. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan teknik skala, metode observasi, dan
respon psikologi.

3. Psikomotorik

Perkembangan psikomotorik juga merupakan bagian dai ranah evaluasi yang harus
diketahui oleh guru. Penilaian psikomotorik merupakan bentuk pengukuran kemampuan fisik
siswa yang meliputi otot, kemampuan bergerak, memanipulasi objek, dan koordinasi otot
syaraf. Contoh penilaian ini misalnya pada kemampuan otot kecil (misal mengetik) atau otot
besar (misal melompat). Contoh yang termasuk aktivitas motorik seperti pendidikan fisik,
menulis tangan, membuat hasil karya kerajinan dan lain-lain. Pengetahuan guru untuk
mengenali kemampuan psikomotorik siswa sangat penting karena psikomotorik merupakan
bagian dari bentuk kecerdasan. Siswa yang mampu mengetik secara cepat tidak hanya
sekedar memiliki kemampuan menggunakan perangkat computer secara efisien, tetapi di
6
dalamnya juga terintegrasi kemampuan untuk membaca dan mengeja. Tipe penilaian
psikomotorik yang digunakan harus mengacu pada tujuan, misalnya melalui pertanyaan di
bawah ini.

a. Apakah siswa mampu melakukan tugas diskusi dengan baik?


b. Apakah siswa dapat menunjukkan penampilan terbaiknya dalam tugas diskusi
tersebut?
c. Bagaimana penampilan seorang siswa jika dibandingkan dengan siswa yang lain
dalam kelas/bidang yang sama?

G. Penilaian Otentik Dan Tuntutan Kurikulum 2013

Penilaian otentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam


pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Karena, penilaian semacam ini
mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka
mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Asesmen autentik
cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik
untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih otentik. Karenanya,
penilaian otentik sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu dalam pembejajaran,
khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran yang sesuai.
Kata lain dari penilaian otentik adalah penilaian kinerja, portofolio, dan penilaian
proyek. penilaian otentik adakalanya disebut penilaian responsif, suatu metode yang sangat
populer untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik yang miliki ciri-ciri khusus,
mulai dari mereka yang mengalami kelainan tertentu, memiliki bakat dan minat khusus,
hingga yang jenius.
Penilaian otentik sering dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunkan standar
tes berbasis norma, pilihan ganda, benar–salah, menjodohkan, atau membuat jawaban
singkat. Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan dalam proses pembelajaran,
karena memang lzim digunakan dan memperoleh legitimasi secara akademik. Asesmen
autentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru bekerja sama dengan
peserta didik. Dalam penilaian otentik, seringkali pelibatan siswa sangat penting. Asumsinya,
peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan
dinilai.
Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri
dalam rangka meningkatkan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan pembelajaran serta
mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi. Pada asesmen autentik guru menerapkan
7
kriteria yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman
yang diperoleh dari luar sekolah.
Penilaian otentik mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan siswa
belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar. Karena penilaian
itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta didik berbagi pemahaman
tentang kriteria kinerja. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk
mendefinisikan harapan atas tugas-tugas yang harus mereka lakukan.
Penilaian otentik sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta
didik, karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana
belajar tentang subjek. Penilaian otentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana mereka
menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan
perolehan belajar, dan sebagainya. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa
yang sudah layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan remidial harus dilakukan.
Diantara beberapa kelebihan penilaian otentik dalam penerapan kurikulum 2013
antara lain:

1. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam


pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013.
2. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik,
baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-
lain.
3. Penilaian otentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual,
memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam
pengaturan yang lebih autentik.
4. Penilaian otentik sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu dalam
pembejajaran, khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran yang
sesuai.
5. Penilaian otentik sering dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunakan
standar tes berbasis norma, pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, atau membuat
jawaban singkat.
6. Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan dalam proses pembelajaran,
karena memang lazim digunakan dan memperoleh legitimasi secara akademik.
7. Penilaian otentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru bekerja
sama dengan peserta didik.

8
8. Dalam penilaian otentik, seringkali pelibatan siswa sangat penting. Asumsinya,
peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu
bagaimana akan dinilai.
9. Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri
dalam rangka meningkatkan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan
pembelajaran serta mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi.
10. Pada penilaian otentik guru menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi
pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari luar sekolah.
11. Penilaian otentik mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan siswa
belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar.
12. Karena penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta
didik berbagi pemahaman tentang kriteria kinerja.
13. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk mendefinisikan
harapan atas tugas-tugas yang harus mereka lakukan.
14. Penilaian otentik sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta
didik, karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar
bagaimana belajar tentang subjek.
15. Penilaian otentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana
mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu
menerapkan perolehan belajar, dan sebagainya.
16. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah layak dilanjutkan
dan untuk materi apa pula kegiatan remedial harus dilakukan.

H. Penilaian Otentik dan Belajar Otentik

Penilaian Otentik menicayakan proses belajar yang otentik pula. Menurut Ormiston
belajar otentik mencerminkan tugas dan pemecahan masalah yang dilakukan oleh peserta
didik dikaitkan dengan realitas di luar sekolah atau kehidupan pada umumnya. Penilaian
semacam ini cenderung berfokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual bagi peserta
didik, yang memungkinkan mereka secara nyata menunjukkan kompetensi atau keterampilan
yang dimilikinya. Contoh penialain otentik antara lain keterampilan kerja, kemampuan
mengaplikasikan atau menunjukkan perolehan pengetahuan tertentu, simulasi dan bermain
peran, portofolio, memilih kegiatan yang strategis, serta memamerkan dan menampilkan
sesuatu.
Penialain otentik mengharuskan pembelajaran yang otentik pula. Menurut Ormiston
belajar otentik mencerminkan tugas dan pemecahan masalah yang diperlukan dalam
9
kenyataannya di luar sekolah. Penialain otentik terdiri dari berbagai teknik penilaian.
Pertama, pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan hasil
jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua, penilaian atas tugas-
tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja yang kompleks. Ketiga, analisis
proses yang digunakan untuk menghasilkan respon peserta didik atas perolehan sikap,
keteampilan, dan pengetahuan yang ada.
Dengan demikian, penialain otentik akan bermakna bagi guru untuk menentukan cara-
cara terbaik agar semua siswa dapat mencapai hasil akhir, meski dengan satuan waktu yang
berbeda. Konstruksi sikap, keterampilan, dan pengetahuan dicapai melalui penyelesaian tugas
di mana peserta didik telah memainkan peran aktif dan kreatif. Keterlibatan peserta didik
dalam melaksanakan tugas sangat bermakna bagi perkembangan pribadi mereka.
Dalam pembelajaran autentik, peserta didik diminta mengumpulkan informasi dengan
pendekatan saintifik, memahahi aneka fenomena atau gejala dan hubungannya satu sama lain
secara mendalam, serta mengaitkan apa yang dipelajari dengan dunia nyata yang luar
sekolah. Di sini, guru dan peserta didik memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi.
Peserta didik pun tahu apa yang mereka ingin pelajari, memiliki parameter waktu yang
fleksibel, dan bertanggungjawab untuk tetap pada tugas. Asesmen autentik pun mendorong
peserta didik mengkonstruksi, mengorganisasikan, menganalisis, mensintesis, menafsirkan,
menjelaskan, dan mengevaluasi informasi untuk kemudian mengubahnya menjadi
pengetahuan baru.
Sejalan dengan deskripsi di atas, pada pembelajaran autentik, guru harus menjadi
“guru autentik.” Peran guru bukan hanya pada proses pembelajaran, melainkan juga pada
penilaian. Untuk bisa melaksanakan pembelajaran otentik, guru harus memenuhi kriteria
tertentu seperti disajikan berikut ini;
1. Mengetahui bagaimana menilai kekuatan dan kelemahan peserta didik serta desain
pembelajaran.
2. Mengetahui bagaimana cara membimbing peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan mereka sebelumnya dengan cara mengajukan pertanyaan dan
menyediakan sumberdaya memadai bagi peserta didik untuk melakukan akuisisi
pengetahuan.
3. Menjadi pengasuh proses pembelajaran, melihat informasi baru, dan
mengasimilasikan pemahaman peserta didik.
4. Menjadi kreatif tentang bagaimana proses belajar peserta didik dapat diperluas dengan
menimba pengalaman dari dunia di luar tembok sekolah.

10
Penialain otentik adalah komponen penting dari reformasi pendidikan sejak tahun
1990an. Wiggins (1993) menegaskan bahwa metode penilaian tradisional untuk mengukur
prestasi, seperti tes pilihan ganda, benar/salah, menjodohkan, dan lain-lain telah gagal
mengetahui kinerja peserta didik yang sesungguhnya. Tes semacam ini telah gagal
memperoleh gambaran yang utuh mengenai sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka di luar sekolah atau masyarakat.
Penilaian hasil belajar yang tradisional bahkan cenderung mereduksi makna
kurikulum, karena tidak menyentuh esensi nyata dari proses dan hasil belajar peserta didik.
Ketika penilaian tradisional cenderung mereduksi makna kurikulum, tidak mampu
menggambarkan kompetensi dasar, dan rendah daya prediksinya terhadap derajat sikap,
keterampilan, dan kemampuan berpikir yang diartikulasikan dalam banyak mata pelajaran
atau disiplin ilmu; ketika itu pula penialain otentik memperoleh traksi yang cukup kuat.
Memang, pendekatan apa pun yang dipakai dalam penilaian tetap tidak luput dari kelemahan
dan kelebihan. Namun demikian, sudah saatnya guru profesional pada semua satuan
pendidikan memandu gerakan memadukan potensi peserta didik, sekolah, dan lingkungannya
melalui asesmen proses dan hasil belajar yang autentik.
Data penialain otentik digunakan untuk berbagai tujuan seperti menentukan kelayakan
akuntabilitas implementasi kurikulum dan pembelajaran di kelas tertentu. Data asesmen
autentik dapat dianalisis dengan metode kualitatif, kuanitatif, maupun kuantitatif. Analisis
kualitatif dari asesmen otentif berupa narasi atau deskripsi atas capaian hasil belajar peserta
didik, misalnya, mengenai keunggulan dan kelemahan, motivasi, keberanian berpendapat,
dan sebagainya. Analisis kuantitatif dari data asesmen autentik menerapkan rubrik skor atau
daftar cek (checklist) untuk menilai tanggapan relatif peserta didik relatif terhadap kriteria
dalam kisaran terbatas dari empat atau lebih tingkat kemahiran (misalnya: sangat mahir,
mahir, sebagian mahir, dan tidak mahir). Rubrik penilaian dapat berupa analitik atau holistik.
Analisis holistik memberikan skor keseluruhan kinerja peserta didik, seperti menilai
kompetisi Olimpiade Sains Nasional.

I. Pengembangan Penilaian Otentik

Semua rangkaian dalam lingkup kegiatan belajar mengajar harus direncanakan


dengan baik agar dapat memberikan hasil dan dampak yang maksimal. Hal inilah antara lain
yang kemudian mendorong intensifnya penerapan teknologi pendidikan dalam dunia
pendidikan. Perencanaan yang baik juga harus diterapkan dalam kegiatan penilaian yang
11
menjadi bagian integral dari kegiatan pembelajaran. Mueller (2008) mengemukakan sejumlah
langkah yang perlu ditempuh dalam pengembangan penilaian otentik, yaitu yang meliputi
penentuan standar; penentuan tugas otentik; pembuatan kriteria; dan pembuatan rubrik.
1. Penentuan Standar
Standar dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan tentang apa yang harus diketahui
atau dapat dilakukan pembelajar. Di samping standar ada goal (tujuan umum) dan objektif
(tujuan khusus), dan standar berada di antara keduanya. Standar dapat diobservasi
(observable) dan diukur (measurable) ketercapaiannya. Istilah umum yang dipakai di dunia
pendidikan di Indonesia untuk standar adalah kompetensi.
Standar Kompetensi Lulusan tentu saja harus mencerminkan harapan masyarakat
tentang apa yang mesti dicapai dan atau dikuasai oleh lulusan satuan pendidikan tertentu.
Akibat perkembangan ilmu dan teknologi di era informasi, dewasa ini perkembangan
kehidupan begitu cepat, perubahan demi perubahan begitu cepatnya, apa yang semula
dianggap mapan atau menzaman, dalam hitungan sedikit tahun atau bahkan bulan, telah
menjadi ketinggalan zaman. Dengan demikian, perubahan kini menjadi kata kunci untuk
tetap bertahan. Maka, keterbukaan terhadap perubahan juga suatu hal yang harus diterima dan
disikapi dengan benar. Konsekuensinya, salah satu kompetensi yang disiapkan untuk lulusan
satuan pendidikan juga harus menerima dan mengikuti arus perubahan itu, dan itu artinya
rumusan kompetensi harus realistik sesuai dengan tuntutan zaman.
2. Penentuan Tugas Otentik
Tugas otentik adalah tugas-tugas yang secara nyata dibebankan kepada pembelajar
untuk mengukur pencapaian kompetensi yang dibelajarkan, baik ketika kegiatan
pembelajaran masih berlangsung atau ketika sudah berakhir. Pengukuran hasil pencapaian
kompetensi pembelajar yang secara realistic dilakukan di kelas dapat bersifat model
tradisional atau otentik sekaligus tergantung kompetensi atau indicator yang akan diukur.
Tugas otentik (authentic task) sering disinonimkan dengan penilaian otentik (authentic
assessment) walau sebenarnya cakupan maknayang kedua lebih luas.Permasalahan yang
segera muncul adalah tugas-tugas apa atau model-model pengukuran apa yang dapat
dikategorikan sebagai tugas atau penilaian otentik.
Semua kegiatan pengukuran pendidikan harus mengacu pada standar (standar
kompetensi, kompetensi dasar) yang telah ditetapkan. Demikian pula halnya dengan
pemberian tugas-tugas otentik. Pemilihan tugas-tugas tersebut pertama-tama haruslah
merujuk pada kompetensi mana yang akan diukur pencapaiannya. Kedua, dan inilah yang
khas penilaian autentik, pemilihan tugastugas itu harus mencerminkan keadaan atau
kebutuhan yang sesungguhnya di dunia nyata. Jadi, dalam sebuah penilaian otentik mesti

12
terkandung dua hal sekaligus: sesuai dengan standar (kompetensi) dan relevan (bermakna)
dengan kehidupan nyata. Dua hal tersebut haruslah menjadi acuan kita ketika membuat tugas-
tugas otentik untuk mengukur pencapaian kompetensi pembelajaran kepada peserta didik.
Dengan demikian, apa yang ditugaskan oleh guru kepada pembelajar dan yang
dilakukan oleh pembelajar telah mencerminkan kompetensi yang memang dibutuhkan dalam
kehidupan nyata. Hal itu berarti ada keterkaitan antara dunia pendidikan di satu sisi dengan
tuntutan kebutuhan kehidupan di dunia nyata di sisi lain. Misalnya, dalam pembelajaran
bahasa, bahasa target apa saja, pasti terdapat standar kompetensi lulusan yang berkaitan
dengan kemampuan menulis. Menulis dalam kaitan ini bukan sekedar menulis demi tulisan
itu sendiri, melainkan menulis untuk menghasilkan karya tulis yang memang dibutuhkan di
dunia nyata. Misalnya, menulis surat lamaran pekerjaan, surat penawaran produk, menulis
artikel untuk media masa, dan lain-lain. Untuk itu, pembuatan tugas-tugas otentik dalam
rangka penilaian otentik capaian hasil belajar peserta didik mesti terkait dengan kemampuan
menghasilkan karya tulis jenis-jenis tersebut.

3. Pembuatan Kriteria
Jika standar (kompetensi, kompetensi dasar) merupakan arah dan acuan kompetensi
pembelajaran yang dibelajarkan oleh pendidik dan sekaligus akan dicapai dalam oleh subjek
didik, proses pembelajaran haruslah secara sadar diarahkan ke capaian kompetensi yang telah
ditetapkan sebelumnya. Demikian pula halnya dengan penilaian yang dimaksudkan untuk
mengukur kadar capaian kompetensi sebagai bukti hasil belajar. Untuk itu, diperlukan criteria
yang dapat menggambarkan capaian kompetensi yang dimaksud. Kriteria merupakan
pernyataan yang menggambarkan tingkat capaian dan bukti-bukti nyata capaian belajar
subjek belajar dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Kriteria lazimnya juga telah
dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran. Dalam kurikulum berbasis kompetensi
kriteria lebih dikenal dengan sebutan indikator.
Dalam kegiatan pembelajaran, semua kompetensi yang dibelajarkan harus diukur
kadar capaiannya oleh pembelajar. Jika dalam lingkup penilaian otentik harus melibatkan dua
macam relevansi, yaitu sesuai dengan kompetensi dan bermakna dalam kehidupan nyata,
kriteria atau indikator penilaian yang dikembangkan harus juga mengandung kedua tuntutan
tersebut. Singkatnya, sebuah kriteria penilaian capaian hasil belajar harus cocok dengan
kompetensi yang dibelajarkan dan sekaligus bermakna atau relevan dengan kehidupan nyata.
Jumlah criteria yang dibuat bersifat relatif, tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang pasti criteria
harus mengungkap capaian hal-hal yang esensial dalam sebuah standar (kompetensi) karena

13
hal itulah yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi pembelajaran. Kita tidak
mungkin menagih semua tugas yang dibelajarkan dan sekaligus dipelajari subjek didik.
Selain itu, pembuatan kriteria harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang selama
ini dinyatakan baik, baik dalam arti efektif untuk keperluan penilaian hasil belajar.
Ketentuan-ketentuan itu antara lain (a) harus dirumuskan secara jelas; (b) singkat padat; (c)
dapat diukur, dan karenanya haruslah dipergunakan kata-kata kerja operasional; (d) menunjuk
pada tingkah laku hasil belajar, apa yang mesti dilakukan dan bagaimana kualitas yang
dituntut; dan (e) sebaiknya ditulis dalam bahasa yang dipahami oleh subjek didik. Perumusan
kriteria yang jelas dan operasional akan mempermudah kita, para guru, untuk melakukan
kegiatan penilaian.
4. Pembuatan Rubrik
Penilaian otentik menggunakan pendekatan penilaian acuan criteria (criterion
referenced measures) untuk menentukan nilai capaian subjek didik. Dengan demikian, nilai
seorang pembelajar ditentukan seberapa tinggi kinerja ditampilkannya secara nyata yang
menunjukkan tingkat capaian kompetensi yang dibelajarkan. Untuk menentukan tinggi
rendahnya skor kinerja yang dimaksud, haruslah dipergunakan alat skala untuk memberikan
skorskor tiap kriteria yang telah ditentukan. Alat yang dimaksud disebut rubrik (rubric).
Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala penyekoran (scoring scale) yang dipergunakan
untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap criteria terhadap tugas-tugas tertentu (Mueller,
2008).
Dalam sebuah rubrik terdapat dua hal pokok yang harus dibuat, yaitu criteria dan
tingkat capaian kinerja (level of performance) tiap kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial
standar (kompetensi) yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara esensial dan
konkret mewakili standar yang diukur capaiannya. Dengan membatasi criteria pada hal-hal
esensial, dapat dihindari banyaknya kriteria yang dibuat yang menyebabkan penilaian
menjadi kurang praktis. Selain itu, kriteria haruslah dirumuskan atau dinyatakan (jadi: berupa
pernyataan dan bukan kalimat) singkat padat, komunikatif, dengan bahasa yang gramatikal,
dan benarbenar mencerminkan hal-hal esensial (dari standar/kompetensi) yang diukur. Dalam
sebuah rubrik, kriteria mungkin saja atau boleh juga dilabeli dengan kata-kata tertentu yang
lebih mencerminkan isi, misalnya dengan kata-kata: unsur yang dinilai.
Tingkat capaian kinerja, di pihak lain, umumnya ditunjukkan dalam angka-angka, dan
yang lazim adalah 1-4 atau 1-5, besar kecilnya angka sekaligus menunjukkan tinggi
rendahnya capaian. Tiap angka tersebut biasanya mempunyai deskripsi verbal yang diwakili,
misalnya skor 1: tidak ada kinerja, sedang skor 5: kinerja sangat meyakinkan dan bermakna.
Bunyi deskripsi verbal tersebut harus sesuai dengan kriteria yang akan diukur. Yang pasti

14
terdapat banyak variasi dalam pembuatan rubrik, juga untuk criteria dan angka tingkat
capaian kinerja. Penilaian tingkat capaian kinerja seorang pembelajar dilakukan dengan
menandai angka-angka yang sesuai. Rubrik lazimnya ditampilkan dalam tabel, kriteria
ditempatkan di sebelah dan tingkat capaian di sebelah kanan tiap kriteria yang diukur
capaiannya itu. Misalnya, untuk mengukur aktivitas diskusi seorang siswa, dibuatkan rubrik
seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Kemampuan Berdiskusi dalam Leaderless Group Discussion
Tingkat Capaian Kinerja
No Aspek yang di nilai
1 2 3 4 5
1. Ketepatan lafal
2. Ketepatan diksi
3. Ketepatan struktur gramatikal
4. Sifat penuturan
5. Pemahaman dan kelancaran
6. Ketepatan gagasan
7. Keakuratan gagasan
8. Keluasan gagasan
9. Keterkaitan antar gagasan
10. Kebermaknaan penuturan

J. Hakikat Penilaian Autentik


Model penilaian otentik (authentic assessment) dewasa ini banyak dibicarakan di
dunia pendidikan karena model ini direkomendasikan, atau bahkan harus ditekankan,
penggunaannya dalam kegiatan menilai hasil belajar pebelajar. Salah satu permasalahan yang
muncul adalah belum tentu semua guru/dosen memahami konsep dan pelaksanaan penilaian
autentik. Jika sebuah konsep belum terpahami, bagaimana mungkin kita mau
mempergunakannya untuk keperluan praktis pada kegiatan pembelajaran? Mungkin saja
orang menyangka atau mengatakan telah mempergunakan penilaian autentik untuk menilai
hasil belajar siswa, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.
Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan
demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara
objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja.
Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama berlangsungnya kegiatan
pembelajaran sehingga penilaiannya haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan
berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika dilihat dari sudut pandang teori Bloom
sebuah model yang dijadikan acuan pengembangan penilaian dalam beberapa kurikulum di
Indonesia sebelum ini penilaian haruslah mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

15
Hakikat penilaian pendidikan menurut konsep authentic assesment adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan
bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan
guru mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, guru segara bisa
mengambil tindakan yang tepat. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di
sepanjang proses pembelajaran, asesmen tidak hanya dilakukan di akhir periode (semester)
pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti evaluasi kenaikan kelas dan
kelulusan sekolah), tetapi juga dilakukan bersama dan secara terintegrasi (tidak terpisahkan)
dari kegiatan pembelajaran (Nurhadi, 2004: 168)
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assesment) bukanlah untuk
mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan
pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan
ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran
(Nurhadi, 2004: 168).
Penilaian autentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan
demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara
objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan pada hasil akhir (produk).
Lagi pula sangat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama berlangsungnya kegiatan
pembelajaran sehingga penilaiannya haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan
berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika dilihat dari sudut pandang teori Bloom,
sebuah model yang dijadikan acuan pengembangan penilaian dalam beberapa kurikulum di
Indonesia sebelum ini, penilaian haruslah mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model nontes dan tes
sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan pembelajaran.
Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik. Misalnya, dengan memberikan tes
(ulangan) harian, latihan-latihan di kelas, penugasan, wawancara, pengamatan, angket,
catatan lapangan/harian, atau portofolio. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau
model, menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian
disebut sebagai penilaian autentik. Autentik dapat berarti dan sekaligus menjamin
keobjektifan, sesuatu yang nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan
bermakna.

16
Penilaian autentik menekankan kemampuan pebelajar untuk mendemonstrasikan
pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekadar
menanyakan atau menyadap pengetahuan yang telah diketahui pembelajar, tetapi juga kinerja
secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai. Sebagaimana dinyatakan Mueller (2008)
penilaian autentik merupakan a form of assessment in which students are asked to perform
real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills.
Jadi, penilaian autentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki pebelajar untuk
menunjukkan kinerja di dunia nyata. secara bermakna yang merupakan penerapan esensi
pengetahuan dan keterampilan. Menurut Stiggins (dalam Mueller, 2008), penilaian autentik
merupakan penilaian kinerja (perfomansi) yang meminta pebelajar untuk mendemonstrasikan
keterampilan dan kompetensi tertentu yang merupakan penerapan pengetahuan yang
dikuasainya

K. Jenis-jenis Penilaian Otentik dalam Leaderless Group Discussion


Dalam rangka melaksanakan, penilaian otentik yang baik, guru harus memahami
secara jelas tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu, guru harus bertanya pada diri sendiri,
khususnya berkaitan dengan: (1) sikap, keterampilan, dan pengetahuan apa yang akan dinilai;
(2) fokus penilaian akan dilakukan, misalnya, berkaitan dengan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan; dan (3) tingkat pengetahuan apa yang akan dinilai, seperti penalaran, memori,
atau proses. Beberapa jenis penilaian otentik disajikan berikut ini.
1. Penilaian Kinerja
Penilaian otentik sebisa mungkin melibatkan parsisipasi peserta didik, khususnya
dalam proses dan aspek-aspek yangg akan dinilai. Guru dapat melakukannya dengan
meminta para peserta didik menyebutkan unsur-unsur proyek/tugas yang akan mereka
gunakan untuk menentukan kriteria penyelesaiannya. Dengan menggunakan informasi ini,
guru dapat memberikan umpan balik terhadap kinerja peserta didik baik dalam bentuk
laporan naratif maupun laporan kelas. Ada beberapa cara berbeda untuk merekam hasil
penilaian berbasis kinerja:
a) Daftar cek (checklist). Digunakan untuk mengetahui muncul atau tidaknya unsur-unsur
tertentu dari indikator atau subindikator yang harus muncul dalam sebuah peristiwa atau
tindakan.
b) Catatan anekdot/narasi (anecdotal/narative records). Digunakan dengan cara guru
menulis laporan narasi tentang apa yang dilakukan oleh masing-masing peserta didik

17
selama melakukan tindakan. Dari laporan tersebut, guru dapat menentukan seberapa baik
peserta didik memenuhi standar yang ditetapkan.
c) Skala penilaian (rating scale). Biasanya digunakan dengan menggunakan skala numerik
berikut predikatnya. Misalnya: 5 = baik sekali, 4 = baik, 3 = cukup, 2 = kurang, 1 =
kurang sekali.
d) Memori atau ingatan (memory approach). Digunakan oleh guru dengan cara mengamati
peserta didik ketika melakukan sesuatu, dengan tanpa membuat catatan. Guru
menggunakan informasi dari memorinya untuk menentukan apakah peserta didik sudah
berhasil atau belum. Cara seperti tetap ada manfaatnya, namun tidak cukup dianjurkan.
Penilaian kinerja memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertama, langkah-
langkah kinerja harus dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja yang nyata untuk
suatu atau beberapa jenis kompetensi tertentu. Kedua, ketepatan dan kelengkapan aspek
kinerja yang dinilai. Ketiga, kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan oleh peserta
didik untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Keempat, fokus utama dari kinerja
yang akan dinilai, khususnya indikator esensial yang akan diamati. Kelima, urutan dari
kemampuan atau keerampilan peserta didik yang akan diamati.
Pengamatan atas kinerja peserta didik perlu dilakukan dalam berbagai konteks untuk
menetapkan tingkat pencapaian kemampuan tertentu. Untuk menilai keterampilan berbahasa
peserta didik, dari aspek keterampilan berbicara, misalnya, guru dapat mengobservasinya
pada konteks yang, seperti berpidato, berdiskusi, bercerita, dan wawancara. Dari sini akan
diperoleh keutuhan mengenai keterampilan berbicara dimaksud. Untuk mengamati kinerja
peserta didik dapat menggunakan alat atau instrumen, seperti penilaian sikap, observasi
perilaku, pertanyaan langsung, atau pertanyaan pribadi.
Penilaian-diri (self assessment) termasuk dalam rumpun penilaian kinerja. Penilaian
diri merupakan suatu teknik penilaian di mana peserta didik diminta untuk menilai dirinya
sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya
dalam mata pelajaran tertentu. Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur
kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor.
a) Penilaian ranah sikap. Misalnya, peserta didik diminta mengungkapkan curahan
perasaannya terhadap suatu objek tertentu berdasarkan kriteria atau acuan yang telah
disiapkan.
b) Penilaian ranah keterampilan. Misalnya, peserta didik diminta untuk menilai kecakapan
atau keterampilan yang telah dikuasainya oleh dirinya berdasarkan kriteria atau acuan
yang telah disiapkan.

18
c) Penilaian ranah pengetahuan. Misalnya, peserta didik diminta untuk menilai penguasaan
pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran
tertentu berdasarkan atas kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
Teknik penilaian-diri bermanfaat memiliki beberapa manfaat positif. Pertama,
menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik. Kedua, peserta didik menyadari kekuatan dan
kelemahan dirinya. Ketiga, mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik berperilaku
jujur. Keempat, menumbuhkan semangat untuk maju secara personal.

2. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis adalah penilaian yang menuntut peserta didik memberi jawaban
secara tertulis berupa pilihan dan/atau isian. Meski konsepsi penilaian otentik muncul dari
ketidakpuasan terhadap tes tertulis yang lazim dilaksanakan pada era sebelumnya, penilaian
tertulis atas hasil pembelajaran tetap lazim dilakukan. Tes tertulis terdiri dari memilih atau
mensuplai jawaban dan uraian. Memilih jawaban dan mensuplai jawaban. Memilih jawaban
terdiri dari pilihan ganda, pilihan benar-salah, ya-tidak, menjodohkan, dan sebab-akibat.
Mensuplai jawaban terdiri dari isian atau melengkapi, jawaban singkat atau pendek, dan
uraian.
Tes tertulis berbentuk uraian atau esai menuntut peserta didik mampu mengingat,
memahami, mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan
sebagainya atas materi yang sudah dipelajari. Tes tertulis berbentuk uraian sebisa mungkin
bersifat komprehentif, sehingga mampu menggambarkan ranah sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didik.
Pada tes tertulis berbentuk esai, peserta didik berkesempatan memberikan jawabannya
sendiri yang berbeda dengan teman-temannya, namun tetap terbuka memperoleh nilai yang
sama. Misalnya, peserta didik tertentu melihat fenomena kemiskinan dari sisi pandang
kebiasaan malas bekerja, rendahnya keterampilan, atau kelangkaan sumberdaya alam.
Masing-masing sisi pandang ini akan melahirkan jawaban berbeda, namun tetap terbuka
memiliki kebenarann yang sama, asalkan analisisnya benar. Tes tersulis berbentuk esai
biasanya menuntut dua jenis pola jawaban, yaitu jawaban terbuka (extended-response) atau
jawaban terbatas (restricted-response). Hal ini sangat tergantung pada bobot soal yang
diberikan oleh guru. Tes semacam ini memberi kesempatan pada guru untuk dapat mengukur
hasil belajar peserta didik pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks.

19
Soal bentuk uraian non-objektif (esai) tidak dapat diskor secara objektif, karena
jawaban yang dinilai dapat berupa opini atau pendapat peserta didik sendiri, bukan berupa
konsep kunci yang sudah pasti. Pedoman penilaiannya berupa kriteria-kriteria jawaban.
Setiap kriteria jawaban diberi rentang skor tertentu, misalnya 0 – 5. Tidak ada jawaban untuk
suatu kriteria diberi skor 0. Besar- kecilnya skor yang diperoleh peserta didik untuk suatu
kriteria ditentukan berdasarkan tingkat kesempurnaan jawaban.
3. Penilaian Lisan
Tes lisan yakni tes yang dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung
antara pendidik dan pesertadidik Penilaian lisan sering digunakan oleh pendidik di kelas
untuk menilai peserta didik dengan cara memberikan beberapa pertanyaan secara lisan dan
dijawab oleh peserta didik secara lisan juga.
Pertanyaan lisan merupakan variasi dari tes uraian. Penilaian ini sering digunakan
pada ujian akhir mata pelajaran agama dan sosial. Kelebihan penilaian ini antara lain:
memberikan kesempatan kepada pendidik dan peserta didik untuk menentukan sampai
seberapa baik pendidik atau peserta didik dapat menyimpulkan atau mengekspresikan
dirinya, peserta didik tidak terlalu tergantung untuk memilih jawaban tetapi memberikan
jawaban yang benar, peserta didik dapat memberikan respon dengan bebas. Penilaian lisan
bertujuan untuk mengungkapkan sebanyak mungkin pegetahuan dan pemahaman peserta
didik tentang materi yang diuji. Sedangkan kelemahan tes lisan antara lain subjektivitas
pendidik sering mencemari hasil tes dan waktu pelaksanaan yang diperlukan relatif cukup
lama.
Penilaian lisan dapat dilakukan dengan dengan teknik sebagai berikut:
1. Sebelum dilaksanakan tes lisan, pendidik sudah melakukan inventarisasi berbagai
jenis soal yang akan diajukan kepada peserta didik, sehingga dapat diharapkan
memiliki validitas yang tinggi dan baik dari segi isi maupun konstruksinya.
2. Siapkan pedoman dan ancar-ancar jawaban bentuknya, agar mempunyai kriteria pasti
dalam penskoran dan tidak terkecok dengan jawaban yang panjang lebar dan berbelit-
belit.
3. Skor ditentukan saat masing-masing peserta didik selesai dites, agar pemberian skor
atau nilai yang diberikan tidak dipengaruhi oleh jawaban yang diberikan oleh peserta
didik yang lain.
4. Tes yang diberikan hendaknya tidak menyimpang atau berubah arah dari evaluasi
menjadi diskusi.

20
5. Untuk menegakan obyektivitas dan prinsip keadilan, Pendidik tidak diperkenankan
memberikan angin segar atau memancing dengan kata-kata atau kode tertentu yang
bersifat menolong peserta didik dengan aalasan kasihan atau rasa simpati.
6. Tes lisan harus berlangsung secara wajar. Artinya jangan sampai menimbulkan rasa
takut, gugup atau panik di kalangan peserta didik.
7. Pendidik mempunyai pedoman waktu bagi peserta didik dalam menjawab soal-soal
atau pertanyaan pada tes lisan.
8. Pertanyaan yang diajukan hendaknya bervariasi, dalam arti bahwa sekalipun inti
persoalan yang ditanyakan sama, namun cara pengajuan pertanyaannya dibuat
berlainana atau beragam.
9. Pelaksanaan tes dilakukan secara individual (satu demi satu), agar tidak
mempengaruhi mental peserta didik yang lainnya.

4. Penilaian Praktek
Penilaian Praktek dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didik dalam
melakukan aktivitas pembelajaran. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian
kompetensi atau indikator keberhasilan yang menurut peserta didik menunjukkan unjuk kerja,
misalnya bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi, menggunkan
peralatan laboratorium, mengoperasikan komputer.
Dalam penilaian praktek perlu mempertimbangkan: langkah-langkah kinerja yang
diharapkan dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja dari suatu kompetensi,
kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut, kemampuan
khusus yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, upayakan kemampuan yang akan dinilai
tidak terlalu banyak, sehingga semua dapat diamati, dan kemampuan yang akan dinilai
diurutkan berdasarkan urutan yang akan diamati.
Teknik Penilaian Praktek dibagi dua macam, yaitu daftar cek dan skala rentang.
Daftar Cek Pada penilaian praktek yang menggunakan daftar cek (ya – tidak), peserta didik
mendapat nilai apabila kriteria penguasaaan kompetensi tertentu dapat diamati oleh penilai.
Kelemahan teknik penilaian ini ialah penilai hanya mempunyai dua pilihandan tidak
menpunyai nilai tengah. Misalnya benar-salah, dapat diamati-tidak dapat diamati.
Sedangkan Skala Rentang pada penilaian unjuk kerja memungkinkan penilai
memberikan skor tengah terhadap penguasaan kompetensi tertentu. Karena pemberian nilai
secara kontinuum di mana pilihan kategori nilai lebih dari dua, misalnya sangat kompeten –
kompeten - tidak kompeten - sangat tidak kompeten. Penilaian skala rentang sebaiknya

21
dilakukan oleh lebih dari satu orang agar faktor sujektivitas dapat diperkecil dan hasil
penilaian lebih akurat.

L. Inovasi Prosedur Asesmen dalam Leaderless Group Discussion (LGD)


LGD adalah diskusi kelompok tanpa pemimpin. Diskusi kelompok berjalan dinamis
walaupun tidak ada yang memimpin diskusi. Di sini semua posisi nya sama yakni sama-sama
sebagai peserta diskusi dan sama-sama sebagai pemimpin diskusi. Di sini ditantang untuk
bisa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, menyampaikan gagasan/ide,
menyanggah, bertanya, dan merespon atas ide orang lain. Tidak diinginkan adanya peserta
yang mendominasi diskusi dan minim berbicara. LGD ini terinspirasi dari seleksi beasiswa
LPDP Kemenkeu RI.
Langkah-langkah LGD secara singkat sebagai berikut:
1. Siswa dibagi ke dalam kelompok yang terdiri atas 6 siswa
2. Mereka berkumpul di meja bundar dan di atas meja di posisi duduk mereka
telah tersedia selembar kertas yang berisi kasus yang harus mereka isi langsung pada
kertas tersebut dalam waktu 5 menit dan semua aktivitas mereka direkam dengan
rekaman suara dan diamati oleh 2 observer.
3. Setelah itu mereka mendiskusi kasus dengan total alokasi waktu 20 menit.
4. LGD pun selesai
Tujuan LGD ini adalah mengukur ranah kognitif (pengetahuan) siswa dari kasus soal
yang diberikan, mengukur konsisten jawaban tertulis dan lisan siswa, mengukur kemampuan
komunikasi lisan, dan mengukur sikap menghargai orang lain. Konsistensi sangat penting di
sini jangan sampai apa yang tertulis dengan yang disampaikan lisan dalam diskusi berbeda
akibat terpengaruh dengan jawaban orang lain. Adapun yang menjadi berbeda dari LGD
LPDP adalah proses diskusi direkam dengan rekaman suara diganti dengan rekaman video
dan sepanjang pengetahuan kami belum pernah diterapkan dalam pembelajaran di sekolah,
karena diskusi di sekolah selalu lengkap ada pemimpin diskusi, notulen, penyaji, pembahas,
dan sebagainya.
Berikut rubrik penilaian aktivitas diskusi selama LGD yang diberikan oleh tabel 2.
Tabel 2. Rubrik Penilaian LGD
Nama Siswa : _______________________________________
Nomor Induk Siswa : _______________________________________

Unggul Baik Cukup Kurang Skor


(4) (3) (2) (1)
Konten Memaparkan Memaparkan Memaparkan Memaparkan
Penyajian seluruh materi sebagian besar hanya sebagian hanya bagian
pokok isi kasus dari materi dari materi pokok tertentu materi
pokok isi kasus isi kasus pokok isi kasus
Kemenarikan Atraktif dan Cukup atraktif Kurang atraktif Kurang atraktif

22
penyajian gagasan sangat walau gagasan tetapi gagasan dan gagasan
diskusi mudah agak sukar msih dapat sukar dimengerti
dimengerti dimengerti dimengerti
Merespon Jawaban Jawaban relevan Jawaban kurang Jawaban tidak
pertanyaan relevan dengan dengan relevan dan tidak relevan dengan
atau pertanyaan dan pertanyaan memuaskan pertanyaan dan
pernyataan memuaskan tetapi kurang penanya tidak
orang lain penanya memuaskan memuaskan
penanya penanya
Penggunaan Menggunakan Sedikit Agak banyak Cenderung
bahasa bahasa menggunakan menggunakan menggunakan
Indonesia baku bahasa bahasa Indonesia bahasa
Indonesia yang tidak baku Indonesia tidak
tidak baku baku
Manajemen Durasi paparan Durasi paparan Durasi paparan Durasi paparan
waktu dan sesuai alokasi sedikit agak jauh dari sangat
memberikan waktu yang lebih/kurang alokasi waktu menyimpang
kesempatan disediakan dari alokasi yang disediakan dari alokasi
kepada orang waktu yang waktu yang
lain disediakan disediakan
Kesesuaian Jawaban tulis Jawaban tulis Jawaban tulis dan Jawaban tulis
jawaban dan lisan dan lisan lisan konsisten dan lisan tidak
naskah tertulis konsisten dan konsisten dan dan tidak tepat konsisten dan
dan lisan tepat kurang tepat tidak tepat
Frekuensi atau Mendominasi 2x bicara 1x bicara Tidak berbicara
dominansi dalam diskusi sama sekali
dalam diskusi (3x bicara) dalam diskusi
Total Skor:

M. Kesimpulan
Leaderless Group Discussion (LGD) dapat dijadikan alternatif bentuk diskusi dalam
pembelajaran di sekolah. Telah dibuat dan dihasilkan inovasi prosedur asesmen aktivitas
diskusi beserta dengan rubriknya dalam skala 1-4 (kurang, cukup, baik dan unggul).

DAFTAR PUSTAKA

Asep Jihad dan Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo, 2013.
Burhanuddin Tola, Penilaian Diri (Self Evaluation) Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan
Balitbang Kemendiknas, 2010
Duncan dan Bell Chris. Evaluating and Assessing for Learning. New Jersey: Nichols
Publishing Company, 1994.

23
Mimin Haryati. Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010.
Suharsimi. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bandung : Bumi Aksara, 1996.
https://beasiswalpdp.kemenkeu.go.id/
http://www.m-edukasi.web.id/2019/12/pengertian-penilaian-dan-penilaian.html
http://akbar-iskandar.blogspot.com/2019/12/penilaian-otentik.html

24

Anda mungkin juga menyukai