Anda di halaman 1dari 11

`

TUGAS INDIVIDU
MKPB FILSAFAT ARSITEKTUR
(PERIODE SEMESTER GENAP 2020 – 2021)

REFLEKTIF MAHASISWA

DISUSUN OLEH :

JESSICA DANIELLE I.P


NIM : 17.A1.0160

DOSEN KELAS :
Dr. Ir. A. Rudyanto Soesilo MSA
Bonifacio Bayu,ST.,MSc

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
`

1. filsafat / filosofi dalam desain Arsitektur

 Arsitektur bukan hanya tumpukan material bangunan untuk tempat berteduh


saja tetapi merupakan pengejawantahan pemikiran filosofis yang kemudian
mewujud menjadi bentuk, tatanan, pilihan warna, material, ragam hias dan
merupakan kinerja dan penampilan keseluruhan arsitektur tersebut.
 filsafat berasal dari kata philo = keahlian , Sophia = kebijaksanaan
 Terdapat elemen – elemen dalam filsafat arsitektur yaitu etika , estetika,
ontology, kosmologi,aksiologi
 Filsafat merupakan salah satu hal yang utama dalam pendekatan arsitektur
 Filsafat mengambil peranan penting bagi suatu keilmuan, karena didalam ilmu
filsafat dapat dijumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas,
mendiskusikan dan menguji kesahihan) dan akuntabilitas pemikiran serta
gagasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual
(Bagir, 2005).

2. Apa yang dimaksud dengan Ontologi dan Aksiologi?

Ontologi filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu berasal dari kata otos yang artinya
ada atau keberadaan. Dan logos atau logi yang berarti ilmu. Jadi dapat disimpulkan
pengertian ontologi adalah ilmu tentang keberadaan yang mempelajari sesuatu yang
benar adanya.Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal
seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Mencari paradigm untuk
mendapatkan jawaban.

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari 2 kata Aksio yang berarti nilai dan
logos berarti teori. Aksiologi bermakna teori tentang nilai suatu pemikiran filsafat,
aksiolologi membahas standar sesuatu itu baik atau tidaknya. Aksiologi bercabang
menjadi 2 yaitu :
`

1. Etika adalah cabang filsafat aksiologi yang membahas tentang masalah-


masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilaku, norma dan adat
istiadat yang berlaku pada komunitas tertentu. Dalam etika, nilai
kebaikan dari tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan
sebagai sang pencipta
2. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan
tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa di dalam
diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan
harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang menyeluruh. Maksudnya
adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras
serta bepola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.

Bagaimana pemahaman paradigma Ontologi dan Aksiologi tersebut di dalam sebuah


kegiatan mendesain?

PARADIGMA PENELITIAN ARSITEKTUR


Proses untuk menemukan teori dalam tataran keilmuan menggunakan paradigma.
Terdapat tiga (3) jenis paradigma yang lazim digunakan dalam penelitian . Ketiga
paradigma tersebut adalah positivisme, rasionalisme dan fenomenologi. Ketiga
macam penelitian ini dapat dibedakan dalam beberapa sudut pandang yaitu sumber
kebenaran/teori dan teori yang dihasilkan dari penelitian (Muhadjir, 1989). Paradigma
penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang
peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau
teori.

Paradigma Positivistik
Paradigma ini berlandaskan pada filsafat positivistik yang berpandangan bahwa
realita/fenomena dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkret, teramati, terukur, dan
hubungan gejala sebab akibat. Penelitian pada umumnya dilakukan pada populasi
atau sampel tertentu yang
representatif. Positivisme dan postpositivisme melahirkan pendekatan
kuantitatif dalam pengumpulan data dan analisis. Suatu bukti dan fakta disebut data
jika memiliki pola dan berjalan dalam sebuah skala pengukuran
Paradigma Rasionalistik
`

Paradigma rasionalisme percaya bahwa sumber kebenaran tidak hanya empiri


sensual tetapi juga empiri logik (pikiran) dan empiri etik (idealisasi realitas). Paradigma
ini melakukan telaah untuk membuat konstruksi teori berdasarkan interpretasi.
Interpretivisme atau konstruktivisme tumbuh dari kondisi di lapangan. Paradigma ini
melandaskan pemahaman interpretatif yang disebut hermeneutika. Interpretivisme
atau konstruktivisme melahirkan pendekatan kualitatif atau kombinasi keduanya yaitu
metode kualitatif dan kuantitatif (metode campuran) sehingga data kuantitatif dapat
digunakan untuk mendukung atau memperluas deskripsi. Dalam buku tentang riset
kualitatif, Denzin dan Lincoln (1994) mengatakan bahwa penelitian kualitatif
menggunakan multi metode dalam focus yang melibatkan interpretif serta pendekatan
naturalis untuk materi pokoknya.
Paradigma Fenomenologi
Paradigma ini memungkinkan peneliti untuk menggali realitas yang ada di lapangan
tanpa terbatasi oleh teori-teori maupun pustaka. Paradigma fenomenologi menambah
semua empiri yang dipercaya sebagai sumber kebenaran oleh rasionalisme dengan
satu lagi yaitu empiri transendental (keyakinan atau yang berkaitan dengan ke
Tuhanan).

Penggunaan paradigma sangat tergantung pada jenis penelitian yang akan dilakukan
untuk membangun teori. Perbandingan ketiga jenis paradigma tersebut dapat lebih
mudah dipahami melalui identifikasi perbedaan tiga paradigma keilmuan (Muhadjir,
1989), pada table 1 berikut ini.

Tabel 1. Perbedaan Tiga Paradigma Keilmuan

Segi Positivisme Rasionalisme Fenomenologi

Kerangka teori
dirumuskan Kerangka teori
Kerangka teori sespesifik mungkin Konsepsualisasi sebelum penelitian
sebagai dan menolak teoritik (sebagai grand tidak diperkenankan
persiapan ulasan meluas teori atau grand (hasil penelitian
penelitian yang tidak relevan concept) diperlukan dapat menjadi
`

produk artificial, jauh


dari sifat naturalnya)

Obyek
dispesifikkan dan Obyek dilihat dalam
Kedudukan dipisahkan dari konteksnya Obyek dilihat dalam
obyek dengan obyek-obyek lain (konstruksi teoritik konteks naturalnya
lingkungannya yang tidak diteliti yang lebih mencakup) (pendekatan holistic)

Bersatunya subyek
peneliti dengan
Pemilahan subyek Pemilahan subyek subyek pendukung
peneliti dari obyek peneliti dari obyek obyek penelitianya
Hubungan obyek penelitiannya dan penelitiannya dan (untuk peghayatan
dengan peneliti pendukungnya pendukungnya obyek)

Generalisasi dua
tahap : (1)
generalisasi dari
obyek spesifik atas
hasil uji-makna-
Generalisasi satu empirik, (2)
tahap (berpangkal pemaknaan hasil uji Tidak bertujuan
dari obyek spesifik reflektif kerangka membuat
dan berakhir pada konseptualissasi generalisasi (karena
hasil analisis teoritik (grand theory) hasil penelitian
obyek yang dengan pemaknaan berupa ilmu
Generalisasi hasil spesifik pula) indikasi empiric local/khas)

Sumber : (Muhadjir, 1989)


Pada penelitian arsitektur ketiga jenis paradigma ini dapat digunakan sesuai dengan
focus keilmuan yang akan diperoleh. Paradigma positivism mengarahkan teori
arsitektur yang bersifat generalis sehingga dapat diterapkan secara umum,
sedangkan paradigm rasionalism dan fenomenologi lebih mengarahkan teori
`

arsitektur yang diperkaya dengan kontekstualitas waktu dan tempat. Paradigma ini
membawa konsekuensi pendekatan penelitian yang pada akhirnya melahirkan
metode yang tepat untuk mengulas ilmu arsitektur.

PENDEKATAN PENELITIAN
Pendekatan yang dapat dipergunakan dalam penelitian secara umum terbagi menjadi
2 jenis yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Namun saat ini tidak dapat
dihindari berkembang pendekatan yang merupakan campuran dari kuantitatif dan
kualitatif atau dikenal dengan pendekatan campuran (mixed method).
Pendekatan Kuantitatif
Penelitian kuantitatif biasanya menggunakan desain eksplanasi, di mana objek
telaahan penelitian eksplanasi (explanatory research) adalah untuk menguji
hubungan antar-variabel yang dihipotesiskan (Mulyadi, 2011). Pada jenis penelitian
ini, jelas ada hipotesis yang akan diuji kebenarannya. Hipotesis itu sendiri
menggambarkan hubungan antara dua atau lebih variabel; untuk mengetahui apakah
sesuatu variabel berasosiasi ataukah tidak dengan variabel lainnya; atau apakah
sesuatu variabel disebabkan/dipengaruhi ataukah tidak oleh variabel lainnya.
Pendekatan Kualitatif
Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai
instrumen. Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan bahwa dalam pendekatan
kualitatif peneliti seyogianya memanfaatkan diri sebagai instrumen, karena instrumen
nonmanusia sulit digunakan secara luwes untuk menangkap berbagai realitas dan
interaksi yang terjadi. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan
dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus
dapat diterima oleh informan dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang
tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-
ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan informan.

Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan penelitian akan saling terkait antara


kualitatif dan kuantitatif. Kaitan ini adalah upaya untuk memudahkan pemahaman ilmu
pengentahuan agar dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

PEMBATASAN AREA PENELITIAN


Arsitektur Tradisional sebagai bagian dari budaya lokal
`

Perkembangan ilmu arsitektur mengarah pada kajian interdisiplener. Sudut pandang


filsafati menjadi sudut pandang kontemporer dalam kajian arsitektural (Adiyanto,
2012). Arsitektur nusantara sudah tentunya berpedoman pada “Sumpah Palapa” yaitu
Bhineka Tunggal Ika”. Yang mengamanatkan adanya pertalian dari berbagai suku
bangsa (etnik Nusantara) ataupun arsitektur di luar nusantara (agama, teknologi
modern, orneman dan dekorasi). (Bakhtiar, et al., 2014). Permukiman dan hunian
merupakan wujud kebudayaan manusia. Sebagai wujud kebudayaan manusia, maka
permukiman dan hunian terbentuk dengan adanya proses pembentukan hunian yang
mewadahi aktivitas manusia yang hidup dan tinggal di dalamnya. Permukiman yang
merupakan perwujudan hasil karya manusia secara turun temurun dari seluruh lapisan
masyarakat dalam batas-batas teritorial tertentu, dinamakan vernacular
architecture (Rapoport, 1969). Arsitektur tradisional sebagai bagian dari arsitektur
vernakular memiliki konsep lokal yang unik dan khas. Konsep hunian dalam bidang
arsitektur yang paling banyak diacu sebagai rujukan adalah konsep yang
dikemukakan oleh Rapoport (1969), yang mcnyatakan bahwa terjadinya bentuk-
bentuk atau model vernakular disebabkan enam faktor. Konsep ini dikcnal
scbagai modifying factor, yaitu (1) bahan, (2) konstruksi, (3) teknologi, (4) iklim, (5)
pemilihan lahan, dan (6) sosial-budaya.
Pelestarian sebagai wujud wisata yang berkelanjutan
Pariwisata berbasis budaya adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
pemerintah dan pemerintah daerah yang berupa hasil olah cipta, rasa dan karsa
manusia sebagai makhluk budaya, baik yang bersifat berwujud (tangible) maupun
tidak berwujud (intangible). Setiap destinasi wisata alami sekalipun seringkali tidak
dapat mempertahankan “keaslian” tempat tersebut karena mengalami perubahan dan
penambahan produk baru sesuai dengan usaha para pengusaha yang melakukan
komersialisasi wisata sehingga merusak nilai luhur bahkan keindahan.
Pengembangan ini mengarah pada pemahaman wisata berkelanjutan. Salah satu
perwujudan wisata berkelanjutan adalah pengembangan ekowisata. Ekowisata
adalah sebagian dari sustainable tourism. Sustainable tourism mencakup sektor
ekonomi yang lebih luas dari ekowisata, yaitu sektor-sektor pendukung kegiatan
wisata secara umum, meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata
pedesaan (rural and agro tourism), wisata budaya (cultural tourism), atau perjalanan
`

bisnis (business travel). Ekowisata berpijak pada wisata pedesaan, wisata alam dan
wisata budaya. (Nugroho, 2011).
Desa wisata sebagai bagian dari ekowisata menjadi objek yang menarik untuk
dikunjungi. Seiring dengan perkembangan yang terjadi maka keberadaan desa wisata
di kawasan pedesaan menjadi hal yang perlu diperhatikan kelestariannya. Desa
wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas
pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. (Nuryanti, 1993).

Transformasi sebagai respon masyarakat


Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat, terutama
dari sektor pariwisata, menimbulkan sistem budaya yang tersirat dapat berangsur –
angsur mengalami pergeseran atau perubahan. Setyadi (2007) mengatakan transisi
yang terjadi adalah transisi masyarakat dan kebudayaan agraris menuju kebudayaan
industri (pariwisata) dan transisi masyarakat yang makin terbuka dengan kebudayaan
global. Dua bentuk transisi tersebut lebih dominan terjadi di desa desa yang telah
dijadikan sebagai daerah tujuan wisata. Transformasi adalah sebuah proses
perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate,
perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur
eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah
dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau
melipatgandakan. Antoniades (1990) menyatakan bahwa transformasi didefinisikan
sebagai perubahan bentuk. Sebuah bentuk dapat mencapai tingkat tertinggi dengan
cara menanggapi pengaruh–pengaruh eksternal dan internal, dengan kata lain
transformasi merupakan perubahan sebuah bentuk kepada bentuk lain. Habraken
(1976) menguraikan faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi yaitu
sebagai berikut : a. Kebutuhan identitas diri (identification) dimana pada dasarnya
orang ingin dikenal dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan. b.
Perubahan gaya hidup (Life Style) yang mengakibatkan perubahan struktur dalam
masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-
penemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya. c. Pengaruh teknologi baru
yang menimbulkan perasaan ikut mode, dimana bagian yang masih dapat dipakai
secara teknis (belum mencapai umur teknis) dipaksa untuk diganti demi mengikuti
mode.
`

Berdasarkan pemahaman tersebut maka proses transformasi merupakah hal alamiah


yang terjadi sebagai respon masyarakat. Respon ini dapat dipahami sebagai bentuk
adaptasi masyarakat terhadap pengaruh dari luar. Pariwisata dan pelestarian
terkadang dipandang sebagai dua hal yang saling bertentangan, disatu sisi pariwisata
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat berdampak pada
modernisasi sedangkan pelestarian dipandang sebagai kebutuhan umum yang
melibatkan banyak pihak (pemerintah, LSM dan masyarakat) dan membutuhkan
banyak perhatian namun menjaga kelestarian untuk masa depan. Desa sebagai
objek, dalam hal ini yang mengalami transformasi, diharapkan dapat
mempertahankan posisi dan identitasnya sebagai bagian dari keseimbangan
lingkungan hidup manusia.

PENENTUAN PERMASALAHAN
Transformasi terjadi karena pengaruh luar baik berupa fisik maupun non fisik, belum
ada ukuran yang jelas kecepatan transformasi yang terjadi pada suatu daerah. Pada
konteks desa wisata khususnya yang berada dekat dengan kota, kemungkinan
terjadinya transfomasi menjadi lebih besar.

Pelestarian dapat terwujud karena adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya


mempertahankan lingkungan dan identitas untuk masa depan. Pelestarian dapat
terjadi jika ada unsur dari semua pihak yang terlibat terlebih jika terkait dengan hal
ekonomi. Sehingga dukungan ekonomi dan kesadaran masyakat menjadi hal
utama. Fenomena yang ada menunjukkan kurangnya kesadaran masyakat
khususnya di pedesaan jika terkait dengan pelestarian namun hal ini penting untuk
pengembangan wisata pedesaan. Sedangkan transformasi dapat memicu perubahan
identitas desa wisata tradisional. Hal ini akan berdampak langsung terhadap minat
wisatawan, sehingga unsur kesadaran masyarakat untuk mempertahankan aspek
tradisional terutama pada huniannya menjadi penting bagi kelestarian desa wisata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan hunian tradisional di desa –
desa wisata dalam konteks perkembangan desa wisata. Hasil identifikasi tersebut,
diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk pengembangan desa dan
pemerintah dimasa yang akan datang. Pemikiran tersebut dapat dilihat melalui skema
pada gambar 2 berikut.
`

Gambar 2. Skematik identifikasi permasalahan penelitian. (sumber penulis, 2016)


Celah yang didapat untuk melakukan penelitian ini adalah merumuskan faktor yang
mempengaruhi kecepatan transformasi hunian local jika dikaitkan dengan
pengembangan pariwisata terhadap transformasi hunian masyarakat tradisional di
pedesaan .

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, maka kesimpulan yang diperoleh dari tulisan ini adalah
rumusan landasan filosofis yang melatarbelakangi penelitian, yaitu:

1. Ilmu arsitektur berkembang seiring kebudayaan manusia. Pada tahap ontologi


berusaha melepaskan dari mitos dan mencari kebenaran melalui logika
kebutuhan ruang manusia. Pada tahap epistemologi, arsitektur menggunakan
metode ilmiah berdasarkan empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada
tahap aksiologi, arsitektur dapat dimanfaatkan dengan mengingat konteks
ruang dan waktu yang khas.
`

2. Penelitian ini berupaya memperkaya ilmu arsitektur dengan dasar lokalitas


budaya nusantara.
Paradigma yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma
fenomenologi dengan pendekatan kualitatif yang didukung dengan pendekatan
kuantitatif untuk memperkaya teori transformasi khususnya di desa wisata.

Anda mungkin juga menyukai