Anda di halaman 1dari 62

M.

RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

TUGAS BESAR BANGUNAN AIR


M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tugas Besar Teknik Irigrasi dan Bangunan Air merupakan salah satu tugas besar dari lima tugas
besar yang diwajibkan di Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang. Secara
umum hal-hal yang melatarbelakangi dari diadakannya tugas besar adalah sebagai syarat untuk
melakukan Praktek Kerja Nyata. Hal tersebut dapat menjadikan motivator bagi kita semua untuk terus
belajar secara mendalam.

Jika dalam penanganan tugas-tugas besar kurang efektif maka, para Mahasiswa akan kewalahan
ketika menghadapi lapangan karena kurangnya pengalaman dalam mengerjakan sebuah system Irigasi.
Dengan adanya tugas besar ini diharapkan terbentuk insan-insan akademis yang mampu bersaing dalam
ilmu teknik sipil sehingga dalam menapaki era globalisasi yang makin global kita tidak akan ketinggalan
teknologi dari negara lain.

1.2 Maksud Dan Tujuan

Dengan diadakannya Tugas Besar Teknik Irigasi dan Bangunan Air yang telah dilaksanakan ini
dimaksudkan agar mahasiswa memiliki gambaran tentang berbagai hal yang berhubungan dengan
perencanaan system irigasi yang meliputi berbagai macam perencanaan bangunan Irigasi.

Sedang tujuan diadakannya Tugas Besar Irigasi dan Bangunan Air adalah untuk mempelajari cara
perencanaan system irigasi sesuai dengan standart Direktorat jenderal Pengairan.

1.3 Manfaat

Tugas Besar Teknik Irigasi dan Bangunan Air bermanfaat sebagai modal untuk menghadapi
lapangan dan sebagai penunjang dalam perkuliahan. Sehingga dengan adanya Tugas Besar ini diharapkan
nantinya bila menghadapi lapangan sudah terbiasa.

1
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Analisa Hidrologi Secara Umum
Analisa hidrologi merupakan suatu analisa awal dalam menangani penaggulangan banjir dan
perencanaan sistem bendung untuk mengetahui besarnya debit yang akan dialirkan sehingga dapat
ditentukan dimensi penampang melintang bendung. Besarnya debit yang dipakai sebagai dasar
perencanaan dalam penanggulangan banjir adalah debit rancangan yang didapat dari penjumlahan debit
hujan rencana pada periode ulang tertentu.

2.1.1. Ketersediaan Data


2.1.1.1. Data Klimatologi
Klimatologi adalah studi mengenai iklim, secara ilmiah didefinisikan sebagai kondisi cuaca yang
dirata-ratakan selama periode waktu yang panjang. Klimatologi juga mencakup aspek oseanografi dan
biogeokimia. Pengetahuan dasar dari iklim bisa digunakan dalam peramalan cuaca menggunakan metode
analogi dalam kasus ENSO, Osilasi Madden-Julian, Osilasi Atlantik Utara, dan sebagainya. Model iklim
juga digunakan untuk mempelajari dinamika cuaca dan sistem iklim untuk memproyeksikan iklim pada
masa depan.

Klimatologi dilakukan dengan berbagai cara salah satunya yaitu paleoklimatologi. Paleoklimatologi
adalah memproyeksikan ulang iklim pada masa lalu dengan memeriksa catatan seperti inti es dan cincin
pertumbuhan pohon (dendroklimatologi). Paleotempestologi menggunakan catatan yang sama untuk
menentukan frekuensi badai dalam jangka waktu ribuan tahun lamanya. Studi kontemporer iklim
melibatkan data meterologi yang diakumulasikan dalam jangka waktu beberapa tahun, seperti data curah
hujan, temperatur, dan komposisi atmosfer.

2.1.1.2. Data Hujan


Data hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang
diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan
infiltrasi. Terdapat beberapa cara mengukur curah hujan. Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air
hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah
hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air
setinggi satu millimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Curah hujan kumulatif (mm) merupakan
jumlah hujan yang terkumpul dalam rentang waktu kumulatif tersebut. Dalam periode musim, rentang
waktunya adalah rata-rata panjang musim pada masing-masing Daerah Prakiraan Musim (DPM).

Sifat hujan merupakan perbandingan antara jumlah curah hujan selama rentang waktu yang
ditetapkan (satu periode musim kemarau) dengan jumlah curah hujan normalnya (rata-rata selama 30
tahun periode 1971- 2000). Sifat hujan dibagi menjadi 3 (tiga) katagori, yaitu :

2
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
a. Diatas Normal (AN) : jika nilai curah hujan lebih dari 115% terhadap rata-ratanya.
b. Normal (N) : jika nilai curah hujan antara 85%--115% terhadap rata-ratanya.
c. Dibawah Normal (BN) : jika nilai curah hujan kurang dari 85% terhadap rata-ratanya.

2.1.2. Analisa Frekuensi Debit Banjir


Frekuensi adalah besarnya kemungkinan suatu besaran debit hujan yang disamai atau dilampaui,
Perhitungan debit banjir rencana dimaksudkan untuk mengingat adanya hubungan antara hujan dan aliran
sungai dimana besarnya aliran dalam sungai ditentukan dari besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah,
lama waktu hujan dan cirri-ciri daerah alirannya.

Analisis frekuensi dilakukan untuk mencari distribusi yang sesuai dengan data curah hujan yang
digunakan. Dalam analisis ini jenis distribusi frekuensi yang digunakan dalam perhitungan curah hujan
rencana adalah Metode Log Pearson III, Gumbel, Normal.

2.1.2.1.Metode Log Pearson III


Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson adalah dengan mengkorvesikan
rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis.

Nilai rerata
 logx
logXr 
n
Standar deviasi
 logX  logXr 
Sd 
n 1
Koefisien kepencengan (Cs)
n  logX  logXr 
3
Cs 
n  n  1 n  2  logX 
3

Besarnya curah hujan rancangan dengan periode ulang T tahun adalah sebagai berikut:
Log XT = log Xr + K.Sd
K = faktor frekuensi untuk distribusi Log Pearson III yang besarnya tergantung harga Cs dan
Kala ulang T

2.1.2.2. Metode E.J Gumbel Type I


MetodeE.J. Gumbel Type I dengan persamaan sebagai berikut :

X = Xr+K . Sx
n
1
Xr= ∑ Xi
n 1
3
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
n n
∑ Xi 2− Xr ∑ Xii
1 1
Sx =
n−1

YT-Yn
K=
Sn
dimana :
X = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan ran¬cangan untuk periode
ulang pada T tahun.
Xr = Harga rerata dari data
Sx = Standart deviasi
K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return period) dan tipe
distribusi frekuensi.
YT = Reduced variate sebagai fungsi periode ulang T
= - Ln [ - Ln (T - 1)/T]
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n
Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n
T = Kala ulang (tahun)

Dengan mensubstitusikan ketiga persamaan diatas diperoleh :


( YT-Yn )
XT = X+ .Sx
Sn
Jika :
1 Sx
()( )
a
=
Sn
Sx
b = X- ( )
Sn
Yn

Persamaan diatas menjadi :


1
XT = b+ ()
a
. .YT

dimana :
XT = Debit banjir dengan kala ulang T tahun
YT = Reduced variate
2.1.2.3. Metode Normal

Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama dengan nol (Cs = 0), dengan
koefisien kurtosis Ck = 3. Perhitungan curah hujan rancangan dengan metode Distribusi Normal dapat
menggunakan persamaan distribusi empiris sebagai berikut (Soewarno, 1995 : 116):

4
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
X = X + k.S
dengan:
X = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan besar peluang tertentu atau pada periode
ulang tertentu.
X = Nilai rata-rata hitung variat
S = Deviasi standar nilai variat
k = Variabel reduksi Gauss

2.2. Bangunan Bendung

Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang pada sungai atau
sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun,
sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkan dan untuk
mengendalikan aliran, angkutan sedimen, dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara
aman, efektif, efisien, dan optimal.

2.2.1. Bendung Tetap (Fixed Weir, Uncontrolled Weir)

Bendung tetap atau bendung pelimpah adalah jenis bendung yang tinggi pembendungannya tidak
dapat diubah, sehingga muka air di hulu bendung tidak dapat diatur sesuai yang dikehendaki.

Bendung tetap terbuat dari pasangan batu, dibangun melintang di sungai, sehingga akan
memberikan tinggi air minimum kepada bangunan intake untuk keperluan irigasi, dan merupakan
penghalang selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan di udik bendung. Bendung tetap
terdiri dari tubuh bendung dan mercu bendung. Tubuh bendung merupakan ambang tetap yang berfungsi
untuk meninggikan taraf muka air sungai. Mercu bendung berfungsi untuk mengatur tinggi air minimum,
melewatkan debit banjir, dan untuk membatasi tinggi genangan yang akan terjadi di hulu bendung.
Bendung tetap biasanya dibangun pada hulu sungai dengan karakteristik tebing-tebing sungai yang lebih
curam dari pada bagian hilir

2.2.2. Bendung Gerak (Gated weir, Barrage)

Bendung gerak adalah jenis bendung yang tinggi pembendungannya dapat diubah sesuai dengan
yang dikehendaki. Pada bendung gerak, elevasi muka air di hulu bendung dapat dikendalikan naik atau
turun sesuai yang dikehendaki dengan membuka atau menutup pintu air (gate). Bendung gerak biasanya
dibangun pada daerah hilir sungai atau muara. Pada daerah hilir sungai atau muara sungai kebanyakan
tebing-tebing sungai relative lebih landai atau datar dari pada di daerah hulu. Pada saat kondisi banjir,
maka elevasi muka air sisi hulu bendung gerak yang dibangun di daerah hilir bisa diturunkan dengan

5
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
membuka pintu-pintu air (gate) sehingga air tidak meluber kemana-mana (tidak membanjiri daerah yang
luas) karena air akan mengalir lewat pintu yang telah terbuka kea rah hilir (downstream).

2.2.3. Penentuan Lokasi Bendung

Penentuan lokasi bendung diambil dari berbagai pertimbangan-pertimbangan yang optimum dengan
memperhatikan hal-hal berikut :
1. Bagian sungai yang lurus dengan bentang terpendek (jarak antara tebing kiri-tebing kanan).
2. Terdapat alur yang stabil di dekat lokasi bangunan pengambilan (intake structure).
3. Air sungai yang akan disadap mencukupi meskipun pada saat musim kemarau.
4. Sedikit sedimen yang masuk pada saat penyadapan.
5. Dampak pembangunan bendung adalah kecil baik ke arah hulu dan hilir.
6. Stabilitas bendung bisa tercapai seiring dengan biaya yang ekonomis.

2.2.4. Data Perencanaan

1. Peta topografi, untuk menentukan tata letak bendung.


2. Data geologi teknik lokasi tapak bendung, untuk menentukan karakteristik pondasi bendung.
3. Data hidrologi, untuk menentukan besaran debit banjir rencana.
4. Data morfologi sungai, untuk menentukan besaran angkutan sedimen.
5. Data karakteristik sungai, untuk menentukan hubungan antara besaran debit sungai dengan elevasi
muka air banjir.
6. Keadaan batas pada jaringan irigasi, untuk menentukan dimensi bendung dan bangunan intake.

2.3. Bangunan Utama Bendung

2.3.1. Mercu Bendung

Mercu bendung yaitu bagian atas tubuh bendung dimana aliran dari hulu dapat melimpah ke hilir.
Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air minimum di sungai bagian hulu bendung, Sebagai
pengempang sungai dan sebagai pelimpah aliran sungai, letak mercu bendung bersama-sama tubuh
bendung diusahakan tegak lurus arah aliran yang menuju bendung terbagi rata.

Tinggi mercu bendung (p) yaitu beda ketinggian antara elevasi lantai hulu dan elevasi mercu. Untuk
penentuan tinggi mercu bendung, utamanya didasarkan pada kebutuhan energi (head). Yang harus
diperhatikan dalam menentukan tinggi mercu bending antara lain :
1. Kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan.

6
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
2. Kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan.
3. Tinggi muka air genangan yang akan terjadi.
4. Kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang terjadi di bendung.

Gambar 2.1. Macam bentuk mercu bendung


(Sumber: KP 02 halaman 50)

2.3.1.1. Mercu Bulat

Untuk bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi (44%)
dibandingkan koefisien bendung ambang lebar. Tipe ini banyak memberikan keuntungan karena akan
mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi karena
lengkung stream line dan tekanan negatif pada mercu. Untuk bendung dengan 2 jari-jari hilir akan
digunakan untuk menemukan harga koefisien debit.

Gambar 2.2. Bendung dengan mercu bulat


(sumber: KP 02 halaman 52)

Dari Gambar 2.2 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar antara 0,3
sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1 sampai 0,7 kali Hmaks. Persamaan tinggi
energi-debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat adalah:

2 2
Q = Cd x

3 3
x g x Be x H 11.5

Dimana :
7
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m

Koefisien debit Cd adalah hasil dari :


 C0 yang merupakan fungsi H1/r. C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0
seperti diperlihatkan pada grafik 2.1.
 C1 yang merupakan fungsi p/H1 (grafik 2.2)
 C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung (grafik 2.3)

Grafik 2.1. Harga koefesien C0 sebagai fungsi perbandingan H1/r

Grafik 2.2. Harga koefesien C1 sebagai fungsi perbandingan P/H1


8
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Grafik 2.3. Harga koefesien C2 sebagai fungsi perbandingan P/H1

2.3.1.2. Mercu Ogee

Bentuk mercu type ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi.
Sehingga mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan mercu sewaktu
bendung mengalirkan air pada debit rencananya. Untuk bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan
kemiringan permukaan hilir. Salah satu alasan dalam perencanaan digunakan tipe ogee adalah karena
tanah disepanjang kolam olak, tanah berada dalam keadaan baik, maka tipe mercu yang cocok adalah tipe
mercu ogee karena memerlukan lantai muka untuk menahan penggerusan, digunakan tumpukan batu
sepanjang kolam olak sehingga lebih hemat.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps of Engineers telah
mengembangkan persamaan berikut:

Y 1 X n
hd = K x [ hd ]
Tabel 2.1. Harga-harga K dan n

Sumber: KP 02 halaman 56

9
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Gambar 2.3. Bentuk-bentuk bendung mercu Ogee


(sumber: KP 02 halaman 57)

Persamaan antara tinggi energy dan debit untuk bending mercu Ogee adalah :

2 2
Q = Cd x

3 3
x g x Be x H 11.5

Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m

2.3.2. Lebar Bendung

Lebar mercu bendung yaitu jarak antara dua tembok pangkal bendung (abutment), termasuk lebar
bangunan pembilas dan pilar-pilarnya. Dalam penentuan lebar mercu bendung, yang harus diperhatikan :
1. Kemampuan melewatkan debit desain dengan tinggi jagaan yang cukup.
2. Batasan tinggi muka air genangan maksimum yang diijinkan pada debit desain.

Oleh karena itu, lebar mercu bendung dapat diperkirakan sebagai berikut :
1. Sama lebar dengan rata-rata sungai stabil atau pada debit penuh alur (bank full dishcharge).
2. Umumnya diambil sebesar 1,2 kali lebar sungai rata-rata pada ruas sungai yang stabil.

2.3.3. Lebar Efektif Bendung

10
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Karena adanya pintu bilas dan pilar, maka lebar bendung yang dapat mengalirkan banjir secara
efektif jadi berkurang, yang disebut lebar efektif (Beff). Pengurangan lebar tersebut disebabkan oleh tiga
komponen, yaitu :
1. Tebal pilar.
2. Bagian pintu bilas yang bentuk mercunya berbeda dari mercu bending.
3. Kontraksi pada dinding pengarah dan pilar.

Dalam perhitungan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya, diambil 80% dari lebar rencana
untuk mengompensasi perbedaan koefisien debit dibanding mercu bendung yang berbentuk bulat.
Untuk model bendung pada Gambar 2.1. Lebar efektif mercu (Be) dihubungkan dengan lebar
mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antar pangkal-pangkal bendung dan/atau tiang pilar, dengan
persamaan sebagai berikut:

Be = B – 2 x (n x Kp+Ka) x H1
Dimana :
Be = lebar effektif bendung
B = Lebar Optimal Bendung
Kp = koefisien kontraksi pada pilar
Ka = koefisien kontraksi pada dinding
n = jumlah pilar
H1 = tinggi energi (m)

Harga-harga koefisien Ka dan Kp disajikan pada table 2.1.

Gambar 2.4. Lebar efektif mercu


(Sumber: KP 02 halaman 49)

Tabel 2.2. Nilai Ka dan Kp

11
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Bentuk Pilar / Pangkal Tembok Kp Ka
  Pilar berujung segi empat dan sudut-
sudut yang dibulatkan dengan jari-jari
0,02
yang hampir sama dengan 0,1 kali tebal
pilar.
  Pilar berujung bulat 0,01
  Pilar berujung runcing 0

  Pangkal tembok segi empat dengan


O 0,20
tembok hulu pada 90 ke arah aliran
  Pangkal tembok bulat dengan
O
tembok hulu pada 90 ke arah aliran di 0,10
mana 0,5 H1> r > 0,15 H1
  Pangkal tembok bulat di mana r >
0,5 H1 dan tembok hulu tidak lebih dari 0
O
45 ke arah aliran

2.3.4. Tinggi Jagaan Bendung

Tinggi Jagaan berfungsi untuk mencegah gelombang atau kenaikan muka air yang melimpah ke
tepi sungai/bendung. Pada umumnya semakin besar debit yang diangkut, semakin besar pula tinggi
jagaan yang harus disediakan.

Fb = C x V x 1/3 Hd
Atau,
Fb = 0,6 + 0,037 x V x 1/3 Hd
Dimana :
Fb = Tinggi jagaan bendung, m
C = Koefesien debit (0,10)
V = Kecepatan air, m/dt
Hd = Tinggi air diatas bendung, m

2.4. Pintu Pembilas

Pintu pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak di dekat dan menjadi
satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk menghindarkan angkutan muatan sedimen dasar dan
mengurangi angkutan muatan sedimen layang masuk ke intake.

1. Pembilas undersluice lurus


a. Mulut undersluice diletakkan di hulu mulut intake dengan arah tegak lurus aliran menuju intake
atau menyudut 45º terhadap tembok pangkal. Lebar mulut harus lebih besar daripada 1,2 kali
lebar intake.
b. Lebar pembilas total diambil 1/6-1/10 dari lebar bentang bendung, untuk sungai-sungai yang
lebarnya kurang dari 100 meter. Lebar satu lubang maksimum 2,5 m untuk kemudahan operasi
pintu, dan jumlah lubang tidak lebih dari tiga buah.
12
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
c. Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan termasuk pilar-pilarnya
d. Tinggi lubang undersluice diambil 1,5 m, usahakan lebih tinggi dari 1 meter tetapi tidak lebih
tinggi dari 2 meter.
e. Elevasi lantai lubang direncanakan :
 Sama tinggi dengan lantai hulu bendung.
 Lebih rendah dari lantai hulu bendung.
 Lebih tinggi dari lantai hulu bendung.

2. Pintu pembilas bawah


Fungsi pintu bawah adalah untuk pembilasan sedimen yang terdapat di bawah, di hulu dan
disekitar mulut underesluice. Jenis pintu yang dipakai umumnya yaitu pintu sorong. Untuk satu
lubang pintu sorong lebar maksimum 2,5 m sedangkan untuk pintu yang dioperasikan dengan mesin
dibuat antara 2,5-5 m.
3. Pilar pembilas
Pilar pembilas berfungsi untuk penempatan pintu-pintu, undersluice dan perlengkapan lainnya.
Lebar pilar sisi bagian luar dapat diambil sampai dengan 2 m dan sisi bagian dalam antara 1 – 1,5 m.
4. Sponeng dan stang pintu
Sponeng berfungsi untuk menahan tekanan air pada pintu. Ukuran sponeng bervariasi yaitu
0,25 x 0,25 m atau 0,25 x 0,3 m. Sedangkan stang pintu berfungsi untuk mengangkat dan
menurunkan pintu.
5. Tembok baya-baya
Berfungsi untuk mencegah angkutan sedimen dasar meloncat dari hulu bendung ke atas plat
undersluice. Tinggi mercu tembok baya-baya diambil antara 0,5 m dan 1 m di atas mercu bendung.
6. Pembilas Shunt Undersluice
Shunt undersluice adalah bangunan undersluice yang penempatannya di luar bentang sungai
dan atau di luar pangkal bendung, di bagian samping melengkung ke dalam dan terlindung di
belakang tembok pangkal.

2.5. Bangunan Pengambilan/Intake

Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi sebagai penyadap aliran air
sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen, serta menghindarkan sedimen dasar sungai dan sampah
masuk ke intake. Pintu pengambilan diletakkan 10 s/d 15 meter di hulu pintu penguras bending.
Pengambilan di sisi kanan sungai, lay out pengambilan direncanakan membentuk sudut 45 o kea rah hulu.
Intake terdiri dari bermacam jenis, yaitu :

1. Intake biasa, yang umum direncanakan yaitu intake dengan pintu berlubang satu atau lebih dan
dilengkapi dengan pintu dinding banjir.

13
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
2. Intake gorong-gorong, tanpa pintu di bagian udik. Pintu diletakkan di bagian hilir gorong-gorong.
3. Intake frontal, intake diletakkan di tembok pangkal, jauh dari bangunan pembilas atau bending.

2.5.1. Lantai/Dasar Intake

Lantai intake dirancang datar, tanpa kemiringan. Di hilir pintu lantai dapat berbentuk kemiringan
dan dengan bentuk terjunan sekitar 0,5 m. Lantai intake bila di awal kantong sedimen bisa berbentuk
datar dan dengan kemiringan tertentu. Ketinggian lantai intake, bila intake ditempatkan pada bangunan
pembilas dengan undersluice :

a. Sama tinggi dengan plat lantai undersluice.


b. Sampai dengan 0,5 m di atas plat undersluice.
c. Tergantung pada keadaan tertentu.
d. 0,5 m jika sungai mengangkut lanau.
e. 1 m jika sungai mengangkut pasir dan kerikil.
f. 1,5 m jika sungai mengangkut kerikil dan bongkah.

2.5.2. Pintu Sorong

Pintu sorong dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar tidak lebih dari 3 m. Pintu tipe
ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena untuk bukaan yang lebih besar alat-alat angkatnya akan
terlalu berat untuk menangggulangi gaya gesekan pada sponeng. Untuk bukaan yang lebih besar dapat
dipakai pintu rol, yang mempunyai keuntungan tambahan karena di bagian atas terdapat lebih sedikit
gesekan, dan pintu dapat diangkat dengan kabel baja atau rantai baja. Ada dua tipe pintu rol yang dapat
dipertimbangkan, yaitu pintu Stoney dengan roda yang tidak dipasang pada pintu, tetapi pada kerangka
yang terpisah;dan pintu rol biasa yang dipasang langsung pada pintu.
Lebar pintu intake dapat dihitung dengan rumus pengaliran sebagai berikut:

2 2
Q =
3
x Cd x b x a x
√3
x g x h11.5

Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
b = Lebar efektif mercu bendung, meter
a = Tinggi bukaan pintu, meter
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
h1 = Tinggi air di hulu, meter

2.6. Bangun an Peredam Energi

14
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir tubuh bendung yang
terdiri dari beberapa tipe, bentuk dan di kanan kirinya dibatasi oleh tembok pangkal bendung dilanjutkan
dengan tembok sayap hilir dengan bentuk tertentu. Fungsi bangunan ini adalah untuk meredam energi air
akibat pembendungan, agar air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat yang
membahayakan struktur.

Bangunan peredam energi bendung terdiri atas berbagai macam tipe antara lain yaitu :
1. Vlughter
2. USBR
3. SAF
4. Schooklitch
5. MDO, MDS dan MDL, dll

Prinsip pemecahan energi pada bangunan peredam energi adalah dengan cara menimbulkan
gesekan air dengan lantai dan dinding struktur, gesekan air dengan air, membentuk pusaran air berbalik
vertikal ke atas dan ke bawah serta pusaran arah horizontal dan menciptakan benturan aliran ke struktur
serta membuat loncatan air di dalam ruang olakan. Sementara itu, dalam memilih tipe bangunan peredam
energi sangat bergantung kepada berbagai factor, antara lain :
1. Tinggi pembendungan.
2. Besarnya nilai bilangan Froude.
3. Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan tekan, diameter butir.
4. Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.
5. Kemungkinan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di hilir bendung.
6. Keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran tidak sempurna/tenggelam,
loncatan aliran yang lebih rendah atau lebih tinggi dan sama dengan kedalaman muka air hilir (tail
water).

2.6.1. Kolam Olak

Tipe kolam olak yang akan direncana di sebelah hilir bangunan bergantung pada energi air yang
masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada bahan konstruksi kolam olak. Berdasarkan
bilangan Froude, dapat dibuat pengelompokan-pengelompokan berikut dalam perencanaan kolam :
1. Untuk Fru ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak; pada saluran tanah, bagian hilir harus dilindungi dari
bahaya erosi; saluran pasangan batu atau beton tidak memerlukan lindungan khusus.
2. Bila 1,7 < Fru ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi secara efektif. Pada
umumnya kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan baik. Untuk penurunan muka
air ΔZ < 1,5 m dapat dipakai bangunan terjun tegak.
3. Jika 2,5 < Fru ≤ 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam memilih kolam olak yang
tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang
15
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
jauh di saluran. Cara mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak untuk bilangan Froude
ini mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok halangnya atau menambah
intensitas pusaran dengan pemasangan blok depan kolam. Blok ini harus berukuran besar (USBR
tipe IV). Tetapi pada prakteknya akan lebih baik untuk tidak merencanakan kolam olak jika 2,5 <
Fru < 4,5. Sebaiknya geometrinya diubah untuk memperbesar atau memperkecil bilangan Froude
dan memakai kolam dari kategori lain.
4. Kalau Fru ≥ 4,5 ini akan merupakan kolam yang paling ekonomis. karena kolam ini pendek. Tipe
ini, termasuk kolam olak USBR tipe III yang dilengkapi dengan blok depan dan blok halang. Kolam
loncat air yang sarna dengan tangga di bagian ujungnya akan jauh lebih panjang dan mungkin harus
digunakan dengan pasangan batu.

2.6.2. Kolam Loncat Air

Gambar 2.5. Metode perencanaan kolam loncat air


(Sumber: KP 02 halaman 67)

Gambar 2.5 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari grafik q versus H1 dan
tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat ditemukan dari:

V1 = √ 2 x g x ( 0,5 x H 1 x Z)

Q
V1 =
Y 1 x Be

Dimana :
Q = Debit rancangan, m3/dt

16
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Be = lebar efektif mercu bending, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
h1 = tinggi energy diatas ambang, m
z = tinggi jatuh, m

Dengan q = v1 x y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air adalah:

Y2
Y1
= ½ x (√ 1+8 x Fr 2−1)

V1
Dimana : Fr =
√g . Y 1
Dimana :
Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m
Fr = bilangan froude
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt

Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.5) biasanya kurang dari panjang
bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill). Ambang yang berfungsi untuk memantapkan
aliran ini umumnya ditempatkan pada jarak

Lj = 5 x (n + Y2)
Dimana :
Lj = panjang kolam loncat, m
n = tinggi ambang ujung, m
Syarat panjang kolam loncat adalah harus lebih panjang dari pada panjang loncatan air sehingga
loncatan masih atau tetap berada pada kolam loncat. Persamaan yang digunakan untuk menentukan
panjang loncatan adalah sebagai berikut:

Lj = 5 x (Y2 – Y1)
Dimana :
Lj = panjang loncatan air, m
Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m

2.6.3. Perlindungan Bagian Hilir


17
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Untuk mencegah terjadinya penggerusan saluran di sebelah hilir bangunan peredam energi, saluran
sebaiknya dilindungi dengan pasangan batu kosong atau rip-rap. Panjang lindungan harus dibuat sebagai
berikut :
1. tidak kurang dari 4 kali kedalaman normal maksimum di saluran hilir,
2. tidak lebih pendek dari peralihan tanah yang terletak antara bangunan dan saluran,
3. tidak kurang dari 1,50 m.

Gambar 2.6. Potongan memanjang peredam energi


dengan perlindungan hilir rip-rap
(Sumber: KP 04 halaman 168)

Jika dipakai pasangan batu kosong, maka diameter batu yang akan dipakai uttuk pasangan ini dapat
ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.3. Gambar ini dapat dimasukkan dengan kecepatan rata-rata
di atas ambang kolam. Jika kolam olak tidak diperlukan karena Fru ≤ 1,7, maka Gambar 2.3 harus
menggunakan kecepatan benturan (impact velocity) Vu :

Vu = √2 x g x ∆ z

Gambar 2.3 memberikan ukuran d40 campuran pasangan batu kosong. Ini berarti bahwa 60% dari
pasangan batu tersebut harus terdiri campuran dari batu-batu yang berukuran sama, atau lebih besar.

2.6.4. Perencanaan Filter

Semua pasangan batu kosong harus ditempatkan pada filter untuk mencegah hilangnya bahan dasar
yang halus. Filter terdiri dari lapisan-lapisan bahan khusus seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6, atau
dapat juga dibuat dari ijuk atau kain sintetis.

18
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Gambar 2.7. Filter diantara batu kosong dan tanah asli


(Sumber: KP 04 halaman 169)

2.7. Analisis Stabilitas Bendung

2.7.1. Gaya-gaya yang Bekerja

Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan bendung dan memiliki nilai penting dalam perencanaan
adalah sebagai berikut:
1. Tekanan air, dalam dan luar
2. Tekanan lumpur
3. Gaya gempa
4. Berat bangunan
5. Reaksi pondasi

2.7.1.1. Tekanan Air

Gaya tekan air dapat dibagi menjadi gaya hidrostatik dan gaya hidrodinamik. Tekanan hidrostatik
adalah fungsi kedalaman di bawah permukaan air. Tekanan air akan selalu bekerja tegak lurus terhadap
muka bangunan. Oleh sebab itu agar perhitungannya lebih mudah, gaya horisontal dan vertikal dikerjakan
secara terpisah. Tekanan air dinamik jarang diperhitungkan untuk stabilitas bangunan bendung dengan
tinggi energi rendah.
Gaya tekan ke atas untuk bangunan pada permukaan tanah dasar (subgrade) lebih rumit. Gaya
angkat pada pondasi itu dapat ditemukan dengan membuat jaringan aliran (flownet), atau dengan asumsi-
asumsi yang digunakan oleh Lane untuk teori angka rembesan (weighted creep theory).

19
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Gambar 2.8. Jaringan aliran dibawah dam pasangan batu pada pasir
(Sumber: Kp 02 halaman 139)

Dalam teori angka rembesan Lane, diandaikan bahwa bidang horisontal memiliki daya tahan
terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah dibandingkan dengan bidang vertikal. Ini dapat dipakai
untuk menghitung gaya tekan ke atas di bawah bendung dengan cara membagi beda tinggi energi pada
bendung sesuai dengan panjang relatif di sepanjang pondasi.
Dalam bentuk rumus, ini berarti bahwa gaya angkat pada titik x di sepanjang dasar bendung dapat
dirumuskan sebagai berikut:

Lx
Px = Hx − x ΔH
L
Dimana :
Px = gaya angkat pada x, kg/m2
L = panjang total bidang kontak bendung dan bawah tanah, m
Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu samai x, m
ΔH = beda tinggi energy, m ; Hx = tinggi energy di hulu bendung, m
2.7.1.2. Tekanan Lumpur

Tekanan lumpur dapat bekerja terhadap muka hulu bendung ataupun terhadap pintu. Untuk sudut
gesekan dalam, yang bisa diandaikan 30o untuk kebanyakan hal, menghasilkan persamaan berikut :

Ps = 1,67 x h2
Dimana :
Ps = tekanan lumpur pada 2/3 kedalaman atas lumpur yang bekerja secara horizontal
h = tinggi lumpur setiggi mercu bendung, m

2.7.1.3. Gaya Gempa

20
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Harga-harga gaya gempa diberikan dalam bagian Parameter Bangunan. Harga-harga tersebut
didasarkan pada peta Indonesia yang menujukkan berbagai daerah dan risiko. Faktor minimum yang akan
dipertimbangkanaadalah 0,1 g perapatan gravitasi sebagai harga percepatan. Faktor ini hendaknya
dipertimbangkan dengan cara mengalikannya dengan massa bangunan sebagai gaya horisontal menuju ke
arah yang paling tidak aman, yakni arah hilir.
Koefesien gempa dapat dihitung dengan rumus :

Ad = n x [ac x z]m

ad
E =
g
Dimana :
ad = percepatan gempa rencana, cm/dt2
n = koefesien jenis tanah
m = koefesien jenis tanah
ac = percepatan kejut dasar, cm/dt2
z = factor yang bergantung pada letak geografis
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
E = koefesien gempa

Tabel 2.3. Koefesien jenis tanah

Sumber: KP 06 halaman 28

2.7.1.4. Berat Bangunan

Berat bangunan bergantung kepada bahan yang dipakai untuk membuat bangunan itu. Untuk
tujuan-tujuan perencanaan pendahuluan, boleh dipakai harga-harga berat volume di bawah ini.
pasangan batu 22 kN/m3 (≈ 2.200 kgf/m3)
beton tumbuk 23 kN/m3 (≈ 2.300 kgf/m3)
beton bertulang 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3)

21
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Berat volume beton tumbuk bergantung kepada berat volume agregat serta ukuran maksimum
kerikil yang digunakan. Untuk ukuran maksimum agregat 150 mm dengan berat volume 2,65, berat
volumenya lebih dari 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3).

2.7.1.5. Reaksi Pondasi

Reaksi pondasi boleh diandaikan berbentuk trapesium dan tersebar secara linier. Tekanan vertikal
pondasi pada ujung bangunan ditentukan dengan rumus:
L ∑ MT −∑ MG
e = 2 – ∑V

∑V 6 xe
P = L x (1 ± L )
Dimana :
P = reaksi pondasi/tegangan, ton/m2
e = eksentrisitas, m
L = panjang pondasi, m
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.m

2.7.2. Kebutuhan Stabilitas

Ada tiga penyebab runtuhnya bangunan gravitasi, antara lain yaitu:


1. gelincir (sliding)
a. sepanjang sendi horisontal atau hampir horisontal di atas pondasi.
b. sepanjang pondasi, atau
c. sepanjang kampuh horisontal atau hampir horisontal dalam pondasi.
2. guling (overturning)
a. di dalam bendung
b. pada dasar (base), atau
c. pada bidang di bawah dasar.
3. erosi bawah tanah (piping).

2.7.2.1. Ketahanan Terhadap Gelincir/Geser

22
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua gaya, termasuk gaya angkat, yang
bekerja pada bendung di atas semua bidang horisontal, harus kurang dari koefisien gesekan yang
diizinkan pada bidang tersebut.

∑V x f
Sf =
∑H
Dimana :
Sf = faktor keamanan
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
H = total gaya/reaksi horisontal, ton
f = faktor gesekan = tan θ°

Untuk bangunan-bangunan kecil, seperti bangunan-bangunan yang dibicarakan di sini, di mana


berkurangnya umur bangunan, kerusakan besar dan terjadinya bencana besar belum dipertimbangkan,
harga-harga faktor keamanan (Sf) yang dapat diterima adalah: 1,50 untuk kondisi pembebanan normal
dan 1,20 untuk kondisi pembebanan ekstrem/gempa.
Untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton, harga yang aman untuk faktor gelincir yang
hanya didasarkan pada gesekan saja ternyata terlampaui, maka bangunan bisa dianggap aman jika faktor
keamanan dari rumus itu yang mencakup geser sama dengan atau lebih besar dari harga-harga faktor
keamanan yang sudah ditentukan.

c x A +∑V x tg Ø
Sf =
∑H
Dimana :
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
H = total gaya/reaksi horisontal, ton
c = kekuatan geser bahan, ton/m2
A = luas dasar yang dipertimbangkan, m2

Harga-harga faktor keamanan jika geser juga dicakup, sama dengan harga-harga yang hanya
mencakup gesekan saja, yakni 1,50 untuk kondisi normal dan 1,20 untuk kondisi ekstrem. Untuk beton, c
(satuan kekuatan geser) boleh diambil 1.100 kN/m2.

2.7.2.2. Ketahanan Terhadap Guling

Agar bangunan aman terhadap guling, maka resultante semua gaya yang bekerja pada bagian
bangunan di atas bidang horisontal, termasuk gaya angkat, harus memotong bidang ini pada teras. Tidak
boleh ada tarikan pada bidang irisan mana pun. Besarnya tegangan dalam bangunan dan pondasi harus
tetap dipertahankan pada harga-harga maksimal yang dianjurkan.

23
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
∑ MT
Sf =
∑ MG
Dimana :
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.

2.7.2.3. Ketahanan Terhadap Piping

Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dianjurkan dicek dengan jalan membuat jaringan
aliran/flownet. Dalam hal ini ditemui kesulitan berupa keterbatasan waktu pengerjaan dan tidak
tersedianya perangkat lunak untuk menganalisa jaringan aliran, maka perhitungan dengan beberapa
metode empiris dapat diterapkan, seperti:
1. Metode Bligh
2. Metode Lane
3. Metode Koshia

Metode Lane, disebut metode angka rembesan Lane (weighted creep ratio method), adalah yang
dianjurkan untuk mengecek bangunan-bangunan utama untuk mengetahui adanya erosi bawah tanah.
Metode ini memberikan hasil yang aman dan mudah dipakai. Untuk bangunan-bangunan yang relative
kecil, metode-metode lain mungkin dapat memberikan hasil-hasil yang lebih baik, tetapi penggunaannya
lebih sulit.
Di sepanjang jalur perkolasi, kemiringan yang lebih curam dari 45 0 dianggap vertikal dan yang
kurang dari 450. Oleh karena itu, rumusnya adalah:

1
Σ Lv + Σ L H
CL = 3
H
Dimana :
CL = angka rembesan lane
Lv = jumlah panjang vertikal, m
LH = jumlah panjang horisontal, m
H = beda tinggi muka air, m

Tabel 2.4. Harga-harga minimum angka rembesan Lane dan Bligh

24
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Angka-angka rembesan pada babel 2.4 di atas sebaiknya dipakai:


1. 100% jika tidak dipakai pembuang, tidak dibuat jaringan aliran dan tidak dilakukan penyelidikan
dengan model;
2. 80% kalau ada pembuangan air, tapi tidak ada penyelidikan maupun jaringan aliran;
3. 70% bila semua bagian tercakup.

25
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB I

Hidrologi

Menggunakan Metode LOG PEARSON III

 Diketahui data Debit Banjir di Sungai sebagai berikut:

Tahun Debit Banjir (m3/dt)


1999 20.3
2000 21.8
2001 27.8
2002 33.1
2003 49.4
2004 24.5
2005 29.9
2006 24.8
2007 15.4
2008 25
2009 23.9
2010 18.8
2011 23.6
2012 34.4
2013 26.6
2014 35.5
2015 22.3
2016 24.4
2017 32
2018 38.5

Cara pengerjaan:

No Xi Log Xi (Log Xi – Log Xirt) (Log Xi – Log Xirt)2 (Log Xi – Log Xirt)3

1 2 3 4 5 6
1 20,3 1,307 -0,118 0,014 -0,00164

2 21,8 1,338 -0,087 0,008 -0,00066

26
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
3 27,8 1,444 0,019 0,000 0,00001

4 33,1 1,52 0,094 0,009 0,00084

5 49.,4 1,694 0,268 0,072 0,01929

6 24,5 1,389 -0,036 0,001 -0,00005

7 29,9 1,476 0,050 0,003 0,00013

8 24,8 1,394 -0,031 0,001 -0,00003

9 15,4 1,188 -0,238 0,057 -0,01348

10 25 1,398 -0,028 0,001 -0,00002

23,9 1,378 -0,047 0,002 -0,00010


11
18,8 1,274 -0,151 0,023 -0,00347
12
23,6 1,373 -0,053 0,003 -0,00015
13
14 34,4 1,535 0,110 0,012 0,00132

15 26,6 1,425 -0,001 0,000 0,00000

16 35,5 1,550 0,125 0,016 0,00194

17 22,3 1,348 -0,077 0,006 -0,00046

18 24,4 1,387 -0,038 0,001 -0,00006

19 32 1,505 0,080 0,006 0,00050

20 38,5 1,585 0,160 0,026 0,00409

Jumlah 28,51 0,00 0,260 0,008002

Log Xirt 1,426  

 Perhitungan:
∑ log Xi
 Log Xirt =
20

28,510
=
20

= 1,426

 Dihitung harga simpangan baku/ Standar Deviasi


27
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
∑(log Xi – log Xi rt )2
Sd =
√ n−1

0,26
=
√ 20−1

= 0,117

 Dihitung Koefisien Kemencengan

n ∑( log xi−log xirt )3


Cs =
( n−1 )( n−2 ) sd 3

20(0.008)
=
( 20−1 ) ( 20−2 ) 0,117 3

= 0,292

 Menghitung Q 2,5,10,25,50,100 tahun

Tr Pt G Sd G.Sd Log XT XT

(tahun) (%) (m3/det) (m3/det)

1 2 3 4 5 6 7

2 0,5 0,0486 0,117 0,0057 1,4317 27,021

5 0,2 0,836 0,117 0,0978 1,5238 33,404

10 0,1 1,308 0,117 0,153 1,579 37,931

25 0,04 1,847 0,117 0,216 1,642 43,853

50 0,02 2,207 0,117 0,258 1,684 48,306

100 0,01 2,538 0,117 0,297 1,723 52,845

Periode Ulang (tahun)


2 5 10 25 50 100 200 1000
Kemencengan (CS)
Peluang (%)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891 3,312 4,250
0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 3,132 3,960
0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 2,949 3,670

28
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544 2,856 3,525
0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 2,763 3,380
0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326 2,576 3,090
-0,1 0,017 0,836 1,270 1,761 2,000 2,252 2,482 3,950
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,016 2,275
-0,7 0,166 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800
 Pehitungan

Dengan cara Interpolasi untuk mendapatkan nilai G :

Kala Ulang 50 Tahun

Diket : x1 = 0,2 y1 = 2,159


x2 = 0,3 y2 = 2,211
x = 0,292 y = (ditanya)

X −X 1 Y −Y 1
=
X 2− X 1 Y 2−Y 1
(0,292)−(0,2) Y −2,159
=
(0,3)−(0,2) 2,211−2,159
Maka nilai G = 2,207
 Log XT = (log Xirt) + G (Sd log X)
= 1,426 + 2,207 (0,117)
= 1,684 m3/det
 XT = 101,723
= 48,306 m3/det

29
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB II

Desain Hidraulik Pintu Pengambil (Intake)

Perencanan bangunan pengambilan didasarkan pada kebutuhan debit air untuk mengairi areal
yang telah direncanakan. Kapasitas pengambilan harus sekurang-kurangnya 120% dari kebutuhan
pengambilan guna menambah fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi selama
umur proyek.

2.1 Kapasitas Pengambilan


Dari soal didapat debit di Saluran Primer Kiri (Ki) = 3,6 m3/det

QnKi = 1,2 × Qintake

= 1,2 × 3,6 m3/det

= 4,32 m3/det

2.2 Dimensi Bangunan Pengambilan

2.3.1 Saluran Primer Kiri

Diketahui :

Tabel 2.1 Karakteristik Saluran (KP-03, Lampiran 2 halaman 6)

30
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Vijin primer = 1,0 m/dt


m = 1,5
Perbandinga
n b/h Q n
(m3/dt)
2,
3,00
3
4,32 ?
2,
4,50
7
Interpolasi :

4,5−3 4,32−3
=
2,7−2,3 X−2,3

X = 2,652
b/h = 2,652
b = 2,652 h

Q = A×V
4,32 m3/dt = (2,652 h2 + 1,5 h2)×1,0 m/dt
4,32 m3/dt = (4,152 h2)×1,0 m/dt
6,72
h =

4,152× 0,9
= 1,04 m
Tabel 2.2 Tinggi Jagaan Minimum untuk Saluran Tanah

Karena Qki = 6,72 m3/dt maka tinggi jagaan minimum adalah 0,60 m, maka didapat nilai h:
h = 1,04 + 0,6 = 1,64 m
b = 2,652 h = 2,652 × 1,64 = 4,35 m
2.3 Pintu Intake
Pintu pengambilan berfungsi mengatur banyaknya air yang masuk saluran dan mencegah masuknya
butiran padat dan kasar di dalam saluran.

Persamaan yang di gunakan (KP-02, Halaman 113):

Q = µ . b . a . √ (2 . g . Z)

Dimana : Q =debit, (m3/dt)


µ = koefisien debit, 0,80

31
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
g = percepatan gravitasi, (9,81 m/dt2)
b = lebar bukaan, m
a = tinggi bukaan, m
z = kehilangan tinggi energy pada bukaan, m

2.3.1 Saluran Primer Kiri


Diketahui : Q = debit, (4,32 m3/dt)
µ = koefisien debit, 0,80
g = percepatan gravitasi, (9,81 m/dt2)
b = 4,35 m
z = 0,2 m

Q = µ . b . a . √ (2 . g . z)
4,32 m3/dt = 0,80 . 3,35 . a .√ (2 .9,81.0,2)
4,32 m3/dt = 5,31 . a
a = 1,23 m
(di pakai tinggi pintu = 1,3 m)
Q
Lebar Bukaan =
V xa

4,32 m3 /dt
= 1,0 m x 1,3 m
dt
= 3,3 m
Lebar Pintu = 3,3 m
(di pakai 3 pintu dengan lebar masing-masing 1,1 m)

32
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

2.4 Elevasi Mercu Bendung


Muka air rencana di depan pengambilan tergantung pada:
a. Elevasi muka air yang di perlukan untuk irigasi.
b. Beda tinggi kantong lumpur (jika ada) yang di perlukan untuk membilas sedimen dari kantong.
c. Beda tinggi energi pada bangunan pembilas yang di perlukan untuk membilas sedimen dekat
pintu pengambilan.

Jadi untuk merencanakan tinggi muka air rencana, harus di pertimbangkan pula:
 Elevasi sawah tertinggi yang akan diairi.
 Tinggi air di sawah.
 Kehilangan tinggi energi di saluran dan boks tersier.
 Kehilangan energi di bangunan sadap.
 Kemiringan saluran primer.
 Kehilangan energi di bangunan utama.

Elevasi mercu bendung direncanakan 0,10 m di atas elevasi muka air pengambilan yang dibutuhkan
untuk mencegah kehilangan air pada bendung karena gelombang.

33
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Data perencanaan

 n = 0,05 (KP 02 Hal 111)


 p = 0,50 – 1,50 m (KP 02 Hal 111)
 d = 0,15 – 0,25 m (KP 02 Hal 111), di rencanakan 0,2 m
 z = 0,15 – 0,30 m (KP 02 Hal 111), di rencanakan 0,2 m
 Elevasi dasar sungai = + 219,75
 Elevasi dasar intake = + 220,50 (diketahui dari soal)

2.4.1 Saluran Primer Kiri

p = (Elevasi dasar intake + d) – Elevasi dasar sungai


= (+220,50 + 0,2) – (+219,75)
= 0,95 m

Elevasi muka air di hilir pintu intake = Elevasi dasar intake + d + a + n


= (+220,50) + 0,2 + 0,75 + 0,05
= + 221,50

Elevasi muka air di hulu intake = Elevasi muka air pengambilan


= Elevasi muka air di hilir pintu intake + z
= (+ 221,50) + 0,2
= + 221,70

Elevasi Mercu Bendung = Elevasi muka air pengambilan + 0,10


= (+221,70 + 0,10)
= + 221,80

Tinggi Mercu Bendung (P) = Elevasi Mercu Bendung – Elevasi dasar sungai

= (+221,80) – (+219,75)

= 2,05 m ≈ 2,1

Dipakai tinggi mercu 2,1 m, dengan elevasi +221,80

34
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB III

Lebar Pintu Pembilas, Pilar Pengarah dan Lebar Efektif Bendung

3.1 Lebar Bendung (LB)

Lebar bendung, yaitu jarak antar pangkal-pangkalnya sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai
pada bagian yang stabil. Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata
sungai pada ruas yang stabil (KP-02, Halaman 48).
LB = 19,25 m

3.2 Lebar Pintu Pembilas

Lantai pembilas merupakan kantong tempat mengendapnya bahan-bahan kasar di depan pembilas
pengambilan. Sedimen yang terkumpul dapat di bilas dengan jalan membuka pintu pembilas secara
berkala guna menciptakan alirab terkonsentrasi tepat di depan pengambillan.
Lebar pembilas dapat di peroleh dengan (KP-02, Halaman 116):
 Lebar pembilas ditambah tebal pilar pembagi sebaiknya sama dengan 1/6-1/10 dari lebar bersih
bendung.
 Lebar pembilas sebaiknya di ambil 60% dari lebar total pengambilan termsuk pilar-pilarnya.
Perhitungan lebar pembilas
1
Lebar Pembilas = × Lebar Bendung
6
1
= x (19,25) = 3,2 m ≈ 3 m ( 1m, 2 pintu )
6
Direncanakan :
 2 Pintu pembilas dengan lebar 1 m
 Pilar yang dibutuhkan = 2 (termasuk pilar pengarah 1 dan pilar pemisah 1)
 Lebar Pilar Pengarah = 0,50 m
 Lebar Pilar Pemisah = 0,50 m
 Lebar Dinding Penahan = 2 x 0,5 m

3.3 Lebar efektif Mercu (Be)

Lebar efektif mercu (Be) di hubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak
antara pangkal-pangkal bendung dan/tiang pancang, dengan persamaan berikut (KP-02, Halaman 49):

Be = B – 2(n . Kp + Ka) He

Dimana : n = jumlah pilar


Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = koefisien pangkal bendung
He= tinggi energy, m
Be= lebar efektif mercu
35
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
B = lebar mercu

Tabel 3.1 Harga-harga koefisien ka dan kp

 Perhitungan lebar efektif mercu.


Diketahui lebar bendung 19,25 m
B = LB – 2× tebal dinding penahan – n× lebar pengarah – n × pilar pembagi
= 19,25−(2 ×0,5) – (1 ×1)– (1 ×1)
= 16,25 m

Be = B – 2(n × Kp+ Ka)He


= 16,25−2(2× 0,01+0,10)He
= 16,25 m – 0,24 He

3.4 Mencari Nilai Hd dan He


Debit air diatas ambang  tinggi muka air (H)  He

2 2
Q =
3 3 √
x Cd x x g x Be x He3/2

Q = Q50 = 48,306 m3/det


Cd = asumsi = 1,38
2 2
48,306 =
3 3√
x 1,38 x x 9,81 x (16,25 – 0,24 He )x He3/2

He = 1,17 m

Kontrol :

2 2
48,306 =
3 3 √
x 1,38 x x 9,81 x (16,25 – 0,24 x 1,18) x 1,183/2

48,306  48,30612 (m3/det)

Maka He yang di gunakan = 1,17 m

Be = 16,25−(0,24 × 1,18) = 15,97 m

36
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Perhitungan Hd
V2
He = Hd+
2g
Q 48,306 48,306
V = ¿ =
A Be(P+ Hd) 15,97(2,1+ Hd)
2
48,306
( )
1,17 = Hd + 15,97(2,1+ Hd)
2 x 9,81
Hd = 1,12 m

Kontrol
Cd = C0 x C1 x C2
Misal di coba dengan data Ogee I

R = 0,5 Hd
R = 0,5 x 1,12
R = 0,56 m

37
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
He 1,17
- C0 = = = 2,1 , dari grafik didapat 1,35
R 0,56

Gambar 3.1 Harga-harga koefisien C0 (Kp 02 Hal 53)

P 2,1
- C1 = = = 1,18 , dari grafik didapat 0,98
He 1,17

Gambar 3.2 Harga-harga koefisien C1 (Kp 02 Hal 54)

P 2,1
- C2 = = = 1,18 dari grafik didapat 1,04
He 1,17

38
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Gambar 3.3 Harga-harga koefisien C2 (Kp 02 Hal 54)


- Kontrol
Cd = C0 x C1 x C2

1,38 = 1,35 x 0,98 x 1,04


1,38  1,375 (Mendekati Cd asumsi) » OK
- Karena nilai Cd kontrol dengan nilai Cd hitung hampir sama, maka perhitugan dapat digunakan.

39
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB IV
Mercu Bendung Tetap dan Profil Aliran

Tipe Mercu Bendung : Ogee 1

Diketahui :

 Hd = 1,12 m

Sumber: KP 2 Halaman 57

R1 = 0,5 x Hd X1 = 0,175 x Hd
= 0,5 x 1,12 = 0,175 x 1,12
= 0,56 m = 0,196 m

R2 = 0,2 x Hd X2 = 0,282 x Hd
= 0,2 x 1,12 = 0,282 x 1,12
= 0,224 m = 0,316 m
 Lengkung Hilir
X1,85 = 2 × Hd0,85 ×Y
X1,85 = 2 ×1,120,85 × Y
1
Y = × X 1,85
2,2
Y = 0,45 × X 1,85

40
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
 Titik Gradien

Y’ = 0,45 ×1,85 × X 0,85 Y = 0,45 × X 1,85


Asumsikan (Y’=1) = 0,45 ×1,21,85
1 = 0,8325 × X 0,85 = 0,63 m
1
1
X = (
0,8325 )
0,85

X = 1,2 m
X Y
0,000 0,000
0,12 0,063
0,24 0,126
0,36 0,189
0,48 0,252
0,60 0,315
0,72 0,378
0,84 0,441
0,96 0,504
1,08 0,567
1,2 0,63
 Profil Muka Air diatas Ambang
Q
− √ 2 g ( Z + He+Yz )=0
Be . Yz
48,306
−√ 2 g ( Z +1,98+Yz )=0
15,97.Yz
Tabel Profil Muka air diatas Ambang

Z Yz
0,1 0,0717
0,3 0,0657
0,5 0,0607
0,7 0,0563
0,9 0,0526
1,1 0,0493
1,3 0,0463
1,5 0,0438
1,7 0,0414
1,9 0,0393
2,1 0,0374

41
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
 Kolam Loncatan Air
Menghitung Kecepatan Awal Loncatan
1

V1 = 2. g .( He+ z )
2
1

= 2.9,81.( 1,17+ 2,6)
2
= 9,1 m/dt
Q
V1 =
Be ×Y 1
48,306
9,1 =
15,97× Y 1
Y1 = 0,332 m

Menghitung Bilangan Froude

V1
Fr =
√g.Y 1

9,1
=
√ 9,81.0,332

= 5,04 > 1 (Super Kritis)

42
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB V
DESAIN PEREDAM ENERGI
Untuk meredam kecepatan yang tinggi dibuat suatu konstruksi peredam energy. Bentuk
hidrolisnya merupakan suatu pertemuan antara penampang miring, lurus, dan lengkung. Secara
garis besar kolam peredam energy dibagi menjadi empat, yaitu :
- Ruang olak Tipe Vlugter ( L < 8 m, Z < 4,5 m dan Fr < 4,5 )
- Ruang olak Tipe Schoklitsch ( L > 8 m dan Z > 4,5 m )
- Ruang olak Tipe Bucket ( material yang dibawa )
- Ruang olak Tipe USBR ( Fr > 4,5 )

5.1 Desain Peredam Energi Tipe USBR III

Diketahui
:

43
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
o z = 2,1 m
o V1 = 9,1 m/dt
o Y1 = 0,332 m
o Fr = 5,04
 Perhitungan Kedalaman Air di Atas Ambang

 D1 = 0,332 m
1 2
 D2= 2 ( √1+8 Fr −1 ) x D1

1
D 2= ( √ 1+ 8 ( 5,04 )2−1)x 0,332
2
D2=2,21 m
D2 2,21
 = 2
= 1,105 m
2
 Perhitungan Jarak Chute Blocks ke Buffle Piers
 0,8 x D2 =0,8 x 2,21
¿ 1,768 m
 Perhitungan Panjang Kolam Olak

44
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

 Fr = 5,04
L
 D2 = 2,4 (dari grafik)
L
 L = D2 x D2
= 2,4 x 2,21
= 5,3 m

45
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
 Perhitungan Buffle Piers dan End Sill

 Buffle Piers
Dimensi
H3
 D = 1,45 (dari grafik)
1

H3
 H3 = D1
x D1

= 1,45 x 0,332
= 0,48 m
 0,2 x H 3 =0,2 x 0,48
= 0,096 m
 W3 = 0,75 x H 3
= 0,75 x 0,48
= 0,36 m
Jarak
 S3 = 0,75 x H 3
= 0,75 x 0,48
= 0,36 m
 0,375 x H 3 =0,375 x 0,48
= 0,18 m

 End Sill
46
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Dimensi
H4

D1
= 1,25 (dari grafik)
H4
 H4 = D1
x D1

= 1,25 x 0,332
= 0,415 m
 0,2 x H 4 =0,2 x 0,32
= 0,083 m

47
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
BAB VI
DESAIN STRUKTUR DAN STABILITAS
6.1 Keamanan Terhadap Rembesan

Tabel Harga-harga minimum angka rembesan Lane (CL) KP 02 Hal 150

 Metode Lane
CL =
∑ 1/3 Lh+ ∑ Lv » KP 02 Hal 149
Z
Dimana :

CL = Angka rembesan Lane (lihat tabel 8.1)

∑ Lv = Jumlah panjang vertikal, m

∑ LH = Jumlah panjang horisontal, m

Z = Beda tinggi muka air, m

a. Kondisi Normal
- Panjang jalur rembesan (Ld)
Ld = ∑ 1/3 LH + ∑ LV = 11,3 m
- Perhitungan angka rembesan Lane (CL)
Z = El. tinggi energi hulu – El. tinggi energi hilir
= +221,80 – +219,50
= 2,3 m

CLI = Ld / Z

= 11,3 / 2,3

= 4,91 > CL = 3,0 (Lempung Lunak)

48
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
b. Kondisi Banjir
- Panjang jalur rembesan (Ld)

Ld = ∑ 1/3 LH + ∑ LV = 11,3 m

- Perhitungan angka rembesan Lane (CL)


Z = El. tinggi air di hulu – El. Tinggi air di hilir
= +222,97 – +221,47
= 1,5 m

CLI = Ld / Z

= 11,3 / 1,5

= 7,53 > CL = 3,0 (Lempung Lunak)

c. Gaya angkat (Uplift)

Ld
P =H- z » KP 02 Hal 140
L

Dimana :

P = Gaya angkat, kN/m2

H = Tinggi energi di hulu bendung, m

Ld = Panjang rembesan, m

L = Total panjang rembesan, m

Z = Beda tinggi muka air di hulu dan hilir bendung, m

49
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

Tabel Perhitungan Rembesan Kondisi Normal (Metode Lane)

Px=Hx-
Panjang Rembesan Hx P=Hx-H
(Lx/L)*Z
Titik Garis Vertikal Horisontal 1/3 Horisontal Lx
(m) (m) (m) (m) (KN/m2)
A         0,00 2,1 2,1 0,000
  A-B 1 0          
B         1,00 3,1 2,90 0,204
  B-C 0 0,5 0,167        
C         1,17 3,1 2,86 0,237
  C-D 0,5 0          
D         1,67 2,6 2,26 0,339
  D-E 0 1 0,333        
E         2,00 2,6 2,19 0,407
  E-F 0,5 0          
F         2,50 3,1 2,59 0,509
  F-G 0 0,5 0,167        
G         2,67 3,1 2,56 0,543
  G-H 0,5 0          
H         3,17 2,6 1,96 0,645
  H-I 0 1 0,333        
I         3,50 2,6 1,89 0,712
  I-J 1 0          
J         4,50 1,6 0,68 0,916
  J-K 0 0,5 0,167        
K         4,67 1,6 0,65 0,950
  K-L 0,5 0          
L         5,17 2,1 1,05 1,052
  L-M 0 0,5 0,167        
M         5,33 2,1 1,01 1,086
  M-N 1,5 0          
N         6,83 3,6 2,21 1,391
  N-O 0 6 2,000        
O         8,83 3,6 1,80 1,798
  O-P 0,5 0          
P         9,33 4,1 2,20 1,900
  P-Q 0 0,5 0,167        
Q         9,50 4,1 2,17 1,934
  Q-R 1,8 0          
R         11,30 2,30 0,00 2,300
Jumlah   7,8 10,5 3,500        

50
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Tabel Perhitungan Rembesan Kondisi Banjir (Metode Lane)

Panjang Rembesan
Px=Hx- P=Hx-H
Titik Garis Vertikal Horisontal 1/3 Horisontal Lx Hx
(Lx/L)*Z
(m) (m) (m) (m) (KN/m2)
A         0,00 2,1 2,10 0,000
  A-B 1 0          
B         1,00 3,1 2,97 0,133
  B-C 0 0,5 0,167        
C         1,17 3,1 2,95 0,155
  C-D 0,5 0          
D         1,67 2,6 2,38 0,221
  D-E 0 1 0,333        
E         2,00 2,6 2,33 0,265
  E-F 0,5 0          
F         2,50 3,1 2,77 0,332
  F-G 0 0,5 0,167        
G         2,67 3,1 2,75 0,354
  G-H 0,5 0          
H         3,17 2,6 2,18 0,420
  H-I 0 1 0,333        
I         3,50 2,6 2,14 0,465
  I-J 1 0          
J         4,50 1,6 1,00 0,597
  J-K 0 0,5 0,167        
K         4,67 1,6 0,98 0,619
  K-L 0,5 0          
L         5,17 2,1 1,41 0,686
  L-M 0 0,5 0,167        
M         5,33 2,1 1,39 0,708
  M-N 1,5 0          
N         6,83 3,6 2,69 0,907
  N-O 0 6 2,000        
O         8,83 3,6 2,43 1,173
  O-P 0,5 0          
P         9,33 4,1 2,86 1,239
  P-Q 0 0,5 0,167        
Q         9,50 4,1 2,84 1,261
  Q-R 1,8 0          
R         11,30 2,30 0,80 1,500
Jumlah   7,8 10,5 3,500        

6.2 Stabilitas Bendung Kondisi Normal

51
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
1. Gaya dan momen vertikal akibat uplift

Lebar Tinggi Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi
(m) (m) (ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

U1 0,50 2,86 1 1,430 12,67 18,118


U2 0,50 0,04 1 0,010 12,76 0,128
U3 1,00 2,26 1 2,260 11,92 26,939
U4 1,00 0,07 1 0,035 12,09 0,423
U5 0,50 2,59 1 1,295 11,17 14,465
U6 0,50 0,03 1 0,008 11,26 0,084
U7 1,00 1,96 1 1,960 10,42 20,423
U8 1,00 0,07 1 0,035 10,59 0,371
U9 0,50 0,68 1 0,340 8,92 3,033
U10 0,50 0,03 1 0,008 9,26 0,069
U11 0,50 1,05 1 0,525 7,55 3,964
U12 0,50 0,04 1 0,010 7,67 0,077
U13 6,00 2,21 1 13,260 3,84 50,918
U14 6,00 0,41 1 1,230 4,95 6,089
U15 0,50 2,20 1 1,100 0,25 0,275
U16 0,50 0,03 1 0,008 0,33 0,002
∑ ∑V 23,51 ∑MV 145,38

2. Gaya vertikal akibat berat konstruksi

Lebar Tinggi Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi
(m) (m) (ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

C1 0,50 1,00 1,76 0,88 11,05 9,72


C2 1,00 0,50 1,76 0,88 10,3 9,06
C3 0,50 1,00 1,76 0,88 9,55 8,40
C4 1,00 0,50 1,76 0,88 8,8 7,74
C5 0,50 2,10 1,76 1,85 8,63 15,95
C6 0,50 1,43 1,76 1,26 8,13 10,23
C7 0,50 1,77 1,76 0,78 7,63 5,94
C8 1,00 3,27 1,76 5,76 6,63 38,16
C9 5,00 1,50 1,76 6,60 3,8 25,08
C10 0,50 1,50 1,76 1,32 0,25 0,33
C11 0,50 0,30 1,76 0,26 0,25 0,07
  ∑V 21,34 ∑MV 130,69

3. Gaya vertikal akibat berat air diatas mercu bendung

52
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Berat Jenis Gaya Lengan Momen
Notasi Lebar (m) Tinggi (m)
(ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

W1 3 2,1 1 6,30 9,8 61,74


  ∑V 6,30 ∑MV 61,74

4. Gaya horizontal akibat tekanan air

Berat Jenis Gaya Momen


Notasi Tinggi (m) Lengan (m)
(ton/m3) (ton/m) (ton.m)

Pw1 3,1 1 4,81 1,03 4,965


Pw2 1,8 1 1,62 0,60 0,972
  ∑H 6,43 ∑MH 5,94

5. Gaya horizontal akibat tekanan aktif

Tinggi Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi Ka
(m) (ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

Pa1 0,42 1,0 0,96 0,20 0,33 0,067


Pa2 0,42 0,5 0,96 0,05 0,17 0,008
Pa3 0,42 1 0,96 0,20 0,33 0,067
Pa4 0,42 0,5 0,96 0,05 0,17 0,008
Pa5 0,42 1,5 0,96 0,45 0,50 0,227
      ∑H 0,96 ∑MH 0,38

6. Gaya Horizontal akibat tekanan pasif

Tinggi Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi Kp
(m) (ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

Pp1 2,38 0,5 0,96 0,29 0,17 0,05


  ∑H 0,29 ∑MH 0,05

7. Gaya Horizontal akibat lumpur

Berat Jenis Gaya Momen


Notasi Tinggi (m) Lengan (m)
(ton/m3) (ton/m) (ton.m)

Ps 3,10 1,96 9,42 1,03 9,73

    ∑H 9,42 ∑MH 9,73

8. Gaya horizontal akibat gempa

53
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Gaya x Kh Momen
Notasi Gaya (ton) Kh Lengan (m)
(ton) (ton.m)

C1 0,88 0,18 0,16 11,05 1,75


C2 0,88 0,18 0,16 10,3 1,63
C3 0,88 0,18 0,16 9,55 1,51
C4 0,88 0,18 0,16 8,8 1,39
C5 1,85 0,18 0,33 8,63 2,87
C6 1,26 0,18 0,23 8,13 1,84
C7 0,78 0,18 0,14 7,63 1,07
C8 5,76 0,18 1,04 6,63 6,87
C9 6,60 0,18 1,19 3,8 4,51
C10 1,32 0,18 0,24 0,25 0,06
C11 0,26 0,18 0,05 0,25 0,01
∑ 21,22 ∑H 3,82 ∑MH 29,55

9. Rekapitulasi nilai dan gaya pada kondisi normal

MV MH
Gaya/tekanan V (ton) H (ton)
(ton.m) (ton.m)
Uplift (U) -23,51 -145,38    
Berat konstruksi ( C) 21,34 130,69    
Berat air (W) 6,30 69,62    
Tekanan Lumpur (Ps) 9,42 9,73    
Tekanan air (Pw)     6,43 3,99
Tekanan tanah aktif (Pa)     9,69 10,01
Tekanan tanah pasif (Pp)     -3,70 -2,22
∑ 13,55 64,66 12,41 11,78

10. Rekapitulasi nilai dan gaya pada kondisi normal dengan gempa

MV MH
Gaya/tekanan V (ton) H (ton)
(ton.m) (ton.m)
Uplift (U) -23,51 -145,38    
Berat konstruksi ( C) 21,34 130,69    
Berat air (W) 6,30 69,62    
Tekanan Lumpur (Ps) 9,42 9,73    
Tekanan air (Pw)     6,43 3,99
Tekanan tanah aktif (Pa)     9,69 10,01
Tekanan tanah pasif (Pp)     -3,70 -2,22
Akibat gempa     3,82 29,55
∑ 13,55 64,66 16,42 41,42

11. Kontrol Stabilitas

54
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
- Terhadap guling
∑ MV 64,66
Tanpa gempa, Sf = = = 5,49 ≥ 1,50 (OKE)
∑ MH 11,78

∑ MV 64,66
Dengan gempa, Sf = = = 1,91 ≥ 1,20 (OKE)
∑ MH 33,87
- Kontrol Stabilitas Terhadap geser
Diketahui : C = Cohesi = 1,72 t/m2
 = Sudut Geser = 24,2o
B = panjang dasar yang dipertimbangkan = 11,30 m

(C . B)+( tan. ∑ v)
Tanpa gempa, SF = ≥ 1,50
∑H
(1,72.11,3)+(tan 24,2.13,55)
SF = ≥ 1,50
12,41
SF = 2,6 ≥ 1,50 (OKE)

(C . B)+( tan. ∑ v)
Dengan gempa, SF = ≥ 1,25
∑H

(1,72 .11,3)+(tan24,2 .13,55)


SF = ≥ 1,25
16,42
SF = 1,77 ≥ 1,25 (OKE)

12. Kontrol Stabilitas Terhadap daya dukung

FK : Faktor Keamanan =3
d : kedalaman pondasi = 2,0 m
c : Kohesifitas = 1,72
γ : Berat jenis tanah jenuh = 1,96 t/m3
Ø : Sudut geser dalam = 24,2°
Maka faktor daya dukung dari tabel terzaghi didapat :

55
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Nc = 23,92
Nq = 11,85
Nγ = 8,95

1 1
DDT ijin :
× c × Nc + γ × d (Nq – 1) + × γ × B × Nγ
FK 2
1/FK c × Nc + γ × d (Nq – 1) + 1/2 × γ × B × Nγ
= 1/3 × 1,92 × 23,92 + 1,96 × 2,0 (11,85 – 1) + 1/2 × 1,96 × 11,3 × 8,95
= 156,95 t/m2

Keadaan tanpa gempa; B = 11,30 m

B ∑ MV −∑ MH B
e= – ≤
2 ∑V 6

11,3 64,66−11,78 11,30


= 2 – 13,55 ≤ 6

= 1,75 m ≤ 1,88 m (OKE)

∑V 6 xe 13,55 6 x 1,75
σ1 = B x ( 1 + B ) = 11,3 x (1 + 11,30 ) = 2,31 t/m2 ≤ 156,95 t/m2

∑V 6 xe 13,55 6 x 1,75
σ2 = B x ( 1 - B ) = 11,30 x ( 1 - 11,30 ) = 0,85 t/m ≤156,95 t/m
2 2

Keadaan dengan gempa; B = 11,30 m

B ∑ MV −∑ MH B
e= – ≤
2 ∑V 6
11,30 64,66−16,42 11,30
= 2 – 13,55 ≤ 6
= 1,82 m ≤ 1,88 m (OKE)

∑V 6 xe 13,55 6 x 1,82
σ1= B x (1 + B ) = 11,3 x (1 + 11,3 ) = 2,36 t/m2 ≤ 156,95 t/m2

∑V 6 xe 13,55 6 x 1,82
σ2 = B x (1 - B ) = 11,3 x (1 - 11,3 ) = 0,403 t/m ≤ 156,95 t/m
2 2

6.3 Stabilitas Bendung Kondisi Banjir

1. Gaya dan momen vertikal akibat uplift

56
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
Berat Jenis Gaya Lengan Momen
Notasi Lebar (m) Tinggi (m)
(ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

U1 0,50 2,97 1 1,485 12,67 18,815


U2 0,50 0,02 1 0,005 12,76 0,064
U3 1,00 2,38 1 2,380 11,92 28,370
U4 1,00 0,05 1 0,025 12,09 0,302
U5 0,50 2,77 1 1,385 11,17 15,470
U6 0,50 0,02 1 0,005 11,26 0,056
U7 1,00 2,18 1 2,180 10,42 22,716
U8 1,00 0,04 1 0,020 10,59 0,212
U9 0,50 1,00 1 0,500 8,92 4,460
U10 0,50 0,02 1 0,005 9,26 0,046
U11 0,50 1,41 1 0,705 7,55 5,323
U12 0,50 0,02 1 0,005 7,67 0,038
U13 6,00 2,69 1 16,140 3,84 61,978
U14 6,00 0,26 1 0,780 4,95 3,861
U15 0,50 2,86 1 1,430 0,25 0,358
U16 0,50 0,02 1 0,005 0,33 0,002
∑ ∑V 27,06 ∑MV 162,07

2. Gaya vertikal akibat berat konstruksi

Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi Lebar (m) Tinggi (m)
(ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

C1 0,50 1,00 1,76 0,88 11,05 9,72


C2 1,00 0,50 1,76 0,88 10,3 9,06
C3 0,50 1,00 1,76 0,88 9,55 8,40
C4 1,00 0,50 1,76 0,88 8,8 7,74
C5 0,50 2,10 1,76 1,85 8,63 15,95
C6 0,50 1,43 1,76 1,26 8,13 10,23
C7 0,50 1,77 1,76 0,78 7,63 5,94
C8 1,00 3,27 1,76 5,76 6,63 38,16
C9 5,00 1,50 1,76 6,60 3,8 25,08
C10 0,50 1,50 1,76 1,32 0,25 0,33
C11 0,50 0,30 1,76 0,26 0,25 0,07
  ∑V 21,34 ∑MV 130,69

3. Gaya vertikal akibat berat air diatas mercu bendung

Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi Lebar (m) Tinggi (m)
(ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

57
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
W1 3 3,27 1 9,81 9,8 96,14
  ∑V 9,81 ∑MV 96,14

4. Gaya horizontal akibat tekanan air

Berat Jenis Gaya Momen


Notasi Tinggi (m) Lengan (m)
(ton/m3) (ton/m) (ton.m)

Pw1 4,27 1 9,12 1,42 12,976


Pw2 1,8 1 1,62 0,60 0,972
  ∑H 10,74 ∑MH 13,95

5. Gaya horizontal akibat tekanan aktif

Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi Ka Tinggi (m)
(ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

Pa1 0,42 1,0 0,96 0,20 0,33 0,067


Pa2 0,42 0,5 0,96 0,05 0,17 0,008
Pa3 0,42 1 0,96 0,20 0,33 0,067
Pa4 0,42 0,5 0,96 0,05 0,17 0,008
Pa5 0,42 1,5 0,96 0,45 0,50 0,227
      ∑H 0,96 ∑MH 0,38

6. Gaya horizontal akibat tekanan pasif

Berat Jenis Gaya Lengan Momen


Notasi Kp Tinggi (m)
(ton/m3) (ton/m) (m) (ton.m)

Pp1 2,38 0,5 0,96 0,29 0,17 0,05


             
  ∑H 0,29 ∑MH 0,05

7. Gaya horizontal akibat tekanan lumpur

Berat Jenis Gaya Momen


Notasi Tinggi (m) Lengan (m)
(ton/m3) (ton/m) (ton.m)

Ps 4,27 1,96 17,87 1,42 25,43


    ∑H 17,87 ∑MH 25,43

8. Gaya horizontal akibat gempa

Gaya x Kh Momen
Notasi Gaya (ton) Kh Lengan (m)
(ton) (ton.m)

C1 0,88 0,18 0,16 12,67 2,01

58
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
C2 0,88 0,18 0,16 11,92 1,89
C3 0,88 0,18 0,16 11,17 1,77
C4 0,88 0,18 0,16 10,42 1,65
C5 1,85 0,18 0,33 8,92 2,97
C6 1,26 0,18 0,23 8,58 1,94
C7 0,78 0,18 0,14 7,68 1,08
C8 5,76 0,18 1,04 7,55 7,82
C9 6,60 0,18 1,19 6,46 7,67
C10 1,32 0,18 0,24 3,84 0,91
C11 0,26 0,18 0,05 0,25 0,01
∑ 21,34 ∑H 3,84 ∑MH 29,72

9. Rekapitulasi nilai dan gaya pada kondisi banjir

Gaya/tekanan V (ton) MV (ton.m) H (ton) MH (ton.m)


Uplift (U) -27,06 -162,07    
Berat konstruksi ( C) 21,34 130,69    
Berat air (W) 9,81 112,13    
Tekanan Lumpur (Ps) 17,87 25,43    
Tekanan air (Pw)     10,74 12,00
Tekanan tanah aktif (Pa)     13,24 17,81
Tekanan tanah pasif (Pp)     -3,70 -2,22
∑ 21,97 106,18 20,28 27,59

10. Rekapitulasi nilai dan gaya pada kondisi banjir dengan gempa

Gaya/tekanan V (ton) MV (ton.m) H (ton) MH (ton.m)


Uplift (U) -27,06 -162,07    
Berat konstruksi ( C) 21,34 130,69    
Berat air (W) 9,81 112,13    
Tekanan Lumpur (Ps) 17,87 25,43    
Tekanan air (Pw)     10,74 12,00
Tekanan tanah aktif (Pa)     13,24 17,81
Tekanan tanah pasif (Pp)     -3,70 -2,22
Akibat gempa     3,84 29,72
∑ 21,97 106,18 24,12 57,31

11. Kontrol Stabilitas


- Terhadap guling
∑ MV 106,18
Tanpa gempa, Sf = = = 3,85 ≥ 1,50 (OKE)
∑ MH 27,59

59
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)
∑ MV 106,18
Dengan gempa, Sf = = = 1,85 ≥ 1,20 (OKE)
∑ MH 57,31
- Kontrol Stabilitas Terhadap geser
Diketahui : C = Cohesi = 1,72 t/m2
 = Sudut Geser = 24,2o
B = panjang dasar yang dipertimbangkan = 11,30 m

(C . B)+( tan. ∑ v)
Tanpa gempa, SF = ≥ 1,50
∑H
(1,72.11,30)+(tan 24,2. 21,97)
SF = ≥ 1,50
20,28
SF = 2,06 ≥ 1,50 (OKE)

(C . B)+( tan. ∑ v)
Dengan gempa, SF = ≥ 1,25
∑H

(1,72.11,30)+(tan 24,2. 21,97)


SF = ≥ 1,25
24,22
SF = 1,55 ≥ 1,25 (OKE)

12. Kontrol Stabilitas Terhadap daya dukung

FK : Faktor Keamanan =3
d : kedalaman pondasi = 2,0 m
c : Kohesifitas = 1,72
γ : Berat jenis tanah jenuh = 1,96 t/m3
Ø : Sudut geser dalam = 24,2°
Maka faktor daya dukung dari grafik terzaghi didapat :
Nc = 23,92
Nq = 11,85
Nγ = 8,95

1 1 60
DDT ijin : × c × Nc + γ × d (Nq – 1) + × γ × B × Nγ
FK 2
M. RIZQI ILHAMSAH (201710340311230)

1/FK c × Nc + γ × d (Nq – 1) + 1/2 × γ × B × Nγ


= 1/3 × 1,92 × 23,92 + 1,96 × 2,0 (11,85 – 1) + 1/2 × 1,96 × 11,3 × 8,95
= 156,95 t/m2

Keadaan tanpa gempa; B = 11,30 m

B ∑ MV −∑ MH B
e= – ≤
2 ∑V 6

11,30 106,18−27,59 11,30


= 2 – 21,97 ≤ 6

= 1,72 m ≤ 1,88 m (OKE)

∑V 6 xe 21,97 6 x 1,72
σ1 = B x ( 1 + B ) = 11,30 x (1 + 11,30 ) = 3,72 t/m2 ≤ 156,95 t/m2

∑V 6 xe 21,97 6 x 1,72
σ2 = B x ( 1 - B ) = 11,30 x ( 1 - 11,30 ) = 0,71 t/m ≤156,95 t/m
2 2

Keadaan dengan gempa; B = 11,30 m

B ∑ MV −∑ MH B
e= – ≤
2 ∑V 6
11,30 106,18−57,31 11,30
= 2 – 21,97 ≤ 6
= 1,34 m ≤ 1,88 m (OKE)

∑V 6 xe 21,97 6 x 1,34
σ1= B x (1 + B ) = 11,30 x (1 + 11,30 ) = 3,33 t/m2 ≤ 156,95 t/m2

∑V 6 xe 21,97 6 x 1,34
σ2 = B x (1 - B ) = 11,30 x ( 1 - 11,30 ) = 0,56 t/m ≤ 156,95 t/m
2 2

61

Anda mungkin juga menyukai