Finish Hal 3-30
Finish Hal 3-30
Slamet Suyono
Pendahuluan
Dengan ditemukannya dua faktor tadi yaitu faktor genetik (non-Asp 57)
dan faktor lingkungan maka di masa mendatang, upaya pencegahan timbulnya
DM tipe 1 bukanlah suatu hal yang mustahil.
Lain halnya pada DM tipe 2 yang meliputi lebih 90% dari semua populasi
diabetes, faktor lingkungan sangat berperan. Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa
kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku
emas untuk membandingkan prevalensi diabetes antar berbagai kelompok etnik di
seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu
negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan kelompok etnis kulit putih pada
umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan
ekonominya sangat menonjol, misalnya di Singapura, prevalensi diabetes sangat
meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa
kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang
sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih
makmur, prevalensi diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa
bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di Amerika Serikat,
orang Mexico yang ada di Amerika Serikat, bangsa Creole di Amerika Selatan.
Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di
Mauritius, Singapura dan Taiwan.
Tentang baku emas yang tadi dibicarakan, sebenarnya juga ada keistimewaannya,
misalnya suatu penelitian di Wadena Amerika Serikat, mendapatkan bahwa
prevalensi pada orang kulit putih sangat tinggi dibandingkan dengan baku emas
tadi (Eropa) yaitu sebesar 23,2% untuk semua gangguan toleransi glukosa, terdiri
dari 15,1% Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan 8,1% DM tipe 2. Dengan
kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa faktor lingkungan sangat berperan.
Hal ini dapat dilihat pada studi Wadena tadi bahwa secara genetik mereka sama-
sama kulit putih, tetapi di Eropa prevalensinya lebih rendah. Di sini jelas karena
orang-orang di Wadena lebih gemuk dan hidupnya lebih santai. Hal ini akan
berlaku bagi bangsa-bangsa lain, terutama di negara yang tergolong sangat
berkembang seperti Singapura, Korea dan barangkali Indonesia.
Contoh lain yang baik bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh adalah di Mauritius,
suatu negara kepulauan, yang penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnik. Pada
suatu penelitian epidemiologik yang dilakukan di sana dengan jumlah responden
sebanyak 5.080 orang, didapatkan prevalensi TGT dan DM tipe 2 adalah sbb :
Dari data ini semua dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama
peningkatan kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan prevalensi diabetes.
Bahwa kekerapan akan menjadi dua kali lebih tinggi dalam waktu 10 tahun
bukanlah suatu hal yang mustahil terutama di negara berkembang yang
pertumbuhan ekonominya sudah mapan. Keadaan ini tentu saja harus diantisipasi
oleh pembuat kebijaksanaan di tiap negara berkembang supaya dalam menentukan
rencana jangka panjang kebijakan pelayanan kesehatan di negaranya, masalah ini
harus dipertimbangkan.
Data terakhir adalah data dari IDF tahun 2006 seperti tampak pada gambar 1,
prevalensi di negara-negara timur tengah paling tinggi (diatas 20/0) disusul
Mexico.
Gambar 1
Indonesia termasuk dalam kelompok dengan prevalensi yang paling rendah saat
itu. Ini mungkin karena Indonesia belum punya angka nasional resmi. Yang lebih
memprihatinkan adalah komposisi umur pasien diabetes di negara maju
kebanyakan sudah berumur 65 tahun jadi pada umur yang sudah tidak produktif
lagi, sedangkan di negara berkembang kebanyakan pasien diabetes berumur antara
45 sampai 64 tahun, golongan umur yang masih sangat produktif. (lihat gambar 2)
Gambar 2
Diabetes di Indonesia
Di daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di suatu kota kecil di Jawa Barat angka
itu hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja didapatkan prevalensi
DM hanya 0,8%. Di sini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural,
menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Di Jawa Timur
angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1.47% di daerah rural.
Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait
Malnutrisi (DMTM) yang sekarang dikategorikan sebagai diabetes tipe pankreas
di Jawa Timur, sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah rural. (lihat gambar
3)
Prevalensi Diabetes Mellitus di Berbagai Kota di Indonesia
Gambar 3
Melihat tendensi kenaikan prevalensi diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka
dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam
kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM Tipe 2 di Indonesia
akan meningkat dengan drastis, yang disebabkan oleh beberapa faktor :
2. Faktor kegemukan/obesitas
Makan berlebihan
3. Faktor demografi
Urbanisasi
Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang Depkes yang hasilnya baru saja
dikeluarkan bulan Desember 2008 menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk
TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5% terdiri dari pasien diabetes yang sudah
terdiagnosis sebelumnya, sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes saat
penelitian) (lihat gambar 4). Angka itu diambil dari hasil penelitian di seluruh
provinsi seperti tampak pada gambar 5. Tampak bahwa Kalbar dan Maluku Utara
menduduki peringkat prevalensi diabetes tertinggi tingkat propinsi.
Dengan hasil penelitian ini maka kita sekarang untuk pertama kali punya angka
prevalensi nasional. Sekadar untuk untuk perbandingan menurut IDF pada tahun
2006 angka prevalensi Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9%, jadi Indonesia
berada diantaranya. Di Malaysia, negara tetangga/serumpun
Indonesia terdekat, pada 3rd National Health and Mortality & Morbidity Survey
in Malaysia 2006 didapatkan prevalensi yang tinggi yaitu 14,90%, tetapi survei itu
diakukan pada individu diatas 30 tahun, sedangkan di Indonesia populasi survei
melibatkan individu 15 tahun keatas.
Gambar 5
Kesimpulan
10. 3rd National Health and Mortality& Morbidity Survey in Malaysia 2006
BAB II
Slamet Suyono
Pendahuluan
Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum Masehi. Pada Papyrus
Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan
tanda-tanda banyak kencing. Kemudian Celsus atau Paracelsus + 30 th SM juga
menemukan penyakit itu, tetapi baru 200 tahun kemudian, Aretaeus menyebutnya
sebagai penyakit aneh dan menamai penyakit itu diabetes dari kata diabere yang
berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan cairan dari satu tempat ke tempat
lain. Dia menggambarkan penyakit itu sebagai melelehnya daging dan tungkai ke
dalam urin. Cendekiawan India dan China pada abad 3 sampai dengan 6 Masehi
juga menemukan penyakit ini, malah dengan mengatakan bahwa urin pasien-
pasien ini rasanya manis. Tahun 1674 Willis melukiskan urin tadi seperti
digelimangi madu dan gula. Oleh karena itu sejak itu nama penyakit itu ditambah
dengan kata mellitus (mellitus = madu) yang pada makalah ini dieja menjadi
melitus dengan satu huruf l, sesuai dengan kaidah penerjemahan kata asing yang
lazim. Ibnu Sina pertama kali melukiskan gangren diabetik pada tahun 1000. Pada
tahun 1889 Von Mehring dan Minkowski mendapatkan gejala diabetes pada
anjing yang diambil pankreasnya. Kemudian akhirnya pada abad 20, tepatnya
tahun 1921 dunia dikejutkan dengan penemuan insulin oleh seorang ahli bedah
muda Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best asistennya yang masih
mahasiswa saat itu di Toronto. Untuk penemuan itu pada tahun 1923 hadiah Nobel
diserahkan pada mereka.
Kemudian pada tahun 1954-1956 ditemukan tablet jenis sulfonilurea yang dapat
meningkatkan kadar insulin. Tahun 1969 ditemukan jenis sulfonilurea generasi
kedua yaitu glibenklamid.
Dengan ditemukannya berbagai obat yang dapat mengatur kadar glukosa darah,
komplikasi akut menjadi jarang timbul, hingga umur pasien diabetes umumnya
jadi lebih panjang. Timbul persoalan baru yaitu komplikasi jangka panjang yang
sebelumnya tidak dikenal.
Untuk dapat memahami definisi itu lebih jelas, ada baiknya diterangkan terlebih
dahulu apa yang terjadi pada orang yang tidak menderita diabetes atau normal.
Patofisiologi
Seperti suatu mesin, badan memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan
mengganti sel yang rusak. Di samping itu badan juga memerlukan energi supaya
sel badan dapat berfungsi dengan baik. Energi pada mesin berasal dari bahan
bakar yaitu bensin. Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan
yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat (gula dan tepung-
tepungan), protein (asam amino) dan lemak (asam lemak).
Tampak pada gambar 1, dalam keadaan normal artinya kadar insulin cukup dan
sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan sel
otot, kemudian membuka pintu masuk sel hingga glukosa dapat masuk sel untuk
kemudian dibakar menjadi energi/tenaga. Akibatnya kadar glukosa dalam darah
normal
Gambar 1
Pada diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan
kualitas insulinnya tidak baik (resitensi insulin), meskipun insulin ada dan
reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel
tetap tidak dapat terbuka tetap tertutup hingga glukosa tidak dapat masuk sel
untuk dibakar (dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap berada di luar sel, hingga
kadar glukosa dalam darah meningkat.(lihat gambar 2)
Pankreas
Kerja insulin
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di
dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada
(DM Tipe 1) atau bila insulin itu kerjanya tidak baik seperti dalam keadaan
resistensi insulin (DM Tipe 2), maka glukosa tak dapat masuk sel dengan akibat
glukosa akan tetapi berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di
dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan jadi lemah karena
tidak ada sumber energi di dalam sel. (Lihat gambar 1 dan 2).
Seperti tampak pada gambar 3, pada stadium prediabetes (IFG dan IGT) mula-
mula timbul resistensi insulin (disingkat RI) yang kemudian disusul oleh
peningkatan sekeresi insulin untuk mengkompensasi RI itu agar kadar glukosa
darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi
mengkompensasi RI hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta
makin menurun Saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan
fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak
mampu lagi mengsekresi insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1. Kadar
glukosa darah makin meningkat.
Gambar 3
Mengapa fungsi sel beta pada diabetes tipe 2 mengalami penurunan fungsi
secara progresif ?
Kalau pada DM Tipe 1 jelas bahwa sel beta mengalami kerusakan karena
insulitis, pada DM Ttipe 2 penurunan fungsi sel beta disebabkan oleh beberapa
faktor seperti tampak pada gambar 4 yang dikemukakan oleh DeFronzo pada
pidato "Banting Lecture"-nya di San Fransisco Juni 2008 (Lihat gambar 4)
Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa faktor yang dapat diperbaiki adalah
resistensi insulin, glukotoksisitas, lipotoksisitas dan penimbunan amiloid dan
incretin effect. Pada dasarnya pengendalian kadar glukosa darah yang baik dapat
mencegah terjadinya keruasakan sel beta. Faktor "age" dan "genetic" tentu saja
tidak dapat diubah.
Beta-
4. Deposit 3. Resistensi
cell
Amiloid Insulin
Failure
Gambar 4
Glukotoksisitas
Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi ceramide
yang toksik terhagap sel beta hingga terjadi apoptosis.
Penumpukan amiloid
Resistensi insulin
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor-faktor di bawah ini banyak berperan :
Efek Inkretin
Incretin mempunyai efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkakatn
proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel
beta.
Kesimpulan
Diabetes adalah suatu sindroma yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah disebabkan oleh karena adanya penurunan sekresi insulin. Pada DM tipe 1
penurunan sekresi itu disebabkan oleh karena kerusakan sel beta akibat reaksi
otoimun sedangkan pada DM tipe 2 penurunan sekresi itu disebabkan oleh
kerkurangnya fungsi sel beta yang progresif akibat glukotoksisitas, lipotoksisitas,
tumpukan amilod dan faktor faktor lain yang disebabkan oleh resitensi insulin di
samping faktor usia dan genetik.
Daftar Pustaka
Sidartawan Soegondo
Pendahuluan
Selain itu karena diabetes sudah merupakan suatu penyakit global dan
malahan menurut P. Zimmet sudah merupakan suatu epidemi, banyak penelitian
dilakukan untuk mencoba mengatasinya. Saat ini terdapat berbagai penelitian
yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan orang dengan diabetes, ada yang
berusaha untuk mencari obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang
mempelajari dampak diabetes pada beberapa populasi di dunia.
DIAGNOSIS
2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23
kg/m2, yang disertai dengan faktor risiko:
riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau
riwayat DM-gestasional
22
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyarin
dan diagnosis DM (mg/dl)
Belum pasti
Bukan DM DM
DM
Kadar Plasma vena <100 100-199 ≥200
glukosa
darah
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
sewaktu
(mg/dL)
Plasma vena <100 100-125 ≥125
Kadar
glukosa
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
darah puasa
(mg/dL)
Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
> 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis
DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl. (lihat
gambar 1 dan 2)
Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan Gangguan Toleransi
Glukosa
Gambar 2. Tes Toleransı Glukosa Ural ((1160)
selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
Atau
Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu >200 mg/dL (11.1 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (II.1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.
Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indek tambahan yang dapat dibagi atas
2 bagian:
Hal ini dapat nilai dengan periksaan kadar insulin, pro-insulin, dan
sekresi peptida penghubung (C-peptide). Nilai-nilai ,,Glycosilated
hemoglobin“ (WHO memakai istilah ,,Glycated hemoglobin"), nilai
derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi
glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinis maupun
laboratoris menunjukkan bahwa diabetes melitus merupakan suatu keadaan yang
heterogen baik sebab maupun macamnya. Selama bertahun-tahun hal ini telah
digumuli oleh banyak ahli ternama dengan tujuan mencapai persejutuan
internasional tentang prosedur diagnostik, kriteria dan terminologi. Dahulu
terdapat banyak perbedaan dalam masing-masing bidang walaupun telah
diusahakan untuk mendapat suatu konsensus. Pada tahun 1965 WHO dengan
Expert Committee on Diabetes Melitus-nya mengeluarkan suatu laporan yang
berisi klasifikasi pasien berdasarkan umur mulai diketahuinya penyakit, dan
menganjurkan pemakaian istilah-istilah pada klasifikasi tersebut seperti:
Childhood diabetics, Young diabetics, Adult diabetics, dan Elderly diabetics.
Tetapi kenyataannya di kemudian hari pembagian yang tegas tidak dapat
dilakukan sebab sebagian dari pasien yang berumur kurang dari 30 tahun
mendapat diabetes tipe orang dewasa yang tidak begitu berat (Maturity onse
diabetes of the young atau MODY) dan sebaliknya didapat pasien-pasien yang
berumur lebih dari 40-45 tahun yang insulin dependent atau memerlukan insulin
(insulin requiring) untuk mempertahankan asupan makanan yang cukup agar
dapat mempertahankan kekuatan dan stabilitas berat badannya. Pada tahun 1968,
American Diabetes Association membuat rekomendasi mengenai standarisasi tes
toleransi glukosa. Pembagian ini mengenal istilahistilah Pre-diabetes, suspected
diabetes, chemical atau latent diabetes dan overt diabetes. Sedang British Diabetes
Association memakai istilah potential diabetes, latent diabetes, asymptomatic atau
sub-clinical diabetes dan clinical diabetes. Baru pada tahun 1978 hal ini mulai
dibicarakan lebih dalam oleh European Society for the Study of Diabetes (EASD)
di Zagreb dan sebuah pertemuan internasional di Bethesda dengan sponsor NDDG
dari NIH (USA) yang kemudian pada thun 1979 dilaporkan oleh NDDG dan
kemudian dengan versi yang agak berbeda oleh WHO Expert Committee (1980).
Klasifikasi yang dipakai WHO dan NDDG tidak didasarkan atas umur
atau waktu mendapat diabetes tetapi berdasarkan tipe diabetes. Joslin (1971)
pernah membaginya atas "Hereditary" dan "Non-hereditary”, dimana “Hereditary"
terbagi lagi atas Growth-onset (juvenile) type dan Maturity-onset (adult) type.
Secara umum klasifikasi WHO 1980 sudah mulai diterima tetapi kemudian
masuk berapa usul dan komentar mengenainya sehingga dalam klasifikasi baru
WHO 1985, hal ini telah ditampung dan diperbaiki. Hal yang paling penting
adalah ditambahkannya “Malnutrition Related Diabetes Mellitus " sebagai subklas
utama, sejajar dengan IDDM dan NIDDM. Tetapi kembali ADA 1997 tidak
memasukan MRDM dalam klasifikasi tersendiri tetapi dimasukkan kedalam DM
tipe lain.
Definisi IGT (Toleransi Glukosa Terganggu) pada 1979-80 oleh WHO dan
NDDG menggantikan istilah-istilah sebelumnya seperti: Borderline Diabetes, Pre-
diabetes dan Chemical diabetes.
DM tipe 1 :
Onset akut
Biasanya kurus
DM tipe 2 :
Onset lambat
Daftar Pustaka
5. Ranakusuma AB. Fungsi Sel Beta Pankreas pada Diabetes Melitus Tipe
Sirosis Hepatis. Tesis untuk mendapatkan gelar Doktor dalam Ilmu
Kedokteran pada Universitas Indonesia. Jakarta. 1986.
15. Lipson LG. Diabetes in the Elderly : Diagnosis, Pathogenesis and Therapy.
Am J Med. 1986; 80 (5a) : 10-21
21. Scott RS, Brown LJ. Prevalence and incidence of insulin treated diabetes
mellitus in adults in Canterbury, New Zealand Diabetic Med 1991; 8:1-8.
22. Shagan BP. Diabetes in the Elderly. Med Clin NA, 1976, 60: 1191.
26. World Health Organization Study Group. Diabetes Mellitus. Technical Rep
Series No.727. Geneva: WHO, 1985.
28. Zimmet P.Classifying Diabetes Mellitus, A new paradigm for research, and
prevention. International Diabetes Institute, Melbourne, Australia.