Anda di halaman 1dari 34

BAB I

KECENDERUNGAN PENINGKATAN JUMLAH PENYANDANG


DIABETES

Slamet Suyono

Pendahuluan

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat


peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhirakhir ini banyak disoroti.
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-
kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti
penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain.
Tetapi data epidemiologi di negara berkembang memang masih belum banyak.
Hal ini disebabkan penelitian epidemiologik sangat mahal biayanya. Oleh karena
itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.

Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 1

Di Indonesia penyandang diabetes melitus (DM) tipe 1 sangat jarang. Demikian


pula di negara tropis lain. Hal ini rupanya ada hubungannya dengan letak
geografis Indonesia yang terletak di daerah katulistiwa. Dari angka prevalensi
berbagai negara tampak bahwa makin jauh letaknya suatu negara dari katulistiwa
makin tinggi prevalensi DM tipe 1-nya. Ini bisa dilihat pada prevalensi DM tipe 1
di Eropa. Di bagian utara Eropa, misalnya di negaranegara Skandinavia prevalensi
DM tipe 1-nya merupakan yang tertinggi di dunia, sedangkan di daerah bagian
selatan Eropa misalnya di Malta sangat jarang. Di samping itu juga tampak bahwa
insidens DM tipe 1 di Eropa Utara meningkat dalam 2-3 dekade terakhir. Ini
menunjukkan bahwa barangkali pada DM tipe 1 faktor lingkungan juga berperan
di samping yang sudah diketahui yaitu faktor genetik. Adanya kekurangan asam
asptartat pada posisi 57 dari rantai HLA-DQ-beta menyebabkan orang itu menjadi
rentan (susceptable) terhadap timbulnya DM tipe 1. Tetapi kenyataan lain
menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat berperan. Ini tampak pada angka
prevalensi DM tipe 1 di dua negara dimana secara etnik tidak berbeda tetapi
prevalensi DM tipe di Estonia hanya 1/3 dari Finlandia.

Dengan ditemukannya dua faktor tadi yaitu faktor genetik (non-Asp 57)
dan faktor lingkungan maka di masa mendatang, upaya pencegahan timbulnya
DM tipe 1 bukanlah suatu hal yang mustahil.

Di Indonesia prevalensi DM tipe 1 secara pasti belum diketahui, tetapi


diakui memang sangat jarang. Ini mungkin disebabkan oleh karena Indonesia
terletak di katulistiwa atau barangkali faktor genetiknya memang tidak
menyokong, tetapi mungkin juga karena diagnosis DM tipe 1 yang terlambat
hingga pasien sudah meninggal akibat komplikasi sebelum didiagnosis.

Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2

Lain halnya pada DM tipe 2 yang meliputi lebih 90% dari semua populasi
diabetes, faktor lingkungan sangat berperan. Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa
kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku
emas untuk membandingkan prevalensi diabetes antar berbagai kelompok etnik di
seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu
negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan kelompok etnis kulit putih pada
umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan
ekonominya sangat menonjol, misalnya di Singapura, prevalensi diabetes sangat
meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa
kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang
sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih
makmur, prevalensi diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa
bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di Amerika Serikat,
orang Mexico yang ada di Amerika Serikat, bangsa Creole di Amerika Selatan.
Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di
Mauritius, Singapura dan Taiwan.

Tentang baku emas yang tadi dibicarakan, sebenarnya juga ada keistimewaannya,
misalnya suatu penelitian di Wadena Amerika Serikat, mendapatkan bahwa
prevalensi pada orang kulit putih sangat tinggi dibandingkan dengan baku emas
tadi (Eropa) yaitu sebesar 23,2% untuk semua gangguan toleransi glukosa, terdiri
dari 15,1% Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan 8,1% DM tipe 2. Dengan
kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa faktor lingkungan sangat berperan.
Hal ini dapat dilihat pada studi Wadena tadi bahwa secara genetik mereka sama-
sama kulit putih, tetapi di Eropa prevalensinya lebih rendah. Di sini jelas karena
orang-orang di Wadena lebih gemuk dan hidupnya lebih santai. Hal ini akan
berlaku bagi bangsa-bangsa lain, terutama di negara yang tergolong sangat
berkembang seperti Singapura, Korea dan barangkali Indonesia.

Contoh lain yang baik bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh adalah di Mauritius,
suatu negara kepulauan, yang penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnik. Pada
suatu penelitian epidemiologik yang dilakukan di sana dengan jumlah responden
sebanyak 5.080 orang, didapatkan prevalensi TGT dan DM tipe 2 adalah sbb :

Kelompok etnik TGT % DM tipe 2%


India Hindu 16,2 12,4
India Muslim 15,3 13,3
Creole 17,5 11,9
Cina 16,6

Dari angka-angka di atas tampak bahwa pada bangsa-bangsa India, Cina


dan Creole (campuran Afrika, Eropa dan India) prevalensi DM jauh lebih tinggi
dari baku emas, padahal di negara asalnya sangat rendah. Misalnya di Cina
daratan prevalensi diabetes sangat rendah. Juga di India sangat rendah dengan
catatan di beberapa bagian dari India bagian selatan sudah menunjukkan
peningkatan. Di Afrika juga rendah, tetapi pada bangsa Afrika yang tinggal di
Amerika Serikat, Inggris, Mauritius dan Suriname prevalensi DM sangat tinggi.
Perlu diketahui bahwa keadaan ekonomi di Mauritius untuk golongan etnik tadi
jauh lebih baik dibandingkan dengan di negara asalnya.

Dari data ini semua dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama
peningkatan kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan prevalensi diabetes.
Bahwa kekerapan akan menjadi dua kali lebih tinggi dalam waktu 10 tahun
bukanlah suatu hal yang mustahil terutama di negara berkembang yang
pertumbuhan ekonominya sudah mapan. Keadaan ini tentu saja harus diantisipasi
oleh pembuat kebijaksanaan di tiap negara berkembang supaya dalam menentukan
rencana jangka panjang kebijakan pelayanan kesehatan di negaranya, masalah ini
harus dipertimbangkan.

Data terakhir adalah data dari IDF tahun 2006 seperti tampak pada gambar 1,
prevalensi di negara-negara timur tengah paling tinggi (diatas 20/0) disusul
Mexico.

Sumber : Diabetes Atlas Third Edition - International Diabetes Federation


2006

Gambar 1

Indonesia termasuk dalam kelompok dengan prevalensi yang paling rendah saat
itu. Ini mungkin karena Indonesia belum punya angka nasional resmi. Yang lebih
memprihatinkan adalah komposisi umur pasien diabetes di negara maju
kebanyakan sudah berumur 65 tahun jadi pada umur yang sudah tidak produktif
lagi, sedangkan di negara berkembang kebanyakan pasien diabetes berumur antara
45 sampai 64 tahun, golongan umur yang masih sangat produktif. (lihat gambar 2)

Proyeksi WHO tentang Struktur Umur

Penyandang Diabetes (1998)


Dalam kurun waktu < 30 tahun dari sekarang, 170 juta orang akan menjadi
penyandang diabetes di negara berkembang

Gambar 2

Diabetes di Indonesia

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai tahun delapan puluhan telah


dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia, prevalensi diabetes berkisar antara 1,5
s/d 2,3%, kecuali di di Manado yang agak tinggi sebesar 6%.

Hasil penelitian epidemiologis berikutnya tahun 1993 di Jakarta (daerah urban)


membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982
menjadi 5,7% pada tahun 1993, kemudian pada tahun 2001 di Depok, daerah sub-
urban di selatan Jakarta menjadi 12,8%. Demikian pula prevalensi DM di Ujung
Pandang (daerah urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 3.5%
pada tahun 1998 dan terakhir pada tahun 2005 menjadi 12,5%.

Di daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di suatu kota kecil di Jawa Barat angka
itu hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja didapatkan prevalensi
DM hanya 0,8%. Di sini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural,
menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Di Jawa Timur
angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1.47% di daerah rural.
Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait
Malnutrisi (DMTM) yang sekarang dikategorikan sebagai diabetes tipe pankreas
di Jawa Timur, sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah rural. (lihat gambar
3)
Prevalensi Diabetes Mellitus di Berbagai Kota di Indonesia

BOV urakaya MUM Meneng

Gambar 3

Melihat tendensi kenaikan prevalensi diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka
dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam
kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM Tipe 2 di Indonesia
akan meningkat dengan drastis, yang disebabkan oleh beberapa faktor :

1. Faktor keturunan (genetik)

2. Faktor kegemukan/obesitas

Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat

Makan berlebihan

Hidup santai, kurang gerak badan

3. Faktor demografi

Jumlah penduduk meningkat

Urbanisasi

Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat

4. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi


Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation) tercantum
perkiraan penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi
prevalensi DM sebesar 4,6%, diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6 juta.
Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun
2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan
dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien
diabetes.

Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang Depkes yang hasilnya baru saja
dikeluarkan bulan Desember 2008 menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk
TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5% terdiri dari pasien diabetes yang sudah
terdiagnosis sebelumnya, sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes saat
penelitian) (lihat gambar 4). Angka itu diambil dari hasil penelitian di seluruh
provinsi seperti tampak pada gambar 5. Tampak bahwa Kalbar dan Maluku Utara
menduduki peringkat prevalensi diabetes tertinggi tingkat propinsi.

Dengan hasil penelitian ini maka kita sekarang untuk pertama kali punya angka
prevalensi nasional. Sekadar untuk untuk perbandingan menurut IDF pada tahun
2006 angka prevalensi Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9%, jadi Indonesia
berada diantaranya. Di Malaysia, negara tetangga/serumpun

Indonesia terdekat, pada 3rd National Health and Mortality & Morbidity Survey
in Malaysia 2006 didapatkan prevalensi yang tinggi yaitu 14,90%, tetapi survei itu
diakukan pada individu diatas 30 tahun, sedangkan di Indonesia populasi survei
melibatkan individu 15 tahun keatas.

PREVALENSI DIABETES DI INDONESIA TAHUN 2008


Gambar 4

DM : Provinsi > Angka Nasional

Gambar 5

Kesimpulan

Jumlah penyandang diabetes terutama diabetes tipe 2 makin meningkar di


seluruh dunia terutama di negara berkembang karena perubahan gaya hidup salah
yang menyebabkan obesitas. Faktor urbanisasi dan meningkatnya pelayanan
kesehatan merupakan faktor penting juga karena usia menjadi lebih panjang.
Untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai data nasional prevalensi diabetes
untuk daerah urban sebesar 5,7%, berkat penelitian yang baru saja selesai
dilakukan oleh Litbangkes Depkes.
Daftar Pustaka

1. Arifin Agusta YL. Deskripsi Pasien Diabetes di suatu Masyarakat di Jawa


Barat. Buku program dan kumpulan ringkasan. Simposium Nasional
Endokrinologi II Bandung 1995 hal 3.

2. Krall LP, Beaser RS. Joslin Diabetes Manual. 12th Ed 1989

3. Prevention of Diabetes Mellitus. WHO Technical Report Series 844. 1994

4. Suyono S. Upaya Pencegaran Primer Diabetes dan Sekunder dalam Meng


antisipasi Ledakan Penderita Diabetes Menjelang Abad ke 21. Pidato
pengukuhan sebagai guru besar FKUI 1992.

5. Zimmet P, Serjeantson S. The Epidemiology of Diabetes Mellitus and Its


Relationship with Cardiovascular Disease in PJ Lefebvre, E Standl (eds)
New Aspects in Diabetes, Treatment Strategy with Alpha-Glucosidase
Inhibitors, De Gruyter 1992:5-21.

6. Soegondo S, Subekti I. Konsensus pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di


Indonesia 2002. PB Perkeni.

7. Wild S et al Diabetes Care 2004;27:1047-53

8. Diabetes Atlas Third edition 2006

9. Riskesdas 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

10. 3rd National Health and Mortality& Morbidity Survey in Malaysia 2006

BAB II

Patofisiologi Diabetes Melitus

Slamet Suyono

Pendahuluan
Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum Masehi. Pada Papyrus
Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan
tanda-tanda banyak kencing. Kemudian Celsus atau Paracelsus + 30 th SM juga
menemukan penyakit itu, tetapi baru 200 tahun kemudian, Aretaeus menyebutnya
sebagai penyakit aneh dan menamai penyakit itu diabetes dari kata diabere yang
berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan cairan dari satu tempat ke tempat
lain. Dia menggambarkan penyakit itu sebagai melelehnya daging dan tungkai ke
dalam urin. Cendekiawan India dan China pada abad 3 sampai dengan 6 Masehi
juga menemukan penyakit ini, malah dengan mengatakan bahwa urin pasien-
pasien ini rasanya manis. Tahun 1674 Willis melukiskan urin tadi seperti
digelimangi madu dan gula. Oleh karena itu sejak itu nama penyakit itu ditambah
dengan kata mellitus (mellitus = madu) yang pada makalah ini dieja menjadi
melitus dengan satu huruf l, sesuai dengan kaidah penerjemahan kata asing yang
lazim. Ibnu Sina pertama kali melukiskan gangren diabetik pada tahun 1000. Pada
tahun 1889 Von Mehring dan Minkowski mendapatkan gejala diabetes pada
anjing yang diambil pankreasnya. Kemudian akhirnya pada abad 20, tepatnya
tahun 1921 dunia dikejutkan dengan penemuan insulin oleh seorang ahli bedah
muda Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best asistennya yang masih
mahasiswa saat itu di Toronto. Untuk penemuan itu pada tahun 1923 hadiah Nobel
diserahkan pada mereka.

Kemudian pada tahun 1954-1956 ditemukan tablet jenis sulfonilurea yang dapat
meningkatkan kadar insulin. Tahun 1969 ditemukan jenis sulfonilurea generasi
kedua yaitu glibenklamid.

Dengan ditemukannya berbagai obat yang dapat mengatur kadar glukosa darah,
komplikasi akut menjadi jarang timbul, hingga umur pasien diabetes umumnya
jadi lebih panjang. Timbul persoalan baru yaitu komplikasi jangka panjang yang
sebelumnya tidak dikenal.

Definisi Diabetes Melitus

Apakah diabetes itu ?


Jawaban yang sederhana atas pertanyaan diatas tidak dapat diberikan dengan
tepat, tetapi dapat dikemukakan suatu jawaban yang agak umum yaitu, bahwa
diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan
sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin

Untuk dapat memahami definisi itu lebih jelas, ada baiknya diterangkan terlebih
dahulu apa yang terjadi pada orang yang tidak menderita diabetes atau normal.

Patofisiologi

Seperti suatu mesin, badan memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan
mengganti sel yang rusak. Di samping itu badan juga memerlukan energi supaya
sel badan dapat berfungsi dengan baik. Energi pada mesin berasal dari bahan
bakar yaitu bensin. Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan
yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat (gula dan tepung-
tepungan), protein (asam amino) dan lemak (asam lemak).

Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung dan


selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah menjadi
bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam
amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh
usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh
untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya
dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam
sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar
melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi.
Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang
peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel,
untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon
yang dikeluarkan oleh sel beta di pancreas.

Tampak pada gambar 1, dalam keadaan normal artinya kadar insulin cukup dan
sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan sel
otot, kemudian membuka pintu masuk sel hingga glukosa dapat masuk sel untuk
kemudian dibakar menjadi energi/tenaga. Akibatnya kadar glukosa dalam darah
normal

NORMAL Insulin Sensitif

Gambar 1

Pada diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan
kualitas insulinnya tidak baik (resitensi insulin), meskipun insulin ada dan
reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel
tetap tidak dapat terbuka tetap tertutup hingga glukosa tidak dapat masuk sel
untuk dibakar (dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap berada di luar sel, hingga
kadar glukosa dalam darah meningkat.(lihat gambar 2)

DIABETES Tipe 2 Resistensi Insulin


Gambar 2

Pankreas

Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung. Di dalamnya


terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta. karena itu disebut
pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin,
yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa darah. Tiap pankreas
mengandung lebih kurang 100.000 pulau Langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel
beta. Di samping sel beta ada juga sel alfa yang memproduksi glukagon yang
bekerja sebaliknya dari insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Juga ada
sel delta yang mengeluarkan somastostatin.

Kerja insulin

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di
dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada
(DM Tipe 1) atau bila insulin itu kerjanya tidak baik seperti dalam keadaan
resistensi insulin (DM Tipe 2), maka glukosa tak dapat masuk sel dengan akibat
glukosa akan tetapi berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di
dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan jadi lemah karena
tidak ada sumber energi di dalam sel. (Lihat gambar 1 dan 2).

Patogenesis diabetes melitus tipe 1


Mengapa insulin pada DM tipe 1 tidak ada? Ini disebabkan oleh karena pada jenis
ini ada reaksi otoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap diabetes
tipe 1, terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang meningkat kadarnya oleh
karena beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus, diantaranya virus cocksakie,
rubella, CMV, herpes dan lain-lain hingga timbul peradangan pada sel beta
(insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Yang
diserang pada insulitis itu hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta tetap utuh.
Pada studi populasi ditemukan adanya hubungan antara DM tipe 1 dengan HLA
DR3 dan DR4. Di Jepang DR3/DRw9 di China DR3/DRw9.

Patogenesis diabetes tipe 2

Diabetes Type 2 adalah kelainan yang heterogen dengan prevalensti yang


sangat bervariasi diantara kelompok etnis. Di AS populasi yang sangat tinggi
prrevalensinya adalah suku bangsa India Pima, keturunan Spanyol dan Asia (1).

Patogehesis diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi


insulin perifer, gangguan "hepatic glucose production (HGP)", dan penurunan
fungsi cell B, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β.

Seperti tampak pada gambar 3, pada stadium prediabetes (IFG dan IGT) mula-
mula timbul resistensi insulin (disingkat RI) yang kemudian disusul oleh
peningkatan sekeresi insulin untuk mengkompensasi RI itu agar kadar glukosa
darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi
mengkompensasi RI hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta
makin menurun Saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan
fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak
mampu lagi mengsekresi insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1. Kadar
glukosa darah makin meningkat.

Dengan diketahuinya mekanisme seperti itu, ADA (American Diabetes


Association) pada tahun 2008 menyebutkan bahwa "Type 2 diabetes results from
a progressive insulin secretory defect on the background of insulin resistance
(ADA 2008) "
Penurunan Fungsi Sel Beta Jangka Panjang Menyebabkan Progresifitas
Penyakit

NGT Prediabetes (IFG/IGT) Diabetes 

Adapted from Type 2 Diabetes BASICS. International Diabetes Center; 2000.

Gambar 3

Mengapa fungsi sel beta pada diabetes tipe 2 mengalami penurunan fungsi
secara progresif ?

Kalau pada DM Tipe 1 jelas bahwa sel beta mengalami kerusakan karena
insulitis, pada DM Ttipe 2 penurunan fungsi sel beta disebabkan oleh beberapa
faktor seperti tampak pada gambar 4 yang dikemukakan oleh DeFronzo pada
pidato "Banting Lecture"-nya di San Fransisco Juni 2008 (Lihat gambar 4)

Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa faktor yang dapat diperbaiki adalah
resistensi insulin, glukotoksisitas, lipotoksisitas dan penimbunan amiloid dan
incretin effect. Pada dasarnya pengendalian kadar glukosa darah yang baik dapat
mencegah terjadinya keruasakan sel beta. Faktor "age" dan "genetic" tentu saja
tidak dapat diubah.

ETIOLOGI KEGAGALAN FUNGS SA BETA PADA DIABETES TIPE 2


umur
5. Efek Genetik
Inkretin (TQF 7L2)

Beta-
4. Deposit 3. Resistensi
cell
Amiloid Insulin
Failure

1. Glukotoksisitas 2. Lipotoksisitas FFA

De Fronzo R Banting Lecture (submitted ADA Meeting 2008 / Claude


Bernard Award Winner EASD 2008)

Gambar 4

Glukotoksisitas

Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan


peningkatan stress oksidatif, IL-1B dan NF-kB dengan akibat peningkatan
apoptosis sel beta

Lipotoksisitas

Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi ceramide
yang toksik terhagap sel beta hingga terjadi apoptosis.

Penumpukan amiloid

Pada keadaan resistensi insulin kerja insulin dihambat hingga kadar


glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi imsuilin, hingga terjadi
hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin
dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan
amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri hingga akhirnya jumlah sel beta
dalam pulau Langerhans jadi berhurang. Pada DM tipe 2 jumlah sel beta
berkurang sampai 50-60% dari normal

Resistensi insulin
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor-faktor di bawah ini banyak berperan :

 Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)

 Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

 Kurang gerak badan

 Faktor keturunan (herediter)

Faktor resistensi insulin ini sebenarnya sudah mencakup ke tiga faktor


diatas karena baik glukotoksisitas, maupun lipotoksisitas dan penumpukan
amiloid semuanya disbabkan oleh resistensi insulin

Akhir-akhir ini terutama sejak Reaven mencetuskan ide Syndrom X tahun


1988 timbul banyak sekali pihak yang mengemukakan apa yang disebut Sindrom
Metabolik atau Sindrom Resistensi Insulin yang pada dasarnya tidak banyak
berbeda dengan Sindrom X, hanya berbeda mengenai mana yang lebih dulu
timbul, resistensi lebih dahulu atau obesitas yang lebih dulu yang menyebabkan
sindrom itu, hingga timbul ber macam-macan definisi Sindrom Metabolik. Tapi
ada yang ambil jalan tengah atau kompromi dengan tidak melihat yang lebih
dahulu timbul tapi menyebutkan semua faktor risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular dan diabetes. Ini yang disebut CMR = Cardio Metabolic Risks,
yang mencakup faktor rsiko lama seperti dislipidemi hiperglikemia, hipertensi dan
rokok ditambah dengan faktor yang baru muncul belakangan ini terutama dengan
berkembangnya ilmu biologi molekular seperti peningkatan TNF a, IL 1, IL6,
NFkB, adiponektin, CRP dll.

Efek Inkretin

Incretin mempunyai efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkakatn
proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel
beta.

Faktor Risiko Diabetes


Sudah lama diketahui bahwa diabetes merupakan penyakit keturunan. Artinya bila
orang tuanya menderita diabetes, anak-anaknya akan menderita diabetes juga. Hal
itu memang benar. Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup. Diperlukan faktor
lain yang disebut faktor risiko atau faktor pencetus misalnya, adanya infeksi virus
(pada DM tipe 1), kegemukan, pola makan yang salah, minum obat-obatan yang
bisa menaikkan kadar glukosa darah, proses menua, stres dan lain-lain.

Kesimpulan

Diabetes adalah suatu sindroma yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah disebabkan oleh karena adanya penurunan sekresi insulin. Pada DM tipe 1
penurunan sekresi itu disebabkan oleh karena kerusakan sel beta akibat reaksi
otoimun sedangkan pada DM tipe 2 penurunan sekresi itu disebabkan oleh
kerkurangnya fungsi sel beta yang progresif akibat glukotoksisitas, lipotoksisitas,
tumpukan amilod dan faktor faktor lain yang disebabkan oleh resitensi insulin di
samping faktor usia dan genetik.

Daftar Pustaka

1. Krall Lp, Baser RS. Joslin Diabetes Manual 12 th Edition 1989.

2. Monk A, Adolphson S, Hollander P, Bergenstal RM. Managing Type II


Diabetes. International Diabetes Center, 1988.

3. Soegondo S, Subekti I. Konsensus pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di


Indonesia 2002. PB Perkeni.

4. Jorgens X, Gruber M, Kronsbein. Bagaimana Mengobati Diabetes secara


Mandiri, disadur oleh Tanudjaja T dan Soegondo S. Verlag-Kirchheim &
Co Gmbh, Mains 1992. Sadurannya diterbitkan oleh FKUI.

5. Suyono S. Upaya Pencegahan Primer dan Sekunder dalam Mengantisipasi


Ledakan Penderita Diabetes Menjelang abad ke-21. Pidato pengukuhan
sebagai guru besar FKU 1992.

6. Williams G, Pickup JC (eds) Handbook of diabetes. Blackwell Scientific


Publications. London 1992.
7. DeFronzo R. Banting Lecture dipresentasikan di Annual Meeting of ADA
San Fransisco June 2008

BAB III DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI DIABETES MELITUS


TERKINI

Sidartawan Soegondo

Pendahuluan

Apakah DIABETES MELITUS itu ?

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes Melitus


(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Sedang sebelumnya
WHO 1980 berkata bahwa DM merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan
dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat
dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin. Tampaknya terdapat dalam keluarga tertentu;
berhubungan dengan aterosklerosis yang dipercepat, dan merupakan predisposisi
untuk terjadinya kelainan mikrovaskular spesifik seperti retinopati, nefropati dan
neuropati.

Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi yang pernah tercetus pada


tahun 1965 oleh WHO telah terjadi pada 1980 dan kemudian diperbaharui pada
1985 dan 1994. Sedang pada tahun 1997, ADA (American Diabetes Association)
memperbaharuinya lagi, walaupun sampai saat ini dalam kehidupan sehari-hari
tampak masih banyak tenaga kesehatan belum mengetahuinya, apalagi memahami
atau menjalankannya dalam pekerjaannya ketika berhadapan orang dengan
diabetes.
Para pakar di Indonesia pun bersepakat melalui PERKENI (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar
pengelolaan diabetes melitus, yang kemudian juga melakukan revisi konsensus
tersebut pada tahun 1998, 2002 dan 2006 dengan menyesuaikannya dengan
perkembangan baru.

Secara epidemiologis diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan


onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
ini. Penelitan lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes
tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-
tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologis
diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas,
distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan
terjadinya DM tipe 2.

Selain itu karena diabetes sudah merupakan suatu penyakit global dan
malahan menurut P. Zimmet sudah merupakan suatu epidemi, banyak penelitian
dilakukan untuk mencoba mengatasinya. Saat ini terdapat berbagai penelitian
yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan orang dengan diabetes, ada yang
berusaha untuk mencari obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang
mempelajari dampak diabetes pada beberapa populasi di dunia.

DIAGNOSIS

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan


tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah
seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan
program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena
ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat
diperiksa glukosa darah kapiler (lihat Tabel 1).

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala / tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif,
untuk memastikan diagnosis definitif.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko


DM sebagai berikut:

1. Usia > 45 tahun

2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23
kg/m2, yang disertai dengan faktor risiko:

 kebiasaan tidak aktif

 turunan pertama dari orang tua dengan DM

 riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau
riwayat DM-gestasional

 hipertensi (2140/90 mmHg)

 kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida 2 250 mg/dL

 menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis


lain yang terkait dengan resistensi insulin

 adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau


glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya

 memiliki riwayat penyakit kardiovaskular


Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes tolerasi glukosa oral (TTGO) standar.

Pemeriksaan penyaring untuk tujuan skrining masal (mass screening) tidak


dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakaan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan


GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Populasi
dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10
tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap
TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan
resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih
tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit
kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan
sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan
pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar


glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes tolerasi glukosa oral (TTGO) standar. (Lihat Gambar 2).

22

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyarin
dan diagnosis DM (mg/dl)

Belum pasti
Bukan DM DM
DM
Kadar Plasma vena <100 100-199 ≥200
glukosa
darah
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
sewaktu
(mg/dL)
Plasma vena <100 100-125 ≥125
Kadar
glukosa
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
darah puasa
(mg/dL)

(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI,


2006)

Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus dan


gangguan toleransi glukosa

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
> 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis
DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl. (lihat
gambar 1 dan 2)
Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan Gangguan Toleransi
Glukosa
Gambar 2. Tes Toleransı Glukosa Ural ((1160)

TES TOLERANSI GLUKOSA ORAL

(Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2, PERKENI, 2002)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari


hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa

 berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,


minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

 diperiksa kadar glukosa darah puasa

 diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak


anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit

 berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2


jam setelah minum larutan glukosa selesai

 diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa

 selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

Tabel 2. Kriteria diagnosis DM


Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu >200 mg/dL (11.1 mmol/L)
Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

Atau
Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu >200 mg/dL (11.1 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

Atau
Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (II.1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.

Nilai atau indeks diagnostik lainnya

Definisi keadaan diabetes atau gangguan toleransi glukosa tergantung pada


pemeriksaan kadar glukosa darah. Beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat
berguna dalam menentukan subklas, penelitian epidemiologi. dalam menentukan
mekanisme dan perjalanan alamiah diabetes.

Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indek tambahan yang dapat dibagi atas
2 bagian:

1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta :

Hal ini dapat nilai dengan periksaan kadar insulin, pro-insulin, dan
sekresi peptida penghubung (C-peptide). Nilai-nilai ,,Glycosilated
hemoglobin“ (WHO memakai istilah ,,Glycated hemoglobin"), nilai
derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi
glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.

2. Indeks proses diabetogenik :

Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat


dilakukan penentuan tipe dan sub-tipe HLA; adanya tipe dan titer
antibodi dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau Langerhans
(islet cell antibodies), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) dan
sel endokrin lainnya; adanya Cell-mediated immunity terhadap
pankreas; ditemukannya susunan DNA spesifik pada genoma manusia
dan ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin
lainnya.

Perkembangan Klasifikasi Diabetes Melitus

Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinis maupun
laboratoris menunjukkan bahwa diabetes melitus merupakan suatu keadaan yang
heterogen baik sebab maupun macamnya. Selama bertahun-tahun hal ini telah
digumuli oleh banyak ahli ternama dengan tujuan mencapai persejutuan
internasional tentang prosedur diagnostik, kriteria dan terminologi. Dahulu
terdapat banyak perbedaan dalam masing-masing bidang walaupun telah
diusahakan untuk mendapat suatu konsensus. Pada tahun 1965 WHO dengan
Expert Committee on Diabetes Melitus-nya mengeluarkan suatu laporan yang
berisi klasifikasi pasien berdasarkan umur mulai diketahuinya penyakit, dan
menganjurkan pemakaian istilah-istilah pada klasifikasi tersebut seperti:
Childhood diabetics, Young diabetics, Adult diabetics, dan Elderly diabetics.
Tetapi kenyataannya di kemudian hari pembagian yang tegas tidak dapat
dilakukan sebab sebagian dari pasien yang berumur kurang dari 30 tahun
mendapat diabetes tipe orang dewasa yang tidak begitu berat (Maturity onse
diabetes of the young atau MODY) dan sebaliknya didapat pasien-pasien yang
berumur lebih dari 40-45 tahun yang insulin dependent atau memerlukan insulin
(insulin requiring) untuk mempertahankan asupan makanan yang cukup agar
dapat mempertahankan kekuatan dan stabilitas berat badannya. Pada tahun 1968,
American Diabetes Association membuat rekomendasi mengenai standarisasi tes
toleransi glukosa. Pembagian ini mengenal istilahistilah Pre-diabetes, suspected
diabetes, chemical atau latent diabetes dan overt diabetes. Sedang British Diabetes
Association memakai istilah potential diabetes, latent diabetes, asymptomatic atau
sub-clinical diabetes dan clinical diabetes. Baru pada tahun 1978 hal ini mulai
dibicarakan lebih dalam oleh European Society for the Study of Diabetes (EASD)
di Zagreb dan sebuah pertemuan internasional di Bethesda dengan sponsor NDDG
dari NIH (USA) yang kemudian pada thun 1979 dilaporkan oleh NDDG dan
kemudian dengan versi yang agak berbeda oleh WHO Expert Committee (1980).

Klasifikasi yang dipakai WHO dan NDDG tidak didasarkan atas umur
atau waktu mendapat diabetes tetapi berdasarkan tipe diabetes. Joslin (1971)
pernah membaginya atas "Hereditary" dan "Non-hereditary”, dimana “Hereditary"
terbagi lagi atas Growth-onset (juvenile) type dan Maturity-onset (adult) type.

Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes tetapi sebenarnya ada


yang berpendapat diabetes hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin.
Individu yang kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan sebagai
diabetes "Juvenile onset" atau "insulin dependent" atau "ketosis prone", karena
tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan
ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang "stable” atau
“maturity onset" atau "non-insulin dependent”. Orangorang ini hanya
menunjukkan defisiensi insulin yang relatif dan walapun banyak diantara mereka
mungkin memerlukan suplementasi insulin (insulin requiring), tidak akan terjadi
kematian karena ketoasidosis walapun insulin eksogen dihentikan. Bahkan
diantara mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolut bila
dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan dengan
obesitas dan/atau inaktifitas fisik.

Kelompok besar lainnya (NIDDM atau Diabetes tipe 2) tidak mempunyai


hubungan dengan HLA, virus atau auto-imunitas dan biasanya mempunyai sel
beta yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung
kepada insulin seumur hidup.

Tabel 3. Klasifikasi etiologis DM

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut
 Autoimun
 Idiopati
Tipe 2  Bervariasi mulai yang terutama dominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang terutama defek sekresi
insulin
Tipe lain  Defek genetic
 Defek genetic kerja insulin
 Penyakit eksokrin pancreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan
DM
Diabete mellitus gestasional

Secara umum klasifikasi WHO 1980 sudah mulai diterima tetapi kemudian
masuk berapa usul dan komentar mengenainya sehingga dalam klasifikasi baru
WHO 1985, hal ini telah ditampung dan diperbaiki. Hal yang paling penting
adalah ditambahkannya “Malnutrition Related Diabetes Mellitus " sebagai subklas
utama, sejajar dengan IDDM dan NIDDM. Tetapi kembali ADA 1997 tidak
memasukan MRDM dalam klasifikasi tersendiri tetapi dimasukkan kedalam DM
tipe lain.

Dalam terminologi juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO


1985 tidak lagi terdapat istilah tipe 1 dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah
mulai dikenal umum maka untuk tidak membingungkan maka kedua istilah ini
masih dapat dipakai tetapi tanpa mempunyai arti khusus seperti implikasi
etiopatogenik. Istilah ini pun kemudian kembali digunakan oleh ADA pada tahun
1997, sehingga DM tipe 1 dan tipe 2 merupakan istilah yang saat ini dipakai
ketimbang NIDDM (DMTTI) dan IDDM (DMTI).

Di Indonesia, Askandar pada tahun 1996 dan 1998 mencoba membuat


suatu klasifikasi praktis untuk DM dan membaginya menjadi 5 kelompok: IDDM,
NIDDM, MODY, DM tipe X dan MRDM. Dimana DM tipe X kemudian
berkembang menjadi DM tipe X 1 dan X2 yang identik dengan DM tipe 1/2
( Zimmet , 1993 ) dan DM tipe 3 identik dengan LADA (Latent Autoimmune
Diabetes of Adult, Tuomi, 1993).

Definisi IGT (Toleransi Glukosa Terganggu) pada 1979-80 oleh WHO dan
NDDG menggantikan istilah-istilah sebelumnya seperti: Borderline Diabetes, Pre-
diabetes dan Chemical diabetes.

Penetapan Klasifikasi tipe 1 atau tipe 2:

Diabetes pada orang dewasa seringkali langsung dinyatakan sebagai DM


tipe 2, hal ini sebenarnya merupakan suatu kesimpulan yang terlalu cepat diambil,
karena diabetes tipe ini merupakan suatu kelainan yang sangat heterogen dan
mempunyai berbagai bentuk. Suatu studi di Denmark memberikan suatu
gambaran lain yaitu DM tipe I tidak jarang terjadi pada orang dewasa. Ia dapat
terjadi pada semua umur dan kekerapan akan meningkat secara kumulatif mulai
dari umur 30 tahun, sehingga risiko terjadinya DM tipe 1 berhubungan dengan
umur-lama hidup. Sedang di New Zealand, DM pada orang dewasa 14%
menggunakan insulin dan diantara mereka 83% telah memulai pemakaiannya
sebagai pengobatan permanen kurang dari 12 bulan setelah diagnosis diabetes
ditegakkan. Mereka yang mendapat insulin sebelum 12 bulan ini secara bermakna
mempunyai kadar auto-antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase).
GAD ini merupakan autoantigen terhadap sel beta pankreas dan terdapat pada
80% DM tipe 1 baru dan juga terdapat pada 80% subyek 10 tahun sebelum
terjadinya diabetes tipe 1. Pada penelitian UKPDS (Inggris) orang dengan DM
tipe 2 ternyata 13,4% mempunyai anti GAD yang positif, dan di antara mereka
setelah 6 tahun, 90% kemudian memakai insulin, sedang yang dengan anti GAD
negatif hanya 6% yang kemudian memakai insulin. Memang diabetes tipe 1 pada
orang dewasa pada mulanya tidak akan memberikan gambaran klinis yang
spesifik sehingga akan sulit untuk mengklasifikasikan seorang berumur 35-50
tahun yang tidak gemuk sebagai diabetes, dan untuk kelompok seperti ini dapat
ditegakkan macam-macam etilogi diabetes.

Kadang-kadang memang sukar untuk menetapkan seseorang termasuk


dalam klasifikasi tipe apa. Misalnya, seorang dengan diabetes tipe 2 dan berat
badan kurang, selama ini memakai insulin seringkali dianggap sebagai tipe 1.
Atau seorang anak atau remaja yang baru diketahui diabetes dan berasal dari
keluarga dengan diabetes dengan keturunan autosomal dominan diabetes
(MODY). Orang ini biasanya masuk ke dalam Diabetes tipe 2 dan sebaiknya tidak
diklasifikasikan sebagai tipe 1 hanya berdasarkan umurnya saja. Juga didapat
orang dengan diabetes dengan karakteristik diabetes tipe 2 dan memerlukan
insulin untuk mengendalikan diabetes tetapi tidak tergantung pada insulin untuk
mencegah terjadinya ketoasidosis, sebaiknya tidak diklasifikasikan sebagai tipe 1,
hanya berdasarkan pemakaian insulinnya.

Di bawah ini ada beberapa karakteristik yang dapat digunakan untuk


membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2:

DM tipe 1 :

 Mudah terjadi ketoasidosis

 Pengobatan harus dengan insulin

 Onset akut

 Biasanya kurus

 Biasanya pada umur muda

 Berhubungan dengan HLA-DR3 & DR4

 Didapatkan Islet Cell Antibody (ICA)

 Riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%

 30-50% kembar identik terkena

DM tipe 2 :

 Tidak mudah terjadi ketoasidosis

 Tidak harus dengan insulin

 Onset lambat

 Gemuk atau tidak gemuk


 Biasanya > 45 tahun

 Tak berhubungan dengan HLA

 Tak ada Islet Cell Antibody (ICA)

 Riwayat keluarga (+) pada 30%

 + 100% kembar identik terkena

Daftar Pustaka

1. Adam JMF. Survey Diabetes Melitus pada Sekelompok Penduduk di


Ujung Pandang. Universitas Hasanudin, Ujung Pandang. 1982.

2. Albin J, Rifkin H. Etiologies of Diabetes Mellitus. In Symposium on


Diabetes Mellitus. Med Clin N A. 1982; 66 (6): 1209-26.

3. Raskin P American Diabetes Association. Medical Management of Non-


Insulin Dependent (Type II) Diabetes. 3rd ed. Clinical Education Series.
1994.

4. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus. Kapita Selekta 1998 (Pengalaman


Klinik di Pusat Diabetes dan Nutrisi Surabaya). Dalam Naskah Simposium
Recent Advances in the Management of NIDDM. Surabaya. April 1998.

5. Ranakusuma AB. Fungsi Sel Beta Pankreas pada Diabetes Melitus Tipe
Sirosis Hepatis. Tesis untuk mendapatkan gelar Doktor dalam Ilmu
Kedokteran pada Universitas Indonesia. Jakarta. 1986.

6. Bajaj JS. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. In Bunnag


SC, et al, editors. Diabetes Mellitus in General Practice. Bangkok. 1983. p
8-14.

7. Belfiore F. Rabuazzo AM. Frontiers in Diabetes. New Events and Facts in


Diabetes. Kaeger AG. Base. 1982.

8. Darmono, Sutarto J, Moeljanto D. Diabetes Melitus dan Kalsifikasi


Pankreas di RS Dr. Kariadi Semarang. Naskah Lengkap KOPAPDI IV
Medan 1978. 842-9.
9. Etzwiler DD. Diabetes in the Young, In Alberti KGMM, Krall LP. Editu
Diabetes Annual. Elsevier Science Publishers BV, Amsterdam. 1985. p.
21717

10. Harris MI. Epidemiologic studies on the pathogenesis of non-insulin


dependediabetes mellitus (NIDDM). Clinical and Investigative Medicine.
1995: 18 (4) 231-9.

11. Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellit


Report of the Expert Committee. Diabetes Care. 1997; 20: 1183-97.

12. Kahn CR. Pathophysiology of Diabetes Mellitus : An Overview. In Marble


A, et al editors Joslin's Diabetes Mellitus Marble. 12h ed. Philadelphia.
1985. p. 43-50

13. Kariadi SH. Diabetes Mellitus with Pancreatic Calcification. In Baba S,


Iwa S, Sukaton U, editors. Proceedings of the 4th Seminar of Diabetes
Mellitus and Nutrition. Kobe, 1983. November 22-23.

14. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia PERKENI 2006.

15. Lipson LG. Diabetes in the Elderly : Diagnosis, Pathogenesis and Therapy.
Am J Med. 1986; 80 (5a) : 10-21

16. Marble A, Ferguson BD. Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus


and Non diabetic Meliturias. In Marble A, et al, editors. Joslin's Diabetes
Mellitus, 12th ed. Philadelphia. 1985. p. 332-352.

17. National Diabetes Data Group. Classification and diagnosis of diabetes


mellitus and other categories of glucose intolerance. Diabetes. 1979; 28:
1039-57

18. Ranakusuma BS, Yamakido M, Setiadi E, Mulyanto D, Sujono,


Supartondo, Sukaton U. The Beta-cell Function in the Pancreatic
Calcification Diabetes Melitus (A Preliminary report). Act Med Ind. 1984,
15:235-8.
19. Rudijanto A, Hendromartono, Tjokroprawiro A., Soedjono RS.
Malnutrition Related Diabetes Mellitus (MRDM). Act Med Ind. 1986;
17:35-40.

20. Scott R, Willis J, Brown L, Forbes L, Scchmidzi R, Zimmet P, Mackay I,


Rowley M. Antibodies to glutamic acid decarboxylase (GAD) predict
insulin deficiency in adult onset diabetes mellitus. Diabetes. 1993; 42:
220A.

21. Scott RS, Brown LJ. Prevalence and incidence of insulin treated diabetes
mellitus in adults in Canterbury, New Zealand Diabetic Med 1991; 8:1-8.

22. Shagan BP. Diabetes in the Elderly. Med Clin NA, 1976, 60: 1191.

23. Soegondo S, Waspadji S, Ranakusuma AB, Sujono S, Supartondo, Sukaton


U. Respons Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Melitus terhadap
Isophane Dosis Tunggal di RSCM Jakarta. Naskah Lengkap KOPAPDI VI
Jakarta 1987, 982-995.

24. Sujono S. Dasar-dasar Pengobatan Diabetes Melitus. Naskah Lengkap


Simposium Diabetes Melitus. Jakarta. 1980 : 76-100.

25. World Health Organization. Diabetes Mellitus: Second Report Technical


Repor Series No.646. WHO Geneva, 1980, 8-12

26. World Health Organization Study Group. Diabetes Mellitus. Technical Rep
Series No.727. Geneva: WHO, 1985.

27. World Health Organization. Prevention of diabetes mellitus. Technical Rep


Series No.844. Geneva: WHO, 1994.

28. Zimmet P.Classifying Diabetes Mellitus, A new paradigm for research, and
prevention. International Diabetes Institute, Melbourne, Australia.

Shapes dan gambar 5 kaca : 2 x 3500 = 8.750

Text 29 kaca : 2 x 3000 = 43.500 total = 43.500 + 8. 750 = 52.250

Anda mungkin juga menyukai