Anda di halaman 1dari 82

TORCH Kapan di Terapi?

Rizka Humardewayanti Asdie


Divisi Penyakit Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Pendahuluan
Manifestasi klinis infeksi TORCH ini pada imunokompeten sering kali
asimtomatik, jika dengan gejala, biasanya ringan. Akan tetapi jika pada
pasien dengan imunokompromais bisa mengakibatkan sakit yang berat
bahkan dapat fatal serta jika infeksi ini terjadi saat hamil dapat menyebabkan
kematian janin dan neonatal dan merupakan kontributor penting morbiditas
dini dan masa kanak kanak. Konsep asli dari infeksi perinatal TORCH adalah
mengelompokkan lima infeksi dengan presentasi yang serupa, termasuk ruam
dan temuan okular. Kelima infeksi ini adalah: Toksoplasmosis, Lainnya (sifilis),
Rubella, Sitomegalovirus (CMV) dan virus herpes simpleks (HSV). Namun
saat ini diketahui penyebab lain infeksi dalam rahim, sehingga memperluas
katagori “others”, seperti enterovirus, virus varicella zoster, dan parvovirus
B191. Dalam praktek sehari hari sering kita dihadapkan pasien yang ingin
berkonsultasi tentang hasil laboratorium TORCH dan sering kali ditanya
apa perlu diobati?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis mencoba
merangkum dari berbagai sumber tentang kapan infeksi Toxoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes simpleks diobati.

Toxoplasma
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii2,3. Toxoplasma gondii ditemukan oleh Nicola dan Manceaux
pada tahun 1908 pada limfe dan hati Ctenodactylus gondii di Tunisia Africa
dan kelinci di Brazil4. Toxoplamosis tersebar di seluruh dunia dan menginfeksi
lebih dari 50% populasi manusia di dunia. Sekitar 10-15% penduduk AS
menunjukkan hasil yang positif secara serologis saat check-up. Seropositif
pada pasien AIDS HIV diperkirakan 10–45%2,3. Hasil check-up IgM dan IgG
anti Toxoplasma di Indonesia, pada manusia sekitar 2–63%, kucing 35–73%,
babi 11–36%, kambing 11–61%, anjing 75% dan binatang peliharaan lain <
10%2.

Manusia dapat memperoleh toxoplasmosis saat mengkonsumsi olahan


dari binatang yang terinfeksi oocyst dan tidak dimasak dengan matang,
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 797
Rizka Humardewayanti Asdie

makanan yang mengandung bradyzoite, kontak dengan kotoran kucing


yang mengandung oocyst atau secara vertikal penyebaran hematogen dari
plasenta3,6,7. Orang imunokompeten dengan infeksi primer biasanya tidak
menunjukkan gejala, tetapi infeksi laten dapat bertahan selamanya pada
inangnya. Namun, ada risiko aktif kembali infeksi di lain waktu seandainya
individu menjadi imunokompromais, bahkan jika infeksi asimptomatik atau
hanya gejala ringan pada awalnya. Felines adalah satu-satunya hewan di mana
T. gondii dapat menyelesaikan siklus reproduksinya1.

Toxoplasmosis dapat menyebabkan infeksi akut atau kronik. Infeksi


akut dikaitkan dengan bentuk proliferatif tachyzoite, sedang kronis dikaitkan
dengan bentuk kista jaringan. Selama proses akut, tachyzoite menginvasi
semua sel pada tubuh kecuali sel yang tidak mengandung nukleus seperti
eritrosit56. Tachyzoite masuk ke dalam sel penjamu melalui penetrasi aktif
atau dengan fagositosis. Parasit menempel pada sel target melalui micronema,
enzim dilepaskan oleh rhoptries untuk memproduksi vakuola parasitophorus
dan dense granules mensekresi enzim untuk mematangkan vakuola
menjadi kompartemen yang aktif. Toxoplasma membelah diri intraseluler
mengganggu sel penjamu. Parasit yang bebas akan menginvasi dan merusak
sel yang berdekatan, menyebabkan lesi fokal yang besar. Jika infeksi terjadi
pada penjamu yang hamil, tachyzoites dapat menembus plasenta dan
menyebabkan kelainan kongenital yang berat seperti hidrosefalus, kalsifikasi,
gangguan neurologis dan chorioretinitis, yang dapat rekuren6,7. Diagnosis
toksoplasmosis dapat ditegakkan melalui serangkaian tes seperti serologi,
PCR, pemeriksaan histologis parasit (imunoperoksidase) dan isolasi parasit7,8.
Untuk kepentingan klinis, toxoplasmosis dibagi menjadi 5 katagori yaitu (1)
toxoplasmosis pada pasien imunokompeten, (2) toxoplasmosis okuler (3)
toxoplasmosis pada kehamilan (4) toxoplasmosis pada imunokompromais
dan dan (5) congenital toxoplasmosis7. Pada kesempatan ini hanya akan
dibahas toxoplasmosis pada imunokompeten, toxoplasmosis okuler dan
toxoplasmosis pada kehamilan.

1) Toxoplasmosis pada pasien immunokompeten


Hanya 10–20% toxoplasma pada anak dan dewasa yang bergejala2. Jika
bergejala sering kali gejalanya ringan dan tidak spesifik seperti demam,
pembesaran kelenjar getah bening, myalgia, leher kaku, nyeri telan atau
nyeri perut6,9. Pemeriksaan serologi IgM dan IgG dilakukan pertama
kali jika curiga toxoplasmosis. Serologi diulang setelah 3-4 minggu dari
pemeriksaan pertama. Hasil IgM dan IgG negatif dapat menyingkirkan

798 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

diagnosis toxoplasmosis. Infeksi akut jika terjadi kenaikan 4 kali lipat


dari nilai baseline. Pemeriksaan panel seperti Toxoplasma Serological
Profile (TSP) atau aviditas IgG digunakan untuk membedakan apakah
infeksinya terjadi akut atau kronik9.

Terapi tidak diperlukan pada kasus asimtomatik kecuali pada anak < 5
tahun2,7. Hanya pasien imunokompeten yang menunjukkan gejala yang
diterapi. Pyrimethamine diberikan 100 mg loading dose, selanjutnya
25–50 mg / hari, dikombinasi dengan sulfadiazine 2–4 g / hari dibagi
dalam 4 kali / hari selama 2–3 hari atau dapat pula dikombinasi dengan
clindamycin 300 mg 4 kali / hari selama 6 minggu. Sulfadiazine dan
clindamycin dapat diganti dengan azithromycin 500 mg / hari atau 750
mg atovaquone 2 kali / hari. Alternatif lain dapat diberikan Trimethoprim
(TMP) 10 mg / kg / hari, sulfamethoxazole (SMX) 50 mg / kg / hari selama
4 minggu. Kalsium leucovorin (asam folinat, 10 hingga 25 mg setiap hari)
harus diberikan kepada semua pasien yang menerima Pyrimethamine 10.

2. Toxoplasma okuler
Toxoplasma okuler merupakan penyebab tersering dari uveitis posterior
di seluruh dunia, tetapi insidensi dan prevalensinya sulit ditentukan
dengan tepat. Secara klasik, retinochoroiditis sekunder akibat
toxoplasma didapat, dianggap sebagai kejadian yang luar biasa pada
pasien dengan immnunokompeten dan biasanya didefinisikan sebagai
periode reaktivasi kista laten yang dikaitkan dengan infeksi kongenital
yang tidak terdiagnosis. Tetapi data terakhir berdasar pemeriksaan
mata, pada beberapa kasus merupakan infeksi baru11.

Diagnosis dari toxoplasma okuler didasarkan pada pemeriksaan mata


yang memperlihatkan unilateral, dengan lesi focus bulat, batas kabur
berwarna keputihan, dikelilingi oleh edema retina (gambar 1). Sel-sel
ditemukan di vitreous, terutama di atasnya lesi yang aktif. Di daerah
sekitar retinitis aktif, dapat terlihat adanya perdarahan, serta pelapisan
pembuluh darah retina. Penemuan bekas luka retinochoroidal berpigmen
dari retinitis yang membaik dapat juga memfasilitasi diagnosis.
Toxoplasma okuler juga dikonfirmasi oleh respon klinis terhadap terapi
spesifik. Namun, diagnosis dan pengobatan dapat ditunda pada pasien
dengan lesi atipikal atau pasien yang menunjukkan respon yang tidak
memadai terhadap terapi khusus toxoplasma, pada pasien lanjut usia
atau pasien yang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh11,12.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 799


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 1. Retinitis Toxoplasma12


(a) lesi aktif, (b dan d) jaringan parut (scar), (c) lesi aktif dan scar

Tidak ada konsensus tentang pengobatan retinochoroiditis. Sebagian para


ahli hanya akan mengobati pasien yang lesinya dekat dengan makula atau saraf
optik dan ketika ada hyalitis dengan gangguan ketajaman mata. Pasien yang
tidak diterapi akan diperiksa secara teratur. Ahli lain akan memperlakukan
semua lesi dimanapun lokasinya dengan Pyrimethamine / azithromycin yang
direkomendasikan lebih dapat ditolerir dan memiliki kepatuhan yang lebih
baik daripada pyrimethamine yang terkait dengan sulfadiazin. Kortikosteroid
(prednison 0,5 - 1 mg / kg / hari) secara konstan diberikan selama beberapa
minggu, kecuali untuk pasien dengan gangguan imun. Pyrimethamine pada
orang dewasa digunakan pada 100 mg / hari selama beberapa hari kemudian
menurun pada 50 mg / hari. Ini harus dikombinasi dengan sulfadiazine pada
75mg / kg / hari dibagi dalam 4 dosis atau lebih baik dengan azithromycin
250 mg / hari. Lama pengobatan 3 hingga 6 minggu, kadang-kadang lebih,
tergantung pada ukuran awal lesi. Pada pasien yang tidak toleran terhadap
pengobatan, klindamisin pada 450-600 m /hari data diberikan. Asam folinic
15 mg diberikan setiap 3 hari11, 12.

(3) Toxoplasmosis dalam kehamilan


Kebanyakan wanita hamil dengan infeksi akut yang didapat tidak
mengalami gejala spesifik. Hanya beberapa yang mengalami gejala
lemas, demam, dan limfadenopati. Transmisi vertikal ke janin meningkat
800 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
TORCH Kapan di Terapi?

sejalan dengan meningkatnya usia kehamilan13. Algoritma tatalaksana


toxoplasma dalam kehamilan dapat dilihat pada gambar 2 , 3 dan 4
dibawah ini.

Spiramycin merupakan obat pilihan toxoplasmosis maternal, dengan


dosis 3 g / hari PO dibagi dalam 2-4 kali /hari selama 3 minggu,
berhenti 2 minggu, diulang siklusnya hingga 5 kali selama kehamilan.
Jika PCR positive dari cairan amnion regimen harus diganti dengan
pyrimethamine 50 mg / hari dan sulfadiazine 3 g / hari dibagi dalam
2-3 dosis selama 3 minggu diselingi dengan pemberian spiramycine 1
g 3 kali / hari selama 3 minggu atau dapat diberikan pyrimethamine 25
mg / hari dan sulfadiazine 4 g / hari dalam dosis terbagi 2-4 kali / hari
diberikan sampai melahirkan7,10.

Gambar 2, Evaluasi Toxoplasma Antenatal14

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 801


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 3. Alur Diagnosis dan Manajemen Toxoplasmosis Maternal14

802 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 4. Alur Diagnosis dan Manajemen Toxoplasmosis Maternal (2)14

Rubella
Virus Rubella merupakan virus paling teratogenik yang diketahui. Jika
infeksi primer rubella terjadi selama kehamilan virus dapat melewati plasenta
dan menginduksi infeksi pada janin, tergantung pada usia kehamilan. Triad
gejala klasik dari infeksi kongenital rubella meliputi katarak, gangguan
jantung dan tuli sensori neural, meski demikian kelainan organ lainnya dapat
pula terjadi15. Meski rubella sering terjadi pada anak anak (3-10 tahun), lebih

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 803


Rizka Humardewayanti Asdie

dari 70% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan pada usia reproduksi.
Rubella tersebar di seluruh dunia dan cenderung epidemic pada non imun
setiap 4-9 tahun. Virus ini dapat diisolasi tahun 1962. Vaksin attenuated
dikembangkan pada tahun 1967 dan komersial sejak tahun 196915.

Pada wanita non hamil, rubella biasanya merupakan infeksi ringan


yang ditandai dengan ruam yang sembuh sendiri. Presentasi klinisnya tidak
spesifik. Penyakit lain juga dapat memberi manifestasi ruam16. Diagnosis
bandingnya termasuk parvovirus B-19, enterovirus, measles dan beberapa
infeksi arbovirus (dengue, chikungunya, west nile dan zika)16. Masa inkubasi
rubella adalah 12-23 hari. Masa infeksius dimulai dari 7 hari sebelum
hingga 5-7 hari ruam muncul. Meski rubella adalah asimtomatik pada 25-
50% kasus, pada beberapa orang dapat menimbulkan gejala demam yang
tidak tinggi, konjungtivits, nyeri tenggorok, coryza, nyeri kepala, malaise
dan limfadenopati15,16. Gejala prodoromal ini akan muncul 1-5 hari sebelum
muncul ruam kulit. Munculnya ruam dimulai dari wajah, menyebar ke tubuh
dan ekstremitas, dan akan menghilang dalam waktu 3 hari dengan cara
yang sama munculnya ruam (dari wajah dulu baru kemudian tubuh)16. Poli
artritis dan poli artralgia dapat berkembang 1 minggu setelah munculnya
rash terutama pada remaja dan wanita dewasa (60-70%), yang secara
klasik mengenai bilateral dari tangan, lutut, pergelangan tangan, dan sendi
pergelangan kaki. Manifestasi lain meskipun jarang termasuk tenosinovitis,
sindroma carpal tunnel, trombositopenia, ensefalitis post infeksi, myocarditis,
hepatitis, anemia hemolitik dan sindroma hemolitik uremia16.

Wanita hamil non imun dapat terkena infeksi secara langsung melalui
droplet hidung dan tenggorok jika kontak dengan kasus rubella. Dapat pula
didapatkan riwayat kontak pada anak/dewasa dengan demam dan ruam15.
Risiko terjadinya sindroma rubella kongenital setelah infeksi maternal
terbatas pada 16 minggu pertama kehamilan. Risiko sindroma tersebut 65-
85% pada usia kehamilan 2 bulan pertama dan menurun hingga 30-35% dan
satu keterlibatan organ (tuli atau kelainan jantung bawaan) untuk infeksi pada
bulan ketiga kehamilan, dan hanya 10% pada bulan keempat kehamilan16.

Diagnosis infeksi rubella akut pada kehamilan sangat sulit. Ruam tidak
terlalu spesifik atau jelas, dan sebagian besar kasus adalah subklinis. Oleh
karena itu, adanya serokonversi dan adanya titer IgM yang tinggi adalah
modal utama diagnosis rubella akut pada kehamilan. Jika seorang wanita
telah terpapar atau kontak dengan kasus rubella atau jika curiga infeksi

804 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

rubella karena ada ruam atau demam, serologi - terutama dengan sampel
berpasangan pada waktu akut dan konvalesen - dapat mendiagnosis infeksi
akut jika ada seokonversi15. Tes serologis yang sangat banyak digunakan
adalah uji inhibisi hemaglutinasi (HI) yang dikembangkan pada tahun 1966.
Dua sampel darah - pertama dalam 5 hari setelah paparan atau timbulnya
penyakit dan 2 minggu kemudian - harus diperiksa. Peningkatan empat kali
lipat antibodi HI dalam serum berpasangan ini atau adanya IgM dalam sampel
serum tunggal merupakan diagnostik dari infeksi rubella akut. Tes serologis
yang lebih sensitif adalah tes dengan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan uji radio-immuno assay15. Serologi elisa mengukur antibodi Ig M
dan IgG anti rubella tersedia secara luas. Aviditas IgG membantu membedakan
infeksi primer atau infeksi berulang. Aviditas IgG rendah menandakan infeksi
saat ini, aviditas tinggi menunjuukan infeksi lampau atau imunisasi. NAAT
dan PCR berguna untuk mengkonfirmasi infeksi rubella jika hasil tes IgM
menunjukkan ekuifokal serta untuk kepentingan surveilance genotyping.
Diagnosis definitif adalah isolasi virus dari tenggorokan atau darah16.

Adapun diagnosis curiga infeksi rubella pada maternal terlihat pada


gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5. Diagnosis Kecurigaan Infeksi Rubella Pada Maternal16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 805


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 6. Alogaritma Evaluasi Serologis Wanita Hamil yang Terpapar Rubella17

Infeksi rubella didefinisikan sebagai berikut 16:


1. Terdapat kenaikan 4x lipat antibodi rubella antara fase akut dan
konvalesen
2. Serokonversi IgG spesifik rubella
3. IgM anti rubella positif dan aviditas IgG rubella rendah
4. Kultur atau PCR rubella positif.

Sedang menurut definisi dari CDC, suspect rubella jika ada demam dengan
ruam yang tidak memenuhi kriteria probable atau confirmed rubella. Probable
rubella dengan kriteria ruam makulopapuler akut, dengan suhu > 37,20C dan
atralgia, artritis, limfadenopati atau konjungtivitis dan tidak memiliki sarana
laboratorium untuk mengkonfimasi kasus rubella dan tidak ada pemeriksaan
virologi atau serologi rubella. Sedang confirmed rubella jika ada kasus dengan
atau tanpa gejala tetapi secara laboratorium menunjukkan infeksi rubella
seperti isolasi virus rubella positif, atau, PCR rubella positif atau ada kenaikan
titer antibodi imunoglobulin rubella serum fase akut dan konvalesen dengan
serologi assay standar atau serologi positif Ig M rubella, tidak dijelaskan
pengaruh vaksinasi MMR 6-45 hari sebelumnya dan tidak disebutkan

806 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

laboratorium standar) ATAU penyakit yang ditandai dengan semua dari


ruam makulopapular akut dan suhu lebih dari 37,20C dan artralgia, artritis,
limfadenopati atau konjungtivits dan secara epidemiologi berkaitan dengan
kasus yang terkonfirmasi rubella17.

Waktu tes untuk mendiagnosis rubella sangatlah penting. Uji serologi


sangat bagus dilakukan dalam waktu 7-10 hari setelah onset ruam dan harus
diulang 2-3 minggu berikutnya (akut dan konvalesen) 16.

Terapi infeksi akut rubella bersifat suportif. Prognosis umunya baik16.


Tatalaksana wanita hamil yang terkena harus bersifat individual dan
tergantung pada kapan infeksi terjadi pada wanita hamil serta imunitas
rubella seperti yang terlihat pada gambar 5. Pencegahan dengan vaksin MMR
atau MMRV. Dua dosis vaksin MMR direkomendasikan untuk individu > 12
bulan Pada anak dosis pertama diberikan usia 12-15 bulan, dan dosis kedua
pada usia 4-6 tahun. Vaksin MMRV diberikan juga 2 dosis pada anak 12 bulan
– 12 tahun17.

Herpes Simpleks Virus


Herpes simpleks virus (HSV) merupakan virus double-stranded DNA
yang merupakan bagian dari subfamily alpha herpesviridae. Herpes berasal
dari bahasa Yunani kuno yang berarti merayap atau merangkak. HSV terdiri
dari 2 tipe yaitu HSV1 dan HSV2, yang dibedakan dari antigen pada protein
envelope-nya, dan merupakan virus patogen pada manusia. Infeksi ini
terdapat di seluruh dunia dan tidak mengenal musim, dan secara alamiah
hanya menginfeksi manusia, dan jarang berakibat fatal. Untuk terjadinya
infeksi maka harus ada kontak dengan permukaan mukosa atau kulit lecet.
Manifestasi infeksi HSV sangat tergantung status imun pasien11.

HSV1 ditransmisikan melalui sekresi oral dan secara tipikal menginfeksi


permukaan skuamosa dari bibir dan mulut. Banyak infeksi primer yang
tidak menimbulkan gejala tetapi pada beberapa orang bermanifes sebagai
ginggivostomatitis11,18, bahkan dapat bermanifes sebagai herpes gladiatorum
atau herpes whitlow12. HSV1 dapat bermigrasi melalui serabut syaraf sensoris
ke ganglion nervus kranialis trigeminalis di otak dan menjadi dormant di nuklei
neuron. HSV1 dapat mengalami reaktivasi dari bentuk latent dan kemudian
bermigrasi turun secara retrograde melalui axon neurosensory cabang
syaraf mandibula kembali ke mulut dan bibir. Virus juga dapat bermigrasi ke
cabang ophthalmicus menyebabkan herpetik di kulit periorbital atau kornea.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 807


Rizka Humardewayanti Asdie

Kebanyakan infeksi rekuren ini asimtomatik atau menyebabkan vesikel yang


menyebabkan masalah kosmetik saja. Sedang pada pasien dengan gangguan
imunitas yang dimediasi seluler yang berat (seperti AIDS atau transplan)
dapat menyebabkan nekrosis lokal atau menyebar ke organ viseral11,19.

Infeksi HSV2 biasanya ditemukan pada permukaan skuamosa anogenital.


Selama kontak seksual virus secara langsung dapat ditransmisikan dari
sel epitelial yang terinfeksi dari satu partner ke partner lainnya. Setelah
resolusi dari lesi herpes genital primer, HSV2 bermigrasi dan membentuk
latensi pada ganglia neuron sacral. Reaktivasi dari bentuk dormant ini akan
menyebabkan lesi rekuren dari permukaan epitelial mukokutaneus. Pada
pasien dengan imunokompromais sering mengalami rekurensi dan lebih
berat manifestasinya11,19.

Meski demikian HSV1 dan HSV2 dapat mengenai sistem syaraf pusat,
dan meski diterapi dengan asiklovir, infeksi ini sering berakibat fatal dan
dikaitkan dengan gejala sisa. Ensefalitis HSV biasanya akibat reaktivasi HSV1
laten yang menyerang melalui nervus kranialis trigeminalis atau olfactory
langsung ke jaringan cortex cerebri lobus frontalis atau temporalis. Replikasi
virus terjadi secara cepat dan menimbulkan lesi nekrosis dari struktur
otak. Ensefalitis HSV ini bersifat sporadik. Kurang lebih 5-10% dari infeksi
genital HSV2 primer dapat disertai meningitis akut yang bersifat sementara.
Kaku kuduk, nyeri kepala dan disfungsi otonom dengan retensi urin dapat
berkembang dalam beberapa hari setelah vesikel genital pertama. Iritasi
meningeal herpes menyebabkan pleositosis limfositik dan kenaikan ringan
protein cairan serebrospinal. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa
meski tidak diobati19.

Sedang infeksi HSV pada wanita hamil dapat dilihat pada gambar 7 dan 8.

808 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 7. Risiko Transmisi Vertikal HSV Pada Kehamilan16,21

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 809


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 8. Manajemen HSV Genital Pada Kehamilan16,21

Keputusan menerapi tidak dapat menunggu hasil uji serologis11. Adapun


indikasi terapi asiklovir diantara pasien dengan infeksi herpes simpleks
terangkum pada tabel di bawah ini.

810 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Tabel 1. Indikasi Terapi Acyclovir Diantara Pasien dengan Infeksi Herpes Simplex
Virus20
Tipe infeksi Rute dan dosis* Komentar
HSV Genital
Episode awal
Aciclovir 5 x 200 mg p.o. selama 7–10 hari Rute untuk penjamu
normal
5 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 5-7 hari Untuk kasus berat
3x 400 mg p.o.
Valaciclovir 2x 1 g p.o. selama 7–10 hari
Famciclovir 3 x 250 mg p.o. selama 5–10 hari
Episode berulang
Aciclovir 2 x 400 mg p.o selama 5 hari Keuntungan klinis
terbatas
Valaciclovir 2 x 500 mg p.o. selama 5 hari
Famciclovir 2 x 125–250 mg p.o. selama 5 hari
Suppresi
Aciclovir 2 x 400 mg p.o Titrasi dosis diperlukan
Valaciclovir 1 x 500 atau 1000 mg p.o.
Famciclovir 2 x 250 mg p.o.
HSV Mukokutan pada pasien imunokompromais
Aciclovir 5x 200–400 mg p.o. selama 10 hari Untuk lesi minor
5 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 7-14 hari
5 x 400 mg p.o. selama 7–14 hari
Valaciclovir 2 x 500 mg p.o.
Famciclovir 3 x 250 mg p.o.
HSV encephalitis
Aciclovir 10–15 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 14–21 hari
HSV Neonatal
Aciclovir 20 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 14–21 hari
*Dosis untuk dewasa dengan fungsi ginjal baik, HSV=herpes simplex virus

Cytomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) adalah virus DNA, merupakan virus yang tumbuh
lambat, berdiameter 200 nm dan merupakan virus terbesar dari family
betaherpesviridae. CMV dapat menginfeksi pada manusia dan binatang. Virus
HCMV (Human cytomegalovirus) hanya menginfeksi manusia. Karena labilitas
HCMV terhadap factor lingkungan, kontak erat dipercayai sebagai sumber
penularan horizontal. Sumber virus termasuk sekresi orofaring, urine, sekresi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 811


Rizka Humardewayanti Asdie

vagina dan serviks, cairan sperma, air susu dan darah. Penyebaran vertical
diperoleh secara transplasenta. Selain itu ada pula rute infeksi yang penting
yaitu iatrogenic transplantasi organ padat (TOP) dan transplantasi sumsum
tulang (TST) serta transfusi darah11.22.

Infeksi CMV pada manusia pertama kali dicatat oleh Ribbert pada tahun
1881, dan pada tahun 1920 Goodpasture dan Talbot mempostulasikan sel
yang bengkak atau cytomegalia jika sel terinfeksi virus ini23. Tahun 1960
Weller menamai dengan Cytomegalovirus. Nama “Cytomegalo” mengacu pada
ciri khas pembesaran sel yang terinfeksi virus, di dalam nukleusnya, dijumpai
inclusion bodies, dan membesar berbentuk menyerupai mata burung hantu
(owl’s eye) 23 (gambar 9).

Gambar 9. Sel Paru Terinfeksi Cytomegalovirus24

Masa inkubasi pada infeksi primer adalah 6-8 minggu, fase reaktivasi 5-6
minggu. Setelah infeksi virus akan tetap ada di organisme penjamu sepanjang
hidupnya. Reaktivasi dapat terjadi pada imunokompromais. Satu hingga dua
prosen bayi baru lahir terinfeksi CMV, 10-40% anak-anak terinfeksi, 50-90%
populasi dewasa seropositive CMV. Terdapat 3 puncak usia untuk infeksi CMV
didapat: infant dan awal anak anak, remaja muda dan usia reproduksi22.

Infeksi HCMV pada manusia dapat latent dan tidak produktif, produktif
tetapi asimtomatik dan produktif dan simtomatik. Respon imun termasuk
kematangan respon imun merupakan faktor utama untuk mengontrol virulensi
virus ini. Penyakit HCMV hanya terbatas pada penjamu imunocompromais,
kecuali untuk mononucleosis-like illness dapat berkembang pada beberapa
pasien, CMV sangat jarang menyebabkan penyakit pada imunokompeten21.
Risiko penyakit karena CMV adalah pasien imunokompromais sekunder

812 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

termasuk TOP dan TST dan AIDS maupun imunodefisiensi seluler atau
kombinasi primer11,22. Pada kesempatan kali ini hanya akan dibahas Retinitis
CMV pada Non HIV dan Retinitis pada pasien transplan, sedang pada HIV telah
dibahas oleh pembicara lainnya.

Retinitis CMV pada Non HIV


Manifestasi klinis dari retinitis CMV akibat dari nekrosis yang dapat
menghancurkan seluruh retina dalam 3-6 bulan, biasanya unilateral tetapi jika
tidak diobati 50% menjadi bilateral. Gejala yang timbul adalah berkurangnya
penglihatan atau floaters (kilatan cahaya) dan skotomata. Diagnosis retinitis
CMV ditegakkan dari anamnesis, oftalmoskopi indirek oleh dokter mata
terlatih yang memberi gambaran khas untuk retinitis CMV adalah nekrosis
retina berkonfluens yang mengenai seluruh lapisan disertai perdarahan
(gambar 10) dan foto fundus, serta laboratorium: PCR CMV, antigenemia CMV
(sensitifitas 96% dan spesifitas 90%) dan CMV urin24.

A. Foto funduskopi mata kiri retinitis B. Retinitis dan perdarahan retina pada zona 2
pada zona 1
Gambar 10. Retinitis CMV26

Faktor risiko terjadinya retinitis CMV pada pasien non HIV dapat dilihat pada
tabel 2.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 813


Rizka Humardewayanti Asdie

Tabel 2. Kondisi pada Pasien Non HIV yang Dikaitkan dengan Retinitis CMV27

Alogaritma tatalaksana Retinitis CMV HIV negative dapat dilihat pada gambar
11.

814 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 11. Alogaritma Retinitis CMV Pada Pasien HIV Negative27

Infeksi CMV Pada Pasien Transplan


Terdapat 3 strategi dalam menatalaksana infeksi CMV pada pasien
transplan yaitu profilaksis, preemptive dan terapeutik. Pendekatan profilaksis
digunakan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti resipien TST alogenik dari
donor tidak sekeluarga dan pasien dengan terapi alemtuzumab. Obat antiviral
diberikan pada pasien tersebut tanpa adanya bukti reaktivasi CMV. Terapi
preemptive merupakan inisiasi terapi antiviral ketika terdapat bukti adanya
reaktivasi CMV di dalam darah, yang ditandai adanya antigen CMV pp65, DNA
atau mRNA CMV. Pendekatan terapi ini sering digunakan pada pasien dengan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 815


Rizka Humardewayanti Asdie

risiko sedang TST alogenik dan autolog. Batas nilai laboratorium untuk
memulai terapi berbeda pada setiap negara. Pasien yang didiagnosis adanya
organ target dari infeksi CMV, maka dosis terapi untuk CMV dianjurkan.
Sebagai terapi lini pertama, terapi gansiklovir intravena dengan dosis induksi
5 mg/kg setiap 12 jam selama 2-3 minggu diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/
kg/rumatan. Durasi terapi tergantung pada keparahan penyakit dan resolusi
gejala dan tanda infeksi CMV. Terapi alternative lain dengan menggunakan
valgansiklovir dengan dosis induksi 900 mg dua kali sehari. Untuk pasien
yang tidak toleran terhadap gansiklovir atau valgansiklovir dapat diberikan
foscarnet dengan dosis 90 mg/kg setiap 12 jam. Untuk pasien yang intoleran
terhadap gansiklovir dan foscarnet dapat dipertimbangkan terapi lini 3
yaitu cidofovir dan maribavir28. Terapi infeksi CMV dengan target organ, fase
induksi diberikan lebih lama yaitu 3-4 minggu29.

Cytomegalovirus pada Kehamilan


Cytomegalovirus (CMV), merupakan virus penyebab infeksi kongenital
yang tersering, mengenai 0.2-2.2 % kelahiran hidup, menyebabkan
morbiditas yang bermakna terutama pada janin yang bergejala pada masa
neonatusnya. CMV menyebabkan tuli syaraf non genetik dan menyebabkan
ketidakmampuan neurologis utama. Sekitar 10-15% nenonatus dengan CMV
kongenital akan bergejala pada saat lahir dengan jumlah yang sama masalah
perkembangannya pada masa anak anak30.

Kebanyakan orang sehat yang terkena infeksi CMV setelah lahir akan
mengalami sedikit atau bahkan tidak mengalami gejala dan tidak ada gejala
sisa. Beberapa mengalami sindroma infeksi mononucleosis dengan gejala
lemas, demam persisten, myalgia, limfadenopati, dan pneumonia (jarang).
Setelah infeksi primer, didefinisikan sebagai infeksi CMV pada orang yang
sebelumnya seronegatif, virus akan dorman dan berada pada status laten,
dimana dapat mengalami reaktivasi (disebut dengan infeksi berulang atau
infeksi sekunder). Terdapat beberapa strain yang dapat menginfeksi manusia,
sehingga reinfeksi dapat terjadi meskipun pada imunokompeten. Sehingga
infeksi sekunder didefinisikan sebagai ekskresi virus intermiten pada individu
dengan imunitas, dapat disebabkan karena reaktivasi endogen maupun
terpapar virus dengan strain baru. Perbedaan keduanya tidak mungkin
dibuktikan secara serologis, tetapi dengan analisis molekuler dari isolat virus.
Serokonversi terjadi pada 1-4% dari semua kehamilan dan tinggi pada wanita
dengan status sosial ekonomi yang rendah atau dengan kebersihan yang
rendah31.

816 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Transmisi ke janin dapat terjadi selama kehamilam melalui rute


transplasenta, selama proses kelahiran akibat kontak dengan cairan sekresi
cervicovaginalis dan darah atau post natal melalui air susu. Transmisi lebih
sering akibat inteksi primer maternal, diikuti dengan reaktivasi atau infeksi
berulang dengan strain yang berbeda. Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi
primer memiliki risiko infeksi kongenital 30–40%, dan 13% dari mereka
akan bergejala saat lahir. Sedang pada infeksi berulang CMV saat hamil, risiko
infeksi kongenital 1-2%30 (gambar 12).

Gambar 12. Risiko Perkiraan Transmisi Ke Janin14

Langkah pertama untuk mendiagnosis CMV kongenital prenatal adalah


menentukan infeksi maternal primer atau sekunder dengan tes serologi
(gambar 13). Wanita yang terbukti terinfeksi CMV, langkah berikutnya adalah
mengidentifikasi janin terinfeksi atau tidak dengan uji prenatal non invasif
(USG) atau invasif (amniosintesis)31 seperti pada gambar 14.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 817


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 13. Diagnosis CMV Pada Maternal14

818 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 14. Manajemen Antenatal Maternal Dengan Infeksi Primer CMV14

Hingga saat ini lilihan terapi untuk terapi antenatal guna mencegah
infeksi janin setelah infeksi primer CMV pada kehamilan. Pilihan terapi untuk
infeksi CMV kongenital adalah konseling antenatal, diikuti dengan terminasi
kehamilan atau “wait and see”: dengan harapan luaran janin tidak berat32.
Terapi pada wanita imunokompromais non hamil adalah dengan antiviral

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 819


Rizka Humardewayanti Asdie

seperti ganciclovir, valganciclovir, cidofovir, foscarnet dan valaciclovir, tetapi


kesemuanya teratogenik dan toksik kecuali valaciclovir31.

Daftar Pustaka
1. Karen E Johnson (2014) in Leonard E Weisman, Morven S Edwards and Carrie
Armsby (editor). Overview of TORCH infections. www.uptodate.com ©2014
UpToDate
2. Hokelek M (2009). Toxoplasmosis. Available at: http://www.emedicine.medscape.
com/ article/229969. Accessed: August, 31, 2019
3. Nicolle C & Manceaux L. (1908). Sur une infection a corps de Leishman (ou
organismes voisins) du gondi. C R Seances Acad. Sci., 147: 763–766.
4. Yellita (2004). Mekanisme interaksi Toxoplasma gondii dengan sel host. Pengantar
falsafah sains Institut Pertanian Bogor, hal 1–12
5. Demar M, Ajzenberg D, Maubon D, Djossou F, Panchoe D, Punwasi D (2007). Fatal
outbreak of human Toxoplamosis along the mahoni river epidemiological, clinical,
and parasitological aspects. Clin Infect Dis, 45: e88–95.
6. Waree P (2008). Toxoplamosis pathogenesis and immune respone. Thammasat
Medical Journal, 8: 487–95.
7. Irma Yuliawati, I., Nasronudin (2015). Pathogenesis, Diagnostic And Management
of Toxoplasmosis. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease, Vol. 5. No.
4 January–April 2015: 100–106
8. Howard M Heller (2013) in Peter F Weller and Elinor L Baron (editor) Toxoplasmosis
in immunocompetent hosts. www.uptodate.com ©2013 UpToDate
9. Montoya JG (2002). Laboratory diagnosis of Toxoplasma gondii infection and
Toxoplamosis. J Infect Dis, 185: S73–82.
10. Becker J, Singh D, Sinert RH (2010). Toxoplasmosis. Available at: http://www.
emedicine.medscape.com/article/787505. Accessed on August 28, 2019.
11. Asdie, RH. Tatalaksana dan Evaluasi TORCH dalam Rudi Hidayat, Dyah Purnamasari
Sulistyaningsih, Evy Yunihastuti, Rudi Putranto, Andhika Rachman, Erni Juwita
Nelwan, Pringgodigdo Nugroho, Airef Mansjoer, Juverdy Kurniawan, Noto
Dwiartutir, Gurmeet Singh, Hasan. Kumpulan Naskah Pertemuah Ilmiah Nasional
XVI PB PAPDI tahun 2018. Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Hal. 787-814.
12. Dupouy-Camet, J., Talabani, H., Delair, E., Leslé, F., Year, H., and P. Brézin, A.P.,
Risk Factors, Pathogenesis and Diagnosis of Ocular Toxoplasmosis. Di unduh dari
http://dx.doi.org/10.5772/50267
13. Yamamoto JH, Vallochi AL, Silveira C, Filho JK, Nussenblatt RB, Neto EC (2000).
Discrimination between patients with acquired Toxoplamosis and congenital
Toxoplamosis on the basis of the immune response to parasite antigens. J Infect
Dis, 181: 2018–22.

820 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

14. Palasanthiran, P., Starr, M., Jones, C., and Giles, M. (2014) Management of Perinatal
Infections. Australasian Society for Infectious Diseases.
15. Deepika, D., Rachna, R., Sarman, S., Roy KK, Neena, M. Diagnosis of acute rubella
infection during pregnancy. J Obstet Gynecol India Vol. 56, No. 1 : January/February
2006 Pg 44-46
16. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE No. 368-Rubella in Pregnancy No. 368,
December 2018 (Replaces No. 203, February 2008) J Obstet Gynaecol Can
2018;40(12):1646−56. https://doi.org/10.1016/j.jogc.2018.07.003
17. Lanzieri T., Redd S., Abernathy, E., Icenogie, J. Chapter 14 : Rubella. VPD Surveillance
Manual. CDC.
18. Arduino, P. G. and Porter, S. R. Oral and Perioral Herpes simplex virus type 1 (HSV-
1) Infection: review of its management. Oral diseases. 2006. 12: 254-70.
19. Costello, M. M. T., Sabatini, L. and Yungbluth, P. Herpes Simplex Virus Infections
and Current Methods for Laboratory Detection. Clinical Microbiology Newsletter.
2006. 28: 24: 185-91.
20. Whitley, R. J. and Roizman, B. Herpes simplex virus infections. The Lancet. 2001.
357: 1513-18.
21. South Australian Perinatal Practice Guideline: Clinical Guideline Herpes Simplex
Virus (HSV) Infection in Pregnancy.
22. Vancikova, Z. and Dvorak, P. Cytomegalovirus Infection in Immunocompetent and
Immunocompromised Individuals- A review. Current Drug Targets – Immune,
Edocrine & Metabolic Disorder. 2001: 179-87
23. Monto Ho. The History of Cytomegalovirus and Its Disease. Med Microbiol Immunol.
2008. 197:65–73
24. Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana
Infeksi Sitomegalovirus pada HIV. Desember 2016
25. https://webpath.med.utah.edu/INFEHTML/INFEC006.html
26. Siree Tangthongkum, S., Somsanguan Ausayakhun, S. 2013. Cytomegalovirus
retinitis in non-HIV patients in Chiang Mai University Hospital Chiang Mai Medical
Journal 2013;52(3-4):65-72
27. Shapira, Y., Mimouni. M., Vishnevskia-Dai, V. Cytomegalovirus retinitis in HIV-
negative patients – associated conditions, clinical presentation, diagnostic methods
and treatment strategy. Acta Ophthalmologica 2017
28. Cheung, C.Y. M., Kwong, Y. Cytomegalovirus infection in non–human immunodeciency
virus– infected patients: a hematologist perspective. HKJ Ophthalmol Vol. 20 No. 2
29. Ariza-Heredia, E. J., Nesher, L., Chemaly. R. F. Cytomegalovirus diseases after
hematopoietic stem cell transplantation: A mini-review. Cancer. Letters 342
(2014) 1–8.
30. Khalil A, Heath P, Jones C, Soe A, Ville YG on behalf of the Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists. Congenital Cytomegalovirus Infection: Update
on Treatment. Scientific Impact Paper No. 56. BJOG 2018; 125:e1–e11.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 821
Rizka Humardewayanti Asdie

31. Yinon, Y., Farine, D., Yudin, M. H., No. 240-Cytomegalovirus Infection in Pregnancy.
J Obstet Gynaecol Can 2018; 40(2):e134–e141.
32. McCarthy, F. P., Jones, C., Rowlands, S., Giles, M. Review Primary and secondary
cytomegalovirus in pregnancy. The Obstetrician & Gynaecologist 2009; 11: 96–
100.

822 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV:
Apakah Perlu Diterapi?
Robert Sinto
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Penurunan imunitas tubuh akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus


(HIV) akan menyebabkan peningkatan penyakit akibat infeksi laten. Kelompok
infeksi laten yang kerap terjadi dikenal dengan istilah infeksi TORCH yang
meliputi penyakit toksoplasmosis, infeksi rubella, infeksi sitomegalovirus
(CMV) dan infeksi virus herpes; virus herpes diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu alfa, beta, gamma, di mana kelompok alfa terdiri dari Herpes
Simplex Virus (HSV)-1, 2, dan Varicella Zoster Virus (VZV).1 Selain kelompok
tersebut, berbagai infeksi laten lain seperti infeksi M. tuberculosis juga kerap
dijumpai pada pasien terinfeksi HIV.

Prevalensi dan insiden infeksi TORCH dapat tercermin dari hasil


seropositif yang ditunjukkan pada populasi tertentu. Pada Toksoplasmosis,
prevalensi yang tinggi didapatkan pada daerah dengan penduduk pemakan
daging mentah, daerah tropis dengan populasi kucing yang tinggi dan iklim
yang menunjang bagi kesintasan ookista.2 Penelitian yang dikerjakan pada
630 subyek sehat di 7 daerah di Jawa Tengah pada tahun 2014 menunjukkan
prevalensi seropositif toksoplasma mencapai 62,5%, meliputi 90,1%
seropositif IgG, dan 9,9% seropositif IgM dan IgG.3 Penelitian lain yang
dilakukan pada tahun 2013 pada 330 perempuan hamil di Bali menunjukkan
seroprevalensi toksoplasma sebesar 10,9%.4 Pada infeksi virus CMV,
prevalensi seropositif IgG CMV pada sampel darah donor PMI mencapai
98,23%. Penelitian infeksi virus herpes yang dilaporkan oleh Looker KJ, dkk
menunjukkan prevalensi seropositif HSV-1 adalah 59% dan 58% secara
berturutan pada perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara berusia 0-49
tahun, dengan insidens infeksi simtomatik sebesar 2% untuk laki-laki dan 2%
untuk perempuan pada area dan umur yang sama.5 Pada studi lain, Looker
KJ, dkk memperkirakan prevalensi infeksi HSV-2 sebesar 41,4% dan 33,5%
secara berturutan pada perempuan dan laki-laki berusia 15-49 tahun di Asia
Tenggara. Sebanyak 2,2% perempuan dan 1,4% laki-laki berusia 15-49 tahun
setiap tahunnya mengalami infeksi primer HSV-2 di Asia Tenggara.6 Sebanyak
70% pasien terinfeksi HIV seropositif untuk HSV-2 dan sebanyak 95%

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 823


Robert Sinto

seropositif untuk HSV-1 atau HSV-2.7 Sebanyak 95% individu berusia lebih
dari 20 tahun memiliki riwayat infeksi primer VZV.8

Prevalensi seropositif yang tinggi ini menjadi tantangan pada


diagnosis, pengobatan dan pencegahan khususnya pada pasien terinfeksi
HIV. Pengobatan yang hanya didasari pada hasil serologi tanpa melihat
gejala klinis pasien akan menyebabkan terapi yang berlebihan, sementara
mengabaikan hasil pemeriksaan serologi baik dalam aspek diagnosis maupun
pencegahan akan menyebabkan pasien HIV mengalami komorbiditas yang
potensial dapat mengancam nyawa. Tulisan ini akan membahas diagnosis
dan tatalaksana rasional berbasis bukti (evidence based) infeksi TORCH pada
pasien terinfeksi HIV, dengan 3 skenario klinis utama paling sering dijumpai,
yakni infeksi intrakranial, lesi mata, serta strategi profilaksis pada pasien
infeksi asimtomatik.

Infeksi Intrakranial pada Infeksi TORCH


Infeksi intrakranial merupakan salah satu infeksi yang paling sering
ditemukan pada pasien HIV dengan keluhan sakit kepala, kejang, penurunan
kesadaran dengan atau tanpa demam dan defisit neurologis fokal. Infeksi
biasanya terjadi pada saat sel limfosit T CD4+ kurang dari 200 sel/μL. Diagnosis
etiologi infeksi intrakranial harus didasarkan pada gejala klinis, progresifitas
penyakit, analisis cairan serebrospinal dan pencitraan. Infeksi oleh penyebab
ganda (multipel) dapat dijumpai pada 15% kasus. Pada kebanyakan kasus,
tatalaksana infeksi yang tepat harus dilanjutkan dengan upaya profilaksis
sekunder hingga hitung sel T CD4+ lebih dari 200 sel/μL.9

Etiologi infeksi intrakranial pada pasien terinfeksi HIV yang banyak


dijumpai adalah ensefalitis toksoplasma, ensefalitis CMV, meningitis
Cryptococcus, meningitis tuberkulosis dan ensefalitis HSV. Tiga penyebab
tersebut tergolong dalam kelompok infeksi TORCH, dengan perbedaan
gambaran klinis, analisis cairan serebrospinal dan pencitraan yang dapat
dilihat secara berturut pada tabel 1-3.

824 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

Tabel 1. Perbandingan gejala klinis, progresifitas infeksi intrakranial akibat TORCH


pada pasien terinfeksi HIV (dimodifikasi dari)9
Infeksi Ensefalitis toksoplasma Ensefalitis CMV Ensefalitis HSV
Sel limfosit T CD4+ (sel/μL) <200 <50 Bervariasi
Progresifitas Hari Hari Minggu
Perubahan kesadaran 1+ hingga 3+ 3+ 3+
Kejang 1+ hingga 2+ 2+ 2+
Sakit kepala 3+ 1+ hingga 2+ 1+
Demam 2+ hingga 3+ 2+ 1+ hingga 2+
Defisit neurologis fokal 1+ 2+
Neuropati kranial 2+ 1+ hingga 2+
Keterangan. 1+: pada <30% kasus; 2+: pada 30-60% kasus ;3+: pada >60% kasus

Diagnosis lanjutan adalah dengan pemeriksaan pencitraan (Magnetic


Resonance Imaging atau Computer Tomography scan kepala dengan kontras).
Jika pada pemeriksaan pencitraan tidak terlihat lesi (massa), perlu dilakukan
punksi lumbal untuk pengambilan spesimen analisis cairan serebrospinal,
kultur mikroorganisme dan inisiasi antibiotik empiris. Jika pada pemeriksaan
pencitraan terlihat massa dan adanya tanda herniasi, konsultasi dengan
spesialis bedah saraf untuk tindakan dekompresi dan biopsi perlu dilakukan.
Pada massa soliter tanpa tanda herniasi atau massa multipel dengan serologi
toksoplasma negatif, pemeriksaan punksi lumbal atau biopsi otak perlu
dikerjakan. Lesi multipel dengan serologi toksoplasma positif dapat menjadi
indikasi pemberian anti toksoplasmosis. Median waktu respon dengan
pemberian antitoksoplasma adalah 5 hari. Sebanyak 74% kasus akan membaik
dalam 7 hari dan 91% kasus akan membaik dalam 14 hari. Kegagalan respon
klinis setelah terapi 14 hari merupakan indikasi pemeriksaan diagnosis lanjut
dengan biopsi otak.9, 10

Tabel 2. Perbandingan hasil analisis cairan serebrospinal pada infeksi intrakranial


akibat TORCH (dimodifikasi dari)9
Infeksi Leukosit Kadar glukosa Kadar protein Lain-lain
Ensefalitis Normal atau Turun atau normal Normal atau PCR: spesifisitas 100%,
toksoplasma limfositosis meningkat sensitivitas 50-80%
Ensefalitis CMV Normal Normal Normal atau PCR: spesifisitas dan
meningkat sensitivitas >90%; kultur:
<25% positif
Ensefalitis HSV Limfositosis Normal atau Meningkat PCR: spesifisitas 99.6%,
meningkat sensitivitas 100%
Keterangan. PCR: polymerase chain reaction

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 825


Robert Sinto

Tabel 3. Perbandingan gambaran pencitraan pada infeksi intrakranial akibat TORCH


(dimodifikasi dari)9
Infeksi Ensefalitis toksoplasma Ensefalitis CMV Ensefalitis HSV
Efek massa Sering Tidak ada Minimal
Proporsi lesi soliter <20% Tidak ada Tidak ada
Lokasi Frontal, ganglia basal, Periventrikular Lobus temporal
parietal inferomedial
Penyangatan Sering, penyangatan <50% penyangatan Sering
kontras berbentuk cincin periventrikular
Lain-lain Ukuran biasanya 1-2 cm 50% kasus Dapat melibatkan
pencitraan normal batang otak, serebelum,
diensefalon dan
regio periventrikular,
perdarahan intrakranial

Terapi ensefalitis toksoplasma fase akut adalah pirimetamin (200 mg 1


kali, dilanjutkan 50 mg/hari pada pasien dengan berat badan <60 kg dan 75
mg/hari pada pasien dengan berat badan lebih dari 60 kg) ditambah dengan
sulfadiazin. Asam folinat (leukovorin) diberikan untuk mengurangi toksisitas
hematologi akibat pirimetamin. Terapi alternatif yang direkomendasikan pada
pasien yang tidak dapat menerima sulfadiazin atau tidak berespons terhadap
terapi lini pertama adalah kombinasi pirimetamin dengan klindamisin (4x600
mg). Apabila pirimetamin tidak dapat diberikan, maka kotrimoksasol (2x960
mg) dapat menjadi alternatif. Pemberian terapi akut sebaiknya diteruskan
selama minimal 3-6 minggu. Setelah menyelesaikan terapi akut, dilanjutkan
dengan dosis rumatan kronik. Dosis rumatan kronik yang direkomendasikan
adalah setengah dari dosis yang diberikan saat terapi fase akut. Terapi
pemeliharaan diberikan hingga hitung CD4+ lebih dari 200sel/μL selama 6
bulan berturut-turut setelah pemberian ARV. ARV dimulai 2-3 minggu setelah
terapi ensefalitis toksoplasma dimulai.11,12

Ensefalitis CMV diterapi dengan regimen inisial gansiklovir 5 mg/kg


setiap 12 jam selama 14-21 hari, dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan valgansiklovir 1x900 mg. Terapi pemeliharaan dihentikan setelah
diberikan selama 3-6 bulan jika terjadi perbaikan imunitas yang ditandai
dengan hitung CD4+ lebih dari 100 sel/μL selama 3-6 bulan setelah pemberian
ARV. Pemberian ARV dimulai 2 minggu setelah terapi CMV dimulai. Terapi
pilihan untuk ensefalitis HSV adalah asiklovir intravena dengan dosis 10-15
mg/kg selama 14-21 hari.12,13

826 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

Toksoplasmosis Okular dan Retinitis Sitomegalovirus


Diagnosis toksoplasmosis okular pada pasien terinfeksi HIV didasarkan
pada gejala klinis lesi mata yang khas, didukung oleh pemeriksaan serologi.
Hasil pemeriksaan serologi semata tidak dapat digunakan sebagai dasar
diagnosis untuk memulai terapi.

Gangguan penglihatan akan dikeluhkan pasien bila lesi mengenai makula.


Lesi perifer dapat menyebabkan gangguan penglihatan bila menyebabkan
inflamasi vitreus berat. Skotoma akan dikeluhkan akibat skar retinokoroid
pada stadium inaktif infeksi. Gambaran klasik funduskopi toksoplasmosis
okular adalah infiltrat putih, retinitis nekrosis fokal atau retinokoroiditis
pada mata yang telah terdapat skar pigmentasi korioretina. Berbagai pilihan
terapi toksoplasmosis okular meliputi kombinasi pirimetamin-sulfadiazine
atau kotrimoksasol atau kombinasi klindamisin-pirimetamin-sulfadiazin atau
pirimetamin-azitromisin (1x1200-1500 mg). Terapi dihentikan 1-2 minggu
sesudah perbaikan gejala. Setelah terapi awal, terapi pemeliharaan dengan
kotrimoksasol diperlukan untuk mencegah rekurensi. Kortikosteroid sistemik
(setara prednison 0,5-1 mg/kg/hari oral) diperlukan bila terdapat inflamasi
vitreus berat, lesi yang terletak dekat fovea atau optic disk atau lesi aktif yang
luas. Kortikosteroid topikal diindikasikan bila terdapat nyeri, mata merah,
fotofobia, inflamasi sedang-berat ruang anterior dan peningkatan tekanan
intraokular.14,15

Retinitis CMV diijumpai pada 2-32% pasien terinfeksi HIV dengan hitung
sel limfosit T CD4+ kurang dari 50 sel/μL dan merupakan penyebab kebutaan
yang terabaikan di era pandemik infeksi HIV. Serupa dengan toksoplasmosis
okular, diagnosis retinitis CMV ditegakkan berdasarkan pemeriksaan retina
melalui oftalmoskop dan tidak berdasarkan pemeriksaan laboratorium
tertentu. Retinitis CMV secara khas ditandai dengan infitrat putih tebal pada
retina, yang sering disertai perdarahan. Retinitis cenderung mengikuti pola
pembuluh darah, menyebar secara sentrifugal dan membentuk gambaran
nyala api dengan lesi sentral yang telah mereda pasca kerusakan. Tepi
lesi irregular dan sering disertai lesi satelit. Kombinasi injeksi gansiklovir
intravitreal (bekerja sama dengan spesialis mata) dan valgansiklovir (2x900
mg) merupakan pilihan untuk lesi yang mengancam penglihatan (terletak
pada area 1500 mikron dari fovea). Sementara lesi perifer diobati dengan
menggunakan terapi sistemik valgansiklovir saja. Penambahan injeksi
gansiklovir intravitreal dapat dipertimbangkan pada pasien terinfeksi HIV
yang telah mengkonsumsi ARV saat terdiagnosis retinitis CMV. Setelah terapi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 827


Robert Sinto

inisial diberikan, terapi rumatan diberikan dengan valgansiklovir 1x900 mg


selama 3-6 bulan jika terjadi perbaikan imunitas yang ditandai dengan hitung
CD4+ lebih dari 100 sel/μL selama 3-6 bulan setelah pemberian ARV.12,16

Profilaksis pada Infeksi Asimtomatik


Profilaksis Toksoplasmosis pada pasien terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus
Pasien terinfeksi HIV dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang dari 100
sel/μL dengan serologi toksoplasma positif perlu mendapatkan profilaksis
primer dengan kotrimoksasol 1x960 mg, yang juga efektif sebagai profilaksis
pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP). Pemberian profilaksis toksoplasma
dapat dihentikan pada pasien yang telah mengkonsumsi antiretroviral dan
mencapai peningkatan hitung CD4+ menjadi lebih dari 200 sel/μL selama
3 bulan berturut-turut. Terapi profilaksis dapat dipertimbangkan untuk
dihentikan bila hitung sel limfosit T CD4+ 100-200 sel/μL dengan RNA HIV di
bawah ambang deteksi selama 3-6 bulan.11,12

Profilaksis Penyakit Sitomegalovirus pada pasien terinfeksi Human


Immunodeficiency Virus
Pencegahan penyakit CMV terbaik adalah dengan memberikan terapi
ARV sehingga mempertahankan hitung sel limfosit T CD4+ lebih dari 100
sel/μL. Pemberian valgansiklovir sebagai profilaksis primer pada pasien
terinfeksi HIV tidak bermanfaat dalam mencegah penyakit CMV.12,17

Terapi supresi Herpes Simplex Virus pada pasien terinfeksi Human


Immunodeficiency Virus
Pertimbangan pemberian terapi supresi HSV menjadi lebih kompleks
karena menyangkut kemungkinan transmisi virus pada pasangan seksual.
Semua individu dengan riwayat infeksi primer HSV dapat menularkan virus
pada pasangannya melalui kontak mukosa yang dapat dikemudian hari
mengalami reaktivasi infeksi. Reaktivasi HSV-2 meningkatkan muatan RNA
HIV pada darah dan sekret genital pasien terinfeksi HIV. Bagi pasien, keadaan
ini akan memperburuk perjalanan penyakit HIV yang dialami, sementara
bagi pasangan seksual pasien tersebut, keadaan ini akan turut meningkatkan
risiko transmisi HIV hingga 2-3 kali lipat. Belum ada angka statistik
yang menunjukkan kekerapan reaktivasi HSV pada pasien terinfeksi HIV
dibandingkan yang tidak. Pada hitung sel limfosit T CD4+ yang rendah, pasien
terinfeksi HIV dapat memiliki lesi herpetik yang persisten dan lebih berat (lesi

828 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

lebih luas, lebih dalam dan menimbulkan nekrosis jaringan). Walaupun tidak
menekan penyebaran HSV pada mukosa genital, perbaikan hitung sel limfosit
TCD4+ terbukti menurunkan kejadian dan derajat berat rekurensi. Kebijakan
terapi supresi HSV pada pasien HIV didasarkan pada data-data tersebut.1,18, 19

Pada infeksi virus herpes, terapi supresi dengan asiklovir (2x400 mg),
valasiklovir (2x500 mg), famsiklovir (2x500 mg) efektif dalam pencegahan
rekurensi dan terutama ditujukan untuk mereka dengan riwayat rekurensi
yang sering maupun lesi kulit yang berat. Sebagai manfaat tambahan, pada
pasien yang tidak mendapatkan anti-retrovirus (ARV), pemberian supresi
anti-HSV akan menekan muatan RNA HIV pada darah dan sekret genital
dan memperbaiki perjalanan klinis pasien, namun tidak menurunkan
risiko transmisi HIV pada pasangan seksual. Karena itu pada pasien dengan
akses pengobatan ARV, tidak dibenarkan penundaan inisasi ARV dan
menggantikannya dengan terapi supresi anti-HSV. Pada pasien terinfeksi HIV
yang memulai ARV dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang dari 250 sel/μL,
terjadi peningkatan risiko ulkus genital dalam 6 bulan pertama pengobatan
ARV. Pemberian supresi asiklovir bersamaan dengan inisiasi HIV menekan
risiko sebesar 60% dibandingkan plasebo, karena itu dapat diindikasikan
pula pada keadaan klinis tersebut. Pada perempuan HIV dengan anti-HSV
yang positif, terapi supresi diindikasikan bila terdapat herpes genital yang
rekurens selama kehamilan. Profilaksis dengan asiklovir atau valasiklovir
dimulai sejak usia kehamilan 36 minggu. Untuk dua tujuan pertama (menekan
rekurensi dan menurunkan risiko ulkus genital pada inisiasi ARV), kebutuhan
pemberian terapi supresi perlu dinilai kembali setiap tahunnya, sementara
untuk tujuan ibu hamil, terapi supresi dapat dihentikan pasca persalinan.1,18,19

Penggunaan terapi supresi anti-HSV menimbulkan kekhawatiran


terhadap risiko timbulnya resistensi terhadap anti-HSV. Namun demikian,
penelitian menunjukkan penggunaan terapi supresi menimbulkan risiko
resistensi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan terapi episodik anti-
HSV pada saat terjadi relaps.18,19

Terapi supresi Varicella Zoster Virus pada pasien terinfeksi Human


Immunodeficiency Virus
Risiko seseorang mengalami infeksi herpes zoster (HZ) dalam seumur
hidupnya adalah 15-20% dengan insidens tertinggi terjadi pada usia lanjut
dan pasien dengan penurunan imunitas tubuh, termasuk pasien terinfeksi HIV.
Insidens HZ pada pasien terinfeksi HIV 15 kali lipat lebih tinggi dibandingkan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 829


Robert Sinto

kontrol dengan usia setara. Insidens HZ, termasuk HZ diseminata, bertambah


tinggi pada pasien terinfeksi HIV dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang
dari 200 sel/μL. Pada pasien dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang dari
200 sel/μL, reaktivasi VZV dapat bermanifestasi pada berbagai organ, meliputi
vaskulitis, mielitis, mieloradikulitis, neuritis optika, kelumpuhan nervus
kranialis, lesi fokal batang otak, meningitis aseptik, acute retinal necrosis
(ARN), progressive outer retinal necrosis (PORN). Namun demikian, terapi
ARV tidak terbukti dapat menurunkan insidens HZ, bahkan meningkatkan
risiko HZ pada awal inisasi ARV8,20 and sequelae of herpes zoster among HIV
patients in the highly active antiretroviral therapy era.

Karena rendahnya kemungkinan rekurensi, tidak diindikasikan terapi


supresi VZV pada pasien terinfeksi HIV. Terapi profilaksis diindikasikan pada
pasien rentan infeksi primer VZV yang mengalami paparan pada seseorang
yang baru terinfeksi VZV (profilaksis pasca paparan). Inisiasi ARV dapat
dipertimbangkan lebih dini pada pasien terinfeksi HIV dengan rekurensi
HZ multiple atau pasien dengan infeksi VZV komplikata (contoh: ensefalitis,
PORN).8

Vaksinasi Herpes Zoster sebagai pencegahan reaktivasi


Vaksin pencegahan Herpes Zoster (HZ) sudah tersedia dengan indikasi
penggunaan pada pasien imunokompeten berusia lebih dari 50 tahun
(beberapa negara mengindikasikan pada populasi lebih dari 60 tahun) dan
dikontraindikasikan pada individu dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang
dari 200 sel/μL. Walaupun belum ada rekomendasi khusus pemberian
vaksinasi HZ pada pasien terinfeksi HIV, pada pasien dengan hitung CD4+
lebih dari 200 sel/μL dan riwayat infeksi VZV dapat dipertimbangkan karena
sangat mungkin aman dan efektif walaupun pasien berusia kurang dari 50
tahun.8,21,22

Untuk populasi dengan hitung limfosit sel T CD4+ kurang dari 200 sel/
μL namun memiliki muatan virus yang tidak terdeteksi, perbaikan imunitas
tidak dapat digambarkan dengan hitung sel limfosit T CD4+ tersebut. Untuk
populasi tersebut, khususnya bila pasien memiliki riwayat HZ dengan
sindrom Ramsay-Hunt atau pasien lebih dari berusia 65 tahun, beberapa
strategi vaksinasi berikut dapat dipertimbangkan: (1) pemberian vaksinasi
HZ dan pemantauan ketat timbulnya infeksi yang segera ditatalaksana
dengan pemberian antivirus; (2) pemberian vaksinasi VZV; (3) pemantauan
dini munculnya gejala HZ secara ketat tanpa pemberian vaksinasi.22

830 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

Simpulan
Pasien terinfeksi HIV memiliki peningkatan risiko reaktivasi infeksi
laten TORCH dengan beragam manifestasi klinis, antara lain berupa
infeksi intrakranial dan keterlibatan okular. Dengan mempertimbangkan
karakteristik sebagai infeksi laten, hasil pemeriksaan serologi TORCH saja
tidak cukup dijadikan dasar penegakan diagnosis penyakit untuk memulai
terapi tanpa adanya gambaran klinis dan/ atau pemeriksaan pencitraan
yang menunjang. Namun demikian, hasil pemeriksaan serologi TORCH
perlu dipertimbangkan sebagai dasar pemberian profilaksis antibiotik atau
antivirus. Berbagai strategi pencegahan reaktivasi infeksi laten TORCH telah
direkomendasikan sebagai bagian tatalaksana holistik pasien terinfeksi HIV.

Daftar Pustaka
1. Williams I, Leen C, Barton S. Herpes viruses. HIV Medicine. 2011;12:61-9.
2. Paquet C, Yudin MH, Allen VM, Bouchard C, Boucher M, Caddy S, et al. Toxoplasmosis
in pregnancy: prevention, screening, and treatment. J Obstet Gynaecol Can.
2013;35(1 eSuppl A):S1-7.
3. Retmanasari A, Widarto BS, Wijayanti MA, Artama WT. Prevalence and risk factors
for the toxoplasmosis in middle Java, Indonesia. EcoHealth. 2017;14:162-70.
4. Dwinata IM, Sutarga IM, Damriyasa IM. The potential risk factors for toxoplasmosis
in balinese pregnant women-indonesia. Bali Med J. 2016;5:116-8.
5. Looker KJ, Magaret AS, May MT, Turner KME, Vickerman P, Gottlieb SL, et al. Global
and regional estimates of prevalent and incident herpes simplex virus type 1
infections in 2012. PLoS ONE. 2015;10: e0140765.
6. Looker KJ, Magaret AS, May MT, Turner KME, Vickerman P, Gottlieb SL, et al. Global
estimates of prevalent and incident herpes simplex virus type 2 infections in 2012.
PLoS ONE. 2015;10: e114989.
7. Xu F, Sternberg MR, Kottiri BJ, McQuillan GM, Lee FK, Nahmias AJ, et al. Trends in
herpes simplex virus type 1 and type 2 seroprevalence in the United States. JAMA.
2006;296:96473.
8. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.
Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:BB1-8.
9. Tan IL, Smith BR, Geldern GV, Mateen FJ, McArthur JC. HIV-associated opportunistic
infections of the CNS. Lancet Neurol 2012;11:605–17.
10. Collazos J. Opportunistic Infections of the CNS in patients with AIDS: diagnosis and
management. CNS Drugs. 2003;17: 869-87.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 831


Robert Sinto

11. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.


Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:AA1-15.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/
MENKES/90/2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV.
2019.
13. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.
Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:K1-15.
14. Butler NJ, Furtado JM, Winthrop KL, Smith JR. Ocular toxoplasmosis II: clinical
features, pathology and management. Clinical and Experimental Ophtalmology.
2013;41:95-108.
15. Ozgonul C, Besirli CG. Recent developments in the diagnosis and treatment of
ocular toxoplasmosis. Ophtalmic Res. 2017;57:1-12.
16. Heiden D, Ford N, Wilson D, Rodriguez WR, Margolis T, Janssens B, et al.
Cytomegalovirus retinitis: the neglected disease of the AIDS pandemics. PLoS
Medicine. 2007;4:e334.
17. Wohl DA, Kendall MA, Andersen J, Crumpacker C, Spector SA, Feinberg J, et al.
Low rate of CMV end-organ disease in HIV-infected patients despite low CD4+
cell counts and CMV viremia: results of ACTG protocol A5030. HIV Clin Trials.
2009;10:143–52.
18. Strick LB, Wald A, Celum C. Management of herpes simplex virus type 2 infection in
HIV Type 1–infected persons. CID. 2006;43:347–56.
19. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.
Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:N1-7.
20. Gebo KA, Kalyani R, Moore RD, Polydefkis MJ. The incidence of, risk factors for, and
sequelae of herpes zoster among HIV patients in the highly active antiretroviral
therapy era. J Acquir Immune Defic Syndr. 2005;40:169-74.
21. Cioe PA, Melbourne K, Larkin J. An immunization update for HIV-infected adults in
the United States: review of the literature. J Assoc Nurses AIDS Care. 2015;26:201-
7.
22. Koenig HC, Garland JM, Weissman D, Mounzer K. Vaccinating HIV patients: focus on
human papillomavirus and herpes zoster vaccines. AIDS Rev. 2013;15:77-86.

832 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Multidimensi
dengan Comprehensive Geriatric Assesment (CGA)
untuk Tata Laksana Kanker Pada Geriatri
Aulia Rizka
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Kemoterapi pasien usia lanjut penderita kanker untuk tujuan kuratif
maupun paliatif semakin bertambah. Populasi yang berusia diatas 60
tahun mengalami peningkatan risiko 11 kali mengalami kanker dan 16 kali
mengalami kematian akibat kanker. Rata-rata usia orang yang terdiagnosis
kanker di USA adalah 66 tahun. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia tahun 2018 menunjukkan peningkatan insiden kanker. Prevalensi
kanker tertinggi adalah kelompok usia 55-64 tahun (4,62 permil), yang kedua
adalah usia 65-74 tahun (3,52 permil), dan yang terakhir usia 75 tahun (3,84
permil). Data Riskesdas menyebutkan bahwa 24,9% pasien yang terdiagnosis
kanker akan menjalani kemoterapi. Selain prevalensinya yang meningkat, hasil
data finansial BPJS kesehatan juga menyebutkan kanker sebagai peringkat
kedua dari 8 penyakit katastropik yang banyak mengeluarkan pembiayaan.

Pasien kanker berusia lanjut biasanya disertai komorbiditas, depresi,


mengalami masalah nutrisi, dan seringkali mengalami kerapuhan akibat
penyakit yang dideritanya. Hal ini membuat usia lanjut menjadi lebih rentan
mengalami toksisitas akibat kemoterapi, dan memiliki ketahanan hidup
yang lebih rendah. Pasien usia lanjut lebih jarang diberikan penawaran
untuk kemoterapi dibandingkan usia dewasa. Karena khawatir tidak dapat
mentoleransi efek samping, padahal manfaat kemoterapi pada usia lanjut
cukup baik. Pada pasien usia lanjut yang mengalami kerapuhan, survival dan
toleransi terhadap intervensinya akan sangat berbeda.

Pada pasien kanker berusia lanjut, hal yang penting diperhatikan adalah
kualitas hidup dan kualitas kematian. Pemilihan intervensi apapun harus
berorientasi pada kedua hal ini. Pasien dan keluarga harus mendapatkan
penjelasan dan kesempatan untuk menentukan tindakan setelah mendapat
penjelasan lengkap, sesuai dengan prinsip “patient and the family are the
masters of patient’s fate”. Pendekatan multidimensi dengan comprehensive

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 833


Aulia Rizka

geriatric assesment (CGA) dapat memberikan gambaran menyeluruh pada


pasien dan keluarganya, juga untuk tim dokter, agar dapat mengambil
keputusan yang berorientasi pada pasien. Baik ASCO (American Society of
Clinical Oncology), ESMO (European Society of Medical Oncology) maupun
ISGO (International Society of Geriatric Oncology) merekomendasikan
pendekatan berbasis CGA untuk diaplikasikan pada pasien kanker berusia
lanjut. Hal ini juga didukung oleh hasil sistematik dari Puts dengan data 34
penelitian yang menyimpulkan bahwa asesmen geriatri berperan pada pasien
kanker berusia lanjut. Pada naskah ini akan dipaparkan mengenai apa dan
bagaimana manfaat CGA, serta tahapan penilaian dan pengambilan keputusan
pada seorang pasien kanker berusia lanjut.

Mengenal Comprehensive Geriatric Assesment (CGA)


Pendekatan yang digunakan pada pasien usia lanjut secara umum adalah
pengkajian paripurna pasien geriatri atau comprehensive geriatric assesment
(CGA), yang mengevaluasi masalah medik, status fungsional, status nutrisi,
psikoafektif, masalah kognitif dan psikososial. CGA yang diaplikasikan
pada pasien kanker adalah upaya untuk melakukan evaluasi multidimensi
pada kemampuan seorang usia lanjut untuk menolerasi dan merespon
terapi, mengukur probabilitas pasien mengalami kematian segera dan
kecenderungan pasien untuk toleransi dan pulih dari efek samping obat dan
yang paling penting mengidentifikasi faktor risiko dan tindakan yang harus
dilakukan untuk memperbaiki hasil.

CGA terdiri dari beberapa instrumen yang telah tervalidasi menilai status
fungsional, fungsi kognitif, komorbiditas, polifarmasi, psikososial, dukungan
sosial dan status nutrisi yang seluruhnya mempengaruhi pasien. Hasil CGA
dan rencana terapi bermanfaat untuk dokter layanan primer, ahli onkologi
medik dan bedah untuk merencanakan tindakan paliatif dan kontrol gejala.
Tabel 1 menggambarkan instrumen yang dapat dipilih untuk setiap domain
CGA.

Tabel 1. Instrumen CGA yang dapat digunakan pada pasien kanker usia lanjut
Aspek yang dinilai Pilihan instrumen
Status fungsional Penilaian activity of daily living (ADL), instrumental activity of
daily living (IADL), mobilitas menggunakan timed up and go
(TUG) dan penilaian risiko jatuh
Fungsi kognitif Mini Mental State Examination (MMSE)
Komorbiditas dan sindrom geriatric Charlson Comorbidity Score

834 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Multidimensi dengan Comprehensive Geriatric Assesment (CGA) untuk Tata Laksana Kanker Pada Geriatri

Aspek yang dinilai Pilihan instrumen


Polifarmasi Kriteria Beers
Status psikologis Geriatric Depression Scale (GDS)
Dukungan sosial Medical Outcomes Study (MOS) survey
Nutrisi Mini Nutritional Assesment
Status frailty/kerentaan FI-40, FRAIL, Kriteria Fried

Aplikasi CGA untuk Memprediksi Survival dan Luaran Buruk


Skor performa ECOG bukan merupakan prediktor yang baik untuk usia
lanjut. Risiko kematian untuk 1 tahun dan 3 tahun meningkat pada pasien
laki-laki, memerlukan bantuan dalam mandi dan memakai baju, dan memiliki
komorbiditas misalnya gagal jantung, PPOK atau gagal ginjal. Pada studi lain,
risiko kematian 6 bulan sejak kemoterapi pertama meningkat pada pasien
dengan skor MNA rendah, laki-laki, gangguan mobilitas.

Pada keganasan spesifik misalnya kanker paru, faktor prognostik yang


menggambarkan kesintasan rendah adalah kualitas hidup yang buruk (EORTC
QLQC30) dan skor IADL yang rendah. Pada limfoma, prediktor kematian dini
adalah ADL dan IADL. Pada kanker payudara, peningkatan komorbiditas
dan polifarmasi berhubungan dengan peningkatan risiko kemotoksisitas
grade ¾. Pada kanker kepala dan leher, CGA mampu membedakan pasien fit
vs frail yang akan menjalani terapi radiasi dengan cisplatin. Pasien yang fit
dapat menoleransi kemoterapi dengan lebih baik dan mengalami toksisitas
lebih ringan. Pada keganasan darah misalnya AML, modified CGA dapat
memprediksi survival yang lebih rendah, begitu juga pada pasien yang akan
dilakukan transplantasi sumsum tulang.

Komponen multivariat CGA dan penilaian status performance dapat


memprediksi toksisitas dan efikasi yang ditunjukkan dengan penurunan
progresivitas tumor. CGA juga bermanfaat untuk evaluasi preoperatif pada
pasien kanker berusia lanjut, dimana pasien yang dari hasil CGA dikategorikan
fit atau frail, menunjukkan angka morbiditas, mortalitas dan delirium post
operatif yang berbeda. CGA juga dapat memprediksi waktu rawat yang lama
pada pasien kanker intra abdomen.

Siapa yang Perlu Mendapatkan CGA?


Mengingat pasien usia lanjut selalu mengalami lebih dari 1 kondisi medik
yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi. CGA sebaiknya dilakukan pada

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 835


Aulia Rizka

seluruh pasien kanker usia lanjut. Sayangnya evaluasi CGA yang lengkap
pada pasien usia lanjut membutuhkan waktu lama dan sumber daya yang
banyak. Dalam menambah keefektifan diperlukan penapisan berbasis CGA
yang lebih ringkas dilakukan oleh siapa saja, sehingga bila hasil penapisan ini
positif, asesmen lebih lanjut dapat dilakukan oleh geriatrician atau internis
terlatih. Salah satu instrumen penapis yang banyak digunakan adalah G-8
(Geriatric-8) seperti yang terdapat pada tabel 2. Instrumen skrining ini
dapat mengidentifikasi pasien kanker yang akan mendapat banyak manfaat
dari CGA. Instrumen ini membutuhkan 5-10 menit untuk diaplikasikan dan
terdiri dari 8 pertanyaan terkait nutrisi, mobilitas, mood dan kognisi, jumlah
obat, tingkat kesehatan pasien dan kategori usia. Bila skornya kurang dari
14, pasien ini perlu mendapatkan asesmen CGA menyeluruh dari geriatrician
atau internis terlatih.

Tabel 2. Instrumen G8
No Pertanyaan Skor (Lingkari)
A Apakah dalam 3 bulan terakhir nafsu 0 Penurunan tajam asupan makan (hanya
makan berkurang karena kehilangan beberapa sendok)
nafsu makan, gangguan saluran
1 Penurunan asupan makan derajat sedang
cerna, mengunyah atau menalan?
(separuh dari sebelumnya)
2 Tidak ada penurunan asupan makan
B Kehilangan berat badan dalam 3 0 Penurunan BB > 3 kg
bulan terakhir
1 Tidak tahu
2 Penurunan BB 1-3 kg
3 Tidak ada penurunan BB
C Mobilitas 0 Hanya di tempat tidur/kursi roda
1 Dapat berpindah dari tempat tidur/kursi roda
tapi jarak dekat
2 Mobilitas baik
D Gangguan neuropsikologi atau 0 Demensia berat atau depresi
gangguan memori yang makin
1 Demensia ringan atau depresi
memberat
2 Normal
E Indeks Massa Tubuh (kg/m2) 0 IMT < 18,5
1 IMT 18,5- 21
2 IMT 21-23
3 IMT > 23
F Obat yang diminum lebih dari 3 per 0 Ya
hari
1 Tidak

836 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Multidimensi dengan Comprehensive Geriatric Assesment (CGA) untuk Tata Laksana Kanker Pada Geriatri

G Bila dibandingkan dengan orang 0 Kurang baik


lain yang berusia sama, bagaimana
0.5 Tidak tahu
pasien menilai kondisi kesehatannya
sendiri? 1 Sama saja
2 Lebih baik
H Usia 0 >80
1 70-80
2 60-69
Total Skor
Bila < 14: perlu asesmen geriatri lengkap berbasis CGA oleh geriatrician atau internis terlatih

Prediksi toksisitas kemoterapi


Setelah asesmen lengkap dilakukan, pasien akan dikategorikan menjadi
fit, pre-frail atau frail. Pasien yang fit dapat memperoleh terapi standar bila
pasien dan keluarganya telah dijelaskan dengan rinci mengenai efek samping
yang mungkin terjadi dan prognosis. Pada pasien fit dan pre-frail seringkali
perlu dilakukan penyesuaian dosis kemoterapi. Pada pasien frail, terapi
difokuskan pada best supportive care.

Saat ini, terdapat beberapa instrumen yang dapat memprediksi toksisitas


kemoterapi pada usia lanjut. Dua instrumen yang paling banyak digunakan
adalah skor CARG (The Cancer and Aging Research) toxicity tool dan CRASH
(Chemotherapy Risk Assesment Scale for high age patients). Kedua instrumen
ini berbasis CGA dan dapat ditemukan kalkulator onlinenya di internet tanpa
biaya.

Simpulan
Tim dokter, pasien dan keluarga yang mengaplikasikan CGA dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan tepat mengenai apa yang akan
dilakukan pada pasien usia lanjut dengan kanker.

Daftar Pustaka
1. Owusu Cm Berger N. Comprehensive geriatric assesment in the older cancer
patient: coming of age in clinical care. Clin Pract 2014;11(6):749-62.
2. Shih YC, Hurria A. Preparing for an epidemic: cancer care in an aging population. Am.
Soc. Clin. Oncol. Educ. Book. 2014:133–137.
3. Balducci L, Extermann M. Management of cancer in the older
person: a practical approach. Oncologist. 2000;5(3):224–237.
[Comprehensive discussion of the need for multidimensional assessment of older
cancer patients and practical guide to its implementation.]

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 837


Aulia Rizka

4. Bernabei R, Venturiero V, Tarsitani P, Gambassi G. The comprehensive geriatric


assessment: when, where, how. Crit. Rev. Oncol. Hematol. 2000;33(1):45–56.
5. Zagonel V. Importance of a comprehensive geriatric assessment in older cancer
patients. Eur. J. Cancer. 2001;37(Suppl. 7):S229–S233
6. Kim J, Hurria A. Determining chemotherapy tolerance in older patients with
cancer. J. Natl Compr. Cancer Netw. 2013;11(12):1494–1502.
7. Hurria A, Togawa K, Mohile SG, et al. Predicting chemotherapy toxicity in older adults
with cancer: a prospective multicenter study. J. Clin. Oncol. 2011;29(25):3457–
3465.
8. Puts MT, Santos B, Hardt J, et al. An update on a systematic review of the use of
geriatric assessment for older adults in oncology. Ann Oncol. 2014;25:307–315.
9. Bellera CA, Rainfray M, Mathoulin-Pélissier S, et al. Screening older cancer patients:
First evaluation of the G-8 geriatric screening tool. Ann Oncol. 2012;23:2166–2172.
10. Extermann M, Boler I, Reich RR, et al. Predicting the risk of chemotherapy toxicity
in older patients: the Chemotherapy Risk Assessment Scale for High-Age Patients
(CRASH) score. Cancer. 2012;118(13):3377–3386.

838 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Kanker Pasien Geriatri
TERAPI KANKER PASIEN GERIATRI
Eko Adhi Pangarsa
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
TERAPI Eko Adhi
KANKER Pangarsa
PASIEN GERIATRI
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang

Divisi Hematologi Onkologi


EkoMedik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Adhi Pangarsa
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
Epidemiologi Usia
Divisi LanjutOnkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Hematologi
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
Proporsi populasi usia lanjut bervariasi di seluruh negara, mulai dari
Epidemiologi
17,9%Usia Lanjuthingga 3,5% di Afrika (gambar 1). Angka harapan hidup
di Eropa
Epidemiologi
penduduk 69,4Usia Lanjut
tahun dan diperkirakan meningkat pada tahun 2050 menjadi
Proporsi populasi usia lanjut bervariasi di seluruh negara, mulai dari 17,9% di Eropa
74,3 tahun.
hingga 3,5%Proporsi
1
di AfrikaDi Indonesia,
(gambar jumlah
1). Angkapenduduk usia lanjut pada tahun69,4di2017
populasi usia lanjut bervariasi diharapan hidup
seluruh negara, penduduk
mulai dari 17,9% tahun
Eropa dan
adalah
diperkirakan
hingga 23,66
3,5% di juta
meningkat pada
Afrikajiwa
tahun(9,03%),
(gambar2050 dan diprediksikan
1). menjadi
Angka 74,3 tahun.
harapan
1 meningkat tahun 2020
hidupDi Indonesia,
penduduk jumlah
69,4 tahunpenduduk
dan
1
usia lanjut padajuta).
diperkirakan
(27,08 tahun 2017
meningkat
2 padaadalah 23,66menjadi
tahun 2050 juta jiwa74,3 (9,03%), dan diprediksikan
tahun. Di Indonesia, meningkat
jumlah penduduk
usia lanjut pada 2
tahun 2017 adalah 23,66 juta jiwa (9,03%), dan diprediksikan meningkat
tahun 2020 (27,08 juta). 2
tahun 2020 (27,08 juta).

1
Gambar 1.Gambar
Populasi1.lansia di beberapa
Populasi lansia dibelahan
beberapadunia
belahan dunia1
Gambar 1. Populasi lansia di beberapa belahan dunia1

Gambar 2. Rata-rata Tingkat Insiden Tahunan dan Distribusi Kasus berdasarkan


Gambar 2. Rata-rata Tingkat Insiden Serikat,
Usia, Amerika Tahunan2011
dan hingga
Distribusi
2015Kasus
4 berdasarkan Usia,
Amerika Serikat, 2011 hingga 20154
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 839
Gambar 2. Rata-rata Tingkat Insiden Tahunan dan Distribusi Kasus berdasarkan Usia,
Amerika Serikat, 2011 hingga 20154
Eko Adhi Pangarsa

Usia lanjut rentan terhadap 3


kejadiankejadian kanker.
Di DiAmerika
Amerika Serikat, padapada tahun 20
3
Usia lanjut rentan terhadap kanker. Serikat,
lasi berusia tahun 2019 populasi berusia 85 tahun ke atas diperkirakan sekitar 2%, 8%
85 tahun ke atas diperkirakan sekitar 2%, 8% dari populasi terseb
dari populasi tersebut merupakan kasus baru (61.830 laki-laki dan 78.860 4
pakan kasus baru (61.830 laki-laki
kasus perempuan) (Gambar 2).
dan
4
78.860 kasus perempuan) (Gambar 2).

runan Fungsi Organ Pada


Penurunan FungsiUsia
Organ Lanjut
pada Usia Lanjut
Proses penuaanProses
mengalami perubahan fisiologis
penuaan mengalami perubahan yang yang
fisiologis menyebabkan
menyebabkanpenurunan fun
n seperti ginjal, paru, fungsi
penurunan selularitas dan ginjal,
organ seperti cadangan sumsum
paru, selularitas dantulang.
cadangan Beberapa
sumsum faktor utam
aan adalah kerusakan telomer,
tulang. Beberapa disregulasi
faktor utama epigenetik,
penuaan adalah kerusakankerusakan DNA, dan disfun
telomer, disregulasi
5,6
kondria (gambar 3). kerusakan DNA, dan disfungsi mitokondria (gambar 3). 5,6
epigenetik,

7
Gambar 3. Proses
Gambar Penuaan
3. Proses pada
Penuaan pada berbagai
berbagai sel/organsel/organ
7

fisiologis Keganasan Terkait


Patofisiologis Usia Terkait
Keganasan LanjutUsia Lanjut
Pada usia lanjut
Padaterjadi akuisisi
usia lanjut mutasi,mutasi,
terjadi akuisisi paparan
paparankronis
kroniskarsinogenik,
karsinogenik, pembentuk
pembentukan
ungan molekuler lingkungan
dan seluler, molekuler dan
perbaikan DNA seluler, perbaikan
kurang DNA dan
aktif kurang aktif
efisien, pembentuk
8
tambahan, dan
danefisien, pembentukan DNA tambahan, dan hipometilasi DNA. Mutasi 8
hipometilasi DNA. Mutasi menonaktifkan penekan tumor a
menonaktifkan penekan tumor anti proliferatif dan apoptosis gen sehingga
feratif dan apoptosis gen sehingga proto onkogen menjadi onkogen. Akumul
proto onkogen menjadi onkogen. Akumulasi kerusakan genetik tersebut
9,10,11
akan genetik adalah
tersebut adalah dasar dari
dasar dari kanker. 9,10,11
kanker.

mphrehensive Geriatric assessment (CGA) untuk Kanker


Geriatric assessment
840 (GA) adalahPertemuan
evaluasi multi-dimensi,
Ilmiah Nasional interdisipliner ya
XVII PAPDI - Surabaya 2019
nakan oleh ahli onkologi bersama ahli lainnya untuk menentukan kondisi fisiologis ya
eda dengan usia kronologis.5 Geriatric 8 (G8) digunakan untuk menskrining kond
Terapi Kanker Pasien Geriatri

Chomphrehensive Geriatric assessment (CGA) untuk Kanker


Geriatric assessment (GA) adalah evaluasi multi-dimensi, interdisipliner
yang digunakan oleh ahli onkologi bersama ahli lainnya untuk menentukan
kondisi fisiologis yang berbeda dengan usia kronologis.5 Geriatric 8
(G8) digunakan untuk menskrining kondisi penderita kanker usia lanjut
dan memperbaiki nilai prognostik Eastern Cooperative Oncology Group
performance status (ECOG-PS) .12
a. Assesmen Komorbid
Komorbiditas dapat meningkatkan risiko komplikasi dan mengaburkan
gejala kanker. Beban komorbiditas diukur dengan indeks standar
Charlson Comorbidity Index (CCI) dan the Cumulative Illness Rating Scale-
Geriatrics (CIRS-G) .5
b. Assesmen Kognitif
Gangguan kognisi menyebabkan kesulitan memahami dan mengingat
instruksi pengobatan, menyebabkan keterlambatan diagnosis,
komplikasi dan kurangnya kepatuhan terapi.5 Instrumen untuk skrining
kognitif yaitu Mini-Mental State Examination (MMSE), Montreal Cognitive
Assessment (MoCA), The Blessed Orientation-Memory-Concentration Test.5
c. Manajemen obat dan polifarmasi
Akumulasi gangguan kondisi kronis menyebabkan terjadinya polifarmasi.
Pasien kanker mendapatkan banyak obat yang tidak hanya untuk
pengobatan kanker, tetapi juga untuk perawatan suportif.5
d. Masalah sosial dan kualitas hidup
Dukungan sosial memiliki dampak besar pada kanker. Pasien kanker usia
lanjut mungkin memiliki kebutuhan asuhan, transportasi, dan perawatan
di rumah. Rendahnya dukungan sosial berhubungan dengan peningkatan
risiko kematian.5
e. Penilaian fungsi fisik
Ahli onkologi biasanya mengukur fungsi fisik menggunakan skala
subjektif seperti the Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) atau
skala status Karnofsky. Fungsi fisik juga dapat dinilai dengan ukuran
kinerja objektif, termasuk kecepatan berjalan, kekuatan genggaman,
keseimbangan, dan kekuatan ekstremitas bawah.5,13

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 841


Dukungan sosial memiliki dampak besar pada kanker. Pasien kanker usia la
kin memiliki kebutuhan asuhan, transportasi, dan perawatan di rumah. Rendah
ngan sosial berhubungan dengan peningkatan risiko kematian.5
Eko Adhi Pangarsa
enilaian fungsi fisik
f. Status fungsional
Ahli onkologi biasanya mengukur fungsi fisik menggunakan skala subjektif sepert
Penilaian status fungsional mencakup skala ketergantungan hidup sehari-
rn Cooperative Oncology Group (ECOG) atau skala status Karnofsky. Fungsi fisik
dinilai dengan ukuran kinerja activities
hari yaitu instrumental objektif,of daily living (IADL)kecepatan
termasuk dan activities berjalan,
of keku
daily living (ADL) untuk menentukan
gaman, keseimbangan, dan kekuatan ekstremitas bawah. kebutuhan bantuan.
5,13 5

atus fungsional
g. Status Nutrisi
Penilaian status fungsional
Kanker mencakup
dapat melepaskan mediator skala ketergantungan
inflamasi hidup
dan faktor-faktor lain yang sehari-hari y
mental activitiesmempengaruhi
of daily living (IADL) dan activities of daily living (ADL) un
5 otak, otot, hati, dan fungsi lemak. Sinyal nafsu makan
ntukan kebutuhan bantuan.
yang berubah dari SSP menyebabkan anoreksia, sehingga mengurangi
atus Nutrisi asupan kalori. Ketidakseimbangan anabolik/katabolik menyebabkan
Kanker dapatberkurangnya
melepaskan massa danmediator
kekuatan otot.inflamasi
Efek kanker didan faktor-faktor lain y
hati menyebabkan
pengaruhi otak, otot, hati, dan fungsi lemak. Sinyal nafsu makan yang berubah dari
gangguan farmakodinamik obat.14
ebabkan anoreksia, sehingga mengurangi asupan kalori. Ketidakseimban
lik/katabolikh.menyebabkan
Status psikologis berkurangnya massa dan kekuatan otot. Efek kanker di
14
ebabkan gangguan farmakodinamik
Depresi obat.tua
sangat lazim pada orang dengan kanker, dengan kisaran 10%
atus psikologis -65% di berbagai studi GA. Alat skrining secara singkat dapat membantu
Depresi sangatmendeteksi
lazim pada pasienorang tua dengan
yang mengalami tekanan kanker,
psikologisdengan kisaran 10% -65%
parah. Distress
gai studi GA. Alat skrining
thermometer (DT)secara
adalah singkat
item tunggaldapatyangmembantu
meminta pasien mendeteksi
untuk pasien y
alami tekanan psikologis parah.dalam
menilai depresinya Distress thermometer
seminggu terakhir pada(DT) skala adalah
0 ("tanpaitem tunggal y
nta pasien untuk menilai
tekanan") depresinya
hingga dalam
skala 10 ("tekanan seminggu
ekstrim"). 5 terakhir pada skala 0 ("ta
5
an") hingga skala 10 ("tekanan ekstrim").
i. Penilaian Resiko Kemoterapi
enilaian Resiko Kemoterapi
Stratifikasi
Stratifikasi risiko risiko kemotoksisitas
kemotoksisitas diukur diukur dengan skor
dengan skor Cancer
Cancerand Aging
and Aging Resea
Research Group (CARG) (Tabel 1). Skor risiko yang
p (CARG) (Tabel 1). Skor risiko yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningk lebih tinggi dikaitkan
toksisitas (Tabel dengan
2).5 peningkatan kemotoksisitas (Tabel 2).
5

Tabel 1. Skor CARG untuk memprediksi toksisitas kemoterapi5


Tabel 1. Skor CARG untuk memprediksi toksisitas kemoterapi5

842 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Kanker Pasien Geriatri

Tabel 2. Skor CARG dihubungkan dengan toksisitas kemoterapi5


Tabel 2. Skor CARG dihubungkan dengan toksisitas kemoterapi5

Kesimpulan
Kesimpulan
Dapat
Dapatdisimpulkan
disimpulkanbahwa
bahwausiausiabukan
bukansatu-satunya
satu-satunyadata
dataatau
atausebagai
sebagai faktor utama
faktor utama untuk keputusan pengobatan pada pasien geriatri dengan
untuk keputusan pengobatan pada pasien geriatri dengan kanker. Pemilihan status pasien yang
kanker.
tepat Pemilihan
, dengan status pasien yang
mempertimbangkan tepat
usia , dengan dapat
fungsional mempertimbangkan
memberikan hasilusiapengobatan yang
sama dengan
fungsional pasien
dapat usia muda.
memberikan hasilPerawatan
pengobatan hendaknya
yang sama tetap
denganberpusat pada pertimbangan
pasien usia
pasien, dan memberi
muda. Perawatan kesempatan
hendaknya tetappada pasienpada
berpusat geriatri untuk sedapat
pertimbangan mungkin
pasien, dan terlibat dalam
memilih
memberiterapi untuk dirinya
kesempatan sendiri.geriatri
pada pasien Hal ini untuk
memberikan
sedapatdampak
mungkin perawatan
terlibat yang efektif dan
efisien.
dalam memilih terapi untuk dirinya sendiri. Hal ini memberikan dampak
Komunikasi di antara anggota tim perawatan adalah kunci untuk menghindari
perawatan yang efektif dan efisien.
perawatan yang terpecah-pecah, pengeluaran biaya yang tidak perlu, dan hasil pengobatan
yang merugikan. Intervensi yang kita berikan dengan cara yang tepat dapat menghasilkan
Komunikasi
peningkatan di antara
kualitas anggota
hidup yang tim perawatan
signifikan adalahgeriatri
untuk pasien kunci dengan
untuk kanker dalam
seluruh perjalanan
menghindari perawatan
perawatan yangkanker yang berkelanjutan.
terpecah-pecah, pengeluaran biaya yang tidak
perlu, dan hasil pengobatan yang merugikan. Intervensi yang kita berikan
Daftar
denganPustaka
cara yang tepat dapat menghasilkan peningkatan kualitas hidup yang
signifikan untuk pasien geriatri dengan kanker dalam seluruh perjalanan
1. Soto-Perez-de-Celis, E. et al. Global geriatric oncology: Achievements and challenges.
perawatan kanker yang berkelanjutan.
J. Geriatr. Oncol. 8, 374–386 (2017).
2. KEMENKES. Analisis Situasi Lansia Di Indonesia. (2017).
3.DaftarSoubeyran,
Pustaka P. et al. Screening for vulnerability in older cancer patients: The
ONCODAGE prospective
1. Soto-Perez-de-Celis, E. et al. multicenter cohort
Global geriatric study. PLoS
oncology: One 9, (2014).
Achievements and
4. challenges.
Miller, K. D. Cancer Statistics for
J. Geriatr. Oncol. 8, 374–386 (2017).Adults Aged 85 Years and Older , 2019. 0, 1–16
(2019).
2. KEMENKES. Analisis Situasi Lansia Di Indonesia. (2017).
5. Korc-Grodzicki, B., Shahrokni, A. & Holmes, H. M. Geriatric assessment for
3. Soubeyran, P. et al. Screening for vulnerability in older cancer patients: The
oncologists. Cancer Biol. Med. 12, 261–274 (2015).
6. ONCODAGE
Macnee,prospective multicenter cohort
W., Rabinovich, R. study.
A. &PLoSChoudhury,
One 9, (2014). G. disease. 1332–1352
4. Miller, K. D. Cancer Statistics for Adults Aged 85 Years and Older, 2019. 0, 1–16
doi:10.1183/09031936.00134014
7. (2019).
Mchugh, D. & Gil, J.
avenues. 217,B.,65–77
5. Korc-Grodzicki, (2018).
Shahrokni, A. & Holmes, H. M. Geriatric assessment for
8. oncologists.
Klutstein,Cancer
M., Biol.
Nejman, D., Green, (2015).
Med. 12, 261–274 R. & Cedar, H. DNA Methylation in Cancer and
Aging. 76, 3446–3451 (2016).
9. Snyderman, D., Haines, C. & Wender, R. Cancer in the elderly. Reichel’s Care Elder.
Clin.Ilmiah
Pertemuan Asp.Nasional
Aging,XVII
Sixth
PAPDIEd. 2, 392–411
- Surabaya 2019 (2009). 843
10. –12 (2014).
11. Ludwig, D. K. Cancer risk associated with key epigenetic changes occurring through
normal aging process. 1–3 (2018). doi:10.1016/j.ccell.2018.01.008
Eko Adhi Pangarsa

6. Macnee, W., Rabinovich, R. A. & Choudhury, G. disease. 1332–1352


doi:10.1183/09031936.00134014
7. Mchugh, D. & Gil, J. Senescence and aging : Causes , consequences , and therapeutic
avenues. 217, 65–77 (2018).
8. Klutstein, M., Nejman, D., Green, R. & Cedar, H. DNA Methylation in Cancer and
Aging. 76, 3446–3451 (2016).
9. Snyderman, D., Haines, C. & Wender, R. Cancer in the elderly. Reichel’s Care Elder.
Clin. Asp. Aging, Sixth Ed. 2, 392–411 (2009).
10. Cancer in older adults : management and prevention. 1–12 (2014).
11. Ludwig, D. K. Cancer risk associated with key epigenetic changes occurring through
normal aging process. 1–3 (2018). doi:10.1016/j.ccell.2018.01.008
12. Takahashi, M., Takahashi, M., Komine, K. & Yamada, H. The G8 screening tool
enhances prognostic value to ECOG performance status in elderly cancer patients :
A retrospective , single institutional study. 1–14 (2017).
13. Brown, J. C., Harhay, M. O. & Harhay, M. N. Physical function as a prognostic
biomarker among cancer survivors. Br. J. Cancer 112, 194–198 (2015).
14. Arends, J. et al. ESPEN expert group recommendations for action against cancer-
related malnutrition. Clin. Nutr. 36, 1187–1196 (2017).

844 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi
Pendrik Tandean
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo - Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Pendahuluan
Treadmill test (TT) adalah pemeriksaan non invasif yang paling sering
digunakan untuk menilai penderita dengan kecurigaan penyakit jantung.
Pemeriksaan ini disebut exercise stress test atau exercise tolerance test.
Protokol yang banyak digunakan adalah Bruce dan modifikasi Bruce.

Secara historis, TT dikembangkan sebagai teknik diagnostik dalam


penilaian penyakit jantung koroner (PJK). Saat ini penggunaaannya semakin
luas termasuk evaluasi penderita paska infark miokard, pasca tindakan
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau Coronary Artery Bypass Grafting
(CABG), dan untuk mengukur kapasitas fungsional dan membuat program
latihan. Protokol Bruce dikembangkan pada tahun 1963 oleh Dr. Robert. A.
Bruce. Protokol uji latihan lainnya meliputi Naughton dan Balke.

I. Indikasi Treadmill Test


Secara umum TT dapat digunakan untuk:1
1. Mendeteksi Penyakit Jantung Koroner (PJK) pada seseorang dengan
gejala atau tanda-tanda ke arah PJK.
2. Menilai tingkat beratnya PJK.
3. Prediksi prognosis atau stratifikasi risiko untuk kejadian
kardiovaskular atau kematian.
4. Mengukur kapasitas fisik dan kemampuan melakukan aktivitas
tertentu.
5. Mengevaluasi keluhan-keluhan yang berhubungan dengan aktivitas
atau latihan fisik.
6. Mengevaluasi efek terapi atau intervensi.
7. Menilai kompetensi kronotropik, kemungkinan kemunculan aritmia
atau evaluasi respon terapi atau tindakan aritmia.
8. Penggunaan lain yang dianggap tambahan seperti untuk membuat
program latihan, menilai respon terhadap program latihan fisik atau
respon terhadap pengobatan, menentukan klasifikasi fungsional
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 845
Pendrik Tandean

disabilitas, dan untuk evaluasi risiko perioperatif untuk tindakan


bedah non kardiak.

II. Kontraindikasi Treadmill Test


Kontraindikasi absolut TT adalah:1
1. Infark miokard akut dalam 2 hari pertama.
2. Angina pektoris tidak stabil yang masih berlangsung atau yang
dianggap berisiko tinggi.
3. Aritmia tak terkontrol yang menimbulkan keluhan atau gangguan
hemodinamik.
4. Stenosis berat katup aorta yang simtomatik.
5. Diseksi aorta akut.
6. Miokarditis/ perikarditis akut, endokarditis aktif, infeksi akut
lainnya.
7. Gagal jantung yang belum terkontrol.
8. Emboli paru akut, infark paru, thrombosis vena dalam.
9. Gangguan fisik atau mental atau kondisi medis tertentu yang
tidak memungkinkan dilakukannya TT secara aman dan/ atau
memperburuk keadaannya bila dilakukan TT.
Kontraindikasi relatif TT adalah:1
1. Telah diketahui adanya stenosis koroner cabang utama kiri/ left
main atau ekuivalen.
2. Stenosis katup aorta sedang sampai berat yang tidak menyebabkan
gejala.
3. Takiaritmia dengan laju ventrikel tak terkontrol.
4. Blok Atrioventrikular derajat 2-3.
5. Hipertensi sistemik berat (diastolik >110 mmHg, sistolik >200
mmHg saat istirahat).
6. Kardiomiopati hipertrofi dengan obstruksi berat left ventricular
outflow tract (LVOT).
7. Stroke atau transient ischemic attack yang baru terjadi/ recent.
8. Hipertensi pulmoner berat.
9. Pemakaian alat pacu jantung (fixed rate).
10. Gangguan fisik atau mental atau kondisi medis tertentu yang tidak
memungkinkan dilakukannya TT secara adekuat.

846 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

III. Treadmill Test pada PJK


Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah indikasi utama untuk dilakukan
TT. Indikasi untuk diagnostik TT didasarkan pada probabilitas pretest
PJK. Probabilitas pretest klinis CAD dievaluasi berdasarkan usia, jenis
kelamin, dan tipe angina. Angina didefinisikan oleh tiga kriteria yaitu
nyeri dada retrosternal dipicu oleh aktivitas atau stres emosional;
nyeri dada yang berlangsung selama beberapa <20 menit); dan nyeri
dada berkurang dengan istirahat atau penggunaan nitrogliserin. Angina
disebut tipikal jika ketiga kriteria terpenuhi, atipikal jika hanya ada dua
kriteria, Probabilitas pretest dapat dikelompokkan menjadi rendah,
menengah atau tinggi (Tabel 1), tergantung pada gejala, usia dan jenis
kelamin pasien.2

Gambar 1. Treadmill test sebagai alat diagnostik pasien PJK.2

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 847


Pendrik Tandean

Tabel 1. Probabilitas pretest pada pasien PJK.2

IV. Protokol Treadmill Test


Terdapat dua protokol yang sering digunakan dalam TT yaitu protokol
bruce dan modified bruce. Pada protocol Bruce, latihan dimulai dengan
kecepatan 2,74 km / jam (1,7 mph=miles per hour) dan elevasi 10%. Pada
interval tiga menit, elevasi treadmill meningkat 2%, dan kecepatannya
meningkat seperti yang ditunjukkan pada yang tercantum di bawah
(Bruce Treadmill Test Stages). Tes harus dihentikan saat subjek tidak
dapat melanjutkan karena kelelahan atau sakit, dada atau karena indikasi
medis lainnya.3

Bruce Treadmill Test Stages


Stage 1 = 1.7 mph at 10% Grade
Stage 2 = 2.5 mph at 12% Grade
Stage 3 = 3.4 mph at 14% Grade
Stage 4 = 4.2 mph at 16% Grade
Stage 5 = 5.0 mph at 18% Grade
Stage 6 = 5.5 mph at 20% Grade
Stage 7 = 6.0 mph at 22% Grade
Stage 8 = 6.5 mph at 24% Grade
Stage 9 = 7.0 mph at 26% Grade

Pada protokol Modified Bruce yang dimulai pada beban kerja yang lebih
rendah daripada tes standar, dan biasanya digunakan untuk pasien lanjut
usia. Tahap kedua dari Modified Bruce Test dimulai dengan kecepatan
2.74 km/jam (1,7 mph) dengan elevasi 0% dan 1,7 mph dan elevasi 5%
, dan tahap ketiga sesuai dengan tahap pertama dari protokol Standard
Bruce Test seperti yang tercantum diatas.3

V. Prosedur Pemeriksaan
Prosedur TT dilakukan ditempat yang nyaman untuk pasien dan petugas
yang melakukan prosedur. Tersedia sumber oksigen dan peralatan yang

848 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

diperlukan bila kegawatan terjadi, dan memungkinkan dapat bergerak


bebas serta memndahkan tempat tidur maupun kursi roda. Prosedur
harus dilakukan oleh petugas yang memahami prosedur, memiliki
kompetensi untuk melakukan, menganalisa, menginterpretasi dan
melaporkan, serta mampu melakukan tindakan yang diperlukan bila
terjadi kegawatan.3-5

Persiapan tindakan treadmill test terdiri dari :3-5


1. Persiapan pasien
Tujuan atau indikasi pemeriksaan harus diketahui dengan jelas
oleh pasien dan penerima rujukan yang akan melakukan TT.
Bila perlu dokter yang merujuk dihubungi untuk mendapat
informasi yang diperlukan.
Subjek diberi penjelasan yang memadai tentang maksud,
manfaat, resiko, alternatif pemeriksaan, tatacara pemeriksaan
dilakukan, gejala dan keluhan untuk menghentikan TT, dan
kapan laporan hasil pemeriksaan akan disampaikan.
Istirahat yang cukup pada malam sebelumnya, menghindari
stres emosional atau fisik pada hari pemeriksaan.
Tidak makan berat, minum alkohol, minum kopi, merokok
minimal 2 jam sebelum TT.
Apabila TT yang dilakukan bertujuan diagnostik PJK, dan
diharapkan laju jantung mencapai maksimal atau melewati
submaksimal, atau untuk memprovokasi timbulnya aritmia,
maka obat-obatan yang menghambat laju jantung, menutupi
munculnya gambaran iskemia, obat-obat yang menekan
timbulnya aritmia dapat dihentikan minimal 24 jam bila hal
tersebut memungkinkan dan tidak berbahaya untuk subjek.
Apabila TT yang dilakukan bertujuan untuk menilai kapasitas
fungsional atau menilai efek pengobatan/ intervensi, maka
obat-obat rutin dapat tetap dilanjutkan, namun daftar obat
yang dikonsumsi harus ada dan dicatat beserta dosisnya.
Berpakaian dan beralas kaki yang nyaman, sehingga dapat
bergerak leluasa saat TT.
Peralatan TT serta peralatan dan obat-obatan untuk mengatasi
kegawatdaruratan harus selalu dipastikan dalam kondisi
tersedia dan siap dipakai.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 849


Pendrik Tandean

Persetujuan tindakan berdasarkan informasi yang memadai


atau informed consent harus sudah diperoleh sebelum tindakan
dilakukan dan sesuai dengan peraturan atau kebijakan yang
berlaku di masing-masing tempat. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008
dan Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran dari Konsil
Kedokteran Indonesia tahun 2006 yang mengatur persetujuan
tindakan kedokteran dapat dijadikan acuan serta formulir yang
dapat dipergunakan.
2. Persiapan alat
Alat treadmill dan perangkatnya
Emergency troly lengkap dan defibrillator
Elektroda, plester
Tensimeter, Stetoscope
Jelly, alkohol 70 % dan kasa non steril
Tissue dan handuk kecil
Baju/celana yang nyaman dipakai untuk treadmill
3. Prosedur tindakan
Pasien di anamnesis dan diberi penjelasan tentang maksud,
tujuan, manfaat dan risiko tindakan treadmill, lalu diminta
menanda tangani persetujuan tindakan (informed consent)
Menentukan target HR maximal dan submaximal (target HR
maximal : 220-umur dan submaximal adakah 85 % dari target
HR maximal).
Pasien dipersilahkan ganti pakaian, celana dan sepatu yang
nyaman untuk treadmill
Pasien berbaring di tempat tidur yang sudah dipersiapkan
Bersihkan tubuh pasien pada lokasi yang akan ditempelkan
elektroda dengan kasa alkohol
Tempelkan elektrode pada daerah precordial (V1-6) dan dada
kanan, kiri atas (RA, LA) dan perut bawah kanan/kiri (RL,LL),
seperti gambar dibawah ini:

850 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

Gambar 2. Titik pemasangan elektroda pada daerah precordial.3

Sambungkan dengan kabel treadmill


Fiksasi elektrode dengan baik
Masukkan data pasien ke alat treadmill
Ukur tekanan darah
Rekam EKG 12 sadapan
Ambil rekaman 12 sadapan dengan posisi supin, berdiri dan
hiperventilasi
Jalankan alat treadmill dengan kecepatan sesuai prosedur
Setiap 3 menit kecepatan dan elevasi akan bertambah
Pantau gambaran perubahan EKG, keluhan pasien selama test
Rekam EKG dan ukur tekanan darah setiap 3 menit
Hentikan tes sesuai prosedur
4. Recovery
Rekam EKG 12 sadapan dan ukur tekanan darah saat test
dihentikan
Pasien dipersilahkan duduk /berbaring
Pantau gambaran EKG selama pemulihan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 851


Pendrik Tandean

Rekam EKG 12 sadapan dan ukur tekanan darah setiap tiga


menit
Pemulihan biasanya selama enam menit (hingga tekanan darah,
denyut jantung dan gambaran EKG seperti semula)
Beritahu pasien bahwa test sudah selesai
Lepaskan electrode dan manset tekanan darah
Bersihkan jelly yang menempel di dada pasien
Pasien dipersilahkan duduk istirahat selama 15 menit

VI. Indikasi Terminasi Tes


Menurut American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association (AHA) guidelines, indikasi untuk terminasi tes terbagi atas
dua indikasi absolut dan relatif.
Indikasi absolut :3-5
Infark miokard akut atau kecurigaan adanya infark miokard akut.
Angina pektoris sedang-berat.
Elevasi segmen ST > 1 mm pada sandapan tanpa gelombang Q
patologis (selain aVR, aVL dan V1).
Tekanan sistolik turun > 10 mmHg dibawah tekanan sistolik saat
istirahat berdiri seiring peningkatan beban dengan disertai adanya
bukti iskemia, atau turun >20 mmHg sesudah peningkatan tekanan
darah sistolik sebelumnya.
Aritmia yang serius (Blok AV derajat 2 atau derajat 3, takikardia
ventrikel atau fibrilasi ventrikel).
Tanda-tanda hipoperfusi (pucat, sianosis, dingin, kulit berkeringat).
Tanda-tanda ganguan neurologis (pusing, pandangan gelap, sakit
kepala, gangguan melangkah).
Gangguan teknis (gangguan alat treadmil atau ergocycle, gangguan
pada monitor, gambaran EKG yang tidak dapat dinilai, tak dapat
mengukur tekanan darah).
Permintaan subjek.

852 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

Indikasi relatif :3
Depresi segmen ST > 2 mV (horizontal atau downsloping), perubahan
kompleks QRS atau perubahan aksis.
Nyeri dada yang makin memberat.
Sesak nafas, kelelahan, wheezing, kram tungkai, atau klaudikasio.
Tekanan darah sistolik >230 mmHg, diastolik >115 mmHg).
Tekanan sistolik turun > 10 mmHg dibawah tekanan sistolik saat
istirahat berdiri seiring peningkatan beban tanda disertai adanya
bukti iskemia.
Aritmia selain takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel (PVC
multifokal, PVC triplet, takikardia supraventrikular, bradi aritmia,
blok AV selain selain derajat 2 dan 3) yang berpotensi menjadi lebih
kompleks dan mempengaruhi hemodinamik.
Terjadi bundle branch block atau gangguan konduksi interventrikular
lainnya, yang sulit dibedakan dengan takikardia ventrikel.

VII. Interpretasi
Interpretasi harus mencakup kapasitas latihan dan respon klinis,
hemodinamik, dan EKG. Terjadinya nyeri dada iskemik selama latihan
merupakan gejala yang penting.
Kriteria iskemik positif, meliputi:6
Depresi segmen ST >1 mm dibawah garis isoelektrik pada 60
milidetik setelah J point (bila depresi segmen ST horizontal atau
downsloping)
Depresi segmen ST > 1,5 mm dibawah garis isoelektrik pada 80
milidetik setelah J point ( bila depresi segmen ST upsloping)
Elevasi segmen ST (dan elevasi J point) > 1 mm pada 80 milidetik
setelah J point
Elevasi segmen ST di aVR. Kondisi ini dianggap seperti depresi
segmen ST yang horizontal

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 853


Pendrik Tandean

Gambar 3. Depresi segmen ST selama treadmill. Downsloping lebih dari 2


mm adalah indikasi relatif terminasi.7

Penyebab depresi segmen ST non koroner adalah sebagai berikut:4,6,8


Hipertensi berat
Stenosis aorta berat
Cardiomyopathy
Anemia
Hipokalemia
Hipoksia berat
Penggunaan Digitalis
Hipertrofi ventrikel kiri
Hiperventilasi
Prolaps katup mitral
Keterlambatan konduksi intraventrikular
Sindroma preexcitation (sindrom Wolff-Parkinson-White [WPW])
Takiaritmia supraventrikular

VIII. Respons Ekg Selama Latihan3,4


1) Gelombang P
Tinggi gelombang P akan meningkat terutama di sadapan inferior
selama TT. Hal tersebut berbeda dengan durasi gelombang P yang
tidak mengalami perubahan yang signifikan selama latihan.

854 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

2) Segmen PR
Selama TT, segmen PR memendek dan melandai ke bawah (slope
downward) di sadapan inferior. Hal tersebut disebabkan oleh
repolarisasi atrial sehingga menimbulkan gelombang Ta yang dapat
memberikan gambaran depresi segmen ST yang positif palsu di
sadapan inferior.
3) Kompleks QRS
Gelombang Q mengalami sedikit perubahan dari kondisi istirahat
ke latihan, yaitu semakin negatif saat puncak latihan. Amplitudo
gelombang R mengalami peningkatan maksimal sebelum tercapainya
puncak latihan. Gelombang R akan mengalami penurunan amplitudo
yang terutama terlihat pada sadapan V5 saat puncak latihan. Pada
sadapan lateral dan vertikal (V5 dan aVF) gelombang S akan menjadi
lebih negatif dan secara perlahan akan kembali ke semula (kondisi
istirahat) saat fase recovery.
4) Depresi J-Point
J-point atau J-junction (pertemuan antara akhir dari gelombang QRS
dengan awal segmen ST) akan mengalami penurunan (depresi) di
sadapan lateral. Depresi J-point akan maksimal saat puncak latihan
dan akan kembali ke posisi semula secara perlahan pada fase
pemulihan (recovery). Depresi J-point lebih banyak ditemukan pada
pasien usia lanjut. Elevasi J-junction saat istirahat yang berubah
menjadi isoelektris saat latihan merupakan temuan yang dianggap
normal. Respons normal vektor segmen ST terhadap takikardi dan
latihan berupa perpindahan ke sebelah kanan (rightward) dan
bawah (downward).

5) Gelombang T
Gelombang T akan mengalami penurunan amplitudo pada semua
sadapan selama awal latihan. Saat latihan mencapai puncaknya,
amplitudo gelombang T akan mulai meningkat. Amplitudo
gelombang T akan kembali seperti saat istirahat pada satu menit
fase pemulihan.
6) Segmen ST
Evaluasi depresi segmen ST pada sadapan V5 memberikan hasil yang
lebih akurat dibandingkan sadapan II. Hal tersebut disebabkan oleh
depresi segemen ST di sadapan II sering menunjukkan hasil yang
positif palsu akibat gelombang Ta (repolarisasi atrium).
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 855
Pendrik Tandean

Depresi segmen ST memiliki sensitivitas 60 – 70% dan spesivitas


70 – 80% dalam mendiagnosis PJK (dengan konfirmasi angiografi
koroner). Ada tiga hal yang penting diperhatikan dalam menilai
depresi segmen ST, yaitu PQ-point, J-point, dan ST80 seperti yang
disajikan pada gambar 4.
PQ-point yang merupakan pertemuan antara akhir gelombang
P dengan awal kompleks QRS dijadikan sebagai garis isoelektris
dalam penilaian depresi segmen ST. J-point merupakan pertemuan
antara akhir gelombang QRS dengan awal segmen ST. ST80 diukur
80 miliseconds setelah J-point.

Gambar 4. Tiga hal yang penting dalam penilaian depresi segmen ST.
1; PQ-point, 2; J-point, dan 3; ST80.9

Kriteria depresi segmen ST yang dianggap bermakna adalah


depresi segmen ST ≥ 1 mm atau 0.1 mV dengan tipe horizontal atau
downsloping pada tiga denyut berturut-turut (pengukuran segmen
ST 60-80 miliseconds setelah J-point). Apabila denyut jantung lebih
dari 130 kali per menit, maka digunakan kriteria 60 miliseconds
setelah J-point.1 Contoh depresi segmen ST tipe horizontal dan
downsloping disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Depresi segmen ST tipe horizontal dan downsloping.9

856 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

Depresi Segmen ST Upsloping


Depresi segmen ST tipe rapid upsloping yang cepat menghilang
biasanya bukan merupakan suatu respons yang sebenarnya.
Namun adanya depresi segmen ST tipe slow upsloping (0.5 –
1.0 mV/detik) terutama pada beban latihan yang rendah dapat
dikategorikan abnormal. Evaluasi depresi segmen ST tipe
upsloping dilakukan dengan menggunakan penyesuaian denyut
jantung (heart rate adjustment).1 Contoh depresi segmen ST
tipe rapid dan slow upsloping disajikan pada gambar 6.

Gambar 6. Depresi segmen ST tipe rapid dan slow upsloping.9

Elevasi Segmen ST
Kriteria elevasi segmen ST yang dianggap bermakna apabila
terdapat elevasi segmen ST ≥ 1 mm atau 0.1 mV di atas PQ-
point pada 60 milisecondss setelah J-point pada tiga denyut
berturut-turut. Elevasi segmen ST yang diinduksi oleh latihan
tanpa adanya gelombang Q biasanya menandakan adanya
stenosis arteri koroner proksimal yang signifikan atau spasme
arteri koroner epikardial. Sebaliknya elevasi segmen ST dengan
gelombang Q biasanya menunjukkan aneurisma ventrikel kiri
atau perubahan gerakan dinding ventrikel yang signifikan.
Contoh elevasi segmen ST dengan atau tanpa gelombang Q
disajikan pada gambar 7.
Adanya elevasi segmen ST ≥ 1 mm di sadapan aVR merupakan
predictor suatu left main disease, proximal left anterior
descending disease, atau PJK multivessel.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 857


Pendrik Tandean

Gambar 7. Elevasi segmen ST tanpa gelombang Q dan dengan


gelombang Q.9

7) Perubahan Kompleks QRS


Perubahan Amplitudo Gelombang R
Gelombang R di sadapan prekordial normalnya akan meningkat
selama latihan. Gelombang R tersebut akan mencapai puncak
sebelum tercapainya latihan maksimal dan mengalami penurunan
saat puncak latihan tercapai. Apabila oleh karena suatu sebab
sehingga latihan maksimal tidak dapat tercapai, maka gelombang R
akan mengalami peningkatan pada saat puncak latihan. Peningkatan
gelombang R ini tidak memiliki faktor prediktor yang kuat.
Perubahan Durasi Kompleks QRS
Selama latihan terjadi pemendekan durasi kompleks QRS, interval
PR, dan interval QT yang merupakan respons normal. Blok cabang
berkas yang diinduksi oleh latihan jarang ditemukan dengan
insiden ≤ 0.5%. Blok cabang berkas kiri yang diinduksi oleh latihan
(exercise-induced left bundle branch block, EI-LBBB) dilaporkan
dalam dua penelitian besar. Satu penelitian menunjukkan bahwa
EI-LBBB terjadi pada denyut jantung yang lebih dari 125 kali per
menit dengan kemungkinan kecil akan adanya suatu PJK. Insiden
PJK meningkat apabila EI-LBBB ditemukan pada denyut jantung
yang lebih rendah. Penelitian lain menunjukkan bahwa adanya
EI-LBBB berhubungan dengan kematian dan major cardiac events.
Blok cabang berkas kanan yang diinduksi oleh latihan (exercise-
induce right bundle branch block, EI-RBBB) dilaporkan berhubungan
dengan umur.

858 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

Gelombang T
Perubahan gelombang T saja (tanpa perubahan komponen lain dari
EKG latihan), inversi gelombang T, atau pseudonormalized T wave
changes (gelombang T terbalik saat istirahat lalu menjadi normal
saat latihan) selama TT dikategorikan sebagai perubahan yang tidak
spesifik.

IX. Nilai Prognostik


1. Inkompetensi kronotropik terhadap Latihan
Inkompetensi kronotropik adalah ketidakmampuan jantung untuk
meningkatkan lajunya sesuai dengan peningkatan beban atau
kebutuhan. Chronotropic index (CI): [(Laju jantung maksimal pada
saat uji - laju jantung istirahat) / (perkiraan laju jantung maksimal
berdasarkan usia - laju jantung istirahat)] x 100.
Batasan CI adalah bila pada puncak ULJ yang adekuat:
Chronotropic index tidak mencapai 80%, atau tidak mencapai
62% bagi yang mengunakan penyekat beta.
Laju jatung tidak mencapai 85% dari perkiraan laju jantung
maksimal berdasarkan usia (220-usia).
Laju jantung tidak mencapai 120 x/menit pada ULJ yang
adekuat.
Makna parameter CI:
Subjek simtomatik dengan CI mempunyai risiko kematian
dalam 2 tahun sekitar 1,84 – 2,19 kali lebih besar dibanding
mereka yang tanpa CI.
Subjek tanpa depresi segmen ST pada ULJ, tetapi menunjukkan
adanya CI mempunyai risiko 4 kali lipat insiden PJK, dan
berisiko lebih tinggi untuk kematian dan infark miokard. 4,9,10
2. Heart Rate Recovery (HRR)
Beberapa menit awal pemulihan, laju jantung akan menurun sesuai
dengan respon parasimpatis dari nodus sinoatrial. HRR adalah
selisih antara laju jantung maksimal dan laju jantung saat pemulihan
pada menit tertentu dan yang dapat dipergunakan sebagai prediktor
pada TT adalah HRR 1menit dan HRR 2 menit.
HRR 1 menit: Laju jantung maksimal dikurangi laju jantung menit
pertama pemulihan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 859


Pendrik Tandean

Nilai normal: > 12x/menit (bila pemulihan berdiri/aktif): >18 X/


menit (bila pemulihan langsung berbaring/pasif)
HRR 2 menit: Laju jantung maksimal dikurangi laju jantung menit
ke-2 pemulihan
Nilai normal: >22/menit bila fase pemulihan dengan posisi duduk
Makna HRR abnormal:
Laju jantung pemulihan yang abnormal berhubungan dengan
prognosis subjek, terutama pada subjek yang pada TT ditemukan
respon iskemia. Pada penderita dengan HRR 1 menit yang abnormal
(<12 kali/menit) dan dengan Duke Treadmill Score (DTS) berisiko
sedang kejadian mortalitasnya 4,16 kali dibanding HRR normal,
sedangkan pada subjek dengan DTS risiko tinggi, risiko mortalitasnya
4,28 kali lebih tinggi. 4,9,10
3. Respon Hipertensi
Pada keadaan normal tekanan darah sistolik secara bertahap akan
meningkat selama TT sesuai dengan meningkatnya beban latihan,
tertinggi pada puncak latihan ,menurun waktu pemulihan dan
kembali ke normal biasanya pada menit ke 6 sesudah puncak uji.
Respon hipertensi adalah kenaikan tekanan darah sistolik hingga
> 210 mmHg atau kenaikan 10 mmHg tekanan darah diastolik dari
tekanan darah awal latihan, atau peningkatan tekanan sistolik lebih
dari 40 mmHg per stage protokol Bruce.
Sekitar 10-26% individu yang menunjukkan respon hipertensi pada
TT menjadi hipertensi pada 5 tahun berikutnya walaupun pada
mulanya normotensi. Respon hipertensi yang terjadi pada beban
yang sedang mempunyai risiko kejadian kardiovaskular (cardiac
event) dan mortalitas 1,36 kali lebih besar dalam 15 tahun 4,10,12
4. Respon Hipotensi
Selama TT dapat terjadi penurunan tekanan darah sistolik akibat
penurunan fungsi ventrikel kiri yang disebabkan iskemia otot
miokard selama peningkatan beban miokard. Penurunan tekanan
darah sistolik > 10 mm Hg dari tekanan darah awal latihan pada posisi
berdiri disebut exercise induced hypotension (Respon hipotensi).11
Adanya respon hipotensi pada TT dan disertai adanya respon
iskemia atau sebelumnya telah diketahui menderita infark miokard
menunjukkan risko kejadian kardiovaskular /cardiac events

860 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

(mortalitas dan infark miokard akut) 3,2 kali lebih besar dalam 2
13
tahun.
5. Aritmia
Insiden ektopi ventrikel selama TT berkisar 20%. Aritmia yang
ditemukan bervariasi mulai dari isolated premature ventricular
beats (PVB) hingga nonsustained ventricular tachycardia. Kejadian
ektopi ventrikel yang sering selama ULJ atau fase pemulihan hanya
sekitar 2 – 3% pasien. Beberapa penelitian berbasis populasi klinis
(ULJ dilakukan karena gejala iskemia) menunjukkan bahwa adanya
aktivitas ektopi ventrikel selama latihan merupakan prediktor
terhadap angka mortalitas. Selain itu, ektopi ventrikel khususnya
morfologi blok cabang berkas kanan yang terjadi selama latihan atau
pada fase pemulihan berhubungan dengan kemungkinan kematian
akibat kardiovaskuler di masa yang akan datang. Pada populasi yang
asimptomatik, hubungan antara aritmia ventrikel dengan iskemia
maupun mortalitas masih belum jelas.
Aritmia supraventrikuler yang diinduksi oleh latihan tidak bersifat
prediktif terhadap iskemia atau cardiovascular endpoint. Namun hal
tersebut dapat mengindikasikan kemungkinan terjadinya fibrilasi
atrium atau takikardia supraventrikel di masa yang akan datang.4,11
6. Kapasitas Aerobik
Kapasitas aerobik merupakan prediktor mortalitas pada pasien PJK
maupun bukan PJK. Kapasitas aerobik dianggap abnormal apabila
kapasitas aerobik maksimal < 85% dari prediksi. Terdapat beberapa
formula yang dapat digunakan untuk memprediksi kapasitas aerobik
yaitu:
Laki-laki : 14,7–0,11 x umur (tahun) ; Perempuan :14,7- 0,13 x umur
(tahun)14
Pada laki- laki yang asimptomatik dengan kapasitas aerobik < 5 Mets
mempunyai risiko kematian sekitar 5 kali lipat dibanding mereka
15
yang mempunyai kapasitas aerobik > 8 Mets.
Pada perempuan asimtomatik dengan kapasitas aerobik < 5 Mets
risiko kematian 3,1 (2,0-4,7) kali lipat dibanding yang mempunyai
kapasitas aerobik > 8 Mets.16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 861


Pendrik Tandean

7. Duke Treadmill Score


Duke Treadmill Score (DTS) merupakan parameter yang efektif
dalam memprediksi kejadian PJK yang berat. DTS menggunakan
formula sebagai berikut:
Durasi latihan – (5x ST deviasi) – (4x skor angina)
Keterangan: Skor angina: 0 tidak ada angina; 1 non limiting angina,
2 limiting angina. Skor >5 risiko rendah (survival rate 97% dalam
5 tahun), -10 sd 4 risiko sedang (survival rate 91% dalam 5 tahun),
<-11 risiko tinggi (survival rate 72% dalam 5 tahun).17

Daftar Pustaka
1. Radi B. Uji Latih Jantung pada Buku Ajar Kardiovaskular Jilid 1. Editor Yoga Yuniadi,
Dony Yugo Hermanto, Anna Ulfah Rahajoe. Jakarta, Sagung Seto. 2017 : 115-127
2. Marcadet DM, Pavy B, Bosser G, et al. French Society of Cardiology guidelines on
exercise tests: Indications for exercise tests in cardiac diseases. Arch Cardiovasc
Dis 2018;2-4.
3. Fletcher GF, Ades PA, Kligfield P, et al. Exercise Standards for Testing and
Training: A Scientific Statement from the American Heart Association. Circulation.
2013;128:873.
4. Gibbons RJ, Balady GJ, Bricker JT, et al. ACC/AHA 2002 Guideline Update for
Exercise Testing. Summary Article: A report of the ACC/AHA Task Force on Practice
Guidelines (Committee to Update the 1997 Exercise Testing Guidelines). J Am Coll
Cardiol. 2002;40:2-45.
5. Fletcher GF, Balady GJ, Amsterdam EA, et al. Exercise Standards for Testing and
Training: A Statement for Healthcare Professionals from the American Heart
Association. Circulation. 2001;104:1694-1740.
6. M.W. Luong, et. al. Stress testing: A contribution from Dr Robert A. Bruce, father of
exercise cardiology. BC Med Journal. 2016. 58(2): 70-6.
7. Garner KK, Pomeroy W, Arnold JJ. Exercise stress testing: indications and common
questions. Am Fam Physician. 2017 Sep 1. 96(5):293-9.
8. Kharabsheh SM, et al. Overview of Exercise Stress Testing. Ann Saudi Med
2006;26(1):1-6
9. Balady GJ and Morise AP. Exercise Testing. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook
of Cardiovascular Medicine. 10th ed. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2015:155-68.
10. Radi B, Arso IA, Sarvasti D, Tadjoedin Y, Tjahjono CT. Pedoman Uji Latih Jantung:
Prosedur dan Interpretasi. PERKI. 2016:21-28.
11. Evans CH, White RD. Exercise Testing for Primary Care and Sports Medicine
Physicians. New York: Springer Science Bussines Media; 2009.

862 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

12. Shulz MG, Otahal P, Cleland VR, Bizzard L, Marwick TH, Sharman JE. Exercise-
Induced Hypertension, Cardiovascular Event and Mortality in Patients Undergoing
Exercise Stress Testing: A Systematic Review and Meta-Analysis. Am J Hypertension.
2013;26(3):357-66.
13. Dubach P, Froelicher VF, Klein J, Oakes D, Grover-McKay M. Exercise-Induced
Hypotension in Male Population, Criteria, Causes and Prognosis. Circulation.
1988;78:1380-7.
14. Kligfield P, Lauer MS. Exercise Electrocardiogram Testing Beyond the ST Segment.
Circulation. 2006;114:2070-82.
15. Myers J,Prakash M,Froelicher VF,Parlington S,Atwood JE.Exercise Capacity and
Mortality Among Men Referred for Exercise Testing. N Engl J Med. 2002;346:783-
801.
16. Gulati M,Pandey DK,Arnsdorf MF,Lauderdle DS,Thisted RA,Wicklund RH,et al.
Exercise Capacity and the Risk of Death in Women. The St Jam Women Take Heart
Project. Circulation. 2003;108:1554-9.
17. Gunaydin ZY, Bektas O, Gurel E, et al. Value of Duke Treadmill Score in Predicting
Presence and Severity of Coronary Artery Disease. F Kardiol Pol. 2015;74:127-34

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 863


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut
Lita Diah Rahmawati
Divisi Reumatologi, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Injeksi sendi intraartikular adalah suatu prosedur pemberian obat
tertentu ke dalam rongga sendi yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri
dan inflamasi pada sendi seperti contohnya terjadi pada kasus artritis. Radang
sendi atau artritis biasanya berhubungan dengan proliferasi sel radang dan
peningkatan aliran darah menuju ke sendi yang klinis menyebabkan rasa
nyeri yang sangat. Radang sendi banyak disebabkan oleh beberapa hal antara
lain faktor degeneratif yaitu osteoartritis maupun inflamasi terkait autoimun.
Injeksi intraartikular yang tersering dikerjakan di lutut, panggul dan bahu,
selain itu di chostocondral join, facet join dan persendian tangan kaki.
Prosedur injeksi ini cukup aman, dapat membantu mengurangi nyeri pada
kasus tertentu, dengan jenis obat yang diinjeksikan meliputi kortikosteroid
sebagai anti inflamasi atau asam hyaluronan sebagai suplementasi untuk
kondisi degeneratif. Selain itu injeksi intraartikular juga bermanfaat untuk
menarik cairan sendi yang berlebihan dan menyebabkan inflamasi.

Anatomi Sendi Lutut


Lutut adalah salah satu sendi terbesar yang kompleks dengan tulang
penyusun terdiri dari os femur, os tibia dan fibula sebagai penopang dan
patella sebagai penutup yang terletak didepan lutut. Terdapat 2 potongan
meniskus yang terletak dibagian lateral dan medial yang berfungsi sebagai
redam kejut atau penyangga tekanan yang terletak diantara tulang femur
dan tibia. Terdapat beberapa bursa atau kantong yang berisi cairan agar
lutut dapat bergerak secara halus. Didapatkan struktur tendon atau ligamen
menghubungkan tulang lutut dengan otot untuk fungsi gerak dan kestabilan
sendi lutut. Ligamen cruciatum anterior mencegah tulang femur dari
pergerakan kebelakang terhadap tulang tibia atau pergerakan tibia menuju
ke depan femur. Dan ligamen cruciatum posterior yang mencegah femur
bergerak ke depan tibia dan sebaliknya. Ligamen kolateral medial dan lateral
mencegah femur bergerak dari satu ke sisi lain.

864 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut

Penyebab Nyeri pada Sendi Lutut


1. Chondromalacia patella (patello femoral syndrome): iritasi kartilago
disisi bawah patella sehingga terjadi nyeri yang banyak terjadi pada
orang usia muda.
2. Osteoartritis lutut: OA merupakan artritis yang sering menyebabkan
nyeri lutut yang disebabkan karena faktor degeneratif dan kerusakan
kartilago akibat proses tear and wear process dengan gejala meliputi
nyeri lutut, kaku dan bengkak.
3. Cairan pada lutut. Cairan dapat terkumpul di sendi lutut, baik dalam
jumlah sedikit maupun banyak. Penyebab dari timbulnya efusi ini
bermacam macam bisa karena inflamasi, artritis maupun injuri
4. Robekan meniskus : Kerusakan pada menikus atau kartilago sering
menjadi penyebab nyeri dan lutut tidak bisa dilipat.
5. Patellar tendonitis: Inflammasi pada tendon yang menghubungkan patella
menuju tepi tulang. Sering terjadi pada atlet yang sering melompat.
6. Knee bursitis: Didapatkan rasa nyeri, bengkak dan panas pada daerah
bursa lutut. Bursitis sering terjadi akibat injury maupun overuse.
7. Baker’s cyst: penumpukan cairan dibelakang lutut. Baker’s cysts biasanya
terjadi karena adanya cairan yang menetap misalnya pada kondisi
artritis.
8. Artritis reumatoid: adalah penyakit autoimun yang dapat menyebabkan
keradangan pada tulang, termasuk sendi lutut. RA yang tidak diobati
dengan baik akan menyebabkan kerusakan sendi lutut yang permanen.
9. Gout: artritis yang disebabkan karena deposisi kristal urat didalam sendi,
sehingga menyebabkan lutut bengkak dan nyeri.
10. Artritis septik: suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus maupun
jamur yang terjadi didalam sendi lutut yang menyebabkan inflamasi,
nyeri, bengkak dan kesulitan dalam menggerakkan lutut. Meskipun
kasusnya tidak banyak, namun jika tidak mendapatkan perawatan segera
dapat berakibat fatal.

Mekanisme Kerja Umum Injeksi Intraartikular


Bahan aktif yang digunakan untuk injeksi intraartikular adalah
kortikosteroid yang bekerja dengan menurunkan sel radang seperti makrofag,
sel mast, limfosit dan fagositosis. Selain itu juga menurunkan pengeluaran

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 865


Lita Diah Rahmawati

enzym lysosom dan mediator inflamasi seperti IL-1, prostaglandin dan


leukotrien. Injeksi kortikosteroid dapat menurunkan keradangan pada kasus
seperti osteoartitis. Bahan yang lain adalah hyaluronan yang digunakan
sebagai terapi maintenance pada kasus osteoarttritis awal atau ringan karena
dapat mencegah kerusakan kartilago dan inflamasi. Efektifitas dari injeksi
kortikosteroid intraartikular tergantung pada sediaan kortikosteroid yang
digunakan. Rerata triamcinolon memberikan efektivitas 4 minggu sampai
dengan 16 minggu. Injeksi hyaluronan diberikan jika pasien tidak membaik
dengan medikasi anti inflamasi, karena dari studi yang ada hyaluronan jika
diberikan secara teratur dapat menurunkan resiko tindakan bedah (Total
Knee Replacement) pada kasus OA grade 1 sampai grade 2.

Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi injeksi intraartikular pada sendi lutut adalah bila didapatkan
kondisi inflamasi tertentu terkait masalah degeneratif seperti OA maupun
autoimun seperti pada kasus Rheumatoid Arthritis. Indikasi yang lain untuk
penyuntikan asam hyaluronat terutama untuk kasus degeneratif seperti OA
lutut ringan – sedang atau dengan grading radiologis Kellgren- Lawrence I-III.
Injeksi intraartikular baik pada kasus degeneratif maupun terkait autoimun
harus juga disertai pengendalian medikasi penyakit dasarnya.

Kontraindikasi injeksi intraartikular yang harus diperhatikan adalah


kecurigaan adanya tanda infeksi pada area yang akan diinjeksi. Kontra
indikasi relatif dengan mempertimbangkan resiko dan manfaat seperti
kondisi periartikuler yaitu adanya selulitis, lesi psoriasis, septisemia,
riwayat hipersensitif obat dan bahan obat yang diinjeksikan, curiga adanya
fraktur intrartikular, pasien tidak kooperatif dan adanya gangguan diatesis
hemorrhagik.

Teknik Penyuntikan Intrartikular


Pendekatan terbaik untuk penyuntikan intraartikular adalah akses
yang maksimal dan hambatan sekecil mungkin, sehingga pendekatan yang
terbaik menuju rongga sinovial adalah superolateral, superomedial atau
anteromedial/anterolateral. Foto polos genu disarankan untuk dikerjakan
agar didapatkan kejelasan tentang anatomi daripada pasien secara individual.
Tempat injeksi hendaknya disesuaikan dengan anatomi lutut pasien dan
diberi tanda dengan pena sebelum kita lakukan tindakan pembersihan secara
steril.

866 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut

Pendekatan Superolateral
Pasien berbaring terlentang, dengan lutut yang diluruskan sepenuhnya.
Ibu jari dari pemeriksa digunakan untuk menstabilkan patella ketika jarum
diarahkan menuju bawah permukaan lateral atas patella, menuju pusat dari
patella kearah posterior dan inferomedial sendi lutut.

Pendekatan Superomedial
Pasien berbaring terlentang, dengan lutut yang diluruskan sepenuhnya.
permukaanIbu jari dari
lateral atas pemeriksa digunakan
patella, menuju untuk
pusat darimenstabilkan patella
patella kearah ketika dan
posterior jarum
inferomedial
sendi lutut. diarahkan menuju bawah permukaan medial atas patella, menuju pusat dari
Pendekatanpatella kearah posterior dan inferolateral sendi lutut.
Superomedial
Pasien berbaring terlentang, dengan lutut yang diluruskan sepenuhnya. Ibu jari dari
pemeriksa Pendekatan
digunakan Anterolateral
untuk menstabilkan patella ketika jarum diarahkan menuju bawah
dan Anteromedial
permukaan medial ataspendekatan
Untuk patella, menuju pusat dari
anterolateral danpatella kearah posterior
anteromedial, pasien dan
dapatinferolateral
sendi lutut.duduk atau berbaring dengan posisi flexi 90 derajat, sehingga didapatkan
Pendekatanposisi
anterolateral dan anteromedial
eksposur yang lebih baik dari permukaan intraartikular dan hal ini
Untuk pendekatan anterolateral dan anteromedial, pasien dapat duduk atau berbaring dengan
mempermudah masuknya jarum menuju rongga sendi. Jarum diarahkan dari
posisi flexi 90 derajat, sehingga didapatkan posisi eksposur yang lebih baik dari permukaan
sisi lateral tendon patella tau medial dari tendon patella kurang lebih 1 cm
intraartikular dan hal ini mempermudah masuknya jarum menuju rongga sendi. Jarum
diatas permukaan tulang tibia, dan diarahkan langsung 15 - 45 derajat dari
diarahkan dari sisi lateral tendon patella tau medial dari tendon patella kurang lebih 1 cm
arah permukaaan
diatas permukaan anterior
tulang tibia, lutut secara
dan diarahkan vertikal 15
langsung garis tengah
- 45 menuju
derajat ruangpermukaaan
dari arah
intraartikular.
anterior lutut secara vertikal garis tengah menuju ruang intraartikular.

Gambar: Injeksi intraartikular pendekatan anteromedial


Gambar.dengan
Injeksi intraartikular
posisi pendekatan
duduk dan lutut anteromedial
fleksi 90 derajat
dengan posisi duduk dan lutut fleksi 90 derajat

Perawatan pasca injeksi


PascaPertemuan
injeksi,Ilmiah
observasi
Nasional XVIImeliputi perbandingan
PAPDI - Surabaya 2019 kadar nyeri pra dan867
pasca injeksi
dengan pemeriksaan lutut dan palpasi. Efek dari lidokain jika diberikan segera dapat
dirasakan oleh pasien, sedangkan kortikosteroid biasanya memberikan efek dalam jangka
waktu 1 sampai 2 hari. Merujuk kepada survei dari American College of Rheumatology, 71
Lita Diah Rahmawati

Perawatan Pasca Injeksi


Pasca injeksi, observasi meliputi perbandingan kadar nyeri pra dan pasca
injeksi dengan pemeriksaan lutut dan palpasi. Efek dari lidokain jika diberikan
segera dapat dirasakan oleh pasien, sedangkan kortikosteroid biasanya
memberikan efek dalam jangka waktu 1 sampai 2 hari. Merujuk kepada survei
dari American College of Rheumatology, 71 % ahli rematologi menganjurkan
untuk mengurangi beban pada lutut selama 48 jam pasca injeksi. Jika nyeri
masih terjadi pasca injeksi maka pasien di anjurkan untuk mengkompres
dingin pada area sendi, beristirahat dan minum obat nyeri.

Efek Samping Injeksi Intrartikular


Efek samping amat jarang, dilaporkan 1 dari 15.000 injeksi kortikosteroid.
Efek samping yang timbul bisa dikarenakan faktor obat dan persiapan asepsis
yang kurang tepat. 1 dari 50 pasien dikatakan nyeri kembali dan bengkak
namun timbul dalam waktu yang cukup lama setelah penyuntikan dilakukan.
Penyuntikan kortikosteroid tidak dianjurkan jika diinjeksikan terlalu sering
karena dapat menyebabkan kerusakan sendi. Penyuntikan juga tidak boleh
dilakukan 2 kali pada tempat dan waktu yang bersamaan. Kehati-hatian
pada pasien diabetes perlu diperhatikan, karena injeksi kortikosteroid dapat
meningkatkan kadar gula darah dengan cepat. Jarak 3 bulan direkomendasikan
untuk injeksi kortikosteroid pada tempat yang sama, sedangkan untuk
hyaluronan disarankan 3 sampai dengan 5 kali per minggu dalam 1 serial
injeksi.

Komplikasi Injeksi Intrartikular


Komplikasi non infeksi biasanya berupa atrofi kulit, vitiligo dan kalsifikasi
distrofi disekitar kapsul sendi. Komplikasi tendon ruptur, atrofi syaraf atau
necrosis jarang terjadi pada injeksi lutut. Komplikasi dari kortikosteroid
dapat terjadi secara sistemik seperti osteoporosis, menstrual irregularity,
ecchymoses dan cataract formation namun jarang terjadi. Sedangkan efek
penekanan aksis hipotalamus pititary dan peningkatan kadar gula darah
juga jarang dilaporkan. Komplikasi osteonekrosis dilaporkan jarang terjadi
sebesar 0,1 sd 3%.

Sedangkan komplikasi Infeksi seperti artritis septik iatrogenic adalah hal


yang paling ditakuti. Komplikasi ini terjadi 1 dari 2000 – 15.000 injeksi. Artritis
septik harus dibedakan dengan flare pasca injeksi yang biasanya terjadi dalam
hitungan jam dan hari. Jika nyeri yang sangat menetap lebih dari 48 jam atau

868 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut

dimulai setelah 48 jam pasca injeksi, maka resiko terjadinya infeksi perlu
dipikirkan. Jika terjadi artritis septik iatrogenic, maka ulangan artrosentesis
perlu dilakukan dan antibiotika perlu segera diberikan. Jika dengan tindakan
tersebut belum berhasil dan memburuk dalam waktu lebih dari 48 jam – 72
jam, maka dilakukan arthrotomy atau arthroscopy atau konsultasi orthopedi.

Daftar Pustaka
1. Jackson DW, Evans NA, Thomas BM. Accuracy of needle placement into the intra-
articular space of the knee. J Bone Joint Surg Am. 2002;84-A(9):1522-1527.
2. Waddell DD. The tolerability of viscosupplementation: low incidence and clinical
management of local adverse events. Curr Med Res Opin. 2003;19(7):575-580.
3. Wen DY. Intra-articular hyaluronic acid injections for knee osteoarthritis. Am Fam
Physician. 2000;62(3):565-570, 572
4. Boon AJ, Smith J, Dahm DL, Sorenson EJ, Larson DR, Fitz-Gibbon PD, et al. Efficacy of
intra-articular botulinum toxin type A in painful knee osteoarthritis: a pilot study.
PM R. 2010 Apr. 2(4):268-269
5. Wang-Saegusa A, Cugat R, Ares O, Seijas R, Cuscó X, Garcia-Balletbó M. Infiltration
of plasma rich in growth factors for osteoarthritis of the knee short-term effects on
function and quality of life. Arch Orthop Trauma Surg. 2011 Mar. 131(3):311-7.
6. Hinton R, Moody RL, Davis AW, Thomas SF. Osteoarthritis: diagnosis and
therapeutic considerations. Am Fam Physician. 2002 Mar 1. 65(5):841-8.
7. Ward EE, Jacobson JA, Fessell DP, Hayes CW, van Holsbeeck M. Sonographic
detection of Baker’s cysts: comparison with MR imaging. AJR Am J Roentgenol. 2001
Feb. 176(2):373-8
8. Schumacher HR Jr. Aspiration and injection therapies for joints. Arthritis Rheum.
2003 Jun 15. 49(3):413-20
9. Schumacher HR, Chen LX. Injectable corticosteroids in treatment of arthritis of the
knee. Am J Med. 2005 Nov. 118(11):1208-14
10. Bellamy N, Campbell J, Robinson V, Gee T, Bourne R, Wells G. Intraarticular
corticosteroid for treatment of osteoarthritis of the knee. Cochrane Database Syst
Rev. 2006 Apr 19

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 869


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis
Cesarius Singgih Wahono
Divisi Reumatologi, Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Pendahuluan
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang sering
mengenai sendi penyangga badan dan juga tangan.(Berenbaum, 2013;
Bowman, 2018). Di Amerika Serikat sekitar 52,5 juta pasien dewasa pernah
didiagnosis sebagai osteoartritis, berdasarkan data yang dianalisa antara
tahun 2010 sampai 2012 oleh National Health Interview Survey (NHIS) (CDC,
2013). Osteoartritis juga merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
fungsional pada sekitar 22,7 juta penduduk Amerika Serikat dewasa. (Barbour,
2014). Pasien OA tidak hanya menderita karena nyeri yang menetap, kekakuan
dan keterbatasan mobilitas, namun juga penyakit ini langsung mempengaruhi
kualitas hidup serta komorbiditi fisik dan mental (Moskowitz, 2009). Penyakit
ini juga memerlukan biaya penanganan kesehatan yang tinggi, hingga 128 juta
dolar amerika pada tahun 2015, serta menyebabkan kehilangan produktivitas
sebesar 0,2% sampai 0,5% (Puig-Junoy, 2015).

Patogenesis osteoartritis masih kurang dipahami dengan baik karena


kompleksitas yang tinggi dan interarksi berbagai macam faktor biologi
misalnya: genetik, jenis kelamin, kekurangan hormon seks, dan proses
penuaan (Herrero, 2017). Banyak bukti terbaru yang difokuskan pada
petanda molekular yang berdampak pada kondisi penuaan yang diinduksi
stres (stress-induced senescent state) pada kondrosit (Zhang, 2008). Istilah
“Chondrosenescence” sekarang digunkan untuk menggambarkan penurunan
fungsi kondrosit yang bergantung pada usia (OA fact sheet, 2017).

Metode pengobatan OA relatif terbatas karena patofisiologi yang kompleks.


Menurut Pedoman Osteoarthritis Research Society International (OARSI) dan
rekomendasi untuk penatalaksanaan OA telah ditetapkan beberapa modalitas
terapi (Brosseau, 2017). Modalitas terapi yaitu non-farmakologi misalnya
edukasi dan kewaspadaan pasien, terapi fisik rehabilitatif. Tenyata terapi
fisik misalnya latihan pikiran-badan (mind–body exercise), latihan kekuatan
(strength training exercises) serta latihan aerobik, menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam memperbaiki prognosis OA sepanjang pasien patuh dan

870 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis

konsisten dalam menjalani program terapi fisiknya. Modalitas farmakologi


misalnya penggunaan asetaminofen, NSAID non selektif serta inhibitor COX-
2 dan bahkan sampai pemberian opioid. NSAID merupakan obat yang paling
sering diresepkan untuk OA (Brousseau, 2017), dan cukup efektif mengurangi
inflamasi, namun diketahui juga terdapat efek samping yang membahayakan.

Terdapat metode farmakoterapi lain yang menjanjikan yaitu kondroitin


sulfat, glukosamin, dan injeksi intraartikular viskosuplemen, corticosteroid
dan produk yang berasal dari darah (Brousseasu, 2017). Tetapi terdapat
kontroversi tentang efikasi serta keamanannya dalam jangka panjang dalam
memperbaiki gejala pasien (Bowman, 2018).

Pada dasawarsa terakhir, terdapat kecenderungan penggunaan injeksi


intraartikular baik steroid atau asam hyaluronat dan lainnya sebagai modalitas
alternatif dengan memaksimalkan efek topikal dan mengurangi efek sistemik.
(Bowman, 2018). Kedua injeksi tersebut terbukti dapat menurunkan nyeri,
namun AH tampaknya lebih aman dan efeknya bertahan lebih lama(Bowman,
2018). Artikel ini secara ringkas memberikan garis besar tentang terapi
mengunaan asam hyaluronat untuk pengobatan OA.

Asam Hyaluronat (AH) pada Sendi


Hyaluronat molekul yang banyak terdapat, dengan berat molekul tinggi,
dan secara natural berasal dan terdapat di rawan sendi dan cairan sinovial.
Molekul ini tersusun dari residu N-acetyl d- glucosamine dan d-glucuronic
acid yang berselang-seling yang terikat dengan ikatan β(1–4) dan β(1–3)
dengan berat molekul berkisar antara 6500 sampai 10,900 kDa (Altman,
2015). Sifat reologisnya berperan dalam fungsi utamanya dalam cairan
sinovial sebagai pelumas (lubrikan), pengisi celah sendi sehingga celah sendi
tetap terbuka, penangkap radikal bebas, serta untuk regulasi aktivitas selular
misalnya pengikatan protein (Ayhan, 2014). Selama perkembangan OA, asam
hyaluronat (AH) endogen dalam sendi mengalami depolimerisasi dari yang
semula berat molekulnya tinggi (6500–10,900 kDa), menjadi berat molekul
rendah (2700–4500 kDa) yang berkorelasi dengan panjang rantainya (dari
4-5 mD menjadi 2-4 mD) (Boyer, 2015), akibatnya terjadi penurunan sifat
mekanis dan viskoelastisitas cairan sendi pada sendi yang terkena. (Altman,
2015).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 871


mengalami depolimerisasi dari yang semula berat molekulnya tinggi (650
menjadi berat molekul rendah (2700–4500 kDa) yang berkorelasi dengan p
(dari 4-5 mD menjadi 2-4 mD) (Boyer, 2015), akibatnya terjadi penurunan s
viskoelastisitas cairan sendi pada sendi yang terkena. (Altman, 2015).
Cesarius Singgih Wahono

Gambar 1. Struktur kimia asam hyaluronat. Dikutip dari


Gambar 1. Struktur kimia asam hyaluronat. Dikutip
https://www.drugbank.ca/structures/DB08818/image.svg
dari
https://www.drugbank.ca/structures/DB08818/image.svg
Injeksi asam hyaluronat eksogen telah digunakan untuk memperbaiki
Injeksi asam hyaluronat eksogen telah digunakan untuk memperba
fungsi asam hyaluronat endogen yang memburuk pada pasien OA.
hyaluronat endogen yang memburuk pada pasien OA. Meskipun AH
Meskipun AH eksogen tidak sepenuhnya dapat mengganti semua fungsi dan
sepenuhnya dapat mengganti semua fungsi dan aktivitas AH endogen, tet
aktivitas AH endogen, tetapi AH eksogen mungkin dapat mengurangi nyeri
mungkin dapat mengurangi nyeri melalui beberapa mekanisme anta
melalui beberapa mekanisme antara lain: sintesa proteoglikan dan/atau
proteoglikan dan/atau glikosaminoglikan, efek anti inflamasi, dan
glikosaminoglikan, efek anti inflamasi, dan pemeliharaan viskoelastisitas.
viskoelastisitas. Namun demikian, masih terdapat kontroversi tentang efektiv
Namun demikian, masih terdapat kontroversi tentang efektivitas injeksi
artikular AH pada OA. Sebagian penelitian menyampaikan efikasi yang ba
intra artikular AH pada OA. Sebagian penelitian menyampaikan efikasi yang
lain melaporkan hanya terdapat sedikit keuntungan. Salah satu alasan
baik, dan sebagian lain melaporkan hanya terdapat sedikit keuntungan. Salah
terjadinya perbedaan hasil ini adalah kadar enzim hyaluronidase yang be
satu alasan yang potensial terjadinya perbedaan hasil ini adalah kadar enzim
cairan sinovial pasien. Hyaluronidase adalah keluarga enzim yang mendegra
hyaluronidase yang berbeda-beda pada cairan sinovial pasien. Hyaluronidase
memotong ikatan –4) pada AH, mematahkan molekul besar menjadi poto
adalah keluarga enzim yang mendegradasi AH dengan memotong ikatan β(1–
kecil sebelum mendegradasinya. (Bowman, 2018).
4) pada AH, mematahkan molekul besar menjadi potongan yang lebih kecil
sebelum mendegradasinya. (Bowman, 2018).
Peran Asam Hyaluronat pada Osteoartritis
Pada awal tahun 1990-an, Balazs menghipotesiskan bahwa injeksi int
Peran Asam Hyaluronat
hyaluronat (IAHA) pada Osteoartritis
dapat mengembalikan viskoelastisitas cairan si
Padaviskosuplementasi
awal tahun 1990-an,iniBalazs menghipotesiskan
berdasarkan bahwa bahwa
pengamatan injeksi intra
sifat viskoelastisita
artikularpada
asamorang sehat, (IAHA)
hyaluronat menjadidapat
berubah pada pasienviskoelastisitas
mengembalikan OA, dan hal ini secara langsu
dengan Konsep
cairan sinovial. penurunan kualitas dan kuantitas
viskosuplementasi AH(Henrotin,
ini berdasarkan 2015). Viskoelastisita
pengamatan
berhubungan
bahwa sifat langsung
viskoelastisitas denganpada
cairan sinovial berat molekul
orang dan konsentrasi
sehat, menjadi berubah AH dan mem
untuk
pada pasien OA, menurunkan tekanan
dan hal ini secara langsungmekanik pada dengan
berhubungan sendi. penurunan
Pada tekanan rendah, m
kualitas yang lambat, AH(Henrotin,
dan kuantitas rantai linier 2015).
AH bergabung searah
Viskoelastisitas dengan
cairan aliran tekanan dan
sinovial
cairanlangsung
berhubungan viskus. dengan
Ketika berat
sendimolekul
harus menahan beban AH
dan konsentrasi dalam
danwaktu cepat (m
memberilompat),
kemampuan maka tidak
untuk ada waktu
menurunkan lagi mekanik
tekanan untuk menyearahkan
pada sendi. Padadengan aliran tek
tekanan memunculkan
rendah, misalnyasifat elastiknya
gerakan sehingga
yang lambat, menjadi
rantai linier AHperedam
bergabungkejut (shock-absor
fisik AH
searah dengan juga
aliran memiliki
tekanan sifat biologi,
dan bersifat sebagaimisalnya menstimulasi
cairan viskus. Ketika produksi AH
tinggi,
sendi harus interaksi
menahan bebandengan
dalam reseptor nyeri,
waktu cepat menghambat
(misalnya lari atau mediator
lompat), inflamasi (Hen
maka tidak ada waktu lagi untuk menyearahkan dengan aliran tekanan,
maka AH memunculkan sifat elastiknya sehingga menjadi peredam kejut

872 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis

(shock-absorber). Selain sifat fisik AH juga memiliki sifat biologi, misalnya


menstimulasi produksi AH berat molekul tinggi, interaksi dengan reseptor
nyeri, menghambat mediator inflamasi (Henrotin, 2015).

Saat ini telah banyak sediaan injeksi AH yang berbeda-beda


karakteristiknya, yaitu: sumber bahannya ( hewan vs bio-fermentasi
menggunakan organisme yang dimodifikasi), rerata berat molekul yang
berkisar antara 500 sampai 6000 kDa, struktur molekular (linear, tautan
silang/cross-linked, atau gabungan keduanya), konsentrasi (0.8–30 mg/mL),
volume injeksi (0.5–6.0 mL), serta posologi. Setelah bertahun-tahun sumber
AH dari hewan (cengger ayam jantan) digunakan sebagai bahan tradisional,
saat ini telah digunakan AH dari hasil biofermentasi bakteri yang dimodifikasi
gennya, yang dianggap harganya lebih murah dan efek samping yang lebih
sedikit (Bowman, 2018; Boyer, 2015).

Meskipun injeksi AH mempunyai karakteristik yang berbeda-beda,


termasuk berat molekul, namun dalam berbagai penelitian ternyata tidak ada
perbedaan hasil jangka panjang signifikan. Terdapat beberapa mekanisme
AH lain yang berperan dalam mengurangi gejala yaitu meningkatkan sistesis
matriks ekstraselular, mengubah mediator inflamasi supaya menghindari
degradasi, mengurangi motilitas limfosit, menjaga ketebalan, srea dan
kehalusan permukaan rawan sendi (Cooper, 20017).

Uji Klinis Asam Hyaluronat pada Manusia


Berdasarkan rangkuman dari 76 uji klinis oleh Bellamy dkk. injeksi
intraartikular AH merupakan terapi untuk OA berdasarkan efeknya terhadap
nyeri, fungsi dan asesmen global pasien. Dari sisi keamanan, terbukti juga
bahwa tidak ada efek samping negatif yang bermakna secara statistik pada
pasien yang mendapatkan injeksi intraartikular AH (Bowman, 2018).

Meskipun sebagian besar penelitian IA AH untuk OA terbukti cukup


baik, namun tetap ada kontroversi, karena ada beberapa penelitian yang
menunjukkan bahawa terapi ini tidak lebih baik dibandingkan dengan
plasebo. Richette dkk. pada tahun 2015 membuat suatu meta analisis dari
RCT IA AH dibanding plasebo pada OA lutut yang dipilih paling valid dan
biasnya minimal. Dari 445 artikel yang ditemukan dari pencarian, mereka
mendapatkan hanya 8 RCT yang dianggap layak yang dilakukan dari tahun
2015 sampai dengan 2011. Efikasi primer dari penelitian ini adalah penurunan
skor nyeri dan efikasi sekundernya adalah perbaikan fungsi sendi selama

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 873


tetap ada kontroversi, karena ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahawa terapi ini
tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Richette dkk. pada tahun 2015 membuat suatu
meta analisis dari RCT IA AH dibanding plasebo pada OA lutut yang dipilih paling valid dan
biasnya minimal. Dari 445 artikel yang ditemukan dari pencarian, mereka mendapatkan
hanya 8Cesarius
RCT yang
Singgih Wahonodianggap layak yang dilakukan dari tahun 2015 sampai dengan 2011.
Efikasi primer dari penelitian ini adalah penurunan skor nyeri dan efikasi sekundernya adalah
3 bulan. Didapatkan penurunan skor nyeri dan perbaikan fungsi moderat,
perbaikan fungsi sendi selama 3 bulan. Didapatkan penurunan skor nyeri dan perbaikan
namun secara
fungsi moderat, namunklinis
secarasangat
klinis bermakna (dapat(dapat
sangat bermakna dilihatdilihat
pada pada
Gambar 12 dan
Gambar 12 dan
gambar
gambar 3). 3).

Gambar
Gambar 2. Forest
2. Forest plot
plot dari
dari perbedaan
perbedaan intensitasnyeri
intensitas nyeriyang
yangditunjukkan
ditunjukkan dalam
dalam standar
standar mean difference (SMD) selama 12 minggu. (Gambar 2. (Dikutip
mean difference (SMD) selama 12 minggu. (Gambar 2. (Dikutip dari Richette, 2015)dari Richette,
2015)

Efek IA AH dengan berat molekul tinggi juga menunjukkan efikasi yang


baik, namun uji klinis pada penderita OA dengan usia bekerja belum pernah
dilakukan, padahal jumlah pasien denga OA lutut dalam usia kerja meningkat.
Hermans dkk. pada tahun 2019 melaksanakan uji klinis pada pasien OA
lutut dengan usia 18-65 tahun yang mendapatkan penatalaksanaan umum
di poliklinik ditambah IA AH berat molekul tinggi dibandingan dengan yang
hanya mendapat penatalaksanaan umum di poliklinik. Hasil penelitian primer
yang diukur dalam 52 minggu adalah skala nyeri, perbaikan fungsi sendi,
serta asesmen pasien secara global. penatalaksanaan umum di poliklinik.
Terdapat 156 subyek penelitian yaitu 77 masuk kelompok intervensi, 79
masuk kelompok kontrol. Terdapat perbedaan bermakna skala nyeri pada
saat istirahat, yaitu kelompok intervensi: 57.1% versus kelompok kontrol
34.2% (p = 0.006) serta nyeri pada aktivitas, kelompok intervensi 54.5%
versus kelompok kontrol 34.2% (p = 0.015). Ini menunjukkan bahwa IA AH
berat molekul tinggi efektif untuk pasien OA lutut pada usia kerja. Sebagian
hasil penelitian inidapat dilihat pada gambar 3 dan 4. (Hermans, 2019)

874 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


kontrol
bermakna 34.2%
skala (p = pada
nyeri 0.006)saatserta nyeriyaitu
istirahat, padakelompok
aktivitas,intervensi:
kelompok 57.1%intervensi 54.5% ve
versus kelompok
kontrol 34.2%
kelompok (p =34.2%
kontrol 0.006)(pserta nyeri Ini
= 0.015). padamenunjukkan
aktivitas, kelompok
bahwa IA intervensi
AH berat 54.5% versus
molekul tin
kelompok
efektif kontrol
untuk pasien34.2% (p = 0.015).
OA lutut pada usiaIni kerja.
menunjukkan
Sebagian bahwa
hasil IA AH beratinidapat
penelitian molekuldilihat
tinggip
efektif untuk
gambar 3 danpasien OA lutut2019)
4. (Hermans, pada usia kerja. Sebagian Peranhasil penelitian
Asam Hyaluronat inidapat dilihat pada
pada Terapi Osteoartritis
gambar 3 dan 4. (Hermans, 2019)

Gambar 3. Skala nyeri pada saat istirahat dan aktivitas. (Dikutip dari Hermans, 2019)
Gambar 3. Skala
Gambar 3. Skalanyeri
nyeripada
padasaat
saatistirahat
istirahat dan
dan aktivitas.
aktivitas. (Dikutip
(Dikutip daridari Hermans,
Hermans, 201
2019)

Gambar 4. Gambar
Asesmen Pasien secara Global. (Dikutip dari Hermans, 2019)
4. Asesmen Pasien secara Global. (Dikutip dari Hermans, 2019)
Gambar 4. Asesmen Pasien secara Global. (Dikutip dari Hermans, 2019)
Pada tahun 2015 sebuah kelompok kerja di Eropa yang terdiri dari ahli
Pada tahun 2015 sebuah kelompok kerja di Eropa yang terdiri dari ahli reumatologi
reumatologi dan rehabilitasi medik ditugaskan untuk membuat rekomendasi
Pada tahun medik
dan rehabilitasi 2015 sebuah kelompok
ditugaskan kerjamembuat
untuk di Eropa yang terdiri dari
rekomendasi ahli reumato
tentang terapi
tentang terapi viskosuplementasi.(Henrotin,
viskosuplementasi.(Henrotin, 2015) Beberapa rekomendasi
dan rehabilitasi medik 2015) Beberapa
ditugaskan rekomendasi
untuk dapat rekomendasi
membuat dilihat pada tabeltentang
1. te
dapat dilihat pada tabel 1.
viskosuplementasi.(Henrotin, 2015) Beberapa rekomendasi dapat dilihat pada tabel 1.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 875


Cesarius Singgih Wahono

Tabel 1. Rekomendasi The task force of European experts on OA.


(Dikutip dari Henrotin, 2015)
Rekomendasi Tingkat konsesnsus
Viskosuplementasi (VS) efektif untuk OA lutut ringan sampai Persetujuan sangat kuat 100%
sedang
VS mungkin berguna untuk OA lutut lanjut Persetujuan kuat
VS adalah terapi untuk OA lutut yang ditoleransi dengan baik Persetujuan sangat kuat 100%
Efek samping lokal lebih sering terjadi pada VS yang berbahan Tidak tercapai konsensus
dasar dari hewan dibandingkan dengan yang berasal dari
biofermentasi
Karena profil keamanan yang baik, maka VS diberikan tidak Persetujuan sangat kuat 100%
hanya pada pasien yang gagal dengan pengobatan analgesik
dan NSAID
Edukasi oleh dokter mempengaruhi keberhasilan VS Persetujuan kuat
Mengistirahatkan sendi selama 24 jam harus direkomendasikan Persetujuan sedang
setelah pemberian VS
VS merupakan terapi OA lutut yang cost-effective Persetujuan sangat kuat 100%

Keragaman efek injeksi intrartikular AH pada berbagai fenotip


pasien belum banyak dimengerti. Jadi perlu penelitian lebih lanjut untuk
mendapatkan karakteristik pasien yang akan mempunya respons lebih baik
dengan terapi ini. Terdapat bukti yang terbatas bahwa injeksi intraartikular
AH lebih efektif pada pasien (Maheua, 2019)
- Dengan gambaran radiologi OA moderat ( Kellgren-Lawrence grade II),
- Yang tidak terlalu lanjut usia, yaitu <60 tahun.[96]; pada praktek klinik
terapi ini merupakan pilihan yang baik untuk pasien lanjut usia yang
mendapatkan polifarmasi karena kemungkinan obat-obat tersebut
berinteraksi dengan AH sangat rendah.
- Dengan gejala yang berat. Karlsson dkk. menunjukkan bahwa pasien OA
dengan indeks Lequesne paling sedikit 10 dan tidak terdapat efusi sendi,
mempunyai respons yang lebih baik.

Efek samping IA AH jarang terjadi, namun ada beberapa efek samping


yang mungkin terjadi, (Maheua, 2019) yaitu:
1) artralgia
2) pembengkakan sendi
3) perdarahan pada tempat injeksi
4) nyeri ada tempat injeksi
5) kemerahan pada tempat injeksi

876 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis

6) reaksi alergi
7) Pseudoseptik
8) gatal pada tempat injeksi

Kesimpulan
Osteoartritis adalah penyakit kronik yang menyengsarakan yang
terutama mengenai lanjut usia. Prevalensi penyakit ini meningkat sesuai
dengan meningkatnya prporsi orang lanjut usia. Oleh karena itu diperlukan
pengobatan yang efektif dengan keamanan yang baik untuk mengendalikan
penyakit ini. Asam hyaluronat terbukti efektif pada terapi OA dengan
mekanisme diantaranya lubrikasi, antiinflamasi dan efek kondroprotektif.
Dengan profil keamanan yang baik.

Daftar Pustaka
1. Altman RD et al (2015) The mechanism of action for hyaluronic acid treatment in
the osteoarthritic knee: a systematic review. BMC Musculoskelet Disord 16:321
2. Ayhan E, Kesmezacar H, Akgun I (2014) Intraarticular injections (corticosteroid,
hyaluronic acid, platelet rich plasma) for the knee osteoarthritis. World J Orthop
5(3):351–361
3. Barbour K et al (2014) Meeting physical activity guidelines and the risk of incident
knee osteoarthritis: the Johnston County Osteoarthritis Project. Arthritis Care Res
(Hoboken) 66(1):139–146
4. Bhadra AK, Altman R, Dasa V, Myrick K, Rosen J, Vad V, et al. Appropriate Use
Criteria for Hyaluronic Acid in the Treatment of Knee Osteoarthritis in the United
States. Cartilage. 2017, 8(3) 234–254
5. Berenbaum F (2013) Osteoarthritis as an inflammatory disease (osteoarthritis is
not osteoarthrosis!). Osteoarthr Cartil 21(1):16–21 Bowman et al. Clin Trans Med
(2018) 7:6 Page 9 of 11
6. Bowman S, Awad ME, Hamrick MW, Hunter M, Fulzele S. Recent advances in
hyaluronic acid based therapy for osteoarthritis. Clin Trans Med (2018)7:6 https://
doi.org/10.1186/s40169-017-0180-3
7. Boyer LG. Viscosupplementation: Techniques, indications, results. Orthopaedics &
Traumatology: Surgery & Research 101 (2015) S101–S108
8. Brosseau L et al (2017) The Ottawa panel clinical practice guidelines for the
management of knee osteoarthritis. Part one: introd introduction, and mind-body
exercise programs. Clin Rehabil 31(5):582–595
9. Brosseau L et al (2017) The Ottawa panel clinical practice guidelines for the
management of knee osteoarthritis. Part two: strengtheningexercise programs.
Clin Rehabil 31(5):596–611

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 877


Cesarius Singgih Wahono

10. CDC (2013) Prevalence of doctor-diagnosed arthritis and arthritisattributable


activity limitation—United States, 2010–2012. MMWR 62:869–873
11. Cooper C, Rannou F, Richette P, Bruyère O, Al-Daghri N, Altman RD, et al. (2017)
Use of intraarticular hyaluronic acid in the management of knee osteoarthritis in
clinical practice. Arthritis Care Res (Hoboken) 69(9):1287–1296
12. Henrotin Y, Raman R, Richette P, Bard H, Jerosch J, Conrozier T, et al. Consensus
statement on viscosupplementation with hyaluronic acid for the management of
osteoarthritis Semin Arthritis Rheum. 45(2015)140–149
13. Herrero-Beaumont G et al (2017) Clinical settings in knee osteoarthritis:
pathophysiology guides treatment. Maturitas 96:54–57
14. Hermans J, Sita M. A. Bierma-Zeinstra SMA, Bos PK, Niesten DD, Verhaar JAN,
Reijman M. The effectiveness of high molecular weight hyaluronic acid for knee
osteoarthritis in patients in the working age: a randomised controlled trial. BMC
Musculo Disorders (2019) 20:196. https://doi.org/10.1186/s12891-019-2546-8
15. Koiri SP, Yang Y, Kui H. Hyaluronic Acid in the Treatment of Knee Osteoarthritis:
Review. Yangtze Med, 2018, 2, 62-72
16. Maheua E, Bannurub RR, Herrero-Beaumontc G, Allalid F, Barde H, Miglioref A.
Why we should definitely include intra-articular hyaluronic acid as a therapeutic
option in the management of knee osteoarthritis: Results of an extensive critical
literature review. Semin Arthritis Rheum 48 (2019) 563-572
17. Moskowitz RW (2009) The burden of osteoarthritis: clinical and qualityof- life
issues. Am J Manag Care 15(8 Suppl):S223–S229
18. Osteoarthritis Fact Sheet (2017) https://www.cdc.gov/arthritis/basics/
osteoarthritis.htm. Accessed 24 May 2017
19. Puig-Junoy J, Ruiz Zamora A (2015) Socio-economic costs of osteoarthritis: a
systematic review of cost-of-illness studies. Semin Arthritis Rheum 44(5):531–541
20. Richette P, Chevalier X, Ea HK, Eymard F, Henrotin Y, Ornetti P, et al. Hyaluronan
for knee osteoarthritis: an updated meta-analysis of trials with low risk of bias.
RMD Open 2015;1:e000071. doi:10.1136/rmdopen-2015-000071
21. Zhang W et al (2008) OARSI recommendations for the management of hip and
knee osteoarthritis, Part II: OARSI evidence-based, expert consensus guidelines.
Osteoarthritis Cartilage 16(2):137–162

878 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019

Anda mungkin juga menyukai