Anda di halaman 1dari 46

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Tuberkulosis Paru

2.1.1. Pengertian Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit menular yang

sebagian besar disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara

yang dihirup ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar

dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem

saluran limfa, melalui saluran pernafasan / bronkus atau penyebaran

langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Notoatmodjo, 2011).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis)

yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien

Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri

tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Widoyono, 2008).

TBC adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

aerob gram positif, bakteri asam lemak, bakteri tersebut sering

menyerang paru-paru, meskipun juga dapat ke beberapa organ tubuh

lainnya (Rahajoe NN, 2008).

8
9

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa TBC

adalah penyakit infeksi saluran pernafasan bawah yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yakni kuman aerob yang dapat hidup

terutama di paru atau organ lain yang mempunyai tekanan parsial

oksigen tinggi dan dapat ditularkan melalui droplet dari orang ke orang

dan mengkolonisasi Bronkeolus dan Alveoli.

2.1.2. Penyebab Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman Tuberkulosis/ TBC (Mycobacterium

tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat

juga mengenai organ tubuh lainnya (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia (Kemenkes RI), 2011).

Penyebab penyakit TBC paru adalah Mycrobacterium

Tuberkulosis, bakteri ini masuk dalam bentuk batang dan memiliki sifat

tahan terhadap asam atau Batang Tahan Asam (BTA). Penderita TBC

BTA (+) merupakan sumber penularan utama penyakit ini, terutama

pada waktu bersin atau batuk. Penyebaran melalui droplet atau percikan

dahak yang didalamnya terkandung bakteri aktif yang nantinya apabila

terhisap oleh orang lain dapat menularkan TBC melewati saluran

pernapasan. Daya penularan dari seorang penderita di tentukan

banyaknya kuman yang di keluarkan dari parunya. Dalam BTA positif

pada penderita TBC semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan

dahak maka semakin infeksius penderita tersebut, begitu pula dengan

sebaliknya. Droplet yang mengandung Kuman dapat bertahan dalam

beberapa jam di udara dengan suhu kamar (Manalu, 2010).


10

2.1.3. Gejala Tuberkulosis

Gejala klinis pasien TBC menurut Depkes RI (2008), adalah

batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, dahak bercampur

darah, batuk berdarah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam

meriang lebih dari satu bulan. Dengan strategi yang baru (DOTS

(Directly Observed Treatment Shortcourse) gejala utamanya adalah

batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau

lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat

ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan.

Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis

(Widoyono, 2008).

2.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes

RI) (2008), penemuan pasien Tuberkulosis terbagi menjadi;

1. Penemuan Pasien Tuberkulosis pada Orang Dewasa

Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif

dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di

unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara

aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk

meningkatkancakupanpenemuantersangkapasien

Tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien

Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada

keluarga anak yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa


11

dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah,

dianggap tidak cost-effective.

2. Penemuan Pasien Tuberkulosis pada Anak

Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi

missdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada

anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan

dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis

anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang

dilakukan dokter dengan parameter; kontak Tuberkulosis, uji

tuberkulin, berat bada/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas,

batuk, pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal,

pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, dan foto

thoraks.

2.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan

dahak menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam;

a. Tuberkulosis paru BTA positif

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif

2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto

toraks dada menunjukkan gambaran Tuberkulosis.

3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan

kuman Tuberkulosis positif.


12

4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3

spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya

hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada

Tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik

Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi:

1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif.

2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

Tuberkulosis.

3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT.

4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan

riwayat pengobatan sebelumnya menurut Depkes RI (2008)

dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu;

a. Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4

minggu).
13

b. Kambuh (Relaps)

Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali

dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan

atau lebih dengan BTA positif.

d. Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki

register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

f. Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan

hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah pengobatan

ulangan.

2.1.6. Cara Penularan Tuberkulosis

Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet


14

nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah

yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas.

Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif. Bila

penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang

lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang

sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran

darah pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk

dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Masa inkubasinya

selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).

Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari

tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien Tuberkulosis paru

dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar dari

pasien Tuberkulosis paru dengan BTA negatif.

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang

lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular

Tuberkulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa

kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih

berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah) (Widoyono,

2008).

Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap

ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI)

yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi Tuberkulosis

selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang berarti di

antara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi


15

Tuberkulosis. Setengah dari mereka BTA-nya akan positif (0,5%).

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien

Tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya

infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan

faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi Tuberkulosis

menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan

luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga

jika terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka

yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa

mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2008).

2.1.7. Perjalanan Penyakit

Riwayat terjadinya TBC paru ada dua yaitu infeksi primer

dan pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar

pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil

ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier

bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap

di sana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak

dengan cara pembelahan diri di paru. Saluran limfe akan membawa

kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut

sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai

pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya

infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi

tuberkulin dari negatif menjadi positif (Depkes, 2008).


16

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya

kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas

seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat

menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada

beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau

dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa

bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa

inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai

menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Kedua Tuberkulosis paska primer biasanya terjadi setelah

beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena

daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi

yang buruk. Ciri khas Tuberkulosis paska primer adalah kerusakan

paru yang luas dengan terjaadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes,

2008).

2.1.8. Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru

Tujuan pengobatan TBC paru adalah untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata

rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap

OAT. Jenis, sifat dan dosis yang digunakan untuk TBC paru

sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1. (Depkes, 2008).


17

Tabel 2.1. Jenis, Sifat dan Dosis OAT Lini Pertama Pengobatan

Jenis OAT Sifat Dosis (mg/kg) Dosis (mg/kg)


Harian 3x Seminggu
Isoniazid ( H ) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin ( R ) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamid ( Z ) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin ( S ) Bakterisid 15 (12-18) -
Etambutol ( E ) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

TBC bertujuan untuk menyembuhkan pasien, memperbaiki

kualitas hidup, meningkatkan produktivitas pasien, mencegah

kematian, kekambuhan dan memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat antiberkulosis

(OAT) (World Health Organization (WHO), 2009).

Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombinasi

berupa Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri

dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat yang dikemas dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita TBC. Sediaan

seperti ini dibuat dengan tujuan agar memudahkan dalam pemberian

obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai pengobatan

tersebut selesai dilakukan (Depkes, 2014).

2.1.9. Faktor Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis

Faktor penunjang kelangsungan pengobatan adalah;

1. Motivasi keluarga baik saran dan perilaku keluarga kepada

penderita untuk menyelesaikan pengobatannya, penjelasan atau

pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan tentang penyakit

TBC paru yang mudah menular, pentingnya kepatuhan

pengobatan dan dukungan keluarga dalam kepatuhan

pengobatan penderita TBC paru. Kekambuhan atau kegagalan


18

pengobatan yang dapat mengakibatkan MDR (Multi Drug

Resistent) TBC dapat diminimalkan dengan cara memberikan

penyuluhan kepada keluarga penderita tentang pentingnya

kepatuhan pengobatan, pentingnya dukungan keluarga, dan

pengetahuan penderita mengenai bahaya penyakit TBC paru

yang mudah menular.

2. Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan

pemberdayaan keluarga sebagai pengawas minum obat (PMO)

dapat digunakan sebagai strategi efektif untuk mengontrol

pengobatan TBC paru. Motivasi dan dukungan sosial sangat

menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan selalu

mengingatkan penderita agar minum obat, perhatian yang

diberikan kepada anggota keluarga yang sedang sakit dan

memberi motivasi agar tetap rajin berobat, karena itu perlu

diberikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya kepatuhan

pengobatan, motivasi dan dukungan keluarga kepada penderita

supaya penderita menyelesaikan terapinya sampai sembuh

(Muna & Soleha, 2014).

2.1.10. Masalah pada Penderita Tuberkulosis Paru

1. Penemuan Diagnosis TBC dan Suspek Relatif Rendah

Berdasarkan angka keberhasilan penemuan diagnosis

TBC dan suspek masih dalam kategori rendah yaitu 10-15%.

Hal ini terjadi kemungkinan terlalu longgarnya penjaringan dan

banyaknya kasus yang tidak termasuk dalam kriteria suspek dan


19

adanya kesalahan dalam pemeriksaan diagnostik. Hal ini sesuai

dengan yang dilakukan penelitian secara sederhana oleh

mahasiswa keperawatan Universitas Riau pada praktik elektif

profesi dimana dari pasien yang didiagosa TBC hanya 20%

yang memiliki BTA positif dari 24 pasien yang didiagnosa

Tuberkulosis (Rahmalia & Nurcahyati, 2012).

2. Kemiskinan

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TBC

yaitu kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat,

kegagalan program TBC oleh karena tidak memadainya

komitmen politis dan pendanaan, pelayanan TBC yang kurang

maksimal (kurang terakses oleh masyarakat, diagnosis dan

panduan obat yang tidak standar, obat tidak terjamin

persediaanya, monitoring dan evaluasi yang kurang baik) dan

juga perubahan demografi penduduk.Munculnya pandemi

HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TBC.

Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan resiko TBC

secara signifikan. Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman

TBC terhadap obat anti TBCI/multidrug resistance (MDR)

semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil

disembuhkan. Keadaan ini pada akhirnya akan menyebabkan

terjadinya epidemi TBC yang sulit ditangani (Rahmalia &

Nurcahyati, 2012).
20

3. Dukungan Sosial

Penderita TBC umumnya datang dengan kondisi

nutrisi yang sangat kurang, kurang efektifnya pengawas

menelan obat, dan kurangnya kooperatif penderita untuk

pengambilan obat. Kondisi ini memperlihatkan bahwa

masalah pengobatan penderita Tuberkulosis masih

memerlukan komitmen dari pihak kesehatan, keluarga dan

penderita Tuberkulosis (Rahmalia & Nurcahyati, 2012).

TBC Paru dapat sembuh jika dilakukan pengobatan

secara teratur selama 6-8 bulan. Karena pengobatan

memerlukan waktu yang lama maka penderita TBC Paru

sangat mungkin mengalami stress yang cukup tinggi

(Rachmawati & Turniani, 2006). Individu yang memiliki

dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan

mengalami konsekuensi psikis yang negatif (Mazbow, 2009).

2.2. Konsep Kualitas tidur

2.2.1. Pengertian Kualitas tidur

Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi

dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur

dikaraketriskan dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat

kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh, dan

penurunan respon terhadap stimulus eksternal. Hampir sepertiga

dari waktu individu digunakan untuk tidur. Hal tersebut


21

didasarkan pada keyakinan bahwa tidur dapat memulihkan atau

mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktifitas, mengurangi

stres dan kecemasan, serta dapat meningkatkan kemampuan dan

konsentrasi saat hendak melakukan aktifitas sehari-hari.

(Suardiman:2011).

2. Fisiologi Tidur

Aktifitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada

batang otak, yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar

Synchronizing Region (BSR). RAS di bagian atas batang otak

diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat mempertahankan

kewaspadaan dan keasadaran, memberi stimulus visual,

pendengaran, nyeri, dan sensori raba, serta emosi dan proses

berfikir. RAS melepaskan ketokolamin pada saat sadar,

sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari

BSR. (Hidayat, 2008)

3. Ritme Sirkadian

Makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang

berbeda. Bioritme pada manusia dikontrol oleh tubuh dabn

disesuaikan dengan faktor lingkungan (misalnya: cahaya,

kegelapan, gravitasi dan stimulus elektromagnetik). Bentuk

bioritme yang paling umum adalah ritme sirkadian yang

melengkapi siklus selama 24 jam. Fluktuasi denyut jantung

tekanan darah, temperatur, sekresi hormon, metabolisme, dan

penampilan serta perasaan individu bergantung pada ritme


22

sirkadiannya. Tidur adalah salah satu irama biologis tubuh yang

sangat kompleks. Sinkronisasi sirkadian terjadi jika individu

memiliki pola tidur bangun yang mengikuti jam biologisnya:

individu akan bangun pada saat ritme fisiologis paling tinggi atau

paling aktif dan akan tidur pada saat ritme tersebuta paling

rendah.(Suardiman:2011)

4. Tahap-tahap Tidur

Setiap malam, orang mengalami dua tipe tidur yang saling

bergantian satu sama lain. Tipe ini disebut (1) tidur dalam

gelombang lambat, dan (2) tidur dengan gerakan cepat mata

(REM sleep), sebab pada tidur ini mata bergerak dengan cepat

meskipun tidak tidur.

Setiap malamnya, sebagian masa tidur terdiri atas dua

gelombang lambat yang bervariasi: yakni tidur yang nyenyak atau

dalam, istirahat atau ketenangan yang dialami seseorang pada

jam-jam pertama tidur sesudah terjaga selama beberapa jam

sebelumnya, selama tidur, episode tidur REM timbul secara

periodik, dan meliputi sekitar 25% dari seluruh masa tidur, dan

pada masa orang dewasa muda normal terjadi setiap 90 menit.

Tipe tidur ini tidak begitu tenang, dan biasanya berhubungan

dengan mimp yang hidup (Guyton, 1997).


23

Tabel 2.3 Tahap-tahap Tidur

Tahap-tahap tidur normal


Tahap Tipe Tidur Karkteristik
Tidur non-REM (4 tahap)
Tahap 1 Sedikit tidur Mudah terbangun
Tahap 2 Tidur dalam sedang Lebih rileks daripada tahap 1
Pergerakan bola mata pelan
Sedikit bermimpi
Mudah terbangun
Tahap 3 Tidur dalam sedang Otot relaks
Nadi pelan temperatur turun
terbangun dengan stimulasi sedang
Tahap 4 Tidur dalam Tidur restorative
Pergerakan tubuh jarang
Terbangun dengan stimulasi penuh
Tidur REM
Tidur aktif Pergerakan bola mata cepat
Meningkatnya fluktuasi nadi
Tekanan darah dan respirasi
Terjadi mimpi

5. Siklus Tidur

Individu melewati tahap tidur NREM dan REM selama

tidur. Siklus tidur yang komplit normalnya berlangsung selama

1,5 jam. Dan setiap orang biasanya melalui empat hingga lima

siklus selama 7-8 jam tidur. Siklus tersebut dimulai daritahap

NREM yang berlanjut ke tahap REM. Tahap NREM I-III

berlangsung selama 30 menit, kemudian diteruskan ke tahap IV

selama ± 20 menit. Individu kemudian kembali melalui tahap III

dan II selama 20 menit. Tahap REM I muncul sesudahnya dan

berlangsung selama 10 menit.(Suardiman:2011)


24

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur diantaranya

adalah penyakit, lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stres

emosional, stimulan dan alkohol, diet, merokok, dan motivasi.

(Hidayat,2008)

a. Penyakit

Penyakit dapat menyebabakan nyeri atau distress fisik yang

dapat menyebabkan gangguan tidur. Contoh: pusing bisa

menyebabkan nyeri kepala. Individu yang sakit membutuhkan

waktu tidur yang lebih banyak dari pada biasanya. Siklus

bangun-tidur selama sakit juga dapat mengalami gangguan.

b. Lingkungan

Faktor lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat

proses tidur. Tidak adanya stimulus tertentu atau adanya

stimulus yang asing dapat menghambat upaya tidur. Contoh,

temperatur yang tidak nyaman atau ventilasi yang buruk dapat

mempengaruhi tidur seseorang. Seiring waktu individu bisa

beradaptasi dan tidak lagi terpengaruh dengan kondisi tersebut.

c. Kelelahan

Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur

seseorang. Contoh faktor pekerjaan bisa mempengaruhi pola

tidur seseorang. Semakin lelah seseorang, semakin pendek

siklus tidur REM yang dilaluinya. Setelah beristirahat biasanya

siklus REM akan kembali memanjang.


25

d. Gaya hidup

Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur

aktivitasnya agar bisa tidur pada waktu yang tepat

e. Stres emosional

Ansietas dan depresi sering mengganggu tidur seseorang.

Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah

melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini

menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan

tidur REM serta ser ingnya terjaga saat tidur.

7. Gangguan Tidur yang Umum Terjadi

a. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan

tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur

ini umumnya ditemui pada individu dewasa. Penyebabnya bisa

karena gangguan fisik atau karena faktor mental seperti

perasaan gundah atau gelisah. Insomnia memberikan berbagai

dampak yang buruk bagi kesehatan tubuh salah satunya

hipertensi, insomnia dapat meningkatkan hormon kortisol.

Salah satu fungsi hormon kortisol adalah mempertahankan

tekanan darah (Biomedia, 2012). Ketika kualitas tidur buruk,

sistem tidur dan bangun akan terganggu sehingga terjadi

ketidak seimbangan dan peningkatan hormon kortisol yang

akan memicu terjadinya peningkatan tekanan darah (Fitri,

2012).
26

b. Parasomnia

Parasomnia dalah perilaku yang dapat mengganggu tidur

atau muncul saat seseorang tidur. Gangguan ini umum terjadi

pada anak-anak. Beberapa turunan parasomnia antara lain

sering terjaga (misalnya: tidur berjalan, night terror), gangguan

transisi bangun tidur (misalnya:mengigau), parasomnia yang

tekait dengan tidur REM (misalnya: mimpi buruk), dan lainnya

(misalnya: bruksisme).

c. Hipersomnia

Hipersomnia dalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur

yang berkelebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini

dapat disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti kerusakan

sistem saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena

gangguan metabolisme (misalnya: hipertirodisme).

Hipersomnia pada kondisi tertentu dapat digunakan sebagai

mekanisme koping untuk menghindari tanggung jawab pada

siang hari.

a. Narkolepsi

Narkolepsi adalah gelombang kantuk yang tak tertahanakan

yang muncul secara tiba-tiba pada siang hari Gangguan ini

disebut juga sebagai “serangan tidur” atau sleep attack.

Penyebab pastinya belum diketahui. Diduga karena kerusakan

genetik sistem saraf pusat yang menyebabkan tidak

terkendalinya periode tidur REM. Alternatif pencegahannya


27

adalah dengan obat-obatan, seperti amfetamin atau

metilpenidase, hidroklorida, atau denagn antidepresan seperti

imipramin hidroklorida.

b. Apnea saat tidur

Apnea saat tidur ata sleep apnea adalah kondisi terhentinya

nafas secara periodik pada saat tidur. Kondisi ini diduga terjadi

pada orang yang mengorok dengan keras sering terjaga di

malam hari, sakit kepala di siang hari, iritabilitas, atau

mengalami perubahan psikologis seperti hipertensi atau aritmia

jantung.(Hidayat, 2008)

2.2.2 Farmakologi

Pada dasarnya semua obat yang mempunyai kemampuan

hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular activating

system (RAS) di otak. Obat hipnotik selain penekanan aktivitas

susunan saraf pusat, juga mempunyai efek kelemahan. Sebelum

mempergunakan obat, harus terlebih dahulu ditentukan jenis

gangguan tidur ( Matheson, 2008: Gilhus, 2001). Penggunaan obat

hipnotik harus mengidentifikasi terlebih dahulu problem gangguan

tidur (Vladimarsdottir 2003: Poeke 2010).

Empat prinsip yang menjadi ciri farmakoterapi rasional untuk

insomnia: 1) Penggunaan dosis efek rendah, 2) Penggunaan dosis

berselang(2-4 kali seminggu), 3) Peresepan obat jangka pendek

(penggunaan untuk tidak lebih dari 3 sampai 4 minggu) dan 4)

Penghentian obat bertahap untuk mengurangi insomnia pantulan.


28

Pemberian obat tidur dalam jangka panjang, menjadi bukan pilihan,

melainkan kurang potensial atau penyalahgunaan, karena lebih

sedikit dosis obat yang diperlukan, namun pemakaian obat dalam

jangka panjang hanya menghilangkan gejala dan tidak tuntas

sampai ke akar permasalahan penyebab gagal tidur.

(Vladimarsdotir 2003; Waterhouse, 2011)

a. Benzodiazepines

Benzodiazepines (BZD) memperbaiki insomnia dengan

mengurangi tidur REM, menurunkan latensi tidur. Penggunaan

benzodiazepines sanga efektif dalam mendorong dan

memperpanjang tidur, namun toleransi berkembang pesat pada

pemakaian ulangan (Curran, 2003; AASM,2008)

b. Berbagai obat Non-Benzodiazepin

1) Zolpidem

Zolpidem adalah hipnotik yang mengikat secara selektif

dengan subkelas omega-1 dari reseptor BZD di otak.

Zolpidem ini memiliki toleransi baik pada usia lanjut. Efek

samping yang paling umum adalah mual, pusing, dan

kantuk. Zolpidem tidak mengubah arsitektur tidur. Obat ini

membawa risiko yang sama seperti BZD, termasuk

penggunaan lebih dari 4 minggu. Zolpidem tidak dikaitkan

dengan efek mabuk yang signifikan atau toleransi, tetapi

insomnia pantulan telah dilaporkan (NPS, 2008;

FDA,2012).
29

2) Zaleplon

Zaleplon adalah hipnotik baru yang mengikat secar selektif

dengan subkelas omega-1 dari reseptor BZD di otak. Hal ini

dapat digunakan dalam insomnia awitan tidur dan memiliki

waktu paruh hanya 1 jam. Dosis tipikal adalah 5 sampai 10

mg. Tidak ada efek samping utama telah dilaporkan. Tidak

ada toleransi farmakologis berkembang selama pengobatan,

gejala penarikan setelah penghentian obat (Marssy, 2007;

FDA, 2012).

3) Eszopiklon

Eszopiklon adalah non-BZD, siklopirolon, agen anti

insomnia. Penelitian Scharf (2006) menunjukkan bahwa

eszopiklon (2 mg) secara signifikan meningkatkan titik

akhir sebjektif latensi tidur, kualitas, kedalaman tidur,

meningkatkan waktu tidur total, dan mengurangi waktu

terbangun setelah awitan tidur (p=0,05). Eszopiklon juga

mengurangi jumlah dan durasi tidur siang. Efek samping

yang paling umum adalah sakit kepala (15% pada kelompok

plasebo dan aktif). Sebuah meta analisis dari 5 uji acak

terkontrol menunjukkan keamanan dan kemanjuran pada

populasi lansia (Shuk, 2002;Boroovcanin, 2007).

4) Indiplon

Indiplon adalah pirazolopirimidin baru, non-BZD, agen

sedative hipnotik, dimediasi oleh agonis reseptor GABA-A.


30

Sebuah penelitian acak buta-ganda dari 60 subyek (rerata

usia;69, 1 tahun) menunjukkan bahwa indiplon lepas diubah

pada dosis 20 sampai 35 mg secara bermakna meningkatkan

tidur. Studi yang sama (42 pasien; rerata usia 70 tahun)

menunjukkan hasil yang sama dengan dosis sampai 20mg.

Efek sisa hari berikut adalah sama dengan plasebo (scharf,

2007;Roth, 2007).

c. Antidepresan

1) Trazodon atau Trazodone

Trazodone merupaka antidepresan non trisiklik dengan sifat

menenangkan yang sering digunakan dalam dosis rendah

sebagai hypnosis dan pasien depresi dengan insomnia yang

signifikan. Bukti menunjukkan bahwa dosis rendah

trazodon dapat menguntungkan pasien dengan insomnia

(Argo, 2008;FDA, 2009; Camargos, 2010).

2) Reseptor agonis MT1/MT2

Ramelton, baru diakui oleh Administrasi Makanan dan Obat

untuk mengobati insomnia kronis pada Lansia. Ini adalah

melatonin agonis reseptor sangat selektif. Sebuah studi,

acak, butaganda, melibatkan 829 subyek (72, tahun) dengan

insomnia primer kronis. Mereka menerima 4 mg, 8 mg, atau

plasebo selama 5 minggu. Subyek melaporkan penurunan

signifikan dalam latensi tidur pada minggu 1 (p=0,009) dan


31

minggu ke-5 (p=0,001), dan meningkatkan waktu tidur total

minggu ke 1 (Argo, 2008).

d. Obat tanpa Resep

1) Antihistamin

Antihistamin, seperti difenhidramin, dapat digunakan untuk

efek menenangkan mereka. Mereka terkait dengan

penurunan kognitif, mengantuk siang hari, dan efek

antikolinergik. Tidak ada data spesifik untuk menunjukkan

bahwa antihistamin baik memperbaiki insomnia atau

memperpanjang tidur, dan secara umum, obat ini dihindari

pada usia lanjut karena potensi efek samping (Albright,

2003; Amanda, 2003; Kizer, 2006).

2) Bahan Herbal

Bahan atau obat herbal tanpa resep, seperti valerian,

kamomil, hop, kava-kava, dan bunga birahi adalah alat

bantu tidur yang dijelaskan dengan baik dalam arena jamu.

Meskipun percobaan acak terkontrol telah paling sering

dilakukan pada valerian, data kemanjuran dan keamanan

untuk kebanyakan bahan-bahan herbal adalah campur aduk

atau kurang (Nabil, 2006).

2.2.3 Kebutuhan Tidur Normal

Jumlah tidur tidak berubah sesuai dengan perubahan usia akan

tetapi, kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan

lansia. Episode tidur REM cenderung memendek. Dengan


32

bertambahnya usia terdapat penurunan periode tidur. Kebutuhan

tidur akan berkurang dengan bertambahnya usia. Pada usia 12

tahun kebutuhan untuk tidur adalah 9 jam, berkurang menjadi 8

jam pada usia 20 tahun, 7 jam pada usia 40 tahun 6 1⁄2 jam pada

usia 60 tahun dan 6 jam pada usia 80 tahun (Prayitno, 2008).

Seorang lansia yang terbangun lebih sering di malam hari, dan

membutuhkan banyak yaitu untuk jauh tertidur. Akan tetapi, pada

lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan

psiokologis dalam penuaan lebih mudah memelihara tidur REM

dan keberlangsungan dalam siklus tidur yang mirip dengan dewasa

muda.

2.2.4 Kebutuhan Tidur Lansia

Kebutuhan tidur lansia adalah salah satu kebutuhan yang

harus dipenuhi seorang individu terutama lansia untuk

mendapatkan kualitas dan produktifitas yang baik dalam

kehidupannya, karena dengan beristirahat dan tidur yang cukup

mampu membuat perasaan, pikiran, serta tenaga menjadi semakin

membaik. Kebutuhan akan istirahat pada lansia juga harus

diimbangi dengan tidur yang cukup. Cukup dalam artian kualitas

dari tidur itu sendiri. Kebutuhan tidur akan berkurang dengan

bertambahnya usia (Potter dan Perry, 2009). Lansia mengalami

tidur 6-7 jam sehari karena adanya penurunan fase NREM 1 dan 2,

stadium 3 dan 4 aktivitas gelombang delta menurun atau hilang, hal

ini membuat tidur lansia menjadi lebih singkat atau berkurang


33

dibandingkan dengan orang dewasa yang rata-rata 8 jam sehari.

Lansia yang tidurnya lebih dari 7 jam, hal ini dimungkinkan lansia

mampu beradaptasi dengan perubahan seiring dengan proses

penuaan pada dirinya (Potter & Perry, 2009; Carle, 2009, Smyth,

2010).

Pemenuhan kebutuhan tidur diperlukan rasa kenyamanan,

yang dipengaruhi oleh faktor internal dan external. Menurut Dr.

Greeck (2007) kualitas tidur yang buruk menurunkan kualitas

ketahanan tubuh dan pendekatan umur harapan hidup. Lansia

terjadi penurunan fase NREM 3 dan 4 mempengaruhi siklus

sirkadian. Hormon stress kortisol meningkat pada fase REM dan

terjaga. Kualitas tidur lansia yang tidak sehat berkorelasi dengan

kejadian multiple diseas. Penyakit yang diderita lansia selain oleh

faktor perilaku tidur yang tidak sehat (Cowen, 2006; Kolcaba,

2007; Winkelman, 2007).

2.2.5 Cara untuk Dapat Meningkatkan Kualitas Tidur

Jarang sekali orang dewasa yang mengalami tidur nyenyak.

Karena memang 44 % orang dewasa hingga tua mengalami

masalah tidur. Tidur kurang dari 6-7 jam per hari sudah menjadi

kebiasaan buruk banyak orang. Padahal waktu untuk melakukan

recovery sehingga punya kekuatan untuk menjalankan aktifitas

keesokan harinya.
34

Gangguan tidur dapat dikaitkan dengan berbagai macam

penyakit, seperti obesitas, tekanan darah tinggi, suasana hati yang

buruk, penurunan produktifitas baik di jalan, kantor maupun rumah.

Menurut Ashton 2010, meningkatkan kualitas tidur dapat

meningkatkan kualitas kehidupan seks. Dan seperti dilansir dari CBS

News, Kamis (22/4/2010), ada beberapa cara untuk dapat

meningkatkan kualitas tidur, antara lain:

a. Batasi konsumsi kafein

Kebanyakan lansia masih sering dijumpai yang minum kopi

sebagai rutinitas dan menjadi kebiasaan. Sederhananya, kafein

dapat membuat seseorang tetap terjaga. Efek kafein bisa bertahan

selam 8 jam dalam tubuh. Jadi, dengan minum secangkir kopi di

malam hari akan tetap membuat orang terjaga. Tidak minum

kopi setidaknya empat sampai enam jam sebelum tidur dapat

membantu meningkatkan kualitas tidur yang baik.

b. Rileks sebelum waktu tidur

Stress tidak hanya membuat anda sedih, tapi juga mengacaukan

ketenangan tidur. Melakukan beberapa jenis ritual pra-tidur

sekitar 10 menit hingga satu jam dapat meringankan stress,

seperti relaksasi dengan bacaan ringan, meditasi, terapi aroma,

peregangan cahaya, atau mandi air hangat juga dapat membantu

anda mendapatkan tidur yang lebih baik.


35

c. Melakukan olah raga di waktu yang tepat

Olahraga teratur dapat membantu untuk tidur yang baik di malam

hari. Waktu dan intensitas olahraga tampaknya juag memainkan

peran pada efek tidur. Jika anda adalah tipe orang yang

mendapatkan energy atau menjadi lebih aktif setelah

berolahraga, maka yang terbaik adalah jangan melakukan olah

raga pada malam hari. Olahraga teratur di pagi hari bahkan dapat

membantu mengatasi sulit tidur.

d. Ciptakan kamar tetap tenang

Untuk kebanyakan orang, sedikit suara atau cahaya saja sudah

dapat mengganggu tidur, seperti suara kucing dan cahaya dari

laptop atau tv. Gunakan penyumbat telinya, tirai jenela, selimut,

air conditioner (AC) atau apapun yang bisa menciptakan

lingkungan tidur yang ideal. Dan jangan menggunakan lampu

jika anda terbangun di malam hari, karen apaparannya dapat

memicu risiko kanker, sebagai gantinya gunakan lampu tidur

saja. Suhu yang ideal untuk kamar tidur antara 20 sampai 23

derajar celcius dapat mengganggu kenyamanan tidur.

e. Makanan yang baik

Jangan pergi ke tempat tidur dengan perut kososng, tetapi hindari

pula makanan yang berat sebelum tidur. Beberapa makanan yang

dapat membantu tidur adalah suhu rendah lemak yang

mengandung trytophan, ikan tuuna, ikan halibut, alpukat,

almond, telur, buah persik, labu, wallnut, aprikot, gandum,


36

asparagus, kentang, dan pisang. Juga hindari minum terlalu

banyak air di malam hari, karena bisa membuat anda terbangun

di tengah malam untuk ke kamar mandi.

f. Jauhi tidur siang

Tidur siang dapat membuat masalah yang lebih buruk jika anada

memiliki gangguan tidur. Jika ingin tidur, cobalah jangan terlalu

lama, cukup 15 sampai 20 menit setelah 8 jam dari waktu bangun

pagi.

g. Meditasi (Spiritual)

Mason (2012) mengatakan bahwa meditasi adalah

memusatkan pikiran yang dapat memberikan manfaat terapeutik.

Selama menjalani meditasi dapat memunculkan respon

relaksasi (Potter & Perry, 2011). Relaksasi juga dapat

menurunkan konsumsi oksigen, pembuangan karbondioksida,

kadar asam laktat dalam darah, kecepatan pernafasan (Anselmo,

2005; Efendi, 2002). Respon ini yang bisa membuat kualitas

tidur membaik. Salah satu kegiatan meditasi adalah dengan

meingkatkan spiritual. Terapi murottal Al Qur’an dengan

tempo yang lambat serta harmonis dapat menurunkan hormon-

hormon stres, mengaktifkan hormon endorfin alami

(serotonin). Mekanisme ini dapat meningkatkan perasaan rileks,

mengurangi perasaan takut, cemas, dan tegang, serta

memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan

darah, memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi,


37

dan aktivitas gelombang otak (Heru, 2008). Oleh karena inilah

terapi murottal Al Qur’an memiliki potensi untuk meningkatkan

kualitas tidur.

2.2.6 Masalah Akibat Gangguan Tidur

Gangguan tidur akan mengakibatkan beberapa masalah

bagi kesehatan. Permasalahan yang diakibatkan oleh gangguan

tidur (Amir, N, 2007) antara lain:

a. Meningkatkan risiko kematian

b. Peningkatan berat badan dan obesitas

c. Menjadi pelupa

d. Mempengaruhi kesehatan kulit

e. Menyebabkan depresi

f. Penurunan konsentrasi

g. Masalah kesehatan yang serius

Gangguan tidur dan kurang tidur yang kronis dapat

menyebabkan risiko serius seperti penyakit jantung, serangan

jantung, gagal jantung, denyut jantung yang tidak teratur,

tekanan darah tinggi (hipertensi). Hal tersebut merupakan

penyakit multifaktoral yng dipengaruhi oleh berbagai faktor

yaitu faktor individu seperti umur, jenis kelamin, faktor genetik,

dan faktor lingkungan.

h. Kecelakaan

i. Menurunkan libido
38

2.2.7 Alat Ukur Kualitas Tidur

Pittsburgh Quality Index (PSQI) adalah suatu metode

penelitian yang berbentuk kuesioner yang digunakan untuk

mengukur kualitas tidur dan gangguan tidur orang dewasa dalam

interval satu bulan. PSQI dikembangkan untuk beberapa tujuan,

seperti untuk memberikan ukuran valid dan memiliki nilai kualitas

tidur yang terstandar, untuk membedakan antar orang dengan tidur

yang baik atau memiliki gangguan tidur, dan untuk memudahkan

peneliti untuk menafsirkan dan penilaian klinis yang berguna untuk

menentukan kualitas tidur seseorang (Buysse, 1988)

Ketentuan kuesioner PSQI:

1. PSQI terdiri dari 19 pertanyaan untuk penilaian individu.

2. Sembilan belas kuesioner yang berkaitan untuk penilaian

individu tersebut diberikan mampu menilai varietas yang

sangat luas berkaitan dengan kualitas tidur seseorang termasuk

estimasi dari durasi tidur, latensi tidur, frekuensi tidur, serta

tingkat keparahan permasalahan tidur seseorang.

3. Sembilan belas item ini dikelompkkan ke dalam 7 domain,

antar lain:

a. Kualitas tidur

b. Latensi tidur

c. Durasi tidur

d. Efisiensi kebiasaan tidur

e. Gangguan tidur
39

f. Penggunaan obat-obatan

g. Disfungsi tidur di siang hari

4. Tiap itemnya di bobotkan dengan bobot seimbang dalam rentan

skala 0-3

5. Ketujuh komponen tersebut pada akhirnya akan dijumlahkan

sehingga di dapatkan skor 0-21. Semakin tinggi skor (>6) yang

di dapatkan seseorang menandakan bahwa orang tersebut

mengalami kualitas tidur yang buruk

Kuesioner Kualitas Tidur

(PSQI)

1. Jam berapa biasanya anda mulai tidur malam?

2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?

3. Jam berapa anda biasanya bangun pagi?

4. Berapa lama anda tidur di malam hari?

5. Seberapa Tidak 1x 2x >3x


sering pernah Seminggu Seminggu Seminggu
masalah-
masalah ini
mengganggu
tidur anda?
a. Tidak mampu
tertidur
selama 30
menit sejak
berbaring
b. Terbangun di
tengah
malam atau
terlalu dini
c. Terbangun
untuk ke
kamar mandi
d. Tidak mampu
bernafas
40

dengan
leluasa
e. Badan terasa
lemah,
kurang
tenaga
setelah tidur
f. Kedinginan
di malam hari
g. Kepanasan di
malam hari
h. Mimpi buruk

i. Sakit kepala
di siang hari
j. Merasa
kurang
nyaman atau
gelisah saat
tidur
6. Seberapa
sering anda
menggunaka
n obat tidr
7. Seberapa
sering anda
mengantuk
ketika
melakukan
aktivitas di
siang hari
Tidak Kecil Sedang Besar
antusias
8. Seberapa
besar antusias
anda ingin
menyelesaika
n masalah
yang anda
hadapi
Sangat Baik Kurang Sangat
baik kurang
9. Apakah anda
sulit
berkonsentras
i
10. Apakah anda
merasa
41

kesulitan
dalam
mengingat

Keterangan Cara Skoring

Komponen:

1. Kualitas tidur subyektif dilihat dari pertanyaan nomor 9

0 = sangat baik

1 = baik

2 = kurang

3 = sangat kurang

2. Latensi tidur ( kesulitan memulai tidur) total skor dari

pertanyaan nomor 2 dan 5a

Pertanyaan nomor 2:

≤ 15 menit = 0

16-30 menit = 1

31-60 menit = 2

≥ 60 menit = 3

Pertanyaan nomor 5a:

Tidak pernah = 0

Sekali seminggu = 1

2x seminggu = 2

3x seminggu = 3

Jumlah skor nomor 2 dan 5a. Dengan skor dibawah ini:

Skor 0 = 0

Skor 1-2 = 1
42

Skor 3-4 = 2

Skor 5-6 = 3

3. Lama tidur malam dilihat dari pertanyaan nomor 4.

>7 jam = 0

6-7 jam = 1

5-6 jam = 2

<5 jam = 3

4. Efisiensi tidur. Pertanyaan nomor 1, 3, 4

Efisiensi tidur = Lamanya tidur (lamanya ditempat tidur) x

100%

lamanya tidur pertanyaan nomor 4

lamanya tidur di tempat tidur kurang lebih kalkulasi

respon dari pertanyaan nomor 1 dan 3 jika di dapat hasil

hasil berikut, maka skornya:

>85% = 0

75-84 % = 1

65-74% = 2

<65% = 3

5. Gangguan ketika tidur malam. Pertanyaan nomor 5b-5j

Nomer 5b-5j dengan skor dibawah ini:

Tidak pernah = 0

Sekali seminggu = 1

2 kali seminggu = 2

>3 kali seminggu = 3


43

Jumlahkan skor pertanyaan 5b-5j dengan skor dibawah ini:

Skor 0 = 0

Skor 1-9 = 1

Skor 10-8 = 2

Skor19-27 = 3

6. Menggunakan obat-obatan tidur. Pertanyaan nomor 6

Tidak pernah = 0

Sekali seminggu = 1

2 kali seminggu = 2

>3 kali seminggu = 3

7. Terganggunya aktivitas siang hari.

Pertanyaan nomor 7 dan 8

Pertanyaan nomor 7:

Tidak pernah = 0

Sekali seminggu = 1

2 kali seminggu = 2

>3 kali seminggu = 3

8. Pertanyaan nomor 8:

Tidak antusias = 0

Kecil = 1

Sedang = 2

Besar = 3

Jumlahkan skor pertanyaan nomor 7 dan 8 dengan skor

dibawah ini:
44

Skor 0 = 0

Skor 1-2 = 2

Skor 3-4 = 3

Skor 5-6 =3

Skor akhir: jumlahkan semua skor mulai dari komponen 1

sampai 7

2.3. Konsep stres

2.3.1. Definisi Stres

Stres adalah ketegangan, beban yang menarik seseorang dari segala

penjuru, tekanan yang dirasakan pada saat menghadapi tuntutan atau

harapan yang menantang kemampuan seseorang untuk mengatasi atau

mengelola hidup (Bartsch dan Evelyn, 2015).

Stres sebagai kondisi individu yang dipengaruhi oleh lingkungan.

Kondisi stres terjadi karena ketidakseimbangan antara tekanan yang

dihadapi individu dan kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut.

Individu membutuhkan energi yang cukup untuk menghadapi situasi

stres agar tidak mengganggu kesejahteraan mereka (Lazarus dan

Folkman, dalam Evanjeli, 2012).

Stres adalah suatu konsep yang mengancam dan konsep tersebut

terbentuk dari perspektif lingkungan dan pendekatan yang ditransaksikan

(Compas, dalam Preece 2011).

2.3.2. Jenis-jenis Stres

Menurut Lumongga (dalam Sukoco, 2014) jenis stres tersebut dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu :


45

a. Distres merupakan jenis stres negatif yang sifatnya mengganggu

individu yang mengalaminya,

b. Eustress adalah jenis stres yang sifatnya positif atau membangun.

Individu yang mengalami stres memiliki beberapa gejala atau

gambaran yang dapat diamati secara subjektif maupun objektif.

2.3.3. Penyebab Stres

Apabila ditinjau dari penyebab stres, menurut Sri Kusmiati dan

Desminiarti (dalam M. Khozin Haris 2016), dapat digolongkan sebagai

berikut :

a. Stres fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang lebih tinggi

atau rendah, suara yang amat bising, sinar yang terlalu terang, atau

tersengat arus listrik.

b. Stres kimiawi, disebabkan oleh asam-basa kuat,obat-obatan, zat

beracun, hormone, atau gas.

c. Stres mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang

menimbulkan penyakit.

d. Stres fisiologik, disebabkan karena gangguan struktur, fungsi,

jaringan, organ, atau sistemik sehingga menyebabkan fungsi tubuh

tidak normal.

e. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh

gangguan masa pertumbuhan mulai dari bayi hingga dewasa.

f. Stres psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan interpersonal,

social, budaya, atau keagamaan.


46

Adapun menurut Brench Grend (dalam M. Khozin Haris 2016),

stres ditinjau dari penyebabnya hanya dibedakan menjadi 2 macam,

yaitu:

a. Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam

kehidupan, seperti: kematian, perceraian, pension, luka batin dan

kebangkrutan.

b. Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari,

seperti:pertengkaran rumah tangga, beban pekerjaan, masalah apa

yang dimakan, dan antri.

2.3.4. Tahapan Stres

Martaniah dkk, 1991 (dalam Kartika, 2015 ) menyebutkan bahwa

stres terjadi melalui tahapan :

a. Tahap 1 : stres pada tahap ini justru dapat membuat seseorang lebih

bersemangat, penglihatan lebih tajam, peningkatan energi, rasa

puas dan senang, muncul rasa gugup tapi mudah diatasi.

b. Tahap 2 : menunjukkan keletihan, otot tegang, gangguan

pencernaan.

c. Tahap 3 : menunjukkan gejala seperti tegang, sulit tidur, badan

terasa lesu dan lemas.

d. Tahap 4 dan 5 : pada tahap ini seseorang akan tidak mampu

menanggapi situasi dan konsentrasi menurun dan mengalami

insomnia.

e. Tahap 6 : gejala yang muncul detak jantung meningkat, gemetar

sehingga dapat pula mengakibatkan pingsan.


47

2.3.5. Gejala Stres

Individu yang mengalami stress memiliki beberapa gejala atau

gambaran yang dapat diamati secara subjektif maupun objektif.

Hardjana ( dalam Sukoco, 2014) menjelaskan bahwa individu yang

mengalami stres memiliki gejala sebagai berikut :

a. Gejala Fisikal Gejala stres yang berkaitan dengan kondisi dan

fungsi fisik atau tubuh dari seseorang.

b. Gejala Emosional Gejala stres yang berkaitan dengan keadaan

psikis dan mental seseorang.

c. Gejala Intelektual Gejala stres yang berkaitan dengan pola pikir

seseorang.

d. Gejala Interpersonal Gejala stres yang mempengaruhi hubungan

dengan orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah.

2.3.6. Faktor yang Mempengaruhi Stres

Gaster (dalam Nur&Shanti, 2011) mengemukakan beberapa faktor

yang menentukan tingkat stres yang dialami seseorang, antara lain :

1. Kemampuan menerka

Kemampuan menerka ini digunakan untuk mengurangi stres yang

terjadi walaupun kita tidak dapat mengontrol kejadian stres

2. Kontrol atas jangka waktu

Kemampuan mengendalikan jangka waktu kejadian yang penuh

stres juga mengurangi kerasnya stres. Kepercayaan bahwa kita

dapat mengendalikan jangka waktu suatu kejadian yang tidak

menyenangkan tampaknya dapat mengurangi perasaan cemas,


48

sekalipun jika kendali itu tidak pernah dilaksanakan atau

kepercayaan itu salah.

3. Evaluasi kognitif

Kejadian penuh stres yang sama mungkin dihayati secara berbeda

oleh dua orang, tergantung pada situasi apa yang berarti kepada

seseorang atas fakta-fakta itu. Penghayatan seseorang atas kejadian

yang penuh stres juga melibatkan penilaian tingkat ancaman. Situasi

yang ditanggapi sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup atau

terhadap harga diri seseorang menimbulkan stres yang tinggi.

4. Perasaan Mampu

Kepercayaan seseorang atas kemampuannya menganggulangi

situasi penuh stres merupakan faktor utama dalam menentukan

kerasnya stres. Jika seseorang tidak tahu apa yang harus dilakukan

ketika menghadapi situasi penuh stres, maka seseorang dapat

kehilangan semangat.

5. Dukungan Sosial

Dukungan emosional dan adanya perhatian orang lain dapat

membuat orang tahan menghadapi stres.

2.3.7. Pengelolaan Stress

Secara umum teknik pelaksanaan stres akan memberikan

dampak positif terhadap pengurangan tingkat stres. Di bawah ini

merupakan beberapa cara untuk mengurangi stres pada diri

seseorang (Perry, Potter, 2005: 488), diantaranya :


49

a. Olahraga Teratur

Program olahraga teratur akan meningkatkan tonus otot dan

postur otot, mengontrol berat badan, mengurangi

ketegangan, dan meningkatkan relaksasi. Semua itu

dilakukan agar aliran darah ke otot tetap lancar dan tubuh

kembali bugar seperti keadaan semula sehingga kondisi

stres dapat turun.

b. Humor

Humor adalah terapi yang terkenal dalam literatur umum

oleh Norman Cousins (1979). Kemampuan menyerap hal-

hal lucu dan tertawa dapat menurunkan tingkat stres

(Robinson,1990; Dahl and O’neal, 1993). Diduga hal ini

dikarenakan bahwa tertawa dapat melepaskan hormon

endorphin ke dalam sirkulasi darah sehingga perasaan stres

dapat dilenyapkan.

c. Nutrisi dan Diet

Nutrisi dan latihan berhubungan erat. Makan memberikan

bahan bakar untuk aktifitas dan meningkatkan latihan, yang

meningkatkan sirkulasi dan memberikan nutrisi ke jaringan

tubuh. Setiap orang dituntut untuk mencukupi kebutuhan

nutrisi tubuhnya. Hal itu bisa dijalankan dengan pola diet

teratur. Kebiasaan diet yang buruk dapat memperburuk

respon stres dan lebih mudah untuk membuat individu lebih

mudah tersinggung, hiperaktif, dan gelisah.


50

d. Istirahat

Pola istirahat dan tidur yang tetap sangat penting untuk

menangani stres. Seseorang yang stres harus didorong untuk

meluangkan waktunya istirahat dan tidur. Tidur tidak hanya

menyegarkan tubuh, tetapi juga membantu seseorang untuk

rileks secara mental.

e. Spiritual

Aktifitas spiritual dapat juga mempunyai efek yang positif

dalam menurunkan stress (Dahl and O’neal, 1993 )Praktik

seperti berdoa, meditasi dan membaca buku-buku keagamaan

dapat menjadi sumber yang bermanfaat bagi seseorang untuk

mengurangi tingkat stres.

2.3.8. Cara Pengukuran Stres

Tingkat stres adalah penilaian dari berat ringannya stres yang

dialami seseorang (Hardjana, 1994). Tingkatan stres ini diukur dengan

menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) oleh

Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety

Stress Scale 42 (DASS 42) terdiri dari 42 item. DASS adalah

seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status

emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. DASS 42

dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai

status emosional, tetapi untuk proses lebih lanjut untuk pemahaman,

pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status


51

emosional, secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres.

DASS dapat digunakan oleh kelompok maupun individu untuk tujuan

penelitian. Pada penelitian ini hanya memilih kuesioner yang mengukur

tentang stres yaitu sejumlah 14 pertanyaan. Adapun indikator dari

variabel stres adalah sulit untuk santai, memunculkan kegugupan,

mudah marah/gelisah. mengganggu/lebih reaktif, tidak sabar. Tingkatan

stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat, sangat

berat. Jumlah skor dari pernyataan item tersebut, memiliki makna 0-14

normal; 15-18 ringan; 19-25 sedang; 26-33 berat; >34 sangat berat

(Lovibond & Lovibond, 1995).

No Indikator Pertanyaan

1, Menjadi marah karena hal-hal kecil/sepele


2. Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
3. Kesulitan untuk relaksasi/bersantai
4. Mudah merasa kesal
5. Merasa banyak menghabiskan energi karena cemas
6. Tidak sabaran
7. Mudah tersinggung
8. Sulit untuk beristirahat
9. Mudah marah
10. Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang mengganggu
11, Sulit menoleransi gangguan-gangguan terhadap hal yang sedang
dilakukan
12. Berada pada keadaan tegang
13. Tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi anda untuk
menyelesaikan hal yang sedang anda lakukan
14. Mudah gelisah
52

2.4 Konsep Hubungan Stres Emosional Dengan Kualitas Tidur

Semakin banyak jumlah gejala yang dialami pasien, maka

semakin tinggi tingkat stres pasien TB. Sehingga semakin

memperburuk kualitas hidup pasien TB. Pada penelitian Peddirereddy

menyatakan bahwa tingkat stres bukan hanya terjadi pada pasien

dengan TB aktif, melainkan juga dapat terjadi pada pasien dengan TB

laten. Pada pasien TB laten, gejala TB tidak terlihat atau asimptomatik,

sehingga pasien cenderung stres dan cemas dengan diagnosis yang

diberikan oleh dokter kepadanya. Theron mengemukakan bahwa

tingkat stres pasien dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang

rendah, yang akan berisiko pada peningkatan morbiditas dan mortalitas

pasien dengan penyakit infeksi. Sehingga penyediaan sosialisasi

mengenai penyakit Tuberkulosis terutama cara penularannya sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas tidur pasien TB. Reaksi pasien

TB yang berlebih serta beban pikir yang sangat kuat tak jarang pasien

TB mengalami stres. Stres yang di alami pasien TB dapat menimbulkan

bebrapa dampak negatif, diantaranya menghindar dari pekerjaan,

melakukan aktivitas lain dan menunda – nunda pekerjaan serta yang

paling parah berdampak pada gangguan pola tidur (Finda, 2012).

Stres yang tidak mampu dikendalikan dan diatasi akan

memunculkan dampak negatif, pada mahasiswa dampak negatif stres

secara kognitif atara lain sulit berkonsentrasi, dampak negatif secara

emosional antara lain sulit memotivasi diri, munculnya perasaan cemas,

sedih, frustasi dan dampak negatif secara fisiologis antara lain


53

gangguan kesehatan, daya tahan tubuh menurun terhadap penyakit,

sering pusing, badan terasa lesu, lemah dan gannguan pola tidur

(Notoatmojo, 2007).

Anda mungkin juga menyukai