Anda di halaman 1dari 12

1.

 Pengertian HIV/AIDS
Menurut Andy (2011), Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab
adalah Human Immunodeficiency Virus  (HIV) merupakan virus yang secara progresif
menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan
menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus
ini menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/kanker.
Meskipun penanganan yang ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum bisa disembuhkan.

Laporan terbaru United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) menunjukkan
jumlah orang dengan HIV meningkat di 50 negara, termasuk Indonesia, dengan lebih dari 1,8
juta orang baru terinfeksi virus mematikan ini pada 2017. Yang lebih menyedihkan, 180 ribu
anak (0-14 tahun) terinfeksi virus tersebut tahun lalu dan 110 ribu anak tewas karena penyakit
yang terkait dengan AIDS.

Secara global, ada 36,9 juta orang hidup dengan HIV tahun lalu, 1,8 juta di antaranya adalah
anak-anak di bawah 15 tahun. Bandingkan jumlah total orang dengan HIV pada 2000 yang
mencapai 27,4 juta orang. Kabar baiknya, sejak 2010 infeksi HIV baru di kalangan anak-anak
telah turun 35% dari 270 ribu pada 2010 menjadi 180 ribu pada 2017.

Ibu atau bayi dengan HIV/AIDS berpeluang besar untuk menyumbang angka kematian ibu
maupun bayi yang sangat menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu negara.

Meski penelitian pada 2003-2010 di 8 provinsi Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi


atau angka HIV/AIDS pada ibu hamil tergolong rendah, ini tidak membuat HIV/AIDS pada
ibu hamil menjadi masalah kecil. Sebaliknya hasil penelitian memproyeksikan beban sosial
dan ekonomi yang cukup besar dari masalah tersebut di masa depan.
Diperkirakan sebanyak 8.604 bayi dengan HIV lahir setiap tahun. Potensi kehilangan biaya
yang diperlukan untuk mengobati dan merawat bayi-bayi dengan HIV tersebut sekitar Rp42
miliar setiap tahunnya. Biaya ini digunakan untuk obat antiretroviral (ARV) yang harus
dikonsumsi oleh bayi dengan HIV tersebut seumur hidupnya. Kemungkinan untuk menjadi
yatim piatu juga sangat besar dialami oleh anak yang lahir dari ibu dengan HIV/AIDS.

Stigma, diskriminasi, dan minimnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS adalah masalah
terbesar di Indonesia dalam upaya menurunkan prevalensi orang dengan HIV. Stigma negatif
tidak hanya muncul dari masyarakat umum, bahkan juga dari tenaga kesehatan. Meski
HIV/AIDS telah masuk ke Indonesia sejak 1987, sebagian besar masyarakat masih belum
tahu tentang penyebab dan cara penularan HIV/AIDS. Bagi sebagian masyarakat,
bersentuhan atau berbagi alat makan atau handuk, misalnya, dianggap dapat menularkan
HIV/AIDS.

Perubahan pola transmisi

Sebagai salah satu penyakit menular seksual, HIV dan AIDS kerap diasosiasikan dengan
perempuan pekerja seks komersial (PSK) dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) sebagai
kelompok yang berisiko. Pendapat ini hanya cocok pada periode awal penularan HIV/AIDS
pada 1987 sampai 1997. Namun secara perlahan penularan HIV/AIDS juga merambah pada
kelompok lainnya yaitu pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (NAPZA)
dengan jarum suntik sejak 1997 hingga 2007.

Padahal, ibu rumah tangga adalah kelompok yang sebagian besar akan menjadi ibu hamil dan
meneruskan keturunan. Kejadian HIV/AIDS pada ibu hamil semakin meningkat dan
umumnya ditemukan pada usia 20-29 tahun. Selain itu, HIV/AIDS pada ibu hamil
menyebabkan masalah yang lebih berat karena dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu
dan menular kepada bayi melalui masa kehamilan, saat melahirkan dan menyusui.

Upaya penanggulangan

Fenomena HIV/AIDS dalam kelompok ibu rumah tangga sudah mendapatkan perhatian
pemerintah melalui layanan prevention mother to child transmission (PMTCT) sejak 2004.
Namun layanan ini kurang berjalan optimal karena belum mampu menjangkau ibu hamil
sebagai kelompok sasaran. Hingga 2011, layanan ini baru berhasil menjangkau 7% dari
jumlah ibu hamil yang membutuhkan layanan tersebut.

Karena itu, sejak 2011 dilakukan penguatan dan percepatan cakupan layanan melalui
penggabungan layanan ini dengan layanan yang biasa diterima ibu hamil selama masa
kehamilannya yaitu antenatal care atau ANC.

Layanan ANC yang diterima ibu hamil di setiap jenjang pelayanan kesehatan memudahkan
dalam menjaring ibu hamil yang terkena HIV/AIDS. Layanan PMTCT pada dasarnya
menawarkan tes HIV untuk semua ibu hamil, lalu diberikan antiretroviral (ARV) pada ibu
hamil HIV positif. Setelah itu pemilihan kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan HIV
positif dan pemilihan persalinan aman untuk ibu hamil HIV positif, serta pemberian makanan
terbaik bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.

Layanan ini sangat tepat diberikan bersama dengan ANC yaitu dengan mengambil sampel
darah dari ibu hamil untuk diperiksa status penyakit tidak hanya HIV/AIDS tapi juga
penyakit menular seksual lainnya. Hal ini merupakan kunci awal penjaringan ibu hamil
dengan HIV/AIDS karena pada awalnya pemeriksaan HIV/AIDS hanya berdasarkan perilaku
risiko dari ibu tersebut serta hasil rekomendasi dari tenaga kesehatan.

Faktanya, sebagian besar ibu yang mengidap HIV/AIDS umumnya mendapatkan penyakitnya
dari laki-laki dengan HIV/AIDS. Sebanyak 4,9 juta dari para ibu rumah tangga menikah
dengan pria berisiko tinggi dan sebanyak 6,7 juta laki-laki di Indonesia merupakan pembeli
seks. Ibu rumah tangga tidak memiliki kekuasaan mengendalikan perilaku seksual
pasangannya di luar rumah, khususnya ketika pasangannya mempunyai pekerjaan dengan
mobilitas tinggi.

Menurut data UNAIDS, cakupan maupun kepatuhan pengobatan ARV pada ibu hamil di
Indonesia dalam layanan PMTCT menurun sejak 2014. Pengobatan ARV ini menjadi kunci
karena mampu menurunkan jumlah virus HIV dalam darah ibu sehingga menurunkan
kemungkinan penularan pada anak. Pengobatan ARV tidak hanya menjadi tanggung jawab
ibu hamil dan tenaga kesehatan yang menangani, tapi juga membutuhkan dukungan dari
suami dan keluarga lainnya.
Faktor pendukung dari luar yang mempengaruhi perilaku ibu mengakses atau tidak
mengakses layanan PMTCT meliputi keterjangkauan lokasi dan informasi, mutu pelayanan,
sarana prasarana, dan kualitas tenaga kesehatan. Dukungan keluarga dan stigma berpengaruh
besar.

Secara faktual, faktor-faktor pendukung di atas jauh lebih baik di DKI Jakarta ketimbang di
Papua. Artinya ibu hamil di Ibu Kota memiliki akses layanan terkait HIV/AIDS yang jauh
lebih mudah dibanding ibu hamil di provinsi paling timur Indonesia. Selain itu, masyarakat
perkotaan lebih terbuka terhadap perubahan dan informasi baru terkait HIV/AIDS dibanding
masyarakat di pedalaman.

Virus HIV dikenal secara terpisah oleh para peneliti di Institut Pasteur Perancis  pada tahun
1983 dan NIH yaitu sebuah institut kesehatan nasional di Amerika Serikat pada tahun 1984.
Meskipun tim dari Institute Pasteur Perancis yang dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie, yang
pertama kali mengumumkan penemuan ini di awal tahun 1983 namun penghargaan untuk
penemuan virus ini tetap diberikan kepada para peneliti baik yang berasal dari Perancis
maupun Amerika. Peneliti Perancis memberi nama virus ini LAV atau Lymphadenopathy
Associated Virus. Tim dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini
HTLV-3 atau Human T-cell Lymphotropic Virustype-3 (Ayu, 2012).

Kemudian Komite Internasional untuk Taksonomi Virus memutuskan untuk menetapkan


nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebagai nama yang dikenal sampai sekarang.
Maka para peneliti tersebut juga sepakat untuk menggunakan istilah HIV. Sesuai dengan
namanya, virus ini “memakan” imunitas tubuh (Ayu, 2012).
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control
and Prevention  Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih
diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada
lima laki-laki homoseksual diLos Angeles (Ayu, 2012).
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk ke dalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas
infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika
Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan
troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerunselatan. HIV-2 berasal dari Sooty
Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun (Ayu, 2012).
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan
primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih
kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik
AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an diKongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat
bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada (Ayu, 2012).
Menurut Ayu (2012), berdasarkan hal tersebut diatas  maka penderita AIDS dimasyarakat
digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS
positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS negatif).
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi
peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula bahwa
epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV) tetapi juga
reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik,
kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi baik oleh
negara maju maupun negara berkembang (Ayu, 2012).

Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya
menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan
yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan
transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV (Ayu, 2012).

 Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit
jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran
kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak
jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak
yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah ‘pelvic
inflammatory disease (PID)’ dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).

3. Penularan Penyakit HIV/AIDS


Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada darah,
cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga ditemukan, misalnya air
susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit (Andy, 2011)..

Sejumlah 75-85% penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya
melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama para
pemakai narkoba suntik yang dipakai bergantian), 3-5% dapat terjadi melalui transfusi darah
yang tercemar (Andy, 2011).

Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-50
tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat (Andy,
2011).

Ada beberapa cara penularan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :

1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko
seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang
dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan
berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV
(Yopan, 2012).

1. Transmisi Non Seksual


 Transmisi Parenral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum
suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik
yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara
transmisi parental ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun
1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena
darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi
darah adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).

 Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui
air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Yopan, 2012).

1. Penularan Masa Prenatal


HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus (lewat
plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang menyusui kira-kira
separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan, sepertiganya melalui menyusui ibu
dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua
pertiga dari transmisi terjadi sewaktu atau dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam
uterus (Ayu, 2012).

Kehamilan
Menurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau AIDS selama
persalinan dan melahirkan. Ibu sering akan mengalami masalah-masalah sebagai berikut :

1)   Keguguran

2)   Demam, infeksi dan kesehatan menurun.

3)   Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin mengancam
jiwa ibu.

Melahirkan
Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air bersih sehingga
terlindungi dari infeksi (Yopan, 2012).

Menyusui
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV kadang-kadang ditularkan
ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti frekuensi kejadian
seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi yang
lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi dan
ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan, sewaktu
bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat
diganti dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan
mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV (Yopan, 2012).

Ada beberapa cara untuk mengobati atau menangani HIV/AIDS, yaitu:

 Terapi Anti Virus


Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active
antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-
orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang
menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari
setidaknya tiga obat ( disebut koktail ) yang terdiri dari paling sedikit dua macam ( atau
kelas ) bahan antiretrovirus. Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia
(banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari
HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten
terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan
waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan
menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan
yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya
penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena
HIV.
Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan
rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan
setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan
waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang
jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh
dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir,
terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten
obat.

Ketidaktaatan dan ketidak teraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan
utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.
Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan
HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas
kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat.
Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi
dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek
samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara
lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular,
dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan (Yopan, 2012).
20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin (Yopan, 2012).

Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek


samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan
penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik
dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau
AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus
ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang
besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan
banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut (Yopan, 2012).

 Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah
arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala,
misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau
nyeri, namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-
obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut
memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi
beragam efek samping negatif yang serius (Yopan, 2012).
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alternatif memiliki hanya
sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan
kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam
terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari
pemakaiannya (Yopan, 2012).

Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui pasti.
Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak
diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara
yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in
utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi
melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan
perinatal (Yopan, 2012).

Menurut Yopan (2012), factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan
mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T
CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials
Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang
terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%.
Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun
1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi
zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat.
Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak
terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada
ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk
mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain:
1)   seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2)   pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;3)   pemberian sirup
zidovudin kepada bayi setelah lahir;

4)   tidak memberi ASI

Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase
asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu
median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas
penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi
untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang
terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status
infeksi, status klinis, dan status imunologik (Yopan, 2012).

Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup dramatis  bagi


bayi yang  mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV, diperoleh dari review
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pedoman pengobatan pediatrik. Pada Juni 2008,
pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi
didiagnosis dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan
membutuhkan ART segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November
2008, pertemuan diadakan untuk meninjau rekomendasioleh WHO untuk pengujian
diagnostikinfeksi HIVpada bayi dan anak-anak 

DAFTAR PUSTAKA

http://theconversation.com/hiv-aids-pada-ibu-hamil-ancaman-nyata-yang-selama-ini-kurang-
diketahui-100386

https://melia955.wordpress.com/2017/05/23/pengaruh- virus-hiv-aids-pada-ibu-hamil-
disusun-olehmelia-sari-15211789

Anda mungkin juga menyukai