Thorax
Abdomen
2. Biomekanika trauma?
Biomekanik trauma adalah proses / mekanisme kejadian kecelakaan pada saat
sebelum, saat dan sesudah kejadian.
Informasi yang rinci mengenai biomekanik dari suatu kecelakaan dapat membantu
identifikasi sampai dengan 90 % dari trauma yang diderita penderita. Informasi yang
rinci dari biomekanik trauma ini dimulai dengan keterangan dari keadaan / kejadian
pada fase sebelum terjadinya kecelakaan seperti minum alkohol, pemakaian obat,
kejang, sakit dada, kehilangan kesadaran sebelum tabrakan dan sebagainya.
Anamnesis yang berhubungan dengan fase ini meliputi :
a. Tipe kejadian trauma, misalnya: tabrakan kendaraan bermotor, jatuh atau
trauma / luka tembus.
b. Perkiraan intensitas energi yang terjadi misalnya: kecepatan kendaraan,
ketinggian dari tempat jatuh, kaliber atau ukuran senjata.
c. Jenis tabrakan atau benturan yang terjadi pada penderita: mobil, pohon, pisau
dan lain-lain.
Mekanisme trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : tumpul, tembus,
termal dan ledakanm (Blast Injury). Pada semua kasus diatas terjadi pemindahan
energi (Transfer energy) kejaringan, atau dalam kasus trauma thermal terjadi
perpindahan energi (panas /dingin) kejaringan.
Pemindahan energi (transfer energy) digambarkan sebagai suatu gelombang
kejut yang bergerak dengan kecepatan yang bervariasi melalui media yang berbeda-
beda. Teori ini berlaku untuk semua jenis gelombang seperti gelombang suara,
gelombang tekanan arterial, seperti contoh shock wave yang dihasilkan pada hati
atau korteks tulang pada saat terjadi benturan dengan suatu objek yang
menghasilkan pemindahan energi. Apabila energi yang dihasilkan melebihi batas
toleransi jaringan, maka akan terjadi disrupsi jaringan dan terjadi suatu trauma.
Sianosis:
Sianosis adalah suatu keadaan di mana kulit dan membran mukosa berwarna
kebiruan akibat penumpukan deoksihemoglobin pada pembuluh darah kecil pada
area tersebut. Sianosis biasanya paling terlihat pada bibir, kuku, dan telinga. Derajat
sianosis ditentukan dari warna dan ketebalan kulit yang terlibat. Sebenarnya,
penilaian akurat dari derajat sianosis ini sulit ditentukan, karena tingkat penurunan
saturasi oksigen yang dapat berakibat sianosis berbeda pada tiap ras. Selain itu,
pemeriksaan sianosis pada membran mukosa, seperti mulut dan konjungtiva, lebih
bermakna daripada pemeriksaan pada kulit.
Penyebab dari penumpukan hemoglobin tereduksi bisa karena peningkatan
darah vena akibat dilatasi venula atau penurunan saturasi oksigen di dalam darah.1
Sianosis biasanya muncul ketika kadar hemoglobin tereduksi minimal 5 g/dL pada
darah arteri. Namun, tidak semua sianosis berhubungan dengan peningkatan kadar
hemoglobin tereduksi. Penyebab lain yang mungkin yaitu adanya pigmen abnormal,
seperti methemoglobin atau sulfhemoglobin, pada eritrosit.
Pada umumnya sianosis menjadi jelas bila konsentrasi rata-rata dari Hb yang
tereduksi pada pembuluh darah kapiler melebihi 4 gr/dl. Untuk menimbulkan
sianosis, yang lebih berperan adalah jumlah absolut Hb yang tereduksi daripada
jumlah relatifnya. Dengan demikian, pada penderita dengan anemia berat, jumlah
relatif dari Hb yang tereduksi pada darah vena dapat sangat banyak bila
dibandingkan dengan jumlah total Hb dalam darah. Namun karena konsentrasi Hb
turun, jumlah Hb yang tereduksi tetap kecil dan karenanya, pasien denagn anemia
berat dan bahkan dengan desaturasi arteri yang jelas, tidak tampak sianosis.
Makin tinggi kandungan total Hb, makin besar tendensi terjadinya sianosis.
Dengan demikian, pasien dengan polisitemia yang jelas cenderung untuk menjadi
sianosis pada tingkat SaO2 yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan nilai
hematokrit normal.
Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.740-59.
8. Kelainan apa saja yang mungkin didapat karena luka tusuk pada hemithoraks ICS
V?
Idem no. 12.
9. Mengapa dokter memberi oksigen dengan face mask dan menutup luka dada
dengan perban tapi kondisi pasien semakin turun? sudah benarkah?
Indikasi Pemberian Oksigen:
Efektif diberikan pada klien yang mengalami:
a. Gagal nafas
Ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan
CO2 di dalam darah, disebabkan oleh gangguan pertukaran O2 dan CO2
sehingga sistem pernapasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh.
b. Gangguan jantung (gagal jantung)
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen.
c. Kelumpuhan alat pernafasan
Suatu keadaan dimana terjadi kelumpuhan pada alat pernapasan untuk
memenuhi kebutuhan oksigen karena kehilangan kemampuan ventilasi secara
adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas O2 dan CO2.
d. Perubahan pola napas.
Hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dyspnea (kesulitan bernapas,
misal pada pasien asma),sianosis (perubahan warna menjadi kebiru-biruan pada
permukaan kulit karena kekurangan oksigen), apnea (tidak bernapas/ berhenti
bernapas), bradipnea (pernapasan lebih lambat dari normal dengan frekuensi
kurang dari 16x/menit), takipnea (pernapasan lebih cepat dari normal dengan
frekuensi lebih dari 24x/menit (Tarwoto&Wartonah, 2010:35).
e. Keadaan gawat (misalnya : koma)
Pada keadaan gawat, misal pada pasien koma tidak dapat mempertahankan
sendiri jalan napas yang adekuat sehingga mengalami penurunan oksigenasi.
f. Trauma paru
Paru-paru sebagai alat penapasan, jika terjadi benturan atau cedera akan
mengalami gangguan untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi.
g. Metabolisme yang meningkat: luka bakar
Pada luka bakar, konsumsi oksigen oleh jaringan akan meningkat dua kali lipat
sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme.
h. Post operasi
Setelah operasi, tubuh akan kehilangan banyak darah dan pengaruh dari obat
bius akan mempengaruhi aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga sel tidak
mendapat asupan oksigen yang cukup.
i. Keracunan karbon monoksida
Keberadaan CO di dalam tubuh akan sangat berbahaya jika dihirup karena akan
menggantikan posisi O2 yang berikatan dengan hemoglobin dalam darah.
Kontraindikasi:
Tidak ada konsentrasi pada pemberian terapi oksigen dengan syarat pemberian jenis
dan jumlah aliran yang tepat. Namun demikan, perhatikan pada khusus berikut ini
a. Pada klien dengan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) yang mulai
bernafas spontan maka pemasangan masker partial rebreathing dan non
rebreathing dapat menimbulkan tanda dan gejala keracunan oksigen. Hal ini
dikarenakan jenis masker rebreathing dan non-rebreathing dapat mengalirkan
oksigen dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-95%
b. Face mask tidak dianjurkan pada klien yang mengalami muntah-muntah
c. Jika klien terdapat obstruksi nasal maka hindari pemakaian nasal kanul.
(Aryani, 2009:54).
(Ml/jam)
(Hukum 3:1)
Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma reperfusi dan
menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu sering
disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi dapat
dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan manual
pada arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata) diseluruh
bagian anggota gerak tersebut.
Primary Trauma Care Foundation.
NADI:
Normal : 60-100 x/menit
Takikardi : >100 x/menit
Bradikardi : < 60x/menit
RESPIRASI RATE:
Normal : 14 – 20 x/menit
pada keadaan istirahat :14-18 x/menit
Pada bayi bisa : 44 x/menit
Bates, B. 1998. Buku Saku Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat Kesehatan. Edisi II,
Penerbit Buku kedokteran-EGC. Jakarta.
Klasifikasi GCS:
i. GCS Ringan (14-15)penderita sadar namun dapat mengalami amnesia
berkaitan dengan cedera yang dialaminya.
ii. GCS Sedang (9-13)penderita masih mampu menuruti perintah sederhana,
namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai deficit
neurologis.
iii. GCS berat (3-8)cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah
sederahana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil.
Lateralisasi:
i. Disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak, seperti misalnya
perdarahan intracranial
ii. Pupilkedua pupil harus selalu diperiksa. Biasanya sama lebar(3mm) dan reaksi
sama cepat. Apabila salah satu lebih lebar (>1mm) maka keadaan ini disebut
anisokor.
iii. Motorikdilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai.
Advanced Trauma Life Support.
c) Hematothorax
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
Minimal / ringan 350 ml
Sedang 350 ml-1500 ml
Masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Tingkat perdarahan setelah evakuasi hemothorax secara klinis lebih penting.
Jika kondisi ini terjadi, maka disebut sebagai hemopneutoraks.
Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan
terjadi penurunan suara saat bernafas dan harus segera dilakukan ronsen
dada. Di tangan dokter yang berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa
pneumotoraks dan hemotoraks, namun teknik ini jarang dilakukan sekarang
ini. Tuba torakstomi harus dipasang secara hati-hati untuk semua jenis
hemathorax dan pnemuothorak. Dalam 85%, tube toraktomi adalah satu-
satunya metode yang dapat dilakukan. Jika pendarahan terus terjadi maka
lebih baik dari sistemik daripada arteri pulmonary.
Biasanya hematothorax ini terjadi pada luka tusuk dengan sobeknya
pembuluh darah hilus atau sistemik.
a. Pada umumnya pembuluh darah intercostal dan mamaria interna terluka.
b. Setiap hemithorax dapat menampung hingga 3 liter darah.
c. Vena pada leher dapat menjadi datar karena hipovolemia atau menjadi
tegang karena efek mekanis dari darah di dalam thorax.
d. Robeknya pembuluh darah hilus atau pembuluh darah besar dapat
mengakibatkan shock.
Diagnosa
a. Shock hemorrhagic.
b. Tidak adanya atau melemahnya suara paru unilateral.
c. Pekak unilateral pada perkusi.
d. Vena leher menjadi datar.
e. Foto thorax menunjukan gambaran radioopaque unilateral.
Pengobatan
a. Pasang intubasi pada pasien dengan shok atau dengan kesulitan
bernafas.
b. Pasang infus ukuran besar dan sediakan darah untuk transfusi
sebelum terjadi dekompresi.
c. Jika tersedia, pasangkan autotransfusi pada system pengumpul chest
tube.
d. Lakukan thoracostomy tube dengan kateter ukuran besar (36F atau
40F) pada celah intercostal keempat.
Chest tube kedua sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengeringkan
hemothorax dengan lebih adekwat.
Indikasi thoracotomy:
a. Dekompensasi hemodinamika atau iritabilitas yang masih berlangsung
akibat perdarahan dada.
b. Perdarahan yang ≥ 1500 mL sejak permulaan.
c. Perdarahan > 200ml/ jam yang masih berlangsung selama ≥ 4jam.
d. Hemothorax yang tidak berhasil di drainase secara tuntas, meskipun
telah menggunakan 2 chest tube yang berfungsi dan diposisikan
secara benar.
e. Pertimbangkan Video Assisted Thoracoscopy (VATS) sejak dini untuk
hemothorax yang tidak tuntas di drainase atau hemothorax yang
menggumpal.
d) Flail Chest
Patofisiologi
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi
karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua
atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang)
menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru dibawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang
maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim
paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada
inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan
hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang
tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting
(terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan
toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi.
Penyebab
Trauma tumpul thoraks yang hebat
Gejala klinis
Berupa gangguan respirasi dari ringan sampai berat.
Pada inspeksi: deformitas dinding thoraks disertai gerakan paradoksal
dinding thoraks yang patah.
Pada palpasi: nyeri tekan dan nyeri tekan sumbu disertai krepitasi.
Pada foto polos thoraks: patah tulang iga mltiple dan segmental atau
lebih dari 2 garis fraktur.
Diagnosis
Terjadi hypoxia, hipoventilasi, pekak. Thoraks ipsilateral waktu perkusi,
hilangnya atau menurunnya suara nafas, hypotensi, meningkatnya vena
leher. Pada X foto thoraks tampak effusi yang besar.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia
akibat kegagalan pernafasan, darah lengkap, saturasi O2.
Radiologi: foto toraks AP/Lateral akan lebih jelas karena akan terlihat
fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral
tidak akan terlihat.
Penatalaksanaan
1) Segera lakukan intubasi apabila ada shock atau gejala dari depresi
pernafasan seperti :
a. Nafas yang sulit yang membutuhkan penggunaan otot-otot
pernafasan tambahan.
b. Respiratory rate > 35x/ menit atau < 8x/ menit.
c. Saturasi O2 < 90%, PaO2 < 60mmHg.
d. PaCO2 > 55 mmHg.
2) Pertimbangkan intubasi untuk pasien dengan riwayat hemodinamik
yang tidak stabil, kebutuhan pembedahan untuk memperbaiki
masalah lain, COPD, penyakit jantung, atau pada usia-usia tertentu.
3) Pindahkan pasien ke Surgical Intensive Care Unit (SICU). Kondisi
pasien dengan flail chest biasanya memburuk dengan hypoxemia dan
insufisiensi respiratory.
4) Pengendalian Nyeri
a. Regional anastesi berupa blok epidural merupakan yang paling
efektif untuk menghilangkan nyeri pada pasien dengan trauma
dinding dada.
b. Opioid sistemik yang diberikan dengan infus continu atau PCA
(Patient Controlled Anesthesia).
c. Blok nervus intercostal.
5) Monitor pulse oximetry dan jika tersedia monitor secara continu tidal
CO2.
6) Sediakan pulmonary hygiene, termasuk insentif spirometri dan batuk-
napas dalam. Analgesik yang adekwat dan Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP) memudahkan intubasi.
e) Cardiac Temponade
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun
demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah
baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah
perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan
walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat
menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung.
Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml,
melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik.
Diagnosa
a. Jika sadar, pasien sangat gelisah melawan dan tidak mau berbaring.
b. Kecurigaan tamponade pada mereka dengan hipotensi yang menetap,
asidosis dan kadar basa yang rendah, walaupun resusitasi darah dan
resusitasi cairan telah adekwat, khususnya apabila tidak sedang
terjadi perdarahan keluar.
c. Tanda-tanda klasik. JVD (terdiri dari peningkatan tekanan vena,
penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh) tampak pada
33% pasien yang mengalami tamponade. JVD dapat tidak tampak
pada hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah penurunan tekanan
sistolik lebih dari 10mmHg selama inspirasi dan mengarah ke
tamponade. Kussmaul sign merupakan tanda yang nyata dari
tamponade; inspirasi pada pernafasan spontan pasien mengakibatkan
peningkatan JVD. Tanda-tanda klasik dari tamponade jantung tidak
khas. Shock atau hipotensi yang terus berlangsung tanpa kehilangan
darah adalah pemicu yang biasanya mengarahkan ke cedera ini.
d. Jika tersedia kateter arteri pulmonary. Tekanan jantung kanan atau
kiri dapat tampak untuk diseimbangkan. Tekanan vena sentral hampir
mendekati tekanan arteri pulmonary dan keduanya akan meningkat.
e. Jika tersedia, test ultrasound FAST dapat dilaksanakan untuk
mengidentifikasi cairan pericardial.
Gambaran positif pericardial yang tampak pada FAST adalah
pasien Unstable, yang merupakan indikasi untuk melakukan
tindakan sternotomy median atau thoracotomy anterolateral
sinistra.
Gambaran yang meragukan dari pericardial yang tampak pada
FAST atau test positif pada pasien yang stabil menuntut
dilakukannya operasi pericardial window.
Gambaran FAST negative pada luka tusuk dapat menunjukkan
false negative secondary hingga dekompresi dari cairan pericardial
kedalam rongga pleura.
Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thorax : tampak bayangan mediastinum melebar
b. Ekokardiogram : tampak terlihat bekuan darah dan cairan di sekeliling
jantung
c. Punksi pericard (pericardiosentesis) : keluar darah.
Penatalaksanaan
Pada umumnya multiple intervensi berikut ini dilakukan secara
bersamaan. Pengobatan ini dapat di lakukan baik di Emergency
Department (ED) atau di Operating Room (OR), tergantung kondisi klinis
pasien.
a. Tentukan kebutuhan intubasi, oxigenasi, dan volume awal resusitasi.
b. Pericardiosentesis dapat digunakan sebagai maneuver sementara
untuk mengurangi tamponade hingga pengobatan definitive dapat
dilakukan. Hal ini sering sulit dilaksanakan karena prosedurnya yang
sulit dan jumlah darah yang sedikit di dalam kantung.
c. Jika pasien dalam keadaan Extreme, thoracotomy anterolateral
sinistra dapat dilakukan guna mengurangi tamponade.
d. Jika pasien Unstable, sternotomy segera dilakukan di OR.
e. Jika pasien Stable, pemeriksaan pericardial window dapat dilakukan di
dalam OR untuk meyakinkan diagnosis. Jika masih meninggalkan
darah di dalam kantung/sac perluas insisi menjadi sternotomy.
d) Perforasi Esofagus
a. Kebanyakan merupakan trauma tembus terdapat pada luka tumpul
esophagus (insiden < 0,1%). Variasi presentasi tergantung lokasi luka:
Esofagus servicalis:
Emfisema subcutan, hematemesis.
Esofagus thoracalis:
Emfisema mediastinum, emfisema subcutan, emfisema pleura, udara
pada retroesofagus. Demam tanpa sebab 24 jam dari luka.
Esofagus intraabdominal:
Tanpa gejala, kemungkinan pneumoperitoneum, hemoperitoneum.
b. Diagnosa
Menembus selaput mediastinum atau leher dapat menunjukkan luka
esophagus.
Adanya trauma tembus yang banyak pada trakheoktomi atau
laparatomi.
Esofagoskopi dan esofagogram biasanya sensitive (60%), kombinasi
keduanya bisa mempelajari tentang luka esophagus.
CT scan dilakukan pada pasien yang stabil.
c. Penatalaksanaan
I. Operasi terbuka
Cervical
Insisi leher pada salah satu sisi sepanjang batas anterior dari otot
sternocleidomastoideus.
Thorax bagian atas
Thoracotomi posterolateral kanan pada interkostal ke 5.
Thorax bagian bawah
Thoracotomi posterolateral kiri pada intercostal ke 6.
II. Perbaikan Definitif
a. Luka kurang dari 6 jam
Pertama-tama tutup dengan dua lapisan kedap sutura dan tutup
pleura atau otot flap intercostalis. Perbaikan esophagus bagian
bawah dapat di tutup lagi dengan Nisser wrap, drain.
b. Luka komplex atau > 12 jam
Perbaiki luka seperti diatas, lakukan eesfagostomi cervical dan
pertimbangkan menjahit esophagus bagian bawah dengan tanda-
tanda mediastinitis. Drainase pada rongga dada dan gastrektomi
keduanya merupakan indikasi.
c. Luka 6-12 jam
Masih controversial, bagaimanapun jika terdapat shock dengan
trauma multiple dapat dipertimbangkan hal di atas.
e) Robekan Diafragma
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul diafragma secara klasik besar, radial dan lokasinya
posterolateral. Terjadi 65-80% pada kasus hemidiaphragma kiri. Ruptur
diafragma adalah tanda dari trauma intraabdominal.
b. Trauma tembus
Luka kecil, tapi lebih sering pada kepala.
Ketika terdiagnosa trauma tersebut membutuhkan perbaikan operasi,
oleh karena trauma tersebut tidak sembuh spontan dan dapat
menyebabkan hernia atau strangulasi dari usus dalam waktu yang lama.
c. Diagnosa
I. Diagnosa dapat sangat sulit, tetapi berdasarkan mekanismenya
terdapat index kecurigaan:
Deselerasi cepat atau kerusakan langsung pada abdomen bagian atas.
Trauma dada sebagian, fraktur rusuk bagian bawah.
Luka tembus pada dada dan abdomen.
II. foto thorax hanya mendiagnosa 25-50% kasus trauma tumpul.
Beberapa kemungkinannya adalah:
Elevasi hemidiafragma atau atelektasis lobus bagian bawah.
Hemithorax pada nasogastric kiri.
Lambung, colon, atau usus pada bagian bawah dada.
Trauma tembus dan kerusakan usus, diafragma terlihat normal.
Tekanan positif menyebabkan tamponade hernia alat dalam dan
memperlihatkan foto thorax normal setelah extubasi, herniasi akan
tampak pada foto thorax.
III. Pada hemidiafragma kanan jarang di diagnosa dengan foto thorax
oleh karena adanya hepar.
IV. CT scan dapat salah, pada luka diafragma terlihat gambaran kosong
hernia alat-alat dalam.
V. Diagnosa Peritoneal Lavage (DPL) menghasilkan negatif palsu pada 25-
34% luka diafragma. Jika tampak pada rongga dada ipsilateral, cairan
DPL dapat diteliti diluar rongga dada.
VI. Visualisasi secara langsung luka dengan laparatomi, laparoskopi, atau
thoracoskopi merupakan diagnosa utama.
d. Penatalaksanaan
I. Perbaikan diafragma.
II. Perbaikan awal dilakukan dengan laparatomi, pada kebanyakan kasus
dengan tidak ada penyerapan, masalah potongan horizontal sutura.
III. Thorakotomi dibutuhkan untuk mengembalikan kerusakan yang besar
pada hernia.
IV. Peralatan prostetik atau flaps terkadang dibutuhkan untuk menutup
kerusakan.
V. Tingkat kematian sekitar 25-40% oleh karena berkaitan dengan
trauma keras.
f) Kontusio Miocard
Istilah trauma tumpul pada jantung biasanya menggambarkan berbagai
tingkatan trauma pada jantung. Ini dapat dari memar pada otot jantung yang
asimptomatis, sampai dengan disaritmia dengan gejala klinis yang signifikan,
gagal jantung akut, trauma katub atau rupture kardia. Walaupun jarang,
trauma jantung dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
Komplikasi yang sering dari trauma tumpul pada otot jantung adalah
disaritmia seperti takikardi, kontraksi premature atrium, atrial fibrilasi, dan
kontraksi premature ventricular. Perubahan EKG lainnya yang mungkin dapat
terlihat adalah Right Bundle Branch Block atau trauma akut dengan ST elevasi
dan gelombang T yang datar.
a. Diagnosis
Dari beberapa literature masih terdapat perdebatan tentang kriteria
diagnosa secara signifikan
I. 12 lead EKG dapat dilakukan sebagai screaning test pada pasien yang
dicurigai
II. ECG dinyatakan positif jika menunjukkan gambaran disaritmia, atrial
atau ventrikuler ektopi, perubahan ST, Bundle Branch Block, atau
block hemifasciculer.
III. Ecochardiography (Echo) dapat digunakan untuk memperkirakan
gerak dinding dada dan kompetensi katub. Trans Thoracic
Echocardiogram (TTE) lebih nyaman bagi pasien dan non infasif
walaupun kadang secara teknis terbatas. TEE lebih infasif dan
digunakan ketika TE tidak adekwat.
IV. Bukti baru level cardiac troponin 1 (cTn1) berhubungan dengan resiko
aritmia dan komplikasi BCI. Penelitian oleh Rajan dan Zellweger level
yang menurun sampai 0,05 µg/L, 6 jam setelah trauma pada pasien
tanpa gejala klinis menunjukkan resiko komplikasi, hasil tersebut
specific untuk BCI.
V. Presentasi fraktur sternum tidak berhubungan dengan presentasi.
b. Tatalaksana
Pasien dengan iskemia pada EKG atau elevasi cardia level enzim sama
dengan infark miocard.
Jika ekokardiografi menunjukkan memar (hipokinesis atau pergerakan
abnormal dinding dada) kirim pasien ke ICU.
Jika tanda-tanda penderita berkembang dan gejala dari gagal jantung
akut. Mulai monitoring secara invasive dengan pemasangan arteri
kateter.
a. Lanjutan EKG dilakukan pada gambaran awal abnormal atau
tanda-tanda baru.
b. Trauma tumpul kardia bukan kontra indikasi absolute untuk
operasi.
WSD?
Pada trauma toraks WSD dapat berarti:
a) Diagnostik: menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,
sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum
penderita jatuh dalam shok.
b) Terapi: Mengeluarkan darah,cairan atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanic of breathing", dapat
kembali seperti yang seharusnya.
c) Preventive: Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura
sehingga "mechanic of breathing" tetap baik.
Penyulit pemasangan WSD adalah perdarahan dan infeksi atau super infeksi. Oleh
karena itu pada pemasangan WSD harus diperhatikan anatomi pembuluh darah
interkostalis dan harus diperhatikan sterilitas.
Indikasi pemasangan WSD:
a. Hematotoraks
b. Pneumotoraks
Indikasi pemasangan WSD pada pneumotoraks karena trauma tajam atau trauma
tembus toraks:
a. Sesak nafas atau gangguan nafas
b. Bila gambaran udara pada foto toraks lebih dari seperempat rongga torak
sebelah luar
c. Bila ada pneumotorak bilateral
d. Bila ada tension pneumotorak setelah dipunksi
e. Bila ada haemotoraks setelah dipunksi
f. Bila pneumotoraks yang tadinya konservatif pada pemantauan selanjutnya ada
perburukan
Macam-macam WSD:
a. Single Bottle Water Seal System
• Paralisis neuromuskuler
• Tidak sadar
• Takipnea
• Hipoksia
• Hiperkarbia
• Sianosis
Bahaya sumbatan
• Hematoma leher
• Stridor
Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan
diatas klavikula.
5. Evaluasi
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal in-line immobilisasi
b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan
terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian
otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (non rebreathing mask 11-12
liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia
subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.
RESUSITASI
A. Re-evaluasi ABCDE
B. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20
mL/kg pada anak dengan tetesan cepat
C. Evaluasi resusitasi cairan
1. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
2. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta
awasi tanda-tanda syok
D. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan
awal.
1. Respon cepat
Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
2. Respon Sementara
Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
Konsultasikan pada ahli bedah.
3. Tanpa respon
Konsultasikan pada ahli bedah
Perlu tindakan operatif sangat segera
Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung
atau kontusio miokard
Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya.
SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat:
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik
Hal yang Identifikasi/ Konfirmasi
Penilaian Penemuan Klinis
Dinilai tentukan dengan
• 13-15, cedera
kepala ringan
• Fraktur • Maloklusi
• Luka dalam
mulut/gigi
• Nyeri
punggung
hebat
• Inspeksi
perineum
• Pem.
Rektum /vagina
•Kompartemen
• Defisit
neurologis
TERAPI:
Hemothorax akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto thorax, sebaiknya
diterapi dengan selang dada (Thorax tube) kaliber besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura (hemothorax atau fibrothorax), dan dapat dipakai
dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap
kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang
berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemothorax,
status fisiologi dan volume darah yang kelur dari selang dada merupakan faktor
utama.
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
Minimal / ringan 350 ml, Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila perdarahan
di atas 1.500 cc.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak
1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4
jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.
Wim De jong, Sjamsuhidajat. Buku ajar Ilmu Bedah; Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005. Hal
93-95.