Anda di halaman 1dari 55

Sesak Nafas Setelah Dipukul

1. Anatomi dan fisiologi thoraks beserta otak dan abdomen?


Otak

Thorax

Abdomen
2. Biomekanika trauma?
Biomekanik trauma adalah proses / mekanisme kejadian kecelakaan pada saat
sebelum, saat dan sesudah kejadian.
Informasi yang rinci mengenai biomekanik dari suatu kecelakaan dapat membantu
identifikasi sampai dengan 90 % dari trauma yang diderita penderita. Informasi yang
rinci dari biomekanik trauma ini dimulai dengan keterangan dari keadaan / kejadian
pada fase sebelum terjadinya kecelakaan seperti minum alkohol, pemakaian obat,
kejang, sakit dada, kehilangan kesadaran sebelum tabrakan dan sebagainya.
Anamnesis yang berhubungan dengan fase ini meliputi :
a. Tipe kejadian trauma, misalnya: tabrakan kendaraan bermotor, jatuh atau
trauma / luka tembus.
b. Perkiraan intensitas energi yang terjadi misalnya: kecepatan kendaraan,
ketinggian dari tempat jatuh, kaliber atau ukuran senjata.
c. Jenis tabrakan atau benturan yang terjadi pada penderita: mobil, pohon, pisau
dan lain-lain.
Mekanisme trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : tumpul, tembus,
termal dan ledakanm (Blast Injury). Pada semua kasus diatas terjadi pemindahan
energi (Transfer energy) kejaringan, atau dalam kasus trauma thermal terjadi
perpindahan energi (panas /dingin) kejaringan.
Pemindahan energi (transfer energy) digambarkan sebagai suatu gelombang
kejut yang bergerak dengan kecepatan yang bervariasi melalui media yang berbeda-
beda. Teori ini berlaku untuk semua jenis gelombang seperti gelombang suara,
gelombang tekanan arterial, seperti contoh shock wave yang dihasilkan pada hati
atau korteks tulang pada saat terjadi benturan dengan suatu objek yang
menghasilkan pemindahan energi. Apabila energi yang dihasilkan melebihi batas
toleransi jaringan, maka akan terjadi disrupsi jaringan dan terjadi suatu trauma.

Trauma Tembus (Penetrating Injury):


A. Senjata dengan energi rendah (Low Energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau dan alat pemecah es. Alat ini
menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah,
biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada penderita dapat
diperkirakan dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita
mempunyai kebiasaan menusuk kebawah, sedangkan pria menusuk keatas karena
kebiasaan mengepal.
Saat menilai penderita dengan luka tusuk, jangan diabaikan kemungkinan luka
tusuk multipel. Inspeksi dapat dilakukan dilokasi, dalam perjalanan ke rumah sakit
atai saat tiba di rumah sakit, tergantung pada keadaan disekitar lokasi dan kondisi
pasien.
B. Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata
dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk berburu. Semakin
banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan peluru dan energi
kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga
pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan regangan jaringan yang dilalui
peluru. Peluru akibat senjata energi tinggi dan menengah juga menyebabkan kavitasi
/ rongga yang lebih besar dari lubang masuknya. Untuk senjata dengan energi
menengah biasanya menyebabkan kavitasi 3-6 kali dari ukuran frontal peluru,
sedangkan untuk energi tinggi akan lebih besar lagi, demikian juga kerusakan
jaringan yang ditimbulkannya akan lebih besar lagi.
Hal-hal lain yang mempengaruhi keparahan cidera adalah hambatan udara
dan jarak. Tahanan udara akan memperlambat kecepatan peluru. Semakin jauh jarak
tembak, akan semakin mengurangi kecepatan peluru, sehingga kerusakan yang
ditimbulkannya akan berkurang. Sebagian kasus penembakan dilakukan dari jarak
dekat dengan pistol, sehingga memungkinkan cedera serius cukup besar.
bppsdmk.depkes.go.id

3. Mengapa pada keadaan darurat kesadaran menurun?


Benda tajam seperti pisau atau peluru menembus paru-parudapat
menyayat jaringan paru-paru atau arterimenyebabkan darah berkumpul di ruang
pleuramengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau menutupi
thorax dan paru-parupecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke
dalam rongga pleurasetiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah
seseoranghipovolemia (kehilangan darah)tidak adekuatnya pengangkutan
oksigen ke jaringan hipokasia jaringantermasuk otak (gangguan perfusi
serebral)penurunan kesadaran.
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. 1996. Jakarta:EGC.

Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax.


merupakan akibat dari oleh karena pulmonary ventilation/perfusion mismatch
(contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan
intratthorax (contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia
lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan
intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh
hipoperfusi dari jaringan (syok).
Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta,tahun 1995.

4. Mengapa pada penderita didapat dada asimetris, suara hemithoraks kanan


menghilang?
Benda tajam seperti pisau atau peluru menembus paru-parudapat menyayat
jaringan paru-paru atau arterimenyebabkan darah berkumpul di ruang
pleuramengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau menutupi
thorax dan paru-parupecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke
dalam rongga pleurasetiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah
seseorangpengembangan dada asimetris & pada auskultasi: suara paru
menghilang.
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. 1996. Jakarta:EGC.

5. Bagaimana hubungan hematom di temporal kanan dengan kondisi pasien?


Trauma pada daerah temporalrobeknya salah satu cabang arteria meningea
media terjadi perdarahan di daerah temporalarteri meningea media yang masuk
di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan
tulang di permukaan dan os temporaleterjadi perdarahan di antara tulang
tengkorak dan dura meterhematom epiduraldesakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah
besarmenyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan
dalambagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium
timbulnya tanda-tanda neurologik:
 Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongatahilangnya kesadaran.
 Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius)tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.
 Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif.
 Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong
kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul
tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah
P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.
Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC,
Jakarta, 2004, 818-819.

6. Mengapa pasien mengalami akral dingin dan pucat?


Akral dingin:
Perfusi jaringan turunO2 turun perfusi diutamakan pada organ sentral daripada
jaringan perifer  akral dingin.
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. 1996. Jakarta:EGC.
Pucat: sianosis.

7. Mengapa pasien tampak sesak dan sianosis?


Sesak nafas:
Trauma thorax pulmonary ventilation/perfusion mismatch perubahan
dalam tekanan intratthoraxtidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan
intrathoraxsesak nafas.
Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta,tahun 1995.

Sianosis:
Sianosis adalah suatu keadaan di mana kulit dan membran mukosa berwarna
kebiruan akibat penumpukan deoksihemoglobin pada pembuluh darah kecil pada
area tersebut. Sianosis biasanya paling terlihat pada bibir, kuku, dan telinga. Derajat
sianosis ditentukan dari warna dan ketebalan kulit yang terlibat. Sebenarnya,
penilaian akurat dari derajat sianosis ini sulit ditentukan, karena tingkat penurunan
saturasi oksigen yang dapat berakibat sianosis berbeda pada tiap ras. Selain itu,
pemeriksaan sianosis pada membran mukosa, seperti mulut dan konjungtiva, lebih
bermakna daripada pemeriksaan pada kulit.
Penyebab dari penumpukan hemoglobin tereduksi bisa karena peningkatan
darah vena akibat dilatasi venula atau penurunan saturasi oksigen di dalam darah.1
Sianosis biasanya muncul ketika kadar hemoglobin tereduksi minimal 5 g/dL pada
darah arteri. Namun, tidak semua sianosis berhubungan dengan peningkatan kadar
hemoglobin tereduksi. Penyebab lain yang mungkin yaitu adanya pigmen abnormal,
seperti methemoglobin atau sulfhemoglobin, pada eritrosit.
Pada umumnya sianosis menjadi jelas bila konsentrasi rata-rata dari Hb yang
tereduksi pada pembuluh darah kapiler melebihi 4 gr/dl. Untuk menimbulkan
sianosis, yang lebih berperan adalah jumlah absolut Hb yang tereduksi daripada
jumlah relatifnya. Dengan demikian, pada penderita dengan anemia berat, jumlah
relatif dari Hb yang tereduksi pada darah vena dapat sangat banyak bila
dibandingkan dengan jumlah total Hb dalam darah. Namun karena konsentrasi Hb
turun, jumlah Hb yang tereduksi tetap kecil dan karenanya, pasien denagn anemia
berat dan bahkan dengan desaturasi arteri yang jelas, tidak tampak sianosis.
Makin tinggi kandungan total Hb, makin besar tendensi terjadinya sianosis.
Dengan demikian, pasien dengan polisitemia yang jelas cenderung untuk menjadi
sianosis pada tingkat SaO2 yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan nilai
hematokrit normal.
Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.740-59.

8. Kelainan apa saja yang mungkin didapat karena luka tusuk pada hemithoraks ICS
V?
Idem no. 12.
9. Mengapa dokter memberi oksigen dengan face mask dan menutup luka dada
dengan perban tapi kondisi pasien semakin turun? sudah benarkah?
Indikasi Pemberian Oksigen:
Efektif diberikan pada klien yang mengalami:
a. Gagal nafas
Ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan
CO2 di dalam darah, disebabkan oleh gangguan pertukaran O2 dan CO2
sehingga sistem pernapasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh.
b. Gangguan jantung (gagal jantung)
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen.
c. Kelumpuhan alat pernafasan
Suatu keadaan dimana terjadi kelumpuhan pada alat pernapasan untuk
memenuhi kebutuhan oksigen karena kehilangan kemampuan ventilasi secara
adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas O2 dan CO2.
d. Perubahan pola napas.
Hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dyspnea (kesulitan bernapas,
misal pada pasien asma),sianosis (perubahan warna menjadi kebiru-biruan pada
permukaan kulit karena kekurangan oksigen), apnea (tidak bernapas/ berhenti
bernapas), bradipnea (pernapasan lebih lambat dari normal dengan frekuensi
kurang dari 16x/menit), takipnea (pernapasan lebih cepat dari normal dengan
frekuensi lebih dari 24x/menit (Tarwoto&Wartonah, 2010:35).
e. Keadaan gawat (misalnya : koma)
Pada keadaan gawat, misal pada pasien koma tidak dapat mempertahankan
sendiri jalan napas yang adekuat sehingga mengalami penurunan oksigenasi.
f. Trauma paru
Paru-paru sebagai alat penapasan, jika terjadi benturan atau cedera akan
mengalami gangguan untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi.
g. Metabolisme yang meningkat: luka bakar
Pada luka bakar, konsumsi oksigen oleh jaringan akan meningkat dua kali lipat
sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme.
h. Post operasi
Setelah operasi, tubuh akan kehilangan banyak darah dan pengaruh dari obat
bius akan mempengaruhi aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga sel tidak
mendapat asupan oksigen yang cukup.
i. Keracunan karbon monoksida
Keberadaan CO di dalam tubuh akan sangat berbahaya jika dihirup karena akan
menggantikan posisi O2 yang berikatan dengan hemoglobin dalam darah.
Kontraindikasi:
Tidak ada konsentrasi pada pemberian terapi oksigen dengan syarat pemberian jenis
dan jumlah aliran yang tepat. Namun demikan, perhatikan pada khusus berikut ini
a. Pada klien dengan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) yang mulai
bernafas spontan maka pemasangan masker partial rebreathing dan non
rebreathing dapat menimbulkan tanda dan gejala keracunan oksigen. Hal ini
dikarenakan jenis masker rebreathing dan non-rebreathing dapat mengalirkan
oksigen dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-95%
b. Face mask tidak dianjurkan pada klien yang mengalami muntah-muntah
c. Jika klien terdapat obstruksi nasal maka hindari pemakaian nasal kanul.
(Aryani, 2009:54).

Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah, Berdasarkan Presentasi Penderita Semula:


KELAS I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan Darah Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000


(mL)

Kehilangan Darah Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%


(% volume darah)

Denyut Nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun


Naik
(mm Hg)

Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35


Pernafasan

Produksi Urin >30 20-30 5-15 Tidak berarti

(Ml/jam)

CNS/ Status Sedikit cemas Agak cemas Cemas, Bingung,lesu

Mental bingung (lethargic)

Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan


Cairan darah darah

(Hukum 3:1)

Advanced Trauma Life Support.

10. Apa indikasi bebat dan tujuanya?


BEBAT
Definisi:
Pembalutan/bebat adalah penutupan suatu bagian tubuh yang cedera dengan bahan
tertentu dan dengan tujuan tertentu. Pembebatan mempunyai peran penting dalam
membantu mengurangi bengkak, kontaminasi oleh mikroorganisme dan membantu
mengurangi ketegangan jaringan luka.
Tujuan pembalutan meliputi satu atau lebih hal-hal berikut:
A. Menahan sesuatu seperti:
 menahan penutup luka
 menahan pita traksi kulit
 menahan bidai
 menahan bagian tubuh yang cedera dari gerakan dan geseran (sebagai
"splint")
 menahan rambut kepala di tempat
B. Memberikan tekanan, seperti terhadap :
 kecenderungan timbulnya perdarahan atau hematom
 adanya ruang mati (dead space)
C. Melindungi bagian tubuh yang cedera.
D. Memberikan "support" terhadap bagian tubuh yang cedera.
Manfaat bebat:
a. Menopang suatu luka, misal tulang yang patah.
b. Mengimobilisasi luka, misal bahu yang keseleo.
c. Memberikan tekanan, misal pada ekstremitas inferior dapat meningkatkan laju
darah vena.
d. Menutup luka, misal pada operasi abdomen yang luas.
e. Menopang bidai (dibungkuskan pada bidai).
f. Memberi kehangatan, misal bandage flanel pada sendi rematik.

Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma reperfusi dan
menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu sering
disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi dapat
dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan manual
pada arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata) diseluruh
bagian anggota gerak tersebut.
Primary Trauma Care Foundation.

11. Bagaimana interpretasi vital sign (RR=40/menit, TD 90/60 mmHg, N=120x/menit)


dan GCS 11?
TD:

NADI:
Normal : 60-100 x/menit
Takikardi : >100 x/menit
Bradikardi : < 60x/menit

RESPIRASI RATE:
Normal : 14 – 20 x/menit
pada keadaan istirahat :14-18 x/menit
Pada bayi bisa : 44 x/menit
Bates, B. 1998. Buku Saku Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat Kesehatan. Edisi II,
Penerbit Buku kedokteran-EGC. Jakarta.

Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS):


A. Eye opening (nilai maksimum 4)
a. 4 : membuka mata spontan
b. 3 : membuka mata bila diajak bicara
c. 2 : membuka mata dengan rangsang nyeri
d. 1 : tidak ada respon
B. Verbal respon (nilai maksimum 5)
a. 5 : berbicara normal
b. 4 : berbicara mengacau
c. 3 : berbicara tidak jelas (masih terdengar kata-kata)
d. 2 : mengeluarkan suara
e. 1 : tidak ada respon
C. Motor respon (nilai maksimum 6)
a. 6 : bergerak mengikuti perintah
b. 5 : bergerak terhadap nyeri, dapat melokalisir nyeri
c. 4 : bergerak menjauh terhadap rangsang nyeri
d. 3 : melakukan gerak fleksi terhadap rangsang
e. 2 : melakukan gerak ekstensi terhadap rangsang
f. 1 : tidak ada respon
Interpretasi:
 Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS 14-15
 Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS 9-13
 Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS < 8

Klasifikasi GCS:
i. GCS Ringan (14-15)penderita sadar namun dapat mengalami amnesia
berkaitan dengan cedera yang dialaminya.
ii. GCS Sedang (9-13)penderita masih mampu menuruti perintah sederhana,
namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai deficit
neurologis.
iii. GCS berat (3-8)cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah
sederahana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil.

Lateralisasi:
i. Disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak, seperti misalnya
perdarahan intracranial
ii. Pupilkedua pupil harus selalu diperiksa. Biasanya sama lebar(3mm) dan reaksi
sama cepat. Apabila salah satu lebih lebar (>1mm) maka keadaan ini disebut
anisokor.
iii. Motorikdilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai.
Advanced Trauma Life Support.

12. Macam2 trauma pada thoraks dan penangananya?


Pembagian trauma thorax:
A. Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey:
a) Tension pneumothoraks
b) Open pneumothoraks
c) Massive hematothoraks
d) Flail chest
e) Cardiac tamponade
B. Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa:
a) Kontusio pulmonum dengan atau tanpa flail chest
b) Rupture aorta thorakalis
c) Cedera trakea dan Bronkus
d) Perforasi esofagus
e) Robekan diafragma
f) Contusio miokard
C. Trauma thoraks yang berat:
a) Subcutaneus emphysema
b) Pneumothoraks
c) Hemothoraks
d) Fraktur costa

A. Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey:


a) Tension Pneumothorax
 Patofisiologi
Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve
(fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau
melalui dinding dada masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk kedalam rongga
pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan
meninggi, paru-paru menjadi kolaps, terjadi displacement mediastinum
dan trachea. Pada sisi yang berlawanan vena cava superior atau vena
cava inferior terjadi gangguan venus return ke jantung, terjadi kompresi
paru kontralateral, terjadi hypoxia, hypotensi.
 Etiologi
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan
positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension
pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotoraks
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan
parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan
kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan
pembalut (occlusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan
mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada
fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced
thoracic spine fractures).
 Gejala klinis
Tension pneumothorax di tandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres
pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas
pada satu sisi dan distensi vena leher.
 Diagnosis
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi
radiologi.
 Pemeriksaan penunjang
Radiologis : foto polos thoraks
 Penatalaksanaan
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran
besar (ukuran 14 atau 16 gauge) pada sela iga dua garis mid-clavicular
pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah
tension pneumothorax menjadi pneumotoraks sederhana (catatan :
kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk
jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemasangan thorax drain dan WSD.

b) Open pneumothoraks (sucking chest wound)


 Patofisiologi
Adanya defek atau luka yang besar yang tetap terbuka pada dinding
thorax dan paru menimbulkan “Sucking chest wound around” sehingga
terjadi keseimbangan antara tekanan intra thorax dengan tekanan udara
atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter
trakea maka udara akan cenderung mengalir melalul defek karena
mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan
trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia
dan hiperkapnia.
 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan bila terdapat sucking chest wound, hypoxia, dan
hipoventilasi.
 Penanganan
Penanganannya, langkah awal dengan menutup luka. Gunakan kasa steril
yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini
diharapkan akan terjadi efek Flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa
penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara, dari dalam.
Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar.
Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus
berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan
terkumpulnya udara didalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa
penutup sementara, yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau
Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan
cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.

c) Hematothorax
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
 Minimal / ringan 350 ml
 Sedang 350 ml-1500 ml
 Masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Tingkat perdarahan setelah evakuasi hemothorax secara klinis lebih penting.
Jika kondisi ini terjadi, maka disebut sebagai hemopneutoraks.

Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan
terjadi penurunan suara saat bernafas dan harus segera dilakukan ronsen
dada. Di tangan dokter yang berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa
pneumotoraks dan hemotoraks, namun teknik ini jarang dilakukan sekarang
ini. Tuba torakstomi harus dipasang secara hati-hati untuk semua jenis
hemathorax dan pnemuothorak. Dalam 85%, tube toraktomi adalah satu-
satunya metode yang dapat dilakukan. Jika pendarahan terus terjadi maka
lebih baik dari sistemik daripada arteri pulmonary.
Biasanya hematothorax ini terjadi pada luka tusuk dengan sobeknya
pembuluh darah hilus atau sistemik.
a. Pada umumnya pembuluh darah intercostal dan mamaria interna terluka.
b. Setiap hemithorax dapat menampung hingga 3 liter darah.
c. Vena pada leher dapat menjadi datar karena hipovolemia atau menjadi
tegang karena efek mekanis dari darah di dalam thorax.
d. Robeknya pembuluh darah hilus atau pembuluh darah besar dapat
mengakibatkan shock.
 Diagnosa
a. Shock hemorrhagic.
b. Tidak adanya atau melemahnya suara paru unilateral.
c. Pekak unilateral pada perkusi.
d. Vena leher menjadi datar.
e. Foto thorax menunjukan gambaran radioopaque unilateral.
 Pengobatan
a. Pasang intubasi pada pasien dengan shok atau dengan kesulitan
bernafas.
b. Pasang infus ukuran besar dan sediakan darah untuk transfusi
sebelum terjadi dekompresi.
c. Jika tersedia, pasangkan autotransfusi pada system pengumpul chest
tube.
d. Lakukan thoracostomy tube dengan kateter ukuran besar (36F atau
40F) pada celah intercostal keempat.
Chest tube kedua sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengeringkan
hemothorax dengan lebih adekwat.

 Indikasi thoracotomy:
a. Dekompensasi hemodinamika atau iritabilitas yang masih berlangsung
akibat perdarahan dada.
b. Perdarahan yang ≥ 1500 mL sejak permulaan.
c. Perdarahan > 200ml/ jam yang masih berlangsung selama ≥ 4jam.
d. Hemothorax yang tidak berhasil di drainase secara tuntas, meskipun
telah menggunakan 2 chest tube yang berfungsi dan diposisikan
secara benar.
e. Pertimbangkan Video Assisted Thoracoscopy (VATS) sejak dini untuk
hemothorax yang tidak tuntas di drainase atau hemothorax yang
menggumpal.

d) Flail Chest
 Patofisiologi
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi
karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua
atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang)
menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru dibawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang
maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim
paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada
inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan
hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang
tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting
(terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan
toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi.
 Penyebab
Trauma tumpul thoraks yang hebat
 Gejala klinis
Berupa gangguan respirasi dari ringan sampai berat.
 Pada inspeksi: deformitas dinding thoraks disertai gerakan paradoksal
dinding thoraks yang patah.
 Pada palpasi: nyeri tekan dan nyeri tekan sumbu disertai krepitasi.
 Pada foto polos thoraks: patah tulang iga mltiple dan segmental atau
lebih dari 2 garis fraktur.
 Diagnosis
Terjadi hypoxia, hipoventilasi, pekak. Thoraks ipsilateral waktu perkusi,
hilangnya atau menurunnya suara nafas, hypotensi, meningkatnya vena
leher. Pada X foto thoraks tampak effusi yang besar.
 Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia
akibat kegagalan pernafasan, darah lengkap, saturasi O2.
Radiologi: foto toraks AP/Lateral akan lebih jelas karena akan terlihat
fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral
tidak akan terlihat.
 Penatalaksanaan
1) Segera lakukan intubasi apabila ada shock atau gejala dari depresi
pernafasan seperti :
a. Nafas yang sulit yang membutuhkan penggunaan otot-otot
pernafasan tambahan.
b. Respiratory rate > 35x/ menit atau < 8x/ menit.
c. Saturasi O2 < 90%, PaO2 < 60mmHg.
d. PaCO2 > 55 mmHg.
2) Pertimbangkan intubasi untuk pasien dengan riwayat hemodinamik
yang tidak stabil, kebutuhan pembedahan untuk memperbaiki
masalah lain, COPD, penyakit jantung, atau pada usia-usia tertentu.
3) Pindahkan pasien ke Surgical Intensive Care Unit (SICU). Kondisi
pasien dengan flail chest biasanya memburuk dengan hypoxemia dan
insufisiensi respiratory.
4) Pengendalian Nyeri
a. Regional anastesi berupa blok epidural merupakan yang paling
efektif untuk menghilangkan nyeri pada pasien dengan trauma
dinding dada.
b. Opioid sistemik yang diberikan dengan infus continu atau PCA
(Patient Controlled Anesthesia).
c. Blok nervus intercostal.
5) Monitor pulse oximetry dan jika tersedia monitor secara continu tidal
CO2.
6) Sediakan pulmonary hygiene, termasuk insentif spirometri dan batuk-
napas dalam. Analgesik yang adekwat dan Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP) memudahkan intubasi.

e) Cardiac Temponade
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun
demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah
baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah
perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan
walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat
menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung.
Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml,
melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik.
 Diagnosa
a. Jika sadar, pasien sangat gelisah melawan dan tidak mau berbaring.
b. Kecurigaan tamponade pada mereka dengan hipotensi yang menetap,
asidosis dan kadar basa yang rendah, walaupun resusitasi darah dan
resusitasi cairan telah adekwat, khususnya apabila tidak sedang
terjadi perdarahan keluar.
c. Tanda-tanda klasik. JVD (terdiri dari peningkatan tekanan vena,
penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh) tampak pada
33% pasien yang mengalami tamponade. JVD dapat tidak tampak
pada hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah penurunan tekanan
sistolik lebih dari 10mmHg selama inspirasi dan mengarah ke
tamponade. Kussmaul sign merupakan tanda yang nyata dari
tamponade; inspirasi pada pernafasan spontan pasien mengakibatkan
peningkatan JVD. Tanda-tanda klasik dari tamponade jantung tidak
khas. Shock atau hipotensi yang terus berlangsung tanpa kehilangan
darah adalah pemicu yang biasanya mengarahkan ke cedera ini.
d. Jika tersedia kateter arteri pulmonary. Tekanan jantung kanan atau
kiri dapat tampak untuk diseimbangkan. Tekanan vena sentral hampir
mendekati tekanan arteri pulmonary dan keduanya akan meningkat.
e. Jika tersedia, test ultrasound FAST dapat dilaksanakan untuk
mengidentifikasi cairan pericardial.
 Gambaran positif pericardial yang tampak pada FAST adalah
pasien Unstable, yang merupakan indikasi untuk melakukan
tindakan sternotomy median atau thoracotomy anterolateral
sinistra.
 Gambaran yang meragukan dari pericardial yang tampak pada
FAST atau test positif pada pasien yang stabil menuntut
dilakukannya operasi pericardial window.
 Gambaran FAST negative pada luka tusuk dapat menunjukkan
false negative secondary hingga dekompresi dari cairan pericardial
kedalam rongga pleura.
 Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thorax : tampak bayangan mediastinum melebar
b. Ekokardiogram : tampak terlihat bekuan darah dan cairan di sekeliling
jantung
c. Punksi pericard (pericardiosentesis) : keluar darah.

 Penatalaksanaan
Pada umumnya multiple intervensi berikut ini dilakukan secara
bersamaan. Pengobatan ini dapat di lakukan baik di Emergency
Department (ED) atau di Operating Room (OR), tergantung kondisi klinis
pasien.
a. Tentukan kebutuhan intubasi, oxigenasi, dan volume awal resusitasi.
b. Pericardiosentesis dapat digunakan sebagai maneuver sementara
untuk mengurangi tamponade hingga pengobatan definitive dapat
dilakukan. Hal ini sering sulit dilaksanakan karena prosedurnya yang
sulit dan jumlah darah yang sedikit di dalam kantung.
c. Jika pasien dalam keadaan Extreme, thoracotomy anterolateral
sinistra dapat dilakukan guna mengurangi tamponade.
d. Jika pasien Unstable, sternotomy segera dilakukan di OR.
e. Jika pasien Stable, pemeriksaan pericardial window dapat dilakukan di
dalam OR untuk meyakinkan diagnosis. Jika masih meninggalkan
darah di dalam kantung/sac perluas insisi menjadi sternotomy.

B. Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa


a) Kontusio Pulmonum dengan atau tanpa flail chest
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi
pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat. Etiologinya dapat dikarenakan trauma thorax, kecelakaan lalu lintas,
terjadi terutama setelah trauma tumpul thorax dapat pula terjadi pada
trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan edema parenkim.
Manifestasi Klinis, dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah
trauma, dispnea, ↓ PO₂ arteri, infiltrat terlokalisir pada foto thorax, pada
kondisi berat dapat disertai : sekret trakeobronkial yang banyak, hemoptisis,
dan edema paru.
Berikan analgetik (intermitten atau kontinyu dengan morphine parenteral
dapat juga dengan thoracic epidural) dan tindakan toilet pulmonalis
sangatlah penting. Penderita harus dimonitor di ICU untuk 24 – 48 jam.
Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah,
monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk
penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu
ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu. Faktor
predisposisi dilakukan intubasi atau ventilasi mekanis:
a. Kontusi berat dengan hypoxia (Pa02 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara
ruangan, Sa02< 90 %)
b. Pre-existing chronic pulmonary disease
c. Gangguan tingkat kesadaran
d. Trauma abdomen mengakibatkan ileus atau explorasi laparotomi.
e. Trauma tulang yang memerlukan imobilisasi
f. Renal failure
g. Poor cough effort, atelektasis, lobar collapse.

b) Rupture Aorta Thoracalis


Pada mumnya penyebab tersering kematian tiba-tiba setelah kecelakaan atau
jatuh (trauma deselerasi hebat) 90% dari keadaan di atas adalah fatal, ini
adalah prioritas didalam emergency room. Separuh dari penderita meninggal
karena tidak terdiagnosa atau tidak mendapatkan terapi. Robekan biasanya
terjadi di belakang dari muara a. subclavia pada tempat insersi dari
ligamentum arteriousum.
 Diagnosa
I. Tanda-tanda klinis:
a. Tekanan darah ekstremitas atas yang asimetri dan hypertensi
ekstremitas atas.
b. Tekanan nadi yang meningkat.
c. Robekan pada dinding dada.
d. Nyeri scapula posterior. Murmur intrascapula.
e. Separuh dari pasien dengan cedera pembuluh darah besar dari
trauma tumpul tidak menunjukkan gejala.
II. Tanda-tanda pada foto thorax:
a. Mediastinum yang melebar (> 8cm) ini merupakan tanda yang paling
sering ditemukan.
b. Fraktur dari tiga costa pertama, scapula atau sternum.
c. Obliterasi dari aorta knob.
d. Deviasi dari trachea ke kanan.
e. Tampak pleura cap, biasanya pada sisi kiri tapi kadang-kadang bilateral.
f. Peninggian dan pergeseran ke kanan dari bronchus utama kanan.
g. Depresi dari bronchus utama kiri lebih dari 40% dari horizontal.
h. Obliterasi dari jendela aorta pulmonary.
i. Deviasi dari nasogastric tube (oesophagus) ke kanan jarang terjadi, tetapi
merupakan tanda yang mendukung.
j. Efusi pleura kiri.
k. Tidak ada satu-satunya tanda yang dapat meyakinkan atau menyingkirkan
dugaan cedera aorta. Tetapi bagaimanapun, pelebaran mediastinum
adalah tanda yang paling sering ditemukan pada foto thorax dan harus
dievaluasi lebih lanjut.
15% pasien dengan traumatik ruptur aorta memiliki foto thorax yang
normal.
III. Berdasarkan sejarah, aorthography adalah gold standar untuk diagnosa.
Hingga 10% dari semua angiogram menunjukkan positif saat ada indikasi
umum dan hanya 2-3% yang menunjukkan false negatif.
IV. Chest Computed Tomography (CCT) telah menjadi alat diagnosa yang
penting bagi cedera aorta. Standar CT scanner dapat menunjukkan
hematoma mediastinal yang mengarah ke cedera aorta. Helical dan
kecepatan tinggi, resolusi tinggi dari scanner dapat menunjukkan
diagnosa definitif dari cedera aorta, melebihi angiography dan segala
kelebihannya. Waktu untuk melakukan scan dan injeksi bolus sangat
berperan untuk pembelajaran yang tepat.
a. Non specifik mediastinum hematoma ditemukan pada CT Thorax
untuk diagnosa yang tepat.
b. Definitif diagnosa dari cedera aorta yang ditemukan dengan helical
scanners. Juga membutuhkan aortography, bergantung dari
kemampuan ahli bedah yang melakukan terapi perbaikan.
c. Negatif scan menentukan cedera aorta dengan sensitivitas 92%.
V. Transesophageal Echocardiogram (TEE) tidak dapat lebih diandalkan
daripada angiogram untuk mendiagnosa cedera aorta. TEE yang positif
meyakinkan lokasi cedera dan mempercepat managemen. Jika TEE
negatif, dibutuhkan aortogram untuk meyakinkan tidak adanya cedera.
TEE adalah pilihan sempurna untuk pasien yang :
a. Harus dipindahkan langsung ke OR untuk perdarahan lainnya.
b. Memiliki mediastinum yang sangat lebar dan sangat dicurigai memiliki
cedera aorta thoracalis.
c. Memiliki resiko tinggi untuk dibawa ke radiologi.
Saat telah stabil TEE negatif diikuti oleh CT thorax atau aortography.
 Penatalaksanaan
I. Bebaskan jalan nafas, sesuai yang dibutuhkan.
II. Kendalikan dan cegah hipertensi. Upaya mengurangi tekanan dinding
aorta sebelum operasi dapat meningkatkan resiko ruptur. Beta blocker
dapat dipakai untuk terapi pengganti hanya bila ada kemungkinan
perdarahan yang signifikan dan cedera yang lain telah disingkirkan.
Sasaran dan tekanan darah sistolik harus mendekati 100mmHg.
III. Jika pasien memiliki hematoma mediastinum yang stabil disertai
cedera abdomen, pertama-tama lakukan laparatomy. Hati-hati jangan
sampai menutup abdomen terlalu kencang atau menjepit aorta, yang
dapat meningkatkan tekanan aorta proximal. Intraoperatif TEE dapat
digunakan untuk mengevaluasi aorta thoracalis.
IV. Beberapa tehnik yang ada untuk melakukan perbaikan definitive.
a. Perbaikan full cardiac bypass sering membutuhkan heparin dalam
dosis yang besar dan tidak dapat dilakukan pada kasus dengan banyak
cedera organ, fraktur pelvis, atau cedera otak traumatic.
b. Perbaikan selama pasif bypass dengan heparin bonded shunt atau
tidak melakukan bypass sama sekali, dapat dilakukan, walaupun
jarang. Angka kejadian paraphlegia dilaporkan lebih rendah dengan
full ataupun passive bypass.
c. Endovascular aorta stent graft kini ada di beberapa pusat kesehatan
dan menawarkan kelebihan menghindari thoracotomy pada pasien
yang memiliki hubungan pulmonary compromise yang signifikan.
Penggunaan jangka panjang dan ketahanan stent ini belum diketahui.

c) Cedera trakea dan Bronkus


Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau
trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis,
dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan
gawat nafas.
 Trauma trakea: Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma
tumpul /trauma tusuk.
Manifestasi klinisnya: Fraktur larynx adanya trias suara serak,
subcutaneus emphysema dan teraba fraktur dan krepitasi larynx
Diagnosa: fiberoptic laryngoscopy
Diperlukan terapi operasi definitif
 Trauma bronchus: biasanya trauma benda tumpul
Terjadi ± 1 inci dr carina tampak terjadi hemoptysis, subcutaneus
emphyema/tension pneumothorax, khas adanya pneumothorax dengan
kebocoran udara
Bronchoscopy
Penanganan thoracotomy

d) Perforasi Esofagus
a. Kebanyakan merupakan trauma tembus terdapat pada luka tumpul
esophagus (insiden < 0,1%). Variasi presentasi tergantung lokasi luka:
 Esofagus servicalis:
Emfisema subcutan, hematemesis.
 Esofagus thoracalis:
Emfisema mediastinum, emfisema subcutan, emfisema pleura, udara
pada retroesofagus. Demam tanpa sebab 24 jam dari luka.
 Esofagus intraabdominal:
Tanpa gejala, kemungkinan pneumoperitoneum, hemoperitoneum.
b. Diagnosa
 Menembus selaput mediastinum atau leher dapat menunjukkan luka
esophagus.
 Adanya trauma tembus yang banyak pada trakheoktomi atau
laparatomi.
 Esofagoskopi dan esofagogram biasanya sensitive (60%), kombinasi
keduanya bisa mempelajari tentang luka esophagus.
 CT scan dilakukan pada pasien yang stabil.
c. Penatalaksanaan
I. Operasi terbuka
 Cervical
Insisi leher pada salah satu sisi sepanjang batas anterior dari otot
sternocleidomastoideus.
 Thorax bagian atas
Thoracotomi posterolateral kanan pada interkostal ke 5.
 Thorax bagian bawah
Thoracotomi posterolateral kiri pada intercostal ke 6.
II. Perbaikan Definitif
a. Luka kurang dari 6 jam
Pertama-tama tutup dengan dua lapisan kedap sutura dan tutup
pleura atau otot flap intercostalis. Perbaikan esophagus bagian
bawah dapat di tutup lagi dengan Nisser wrap, drain.
b. Luka komplex atau > 12 jam
Perbaiki luka seperti diatas, lakukan eesfagostomi cervical dan
pertimbangkan menjahit esophagus bagian bawah dengan tanda-
tanda mediastinitis. Drainase pada rongga dada dan gastrektomi
keduanya merupakan indikasi.
c. Luka 6-12 jam
Masih controversial, bagaimanapun jika terdapat shock dengan
trauma multiple dapat dipertimbangkan hal di atas.

e) Robekan Diafragma
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul diafragma secara klasik besar, radial dan lokasinya
posterolateral. Terjadi 65-80% pada kasus hemidiaphragma kiri. Ruptur
diafragma adalah tanda dari trauma intraabdominal.
b. Trauma tembus
Luka kecil, tapi lebih sering pada kepala.
Ketika terdiagnosa trauma tersebut membutuhkan perbaikan operasi,
oleh karena trauma tersebut tidak sembuh spontan dan dapat
menyebabkan hernia atau strangulasi dari usus dalam waktu yang lama.
c. Diagnosa
I. Diagnosa dapat sangat sulit, tetapi berdasarkan mekanismenya
terdapat index kecurigaan:
 Deselerasi cepat atau kerusakan langsung pada abdomen bagian atas.
 Trauma dada sebagian, fraktur rusuk bagian bawah.
 Luka tembus pada dada dan abdomen.
II. foto thorax hanya mendiagnosa 25-50% kasus trauma tumpul.
Beberapa kemungkinannya adalah:
 Elevasi hemidiafragma atau atelektasis lobus bagian bawah.
 Hemithorax pada nasogastric kiri.
 Lambung, colon, atau usus pada bagian bawah dada.
 Trauma tembus dan kerusakan usus, diafragma terlihat normal.
 Tekanan positif menyebabkan tamponade hernia alat dalam dan
memperlihatkan foto thorax normal setelah extubasi, herniasi akan
tampak pada foto thorax.
III. Pada hemidiafragma kanan jarang di diagnosa dengan foto thorax
oleh karena adanya hepar.
IV. CT scan dapat salah, pada luka diafragma terlihat gambaran kosong
hernia alat-alat dalam.
V. Diagnosa Peritoneal Lavage (DPL) menghasilkan negatif palsu pada 25-
34% luka diafragma. Jika tampak pada rongga dada ipsilateral, cairan
DPL dapat diteliti diluar rongga dada.
VI. Visualisasi secara langsung luka dengan laparatomi, laparoskopi, atau
thoracoskopi merupakan diagnosa utama.
d. Penatalaksanaan
I. Perbaikan diafragma.
II. Perbaikan awal dilakukan dengan laparatomi, pada kebanyakan kasus
dengan tidak ada penyerapan, masalah potongan horizontal sutura.
III. Thorakotomi dibutuhkan untuk mengembalikan kerusakan yang besar
pada hernia.
IV. Peralatan prostetik atau flaps terkadang dibutuhkan untuk menutup
kerusakan.
V. Tingkat kematian sekitar 25-40% oleh karena berkaitan dengan
trauma keras.

f) Kontusio Miocard
Istilah trauma tumpul pada jantung biasanya menggambarkan berbagai
tingkatan trauma pada jantung. Ini dapat dari memar pada otot jantung yang
asimptomatis, sampai dengan disaritmia dengan gejala klinis yang signifikan,
gagal jantung akut, trauma katub atau rupture kardia. Walaupun jarang,
trauma jantung dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
Komplikasi yang sering dari trauma tumpul pada otot jantung adalah
disaritmia seperti takikardi, kontraksi premature atrium, atrial fibrilasi, dan
kontraksi premature ventricular. Perubahan EKG lainnya yang mungkin dapat
terlihat adalah Right Bundle Branch Block atau trauma akut dengan ST elevasi
dan gelombang T yang datar.
a. Diagnosis
Dari beberapa literature masih terdapat perdebatan tentang kriteria
diagnosa secara signifikan
I. 12 lead EKG dapat dilakukan sebagai screaning test pada pasien yang
dicurigai
II. ECG dinyatakan positif jika menunjukkan gambaran disaritmia, atrial
atau ventrikuler ektopi, perubahan ST, Bundle Branch Block, atau
block hemifasciculer.
III. Ecochardiography (Echo) dapat digunakan untuk memperkirakan
gerak dinding dada dan kompetensi katub. Trans Thoracic
Echocardiogram (TTE) lebih nyaman bagi pasien dan non infasif
walaupun kadang secara teknis terbatas. TEE lebih infasif dan
digunakan ketika TE tidak adekwat.
IV. Bukti baru level cardiac troponin 1 (cTn1) berhubungan dengan resiko
aritmia dan komplikasi BCI. Penelitian oleh Rajan dan Zellweger level
yang menurun sampai 0,05 µg/L, 6 jam setelah trauma pada pasien
tanpa gejala klinis menunjukkan resiko komplikasi, hasil tersebut
specific untuk BCI.
V. Presentasi fraktur sternum tidak berhubungan dengan presentasi.
b. Tatalaksana
 Pasien dengan iskemia pada EKG atau elevasi cardia level enzim sama
dengan infark miocard.
 Jika ekokardiografi menunjukkan memar (hipokinesis atau pergerakan
abnormal dinding dada) kirim pasien ke ICU.
 Jika tanda-tanda penderita berkembang dan gejala dari gagal jantung
akut. Mulai monitoring secara invasive dengan pemasangan arteri
kateter.
a. Lanjutan EKG dilakukan pada gambaran awal abnormal atau
tanda-tanda baru.
b. Trauma tumpul kardia bukan kontra indikasi absolute untuk
operasi.

C. Trauma thorax yang berat


a) Subcutaneus emphisema
Terjadi akibat trauma yang mengenai jalan nafas, paru, dan jarang karena
trauma ledakan. Apabila ditemukan tanda trauma tersebut, maka perlu
dipasang thorax tube.
b) Pneumothorax
Diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama
dengan pneumothorax. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari
pneumothorax akibat trauma tumpul.
Dalam keadaan normal rongga thorax dipenuhi oleh paru-paru yang
pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan
permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga
pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-
perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami
ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumothorax terjadi, suara
nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor. Foto
thorax pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis.
Terapi terbaik pada pneumothorax adalah dengan pemasangan chest tube
lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila
pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan
mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan
WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk
mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau
ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan
pneumothorax traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko
terjadinya pneumothorax intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya,
sampai dipasang chest tube. Pneumothorax sederhana dapat menjadi life
thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui
dan ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Thorax penderita harus
dikompresi sebelum penderita dirujuk.
c) Hemothorax
Penyebab utama dari hemothorax adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan
oleh trauma tajam atau trauma tumpul.
Tampak efusi pada thorax foto dan hilangnya suara nafas. Dislokasi fraktur
dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemothorax.
Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi
operasi. Hemothorax akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto
thorax, sebaiknya diterapi dengan selang dada (Thorax tube) kaliber besar.
Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura,
mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura
(hemothorax atau fibrothorax), dan dapat dipakai dalam memonitor
kehilangan darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian
terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun
banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi
pada penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang kelur dari
selang dada merupakan faktor utama.
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
Minimal / ringan 350 ml, Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila
perdarahan di atas 1.500 cc.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam
untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus,
eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.
d) Fraktur costae
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami
trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat
terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan
gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat
mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara
bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru–paru. Fraktur sternum dan
skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul
jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang
paling sering mengalami trauma adalah iga bagian tengah (iga ke – 4 sampai
ke – 9).
Costae bagian atas (costae ke-1 sampai ke-3 ) dilindungi oleh struktur tulang
dari lengan bagian atas, tulang skapula, humerus dan klavikula dengan
seluruh otot-otot yang merupakan pelindung terhadap trauma costae
tersebut. Bila ditemukan fraktur tulang skapula, costae pertama dan kedua
atau sternum harus curiga akan adanya trauma yang luas yang meliputi
kepala, leher, medula spinalis, paru-paru dan pembuluh darah besar. Karena
adanya trauma-trauma penyerta tersebut, mortalitas akan meningkat
menjadi 35%. Konsultasi bedah harus dilakukan.
Kompresi anteroposterior dari rongga toraks akan menyebabkan lengkung
costae akan lebih melengkung lagi ke arah lateral dengan akibat timbulnya
fraktur pada titik tengah (bagian lateral) costae. Trauma langsung pada
costae akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-
ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan
trauma intratorakal seperti pneumothorax.
Seperti kita ketahui pada penderita dengan usia muda dinding dada lebih
fleksibel sehingga jarang terjadi fraktur costae, oleh karena itu adanya fraktur
costae multipel pada penderita usia muda memberikan informasi pada kita
bahwa trauma yang terjadi sangat besar dibandingkan bila terjadi trauma
yang sama terjadi pada orang tua. Patah tulang costae (ke-10 sampai ke-12)
harus curiga kuat adanya trauma terhadap hepatosplenik. Akan ditemukan
nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi pada penderita dengan trauma costae.
Jika teraba atau terlihat adanya deformitas, harus curiga fraktur costae.
Foto thorax harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan trauma
intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur costae. Teknik khusus
untuk visualisasi costae selain harganya mahal, tidak dapat mendeteksi
seluruh costae, posisi yang dibutuhkan untuk pembuatan x-ray tersebut
menimbulkan rasa nyeri dan tidak mengubah tindakan, sehingga
pemeriksaan ini tidak dianjurkan. Plester costae, pengikat costae dan bidai
eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan
rasa sakit agar penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal,
anestesi epidural dan analgesik sistemik dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi rasa nyeri.
Wim De jong, Sjamsuhidajat. Buku ajar Ilmu Bedah; Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005. Hal
93-95.

Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. 1996. Jakarta:EGC.


PUNGSI?
Untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi
pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8. Didapati
cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau
kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan)
atau eksudat (hasil radang).
Indikasinya:
 Menghilangkan sesak yang ditimbulkan cairan
 Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal
 Bila terjadi reakumulasi cairan
 Kerugiannya: hilangnya protein, infeksi, pneumothoraxs.

WSD?
Pada trauma toraks WSD dapat berarti:
a) Diagnostik: menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,
sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum
penderita jatuh dalam shok.
b) Terapi: Mengeluarkan darah,cairan atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanic of breathing", dapat
kembali seperti yang seharusnya.
c) Preventive: Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura
sehingga "mechanic of breathing" tetap baik.
Penyulit pemasangan WSD adalah perdarahan dan infeksi atau super infeksi. Oleh
karena itu pada pemasangan WSD harus diperhatikan anatomi pembuluh darah
interkostalis dan harus diperhatikan sterilitas.
Indikasi pemasangan WSD:
a. Hematotoraks
b. Pneumotoraks
Indikasi pemasangan WSD pada pneumotoraks karena trauma tajam atau trauma
tembus toraks:
a. Sesak nafas atau gangguan nafas
b. Bila gambaran udara pada foto toraks lebih dari seperempat rongga torak
sebelah luar
c. Bila ada pneumotorak bilateral
d. Bila ada tension pneumotorak setelah dipunksi
e. Bila ada haemotoraks setelah dipunksi
f. Bila pneumotoraks yang tadinya konservatif pada pemantauan selanjutnya ada
perburukan
Macam-macam WSD:
a. Single Bottle Water Seal System

b. Two Bottle System

c. Three Bottle System


Saryono, Water Seal Drainage (WSD), Lab. Ketrampilan Medik PPD Unsoed.

13. Apa saja px penunjang yang dibutuhkan?


 Laboratorium:
a. Hematokrit dari cairan pleura
 Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada pasien
dengan hematothorax traumatis.
 Diperlakukan untuk analisis berdarah nontraumatik efusi dari
penyebabnya. Dalam khusus tersebut, sebuah efusi pleura dengan
hematokrit lebih dari 50 % dari yang hematokrit beredar deanggap
sebagai hematothorax.
 Imaging:
a. Chest radiography
 Dada yang tegak sinar rongent adalah ideal studi diagnostik utama dalam
evaluasi hematothorax.
 Dalam unscarred normal rongga pleura yang hemothtorax dicatat sebagai
meniskus cairan menumpulkan costophiremic diafragmatik sudut atau
permukaan dan pelacakan atas margin pleura dinding dada ketika dilihat
pada dada tegak film sinar-X. Hal ini pada dasarnya sama penampilan
radiography dada yang ditemukan dengan efusi pleura.
 Dalam kasus-kasus dimana jaringan atau sisfisis pleura hadir, koleksi tidak
dapat bebas untuk menempati posisi yang paling tergantung didalam
dada tapi menempati posisi yang paling tergantung didalam dada, tapi
akan mengisi ruang pleura bebas apapun tersedia. Situasi ini mungkin
membuat penampilan klasik lapisan pluida pada dada X-ray film.
 Sebanyak 400-500 ml darah diperlukan untuk melenyapkan costapherenic
sudut seperti terlihat pada dada tegak sinar rongent.
 Dalam pengaturan trauma akut, telentang portabel dada sinar rongent
mungkin menjadi yang pertama dan satu-satunya pandangan tersedia
dari yang untuk membuat keputusan mengenai terapi definitif, kehadiran
dn ukuran hematothorax jauh lebih sulit untuk mengevaluasi pada film
terlentang. sebanyak 1000 ml darah mungkin akan terjawab saat melihat
dada terlentang portabel X-ray film. Hanya kekaburan umum yang
terkena bencana hematothorax dapat dicatat.
 Dalam kasus trauma hematothorax sering dikaitkan dengan dada lainnya,
luka-luka terlihat di dada sinar rongent, seperti patah tulang iga,
pneumotorax , atau pelebaran mediatinum superior.
 Studi-studi tambahan seperti USG atau CT scan mungkin kadang-kadang
diperlukan untuk identitas dan kualifikasi dari hematothorax dicatat
disebuah dataran sinar rongent.
b. Ultrasonography
 Ultrasonography USG digunakan dibeberapa pusat trauma dalam evaluasi
awal pasien untuk hematothorax.
 Salah satu kekurangan dari USG untuk identifikasi traumatis terkait
hematothorax adalah bahwa luka segera terlihat pada radiography dada
pada pasien trauma, seperti cedera tulang, melebar mediastinum dan
pneumothorax, tidak mudah diidentifikasi di dada Ultrasonograp gambar.
 Ultrasonography lebih mungkin memainkan peran yang saling melengkapi
dalam kasus-kasus tertentu dimana X-ray dada temuan hematothorax
yang samar-samar.
c. CT-scan
 CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura / darah.
 Dalam pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam
diagnostik hematothorax tetapi melengkapi dada radiography. Karena
banyak korban trauma tumpul melakukan rongrnt dada dan / CT scan
perut evaluasi, tidak dianggap hematothorax didasarkan pada
radiography dada awal dapat diidentifikasi dan diobati.
 Saat ini CT scan adalah nilai terbesar kemudian dalam perjalanan trauma
dada pasien untuk lokalisasi dan klasifikasi dari setiap koleksi
mempertahankan gumpalan dalam rongga pleura.
Pusponegoro, A.D (1995). ilmu bedah . FK UI: Jakarta.

14. Bagaimana penanganan yang tepat pada pasien tsb?


PRIMARY SURVEY
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a. Mengenal patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)
b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a. Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b. Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang
rigid
c. - Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
- Pasang airway definitif sesuai indikasi
Kebutuhan untuk perlindungan Kebutuhan untuk ventilasi
3.
airway

Tidak sadar Apnea

• Paralisis neuromuskuler

• Tidak sadar

Fraktur maksilofasial Usaha nafas yang tidak adekuat

• Takipnea

• Hipoksia

• Hiperkarbia

• Sianosis

Bahaya aspirasi Cedera kepala tertutup berat yang

• Perdarahan membutuhkan hiperventilasi singkat,

• Muntah - muntah bila terjadi penurunan keadaan neurologis

Bahaya sumbatan

• Hematoma leher

• Cedera laring, trakea

• Stridor

Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan
diatas klavikula.
5. Evaluasi
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal in-line immobilisasi
b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan
terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian
otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (non rebreathing mask 11-12
liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia
subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.

RESUSITASI
A. Re-evaluasi ABCDE
B. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20
mL/kg pada anak dengan tetesan cepat
C. Evaluasi resusitasi cairan
1. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
2. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta
awasi tanda-tanda syok
D. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan
awal.
1. Respon cepat
 Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
 Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
 Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
 Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
2. Respon Sementara
 Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
 Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
 Konsultasikan pada ahli bedah.
3. Tanpa respon
 Konsultasikan pada ahli bedah
 Perlu tindakan operatif sangat segera
 Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung
atau kontusio miokard
 Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya.

TAMBAHAN PADA PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI


A. Pasang EKG
1. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai
adanya hipoksia dan hipoperfusi
2. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
B. Pasang kateter uretra
1. Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan
kateter urine
2. Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH,
jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada
bagian bedah
3. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine
4. Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal
dan hemodinamik penderita
5. Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1
ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
C. Pasang kateter lambung
1. Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang
merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric
tube.
2. Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena
bahaya aspirasi bila pasien muntah.
D. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah,
Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan
laboratorium darah.
E. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
1. Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin
x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.
2. Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat
proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat
secondary survey.
3. Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus
dilakukan.

SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat:
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik
Hal yang Identifikasi/ Konfirmasi
Penilaian Penemuan Klinis
Dinilai tentukan dengan

Tingkat • Beratnya • Skor GCS •  8, cedera • CT Scan


trauma kapitis kepala berat
Kesadaran • Ulangi tanpa
• 9 -12, cedera relaksasi Otot
kepala sedang

• 13-15, cedera
kepala ringan

Pupil • Jenis cedera • Ukuran • "mass effect" • CT Scan


kepala
• Bentuk • Diffuse axional
• Luka pada injury
• Reaksi
mata
• Perlukaan mata

Kepala • Luka pada kulit • Inspeksi • Luka kulit • CT Scan


kepala adanya luka kepala
dan fraktur
• Fraktur tulang • Fraktur impresi
tengkorak • Palpasi adanya
• Fraktur basis
fraktur

Maksilofasia • Luka jaringan • Inspeksi : • Fraktur tulang • Foto tulang


l lunak deformitas wajah wajah

• Fraktur • Maloklusi

• Kerusakan • Palpasi : • Cedera jaringan • CT Scan tulang


syaraf krepitus lunak wajah

• Luka dalam
mulut/gigi

Leher • Cedera pada • Inspeksi • Deformitas • Foto servikal


faring faring
• Palpasi • Angiografi/
• Fraktur servikal • Emfisema Doppler
• Auskultasi
subkutan
• Kerusakan • Esofagoskopi
vaskular • Hematoma
• Laringoskopi
• Cedera • Murmur
esofagus
• Tembusnya
• Gangguan platisma
neurologis
• Nyeri, nyeri
tekan C spine

Toraks • Perlukaan • Inspeksi • Jejas, • Foto toraks


dinding toraks deformitas,
• Palpasi • CT Scan
gerakan
• Emfisema
• Auskultasi • Angiografi
subkutan • Paradoksal
• Bronchoskopi
• Pneumo/ • Nyeri tekan
hematotoraks dada, krepitus • Tube
torakostomi
• Cedera • Bising nafas
bronchus berkurang • Perikardio
sintesis
• Kontusio paru • Bunyi jantung
jauh • USG Trans-
• Kerusakan
Esofagus
aorta torakalis • Krepitasi
mediastinum

• Nyeri
punggung
hebat

Hal yang Identifikasi/ Penilaian Penemuan klinis Konfirmasi


tentukan dengan
Dinilai

Abdomen/ • Perlukaan dd. • Inspeksi • Nyeri, nyeri • DPL


pinggang Abdomen tekan abd.
• Palpasi • FAST
• Cedera intra- • Iritasi
• Auskultasi • CT Scan
peritoneal peritoneal
• Tentukan arah • Laparotomi
• Cedera • Cedera organ
penetrasi
retroperitoneal viseral • Foto dengan
kontras
• Cedera • Angiografi
retroperitoneal

Pelvis • Cedera Genito- • Palpasi simfisis • Cedera Genito- • Foto pelvis


urinarius pubis untuk rinarius
• Urogram
pelebaran (hematuria)
• Fraktur pelvis
• Uretrogram
• Nyeri tekan • Fraktur pelvis
tulang pelvis • Sistogram
• Perlukaan
• Tentukan perineum, • IVP
instabilitas rektum, vagina
• CT Scan
pelvis (hanya
dengan kontras
satu kali)

• Inspeksi
perineum

• Pem.
Rektum /vagina

Medula • Trauma kapitis • Pemeriksaan • "mass effect" • Foto polos


motorik unilateral
spinalis • Trauma • MRI
medulla • Pemeriksaan • Tetraparesis
spinalis sensorik
Paraparesis
• Trauma syaraf
• Cedera radiks
perifer
syaraf

Kolumna • Fraktur • Respon verbal • Fraktur atau • Foto polos


terhadap nyeri, dislokasi
vertebralis • lnstabilitas • CT Scan
kolumna tanda lateralisasi
Vertebralis
• Nyeri tekan
• Kerusakan
• Deformitas
syaraf
Ekstremitas • Cedera jaringan • Inspeksi • Jejas, • Foto ronsen
lunak pembengkakan
• Palpasi • Doppler
, pucat
• Fraktur
• Pengukuran
• Mal-alignment
• Kerusakan tekanan
sendi • Nyeri, nyeri kompartemen
tekan,
• Defisit neuro- • Angiografi
Krepitasi
vascular
• Pulsasi hilang/
berkurang

•Kompartemen

• Defisit
neurologis

TAMBAHAN PADA SECONDARY SURVEY


A. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan
teliti dan pastikan hemodinamik stabil
B. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan
tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain
C. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :
1. CT scan kepala, abdomen
2. USG abdomen, transoesofagus
3. Foto ekstremitas
4. Foto vertebra tambahan
5. Urografi dengan kontras
RE-EVALUASI PENDERITA
A. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap
perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
B. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
C. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan
TRANSFER KE PUSAT RUJUKAN YANG LEBIH BAIK
A. Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih
memungkinkan untuk dirujuk.
B. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama
perjalanan serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.
Advanced Trauma Life Support.

TERAPI:
Hemothorax akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto thorax, sebaiknya
diterapi dengan selang dada (Thorax tube) kaliber besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura (hemothorax atau fibrothorax), dan dapat dipakai
dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap
kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang
berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemothorax,
status fisiologi dan volume darah yang kelur dari selang dada merupakan faktor
utama.
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
Minimal / ringan 350 ml, Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila perdarahan
di atas 1.500 cc.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak
1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4
jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.
Wim De jong, Sjamsuhidajat. Buku ajar Ilmu Bedah; Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005. Hal
93-95.

Anda mungkin juga menyukai