***
**
*
e-Book
Terjemah Kitab
1. Sang Pelita (As-Siroj) tampak dan tercerah dari Cahaya Keghaiban,ia terpancar
dan (tampak) kembali, dan melampaui pelita-pelita lain.Ia rembulan yang
cerlang, yang menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain. Ia
bintang yang graha perbintangannya di Langit ‘Azaly. Alloh
menyebutnya ‘ummi (awam) atas dasar keterpusatan
aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan syafa’atnya,
dan makki (pusat) karena kedekatannya di Hadirat-Nya.
5. Tiada seorang arif (‘irfan) pun yang merasa ‘kenal’ padanya, yang tidak keliru
mengenali kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang
yang Alloh bimbing untuk menyingkap (kasyf) tabirnya, “Yaitu yang telah Kami
berikan kepadanya Kitab, mereka mengenalinya seperti mengenali anak-
anaknya. Namun, sebagian mereka menyembunyikan kebenarannya, padahal
mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]
8. Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik
semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih
kasih, lebih taat atau lebih takwa, yang lebih dari sang Tokoh Utama
ini.Gelarnya adalah sang Junjungan Makhluk, namanya adalah Ahmad, dan
harkatnya adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh
kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya penuh keunikan.
9. Maha Suci Alloh! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih
masyhur, lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia
– sungguh – telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta.
Ia senantiasa diingat sebelum adanya ‘sebelum’ dan setelah adanya ‘setelah’,
juga sebelum ada substansi dan kualitas.
Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya
adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab, kesukuannya adalah “tiada Timur
dan tiada Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah
damai, dan sebutannya adalah ‘ummi (awam).
10. Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa
terasa dengan kehadirannya yang ada. Adalah Alloh yang membuatnya fasih
menghafalkan rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang
meneguhkannya. Juga Alloh yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti –
senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pedamba yang
kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga
terekayasa, yang ‘menyatu’ dengan Alloh tanpa terpisahkan, bahkan jauh di
luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya akhir, dan
akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.
11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah
‘pembeda’, bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk
meluluhlantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia
untuk membasmi pemujaan.
13. Alloh (‘ada’) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama
dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang
hakikatnya bersifat batin, dan ma’rifatnya bersifat lahir.
14. Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf
niscaya tersadar atas kearifannya.
18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari’at-nya, adakah jalan (lain)
yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang?
Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir,
dibandingkan hikmahnya.
__________________________________________________
2. Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali
ke teman-temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan
ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api
dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.
5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga
manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang
menuruti hawa-nafsunya semata.
7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu
bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (sholallohu
'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang
kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasululloh (Utusan Alloh) dan penutup para
nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin,
serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa
kepalsuan hati ataupun kemunafikan.
8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat
lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu
dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat,
ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke
Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Alloh), ia pun kembali
sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman
kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak
dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai
Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-
Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya,
"hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11)
di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak
berpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah
Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada
menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang
diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)
__________________________________________________
1. Hakikat itu adalah sesuatu yang sangat halus, dan sulit menguraikannya. Jalan
untuk menempuhnya sempit, dan tentang jalannya itu, seorang
penempuh (salik) harus mengarungi 'kobaran api' di tengah gurun yang dalam.
Seorang asing (gharib) telah mengikuti jalan ini, dan menyampaikan bahwa
apa yang dialaminya ada empat puluh Maqom, yaitu:
1. Kesopan santunan ['adab],
2. Kegentar hatian [rahab],
3. Kejerih payahan [nashab],
4. Penuntutan-diri [thalab],
5. Ketakjuban ['ajab],
6. Peniadaan ['athab],
7. Pemujaan [tharab],
8. Pendambaan [syarah],
9. Penjernihan [nazah],
10. Kelurusan [shidq],
11. Persahabatan [rifq],
12. Persamaan [litq],
13. Keberangkatan [taswih],
14. Penghiburan [tarwih],
15. Ketajaman [tamyiz],
16. Penyaksian [syuhud],
17. Keberadaan [wujud],
18. Penghitungan ['add],
19. Pengupayaan [kadda],
20. Pemulihan [radda],
21. Perluasan [imtidad],
22. Pengolahan [i'dad],
23. Penyendirian [infirad],
24. Pengendalian [inqiyad],
25. Kemauan [murad],
26. Kehadiran [hudur],
27. Pelatihan [riyadhah],
28. Kehati-hatian [hiyathah],
29. Penyesalan [iftiqad],
30. Kedayatahanan [istilad],
31. Pengawasan [tadabbur],
32. Keterkejutan [tahayyur],
33. Perenungan [tafaqqur],
34. Kesabaran [tashabbur],
35. Penafsiran [ta'abbur],
36. Penolakan [rafdh],
37. Pengoreksian [naqd],
38. Pengamatan [ri'ayah],
39. Pembimbingan [hidayah],
40. Permulaan-jalan [bidayah].
Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang Hatinya tenang dan
suci (shufi).
9. 'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah subyek dalam
hakikatnya. Soalnya adalah bagaimana itu terurai?
10. Alloh berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah (ummatmu) pada
Bukti (al-Hujjah)," tapi bukan pada Obyeknya Bukti. Adapun bagi-Ku, Aku
adalah 'Bukti' dari setiap bukti.
11. Alloh membuatku melampaui apa adanya hakikat dengan kesepakatan,
perjanjian, dan persekutuan. Rahasiaku adalah
penyaksian (syahadah) langsung tanpa (keikutsertaan) pribadi makhlukku.
Itulah rahasiaku, dan inilah hakikat.
12. Alloh memfirmankan pengetahuanku melalui 'aku' dari hatiku. Dia menarikku
dekat pada-Nya setelah jauh dari-Nya. Dia membuat aku menjadi
Sahabat (Waly)-Nya, Dia memilih aku…
_________________________________________________
2. Ia yang memasuki lingkaran itu jauh dari Kebenaran, sebab jalannya terjegal
dan sang penempuh (salik) disuruh kembali. Adapun noktah di atas
melambangkan hasratnya. Noktah yang lebih bawah melambangkan
kembalinya ke titik-tolaknya, dan noktah di tengah adalah kebingungannya.
3. Lingkaran dalam tidak memiliki pintu ‘ba’ ()ب, dan ‘titik’ yang ada di
dalamnya adalah pusat Kebenaran.
4. Makna tentang Kebenaran adalah yang darinya, baik lahir maupun batin,
tidak ada yang luput. Dan, ia pun tidak direkayasa.
8. Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari wilayah luar,
bukannya dari wilayah dalam.
10. Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy, sebab hanya ia
seorang yang keluar dari Lingkarang Haram itu.
_________________________________________________
6. “Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada hari itu hanya Tuhan
penolongmu untuk kembali. Juga pada hari itu setiap manusia akan diberi tahu
tentang perbuatan yang didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75: 11-
13)
9. Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang terbang dengan dua
sayap Tashawuf. Ia menyangkal kekeramatanku, sebagaimana ia terus
membumbung dalam penerbangannya.
11. Ia berkata kepadaku: “Aku terbang dengan sayapku menuju Kekasihku.” Aku
katakan kepadanya: “Hati-hati buat kau! Sebab, tidak ada yang menyerupai-
Nya. Hanya Dia sang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Maka, seketika itu ia
jatuh ke samudera kearifan dan hilang tenggelam.
17. Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia kembali, ia pun
mencapai sasarannya. Ketika diseru, ia menjawabnya – merasa dilihat, ia
rendahkan dirinya. Karena minum, ia merasa puas. Karena mendekat, ia
dicekam keterpesonaan. Dan, karena keterpisahan dirinya dari Kota serta para
pembantunya, ia pun terpisah dari bisikan nurani, dari pandangan, juga dari
lamunan makhluk.
18. “Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau bertambah sedih.
Matanya tidak goyah atau lelah oleh suatu ‘Saat’ dari sejatinya masa.
20. Cukuplah ia mengingat Alloh (zikru’lloh) dalam tarikan nafasnya, dan kerdipan
matanya. Bertawakkal kepada-Nya dalam kesusahan, dan bersyukur atas
nikmat-Nya.
21. “Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53: 4) dari Cahaya
ke ‘Cahaya’.
22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan, angkatlah kakimu tinggi-
tinggi dari manusia serta makhluk lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan
selaras dan sekadarnya! Jadilah berghairah, dan tenggelamlah dalam
keghairahanmu. Ketahuilah – bahwa kau akan terbang melampaui gunung dan
lembah, gunung kesadaran dan lembah perlindungan, agar ‘melihat’ Dia yang
kau puja-puja. Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah
Suci (Ka’bah).
23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Alloh, seperti seorang ’asyiq yang
memasuki Ma’syuq. Selanjutnya ia memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu
seperti sebuah rintangan yang lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan. Ia
melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan, dan
dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat sebagai pencari,
dan ia kembali secara berlari. Ia begitu dekat sebagai pendoa, dan ia kembali
sebagai ‘Abdi. Ia begitu dekatnya sebagai penyeru, dan kembali
dengan bai’at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya sebagai seorang
saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur.
24. Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia membidik tanda ‘di
mana’ [‘ayna] dengan panah ‘di antara’ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua
rentangan busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena tiada
terlukiskannya sifat Zat, atau karena serasa lebih akrab pada Zatnya-Zat.
25. Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-‘Addah) Al-Husain ibn Manshur Al-
Hallaj, berkata:
26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat dipahami, kecuali untuk
orang yang sampai pada rentangan busur kedua, yang adanya melampaui
Lembaran yang Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].
27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab ataupun Persia.
28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf ‘mim’ ( ) ﻢ, yang merupakan huruf pertanda
“apa yang ia pancarkan.”
31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api Iluminasi (tajalliy).
35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa Tuhan tidak
berbicara kecuali dengan Diri-Nya, atau dengan Sahabat-Nya (waly).
36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun Murid. Jadilah
tanpa pilihan, tanpa perbedaan, tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan
mengakui sesuatu itu “miliknya” atau “darinya”. Tapi, apa yang ada padanya
cukuplah sebagai “apa yang ada padanya”, tanpa merasa adanya itu “padanya”,
sebagaimana gurun tanpa air di suatu “gurun tanpa air”, juga sebagaimana
pertanda di suatu “pertanda”.
37. Wacana umum mengalihartikan maknanya. Makna pun mengalihartikan
maksudnya, sedangkan maksudnya terlihat dari kejauhan. Jalannya sulit,
namanya agung, tampilannya unik. Pengetahuannya adalah ketidaktahuan,
ketidaktahuannya adalah kebenaran tunggal, keawamannya adalah sumber
rahasianya. Namanya adalah Jalannya, karakter-lahirnya adalah
kehangatannya, dan perlambang-batinnya adalah kegairahannya.
40. Pewarisannya adalah kedai tempat minum-(ku), lengan bajunya bukan apa-
apa kecuali sekadar pengelap debu-(ku). Ajarannya adalah dasar pijakan
keadaan (hal) batinnya, sedangkan keadaan batinnya adalah kefanaan. Kendati
demikian, sembarang keadaan (ahwal) lainnya dapat menjadi obyek
kemurkaan Alloh. Makanya cukuplah ini, semoga rahmat Alloh besertamu.
5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan
kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang
membolak-balik hati." Serta: "Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu
sebagaimana mestinya Engkau dipuji."
6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tawhid) yang
seperti Iblis.
7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah
bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang
Esa Pujaan dalam pengasingan khusyuknya.
11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan
bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia
berfirman kepadanya: "Kau telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu
saja kilasan pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan
takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-an
masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih
lama mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk
(Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripadaku!" "Ada
Kehendak-Mu bersamaku, dan ada kehendakku bersama-Mu, sedangkan
keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain Engkau,
ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke asalku. Karena
Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api', menuruti
keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."
12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan
kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru
menjadi mitraku.
Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap 'menyatu'!"
"Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi
sang pemuja setia ini, yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"
13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai
Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang
mencegahku adalah pernyataan ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan,
jika aku bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu
dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara
aku, aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam,
aku tidak bersujud, karena aku bersiteguh dengan 'Tujuan' Ikrarku."
14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu
sebuah ujian, bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati
wajahmu berubah begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar
kemenduaan dari penampilan-lahir, sementara keadaan (hal) spiritualku tidak
bergantung atasnya, bahkan tidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar
sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya
berubah."
15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa,
pikiran yang murni tidak membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku
mengingat (Dia) dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan
ingatanku adalah ingatan-Nya.
Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan
satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang,
ingatanku lebih agung, sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi
keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."
16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau
menahanku, baik demi kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku,
membuatku mabuk-kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga
aku tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang
lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia
mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab Dia
membuangku. Dia membuangku, sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku
dalam ahwal terlarang disebabkan kemitraanku. Dia mempertunjukkan
kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-Nya. Dia
menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan kehajianku [hijya].
Dia membiarkanku disebabkan 'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia
menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku.
Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia
memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."
17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam memperhatikan titah-
Nya, bukannya aku menolak takdir. Aku tidak peduli sama sekali tentang
perubahan wajahku.
Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman ini."
18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak
akan bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan
diriku kepada pribadi atau jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku
berlawanan dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang
khusyuk dalam 'cinta'!"
19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal)
spiritualnya 'Azazyl ([ )عزازيلsebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang
mengatakan bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu
misi (lainnya) di bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya
tentang amalan yang baik.
Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang
perbuatan yang jahat."
20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali)
yang sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat
ditenun
dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya, malaikat
mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal,
kau akan mandapat pahala." Namun, ia yang tidak mengenal kejahatan
sebelumnya, niscaya tidak dapat mengenali kebaikan."
21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan Iblis dan Fir'aun
tentang kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya
kehilangan gelar kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada
Rasul (Musa as) itu, aku niscaya terjatuh dari harkat kehormatanku."
22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku dan pernyataanku,
aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."
23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)," maka ia tidak
melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun berkata: "Aku tahu pun
tidak bahwa kau (Musa as) mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak
mengetahui bahwa sembarang rakyatnya dapat membedakan antara
kebenaran dan kepalsuan.
24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-Nya, maka
kenalilah pertanda-Nya. Akulah pertanda-Nya [tajally], dan akulah Sang
Kebenaran (anal'-Haqq)!
Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang Kebenaran!"
25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam dengan api dan
tidak mencabut pernyataannya. Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa
mencabut pernyataannya ataupun mengakui sembarang perantara (rasul).
kendatipun begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Dia
yang diimani oleh Bani Isra'il." (QS. 10: 90) Dan, bukankah kau melihat bahwa
Alloh pun menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman: "Mengapa
kau penuhi mulutmu dengan 'pasir'?"
26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku dipotong, tanpa
aku mencabut pernyataan tegasku!
27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama pertamanya, 'Azazyl ()عزازيل.
'Ain'-nya ( )عmenunjukkan keluasan ikhtiarnya,
'zay'-nya ( )زadalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-Nya),
'alif'-nya ( )اsebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya,
'zay'-nya ( )زyang kedua keasketisannya dalam derajat-Nya,
'ya'-nya ( )يlangkah pengembaraannya ke penderitaannya, dan
'lam'-nya ( )لketegarannya dalam kesakitannya.
28. Dia (Alloh) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang nista!" Ia
menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!" Karena pecinta dianggap rendah,
maka Engkau menyebutku nista. Aku telah membaca dalam Kitab yang Nyata,
wahai Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi,
bagaimana mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau
menciptakannya dari tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal yang berlawanan
tidak dapat diakurkan. Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki
kebajikan yang lebih luhur, pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang
lebih sempurna."
29. Alloh, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya: "Pilihan adalah
milik-Ku, bukannya milikmu." Ia menjawab: "Segenap pilihan, bahkan pilihan
diriku, adalah milik-Mu. Karena Engkau telah terpilih untukku, wahai
Sang Khaliq. Jika Engkau mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as),
Engkau adalah 'Sebab' pencegahan itu.
Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena Engkau Sang
Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku bersujud kepadanya, aku
niscaya taat. Aku tidak mengetahui seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif,
yang mengenal-Mu secara lebih baik daripada aku."
30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah aku, wahai
Penguasaku, demi aku sendiri. Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya
Kebenaran prinsip, tentunya prinsip ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat
menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan mengetahui bahwa aku (akhirnya)
menjadi seorang Syahid!
33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab kehausan di
tempat yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia menangisi kesakitannya, karena api
telah membakarnya. Kekhawatirannya tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan
ke-'buta'-annya adalah kesia-siaan -- itulah ia adanya!
34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah mempertimbangkan jalan
sempit di kesempitannya yang teramat sangat. Kau telah menunjukkan
khayalan itu kepadamu dalam kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau
akan menderita serta penuh kegelisahan.
35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis, dan para
'arifin tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa yang telah
dipelajarinya (tentang Iblis).
Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih dekat daripada
mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis) mengerahkan dirinya lebih
dan 'lebih' setia pada perjanjian, serta lebih dekat daripada mereka kepada
Sang Pujaan.
36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan (Alloh), sedangkan
Iblis menolak (bersujud) karena ia telah 'tafakur' sekian lamanya.
_________________________________________________
2. Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku akan menempuh
ujian dari (lingkaran) yang kedua. Dan, bila aku melintas ke yang kedua, aku
harus menempuh ujian dari (lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku
menyeberang ke yang ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang
keempat.”
3. Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)! Bahkan, bila
aku istirah di ‘tidak’ pertamaku, aku pasti dikutuk sampai aku mengucapkan
(‘tidak’) yang kedua, dan dibuang sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang
ketiga. Jadi, apakah yang keempat berarti bagiku?
4. Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti menyelamatkan
aku, aku niscaya bersujud. Kendati demikian, aku tahu bahwa setelah lingkaran
(pertama) itu ada lingkaran-lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya.
Dengan pemikiran begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun aku
selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat aku keluar dari
(lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang keempat?
5. Adapun ‘Alif’ ( ) اdari ‘La’ ( ) الyang kelima adalah “Dia – Tuhan, Sang Hidup.”
(QS. 2: 255)
_________________________________________________
2. Alloh adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan ‘saksi’ sebagai yang Satu.
3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu,
Adalah ‘di Dia’ dan ‘dari Dia’.
[Tauhid terpisah dari Alloh, dan simbol ‘wahdaniyah’ ini dilambangkan oleh
‘Alif’ ( ) ﺍpanjang, dengan sejumlah ‘dal’ ( ) دdi dalamnya. Adapun ‘Alif’-nya (ﺍ
) merupakan Zat, dan ‘dal’-nya ( ) دsebagai Sifat.]
5. Pengetahuan Tauhid adalah sebuah ikhtisar kesadaran yang mandiri, dan
perlambangnya demikian ini:
9. Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek yang
tersaksikan,” maka adakah hubungan yang mengaitkan seorang peng-Esa
(Tauhid) ke pernyataannya tentang Penyatuan itu?
2. Alloh adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan ‘saksi’ sebagai yang Satu.
3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu,
Adalah ‘di Dia’ dan ‘dari Dia’.
4. Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari Penyatuan-Nya,
dan itu dapat dilambangkan demikian ini:
[Tauhid terpisah dari Alloh, dan simbol ‘wahdaniyah’ ini dilambangkan oleh
‘Alif’ ( ) ﺍpanjang, dengan sejumlah ‘dal’ ( ) دdi dalamnya. Adapun ‘Alif’-nya (ﺍ
) merupakan Zat, dan ‘dal’-nya ( ) دsebagai Sifat.]
9. Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek yang
tersaksikan,” maka adakah hubungan yang mengaitkan seorang peng-Esa
(Tauhid) ke pernyataannya tentang Penyatuan itu?
3. Bila kukatakan tentang ‘Ha’ ( )ﻫini ‘Wa-Ha’ ()ﻮﻫ, yang lainnya akan
berseru padaku, “Malangnya!”
9. Andai kukatakan bahwa ‘ada’-nya tersembunyi ‘di dalam’ Alloh, dan Dia
mengejawantahkannya. Bagaimana itu tersembunyinya, sedangkan di (Alloh)
sana tidak ada ‘bagaimana’ atau ‘apa’ ataupun ‘ini-itu’, dan di sana juga tidak
ada tempat [‘dimana’] yang memuat Dia.
10. Sebab, ‘di dalam ini-itu’ adalah ciptaan Alloh, sebagaimana adanya ‘di
mana’.
11. Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya tanpa substansi.
Dan, yang tidak terpisahkan dari jasad bukannya tanpa unsur jasad. Juga yang
tidak terpisahkan dari ruh bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid
merupakan sebuah perpaduan (spiritual).
12. Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah [Obyek kita] dan
memisahkannya dari kalimat tambahan, pemaduan, penghitungan, peleburan
dan penyifatan.
13. Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri atas tindakan Alloh,
yang kedua terdiri atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran
(makhluk) ciptaan.
____________________________________________
Thosin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan)
1. Inilah lingkaran qiyas (alegori) Tauhid, dan inilah sosok perlambangnya:
3. Lingkaran pertama adalah ‘perasaan’ harfiah, yang kedua adalah ‘rasa’ batin,
dan yang ketiga adalah kias ‘ruh’ (yang tidak terkiaskan).
4. Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun digubah, yang dipakai,
ditapis, disaring, disangkal, yang dibuai ataupun dibius.
7. Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah (refleksi) Tauhid.
8. Bila kukatakan bahwa Tauhid Alloh itu shahih, orang akan menjawabku –
“Tidak sangsi lagi!’
10. Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,” ‘Firman’ adalah sifatnya
Zat, bukan Zat itu sendiri.
11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Alloh berhasrat sebagai yang Satu,’
‘Kehendak’ Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan hasrat adalah makhluk.
12. Jika kukatakan: “Alloh adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan pada dirinya
sendiri,” maka aku membuat Zat bertauhid, yang bisa menjadi pergunjingan
kita.
13. Jika kukatakan: “Tidak, ’ia’ (Tauhid) bukan Zat,” lalu dapatkah aku menyatakan
bahwa Tauhid adalah makhluk?
14. Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,” maka apakah
pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?
15. Jika kukatakan:” Alloh adalah Alloh, maka adakah aku mengatakan bahwa
Alloh adalah zatnya-Zat, dan ‘ia’ (Tauhid) adalah Dia?
20. Maha Besar Alloh, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya tidaklah Dia
terjangkau oleh segenap cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi
orang kebatinan.
21. Inilah “Tho-Sin” tentang Nafi’-Itsbat (Penyangkalan dan Penegasan) dan inilah
penjabarannya:
22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang kebanyakan (‘amm), yang kedua
pemikiran orang terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang
menggambarkan ‘Ilmu Alloh ada di antara keduanya. Adapun ‘La’ ( )الyang
tertutup lingkaran adalah penyangkalan atas segenap dimensi. Dua ‘ha’-nya ()ح
adalah perangkatnya, seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke
atas. Di luar itu berawal ketergantungan (makhluk).
23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan pemikiran orang
terpilih (tercebur) ke samudera kearifan. Tetapi, dua samudera itu akan
mengering, dan jalan yang mereka tandai akan terhapus. Pikiran dan
pemikiran itu akan lenyap, dua pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya
akan hancur, juga pembuktiannya serta pengetahuannya akan musnah.
24. Sedangkan di hadirat Keilahian Alloh, Dia tetap ‘Ada’, mengatasi sekalian
makhluk yang bergantung. Segenap puji bagi Alloh, yang tidak terjangkau oleh
alasan sekunder. Bukti-nya sangat kuat, dan kuasa-Nya sangat agung. Dia,
Tuhan Sang Kemegahan dan Keagungan serta Kemuliaan. Maha Satu yang
‘Tiada-Terbilang’ dengan kesatuan aritmetis. Tiada patokan, hitungan, awalan
atau akhiran yang menjangkau-Nya. Wujud-Nya ‘Tiada-Terbayang’ karena Dia
bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang mengetahui Diri-Nya, Penguasa
Keluasan dan Keluhuran (QS. 55: 27), Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.
____________________________________________
Latar Belakang
Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan
jalan melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan
ma’rifat dan tauhid kepada Alloh. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah
pada abad tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun
pemikiran yang menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam
kehidupan mistik, seperti halnya Al Ghazali, Dzun Nun (859 M), Bayezid
Bistami (874 M), dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al
hallaj (858 M).
Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai
wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang
tidak pernah habis dibahaskan, kerana pihak-pihak yang berbeda pendapat
tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis,
kecuali hanya saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit
konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak dahulu.
Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh
Husein Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya yaitu paham
hulul. Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum
Sufi atau para Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan
melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap
perkembangan ilmu tafsir yang menjadi nadi.
A. Biografi Al-Hallaj
Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
al-Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian
distrik Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi
yang merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat
militer (dengan sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar
dari Shiraz ke Khurasan untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah
Barat Daya Iran. Beliau dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai
tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas . Ayahnya
adalah seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar al-
Hallaj . Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di
Ahwaz dan Tustar. Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api,
pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa
al Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.
Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal.
Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl
ibn Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang
pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun
kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk
belajar kepada Sufi ‘Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan
belajar kepada al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan
dari tahun 873-879 M bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, ‘Amr al-
Makki, dan Junaid al-Baghdadi.
Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain,
menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang
syekh ternama yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah
menunaikan ibadah haji tiga kali selama hidupnya. Dalam perjalanan dan
pengembaraan serta pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang
membentuk pribadi dan pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53
tahun ia telah menjadi pembicara ulama pada waktu itu karena paham
tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Sampai-sampai seorang ulama
fiqh terkemuka yang bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang
mengatakan bahwa paham dan ajaran al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini Al
Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat
melarikan diri dengan pertolongan dari seorang penjaga yang menaruh
simpati padanya.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia
bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia
ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan
tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309/921M diadakanlah persidangaan
ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada
tanggal 18 Dzulkaidah 309H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum mati
dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah
itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalakan
tergantung pecahan-pecahan tubunhnya itu di pintu gerbang kota Baghdad.
Kemudian dibakar tubuhnya dan abunya dihanyutkan di sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya
eksekusi “ekstra tragis” yang diterima al-Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut
(disebat) seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya
dipenggal, tapi sebelum dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki
dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu,
direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke
sungai sedangkan kepalnya di bawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh
umat Islam dan sejarahnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al-Hallaj,
algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian
dikerumuni orang banyak yang datang dari berbagai penjuru yang
diperintahkan untuk melempari batu kepadanya. Ketika itu dia selalu
mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara
dan hukuman mati, yaitu Ana Al Haqq (aku adalah Yang Maha benar). Dan
ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada
Alloh: “Sesungguhnya wujud Alloh itu telah jelas, tidak membutuhkan
penguat semacam syahadat”.
Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai
memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya
dengan tersenyum, bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan
tangannya ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah sucinya itu.
Setelah itu para algojo memotong lidah dan mencukil matanya. Pada saat itu
dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo kepada Alloh
“Mereka semua adalah hambaMu, mereka berkumpul untuk membunuhku
karena fanatik terhadap agamaMu dan untuk mendekatkan diri kepadaMu.
Maka ampunilah mereka. Andaikata Kau singkapkan kepada mereka apa yang
Kau singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan melakukan apa yang
mereka lakukan sekarang ini.”
Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Quran beserta
pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadist serta tidak diragukan lagi
keahliannya dalam ilmu tasawuf. Beliau merupakan seorang zahid yang
terkenal pada masanya, dan masih banyak lagi sifat kesalehannya.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at-
Taftazani, kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap
dalam menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit
dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang
dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus
dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
C. Filsafat Al-Hallaj
Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga
kadang dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di
sekililing tiga hal, yaitu :
dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[36]
kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
[36] Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri,
karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
Alloh memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Adam. Karena
yang berhak untuk diberi sujud hanya Alloh, maka al-Hallaj memahami bahwa
dalam diri Adam (manusia) sebenarnya terdapat unsur ketuhanan. Disisi lain,
hal ini (sujud) dikarenakan pada diri Adam, Alloh menjelma sebagaimana Dia
menjelma dalam diri Isa as.
Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat
ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam
dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh
manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
Kesimpulan
1. Al-Hallaj merupakan seorang ahli sufi, filsuf, dan sekaligus wali Alloh yang
hidup pada masa khalifah al-muktadir billah dan beliau wafat karena dihukum
mati untuk mempertanggung jawabkan ajarannya yang dianggap sesat oleh
beberapa ulama’ khususnya fuqoha pada masa itu.
2. Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi beliau dihukum
karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Beliau
membuka rahasia tentang Tuhan dengan mengemukakan segala yang
dianggap misteri tertinggi yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-
orang terpilih saja.
3. Ajaran al-Hallaj yang mashur adalah hulul (ketuhanan (lahut) menjelma ke
dalam diri insan (nasut)), al-haqiiqah al-muhammadiyyah (nur Muhammad),
dan wahdatul adyan (kesatuan semua agama).
4. Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan
makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan ilahi yang melingkupi makhluk-
Nya. Yang berbicara Ana Al-Haq bukanlah al-Hallaj pribadi, melainkan Tuhan
sendiri melalui mulut al-Hallaj.
Daftar Pustaka:
Massignon Louis, Al Hallaj, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, tt)
As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2002)
Rosihon anwar dan Mukhtar sholihin, ilmu tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia,
tt)
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : PT. Pustaka
Panjimas)
Basthul Birri Maftuh, Manaqib 50 Wali Agung, (Kediri:Lirboyo, 1999)
Takhrij: