Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PENYAKIT TUBERCULOSIS PARU-PARU

Oleh
Kelompok 1

Nama Kelompok :
1. I Wayan Widarta (18.321.2873)
2. Made Okthaviani Susilawati Dewi (18.321.2876)
3. Ni Kadek Pebby Purnama Dewi (18.321.2882)
4. Ni Komang Milandani (18.321.2888)
5. Ni Luh Nyoman Dewi Meliani (18.321.2894)
6. Wisnu (18.321.2900)
7. Yunda Chandra Dewi (18.321.2901)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2019
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang paling
sering mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. TB paru dapat menyebar kesetiap bagian tubuh, termasuk meningen,
ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2015). Selain itu, TB paru adalah
penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob
yang dapat hidup terutama diparu atau diberbagai organ tubuh lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Tabrani Rab, 2010). Pada manusia
TB paru ditemukan dalam dua bentuk yaitu:
a. Tuberkulosis primer : jika terjadi pada infeksi yang pertama kali.
b. Tuberkulosis sekunder : kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan
aktif setelah bertahun tahun kemudian sebagai infeksiendogen menjadi
tuberkulosis dewasa (Somantri, 2012).
TB Paru merupakan infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis ditandai dengan adanya infiltrat paru, pembentukan
granuloma dengan perkejuan, fibrosis serta pembentukan kavitas (Robinson, dkk,
2014).

2. Etiologi
TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat
ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif 8 mengeluarkan
organisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi.
Bakteria ditransmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Reaksi inflamasi
menghasilkan eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan
fibrosa (Smeltzer & Bare, 2015). Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin,
atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ketanah,
lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang
panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang
terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh
orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif,
2012). Individu yang beresiko tinggi untuk tertular virus tuberculosis adalah :
a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
b. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka
yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).
c. Pengguna obat – obat IV dan alkoholik.
d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma; tahanan;
etnik dan ras minoritas, terutama anak – anak dibawah usia 15 tahun dan
dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).
e. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan diabetes,
gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).
f. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan substandar kumuh.
g. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas
yang beresiko tinggi (Smeltzer & Bare 2015).

3. Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi
TB Paru terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
kuman – kuman basil tuberkel, yang berasal dari orang – orang yang terinfeksi. TB
Paru adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel
efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imun responsif.
Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan
ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi
hipersensitivitas seluler (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya di inhalasi sebagai unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil.
Gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan disaluran hidung dan cabang
besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruangan alveolus, biasanya di bagian bawah paru atau di
bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri,
namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama, leukosit
diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan
timbulkan pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya,
sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus difagosit
atau berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih 12 panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel
epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu
10 sampai 20 hari (Smeltzer & Bare 2015). Nekrosis bagian sentral lesi memberikan
gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari
sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibroblas membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru disebut Fokus Ghon dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer disebut Kompleks
Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang
sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Namun kebanyakan
infeksi TB paru tidak terlihat secara klinis atau dengan radiografi. Respon lain yang
dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cairan lepas
kedalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkel
yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat berulang kembali dibagian lain dari paru, atau basil
dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan
meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus
dapat menyepit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan taut
bronkus dan rongga. Bahan perkejuan dapat mengental dan tidak dapat kavitas
penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak 13
terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala demam waktu lama atau
membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme
yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah
kecil yang kadang – kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh
sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya
menyebabkan TB miler, ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah
sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular dan tersebar ke organ
–organ tubuh (Smeltzer & Bare 2015).

4. Manifestasi Klinis
Gejala klinik TB Paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistematik.
a. Gejala respratorik
1) Batuk Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan.
2) Batuk darah Keluhan batuk darah pada klien TB Paru selalu menjadi alasan
utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan.
3) Sesak nafas 14 Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah
luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.
4) Nyeri dada Nyeri dada pada TB Paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala
ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena TB.
b. Gejala sistematis
1) Demam Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau
malam hari mirip demam atau influenza, hilang timbul, dan semakin lama
semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin
pendek.
2) Keluhan sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat
gradual muncul dalam beberapa minggu sampai bulan. Akan tetapi
penampilan akut dengan batuk, panas, dan sesak nafas. Gejala reaktivasi
tuberkulosis berupa demam menetap yang naik dan turun (hecticfever),
berkeringat pada malam hari yang menyebabkan basah kuyup (drenching
night sweat), kaheksia, batuk kronik dan hemoptisis.
Pemeriksaan fisik sangat tidak sensitif dan sangat non spesifik
terutama pada fase awal penyakit. Pada fase lanjut diagnosis lebih mudah
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, terdapat demam penurunan berat
badan, crackle, mengi, dan suara bronkial (Darmanto,2009). Gejala klinis
yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada tipe infeksi yang primer
dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa gejala pneumonia,
yakni batuk dan panas ringan. Gejala TB, primer dapat juga terdapat dalam
bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi,
yakni berupa nyeri pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi
primer dapat sembuh dengan sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya
50%. TB post primer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat dingin
pada malam hari, temperatur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua
minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah
disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercakbercak darah pada sputum,
sampai ke batuk darah yang masif, TB post primer dapat menyebar ke
berbagai organ sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis,
tuberkulosis milier, peritonitis dengan fenomena papan catur, tuberkulosis
ginjal, sendi, dan tuberkulosis pada kelenjar limfe di leher, yakni berupa
skrofuloderma (Tabrani Rab, 2016).
Pathway
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TB PARU
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
TB paru sering dijuluki degreath imitator, yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain dengan
memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah
klien gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-
kadang asimptomatik (Muttaqin, A. 2008). Keluhan yang sering
menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim
kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :
1) Keluhan respiratoris, meliputi :
a) Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan
batuk bersifat non produktif dan produktif atau sputum bercampur
darah.
b) Batuk darah
Keluhan batuk darah pada klien dengan TB paru selalu menjadi alasan
utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan
rasa takut klien pada darah yang keluar dari jalan nafas, perawat harus
menanyakan seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa
blood strech, berupa garis, atau bercak-bercak darah.
c) Sesak nafas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks,
anemia dan lain-lain.
d) Nyeri dada Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena TB
2) Keluhan sistematis, meliputi :
a) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama
semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan
semakin pendek.
b) Keluhan sistemis lain Keluhan yang biasa timbul ialah keringat
malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise. Timbulnya
keluhan biasanya bersifat gradual muncul dalam beberapa
minggubulan. Akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, dan
sesak nafas-walaupun jarang-dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia (Muttaqin, A. 2008).
b. Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama.
Lakukan pertanyaan yang bersifat ringkas sehingga jawaban yang
diberikan klien hanya kata “ya” atau “tidak” atau hanya dengan
anggukan atau gelengan kepala. Apabila keluhan utama adalah batuk,
maka perawat harus menanyakan sudah berapa lama keluhan batuk
muncul (onset). Pada klien dengan pneumonia, keluhan batuk biasanya
timbul mendadak dan tidak berkurang setelah minum obat batuk yang
biasa ada dipasaran (Muttaqin, A, 2008).
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan, mula-mula non produktif kemudian 19
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan
jaringan. Batuk akan timbul apabila penyakit telah melibatkan bronkus,
dimana terjadi iritasi bronkus selanjutnya akibat adanya peradangan
pada bronkus, batuk akan menjadi produktif yang berguna untuk
membuang produk eskresi peradangan dengan sputum yang bersifat
mukoid atau purulen (Muttaqin, A, 2008).
Tanyakan selama keluhan batuk muncul, apakah ada keluhan lain
seperti demam, keringat malam, atau menggigil yang mirip dengan
demam infuenza karena keluhan demam dan batuk merupakan gejala
awal dari TB paru. Tanyakan apakah batuk disertai sputum yang kental
atau tidak, serta apakah klien mampu untuk melakukan batuk efektif
untuk mengeluarkan sekret yang menempel pada jalan nafas. Apabila
keluhan utama adalah batuk darah maka perlu ditanyakan kembali
berapa banyak darah yang keluar. Saat melakukan anamnesis, perawat
perlu menyakinkan pada klien tentang perbedaan batuk darah dengan
muntak darah karena pada keadaan klinis sering menjadi rancu
(Muttaqin, A. 2008).
Klien TB paru sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah
menimbulkan kecemasan pada diri klien karena batuk darah sering
dianggap sebagai suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya.
Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi jika perawat memberikan
pelayanan keperawatan yang baik pada klien dengan memberi
penjelasan tentang kondisi yang sedang terjadi pada dirinya (Muttaqin,
A, 2008)
Jika keluahan utama atau yang menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah sesak napas, maka perawat perlu
mengarahkan atau menegaskan pertanyaan untuk membedakan antara
sesak nafas yang disebabkan oleh gangguan sistem pernafasan dan
sistem kardiovaskule (Muttaqin, A. 2008).
Sesak nafas yang disebabkan oleh TB paru, biasa akan ditemukan
gejala jika tingkat kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada
hal-hal yang menyertainya seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia
danlain-lain. Agar memudahkan perawat mengkaji keluhan sesak nafas,
maka dapat dibedakan sesuai tingkat klasifikasi sesak. Pegkajian
ringkas dengan menggunakan PQRST dapat lebih memudahkan
perawat dalam melengkapi pengkajian (Muttaqin, A,2008).
1) Provoking incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak nafas, apakah sesak nafas berkurang apabila
beristirahat?
2) Quality of pain : seperti apa rasa sesak nafas yang dirasakan atau
digambarkan klien. Sifat keluhan (karakter), dalam hal ini perlu
ditanyakan kepada klien apa maksud dari keluhan-keluhannya
apakah keluhan sesaknya seperti tercekik atau susah dalam
melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak
dalam melakukan pernafasan?
3) Region : radiation, relief : dimana rasa berat dalam melakukan
pernafasan? Harus ditunjukan dengan tepat oleh klien.
4) Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan
klien bisa berdasarkan skala sesak sesuai klasifikasi sesak nafas dan
klien menerangkan seberapa jauh sesak nafas memengaruhi
aktivitas sehari-hari.
5) Time : berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari. Sifat mua timbulnya (onset),
tentukan apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau
seketika itu juga. Tanyakan apakah timbul gejala secara terus
menerus atau hilang timbul (intermiten). Tanyakan apa yang sedang
dilakukan klien pada waktu gejala timbul. Lama timbulnya (durasi),
tentukan kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset) misalnya
ditanyakan kepada klien apa yang pertama kali dirasakan sebagai
“tidak bisa” atau “tidak enak”. Tanyakan apakah klien sudah pernah
menderita penyakit yang sama sebelumnya (Muttaqin, A. 2008)

c. Riwayat penyakit dahulu


Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada
masa kecil, tuberculosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan
penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum pada masa yang lalu
yang masih relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dengan antitusif.
Catat adanya efek samping yang terjadi dimasa lalu. Adanya alergi obat
yang harus ditanyakan serta reaksi alergi yang timbul. 22 Seringkali
mengacaukan suatu alergi dengan efek samping obat. Kaji lebih dalam
tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan
terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat
dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual
yang sering disebabkan karena minum OAT (Muttaqin, A. 2008)
d. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas
fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat
perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama (Muttaqin, A.
2008).
e. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi
pemerikasaan fisik umum persistem dari observasi keadaan umum,
pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (brain)
B4 (bladder) B5 (bowel), dan B6 (bone) serta pemeriksaan yang fokus
pada B2 serta pemeriksan menyeluruh sistem pernafasan. Pemeriksaan
fisik pada pasien dengan TB paru meliputi :
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Keadaan umum pada kasus TB dapat dilakukan secara selintas
pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu
23 perlu dinilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri
atas composmentis, apatis, samnolen, sopor, soporokoma, atau
koma. Seorang perawat harus mempunyai pengalaman dan
pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum sehingga
dengan cepat dapat menilai keadaan umum, kesadaran, dan
pengukuran GCS bila kesadaran klien menurun yang memerlukan
kecepatan dan ketepatan penilaian. Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila
disertai sesak nafas, denyut nadi biasanya meningkat seirama
dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan
tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyulit
seperti hipertensi.
2) B1 (breathing)
a) Inspeksi Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang
klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat
adanya penurunan proporsi diameter lateral. Pada klien dengan
TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan
pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian,
jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada
parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak
nafas, peningkatan frekuensi nafas dan menggunakan otot bantu
pernapasan. Tanda lainnya adalah klien dengan TB paru 24 juga
mengalami efusi pleura yang masif, penumothoraks, abses paru
masif, dan hidropneumothoraks. Tanda – tanda tersebut
membuat gerakan pernapasan menjadi tidak simetris sehingga
yang terjadi adalah pada sisi yang sakit pergerakan dadanya
tertinggal. Batuk dan sputum saat melakukan pengkajian batuk
pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan batuk produktif
yang disertai dengan adanya peningkatan produksi sekret dan
sekresi sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum
terutama apabila TB paru disertai adanya bronkhietasis yang
membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum
yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi
sputum perhari dengan penunjang evaluasi terhadap intervensi
keperawatan yang telah diberikan.

b) Palpasi
Palpasi trakhea. Adanya pergeseran trakhe menunjukan –
meskipun tetapi tidak spesifik-penyakit dari lobus atau
paru. Pada TB paru yang disertai dengan adanya efusi
pleura masif dan pneumothoraks akan mendorong posisi
trakhea kearah perlawanan disisi yang sakit. Gerakan
dinding thoraks anterior/ ekskrusi pernapasan. TB paru
tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan
dada saat bernafas biasanya normal dan seimbag antara
bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding
pernapasan 25 biasanya ditemukan pada klien TB paru
dengan kerusakan parenkim paru yang luas. Getaran suara
(fremitus fokal). Getaran yang terasa ketika perawat
meletakkan tangannya didada klien saat klien berbicara
adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam
laring arah distal sepanjang pohon bronkhial untuk
membuat dinding dada dalam gerakan resonan, terutama
pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi
pada dinding dada disebut taktil premitus.
c) Perkusi
Pada klien TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya
akan didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh
lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi
redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya
akumulasi cairan dirongga pleura.
d) Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas
tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi
perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil
auskultasi didaerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi
yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbicara
disebut sebagai resonan vokal.
3) B2 (blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang dapat meliputi :
 Inspeksi : inspeksi tentang adanya parut dan keluhan
kelemahan fisik.
 Palpasi : denyut nadi perifer melemah.
 Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru
dengan efusi pleura masif mendorong kesisi sehat.
 Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung
tambahan biasanya tidak didapatkan.
4) B3 (brain)
Kesadaran biasanya composmentis, ditemukan adanya sianosis
perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian
objektif klien tampak dengan wajah meringis, menangis, merintih,
meregang dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata,
biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis pada pasien TB
paru dengan hemaptoe masif dan kronis, dan sklera anikterik dapat
ditemukan pada pasien TB paru dengan gangguan fungsi hati.
5) B4 (bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan.
Oleh karna itu, perawat perlu memonitor adanya uligouria karena
hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan
agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau
yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi
karena minum OAT terutama rifampisin.
6) B5 (bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan,
dan penurunan berat badan.
7) B6 (bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru.
Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia,
pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi tak teratur
(Muttaqin, A, 2008).
f. Pemerikasaan diagnostik
1) Pemeriksaan rontgen thoraks Pada hasil pemeriksaan rontgen
thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan
kelainan pada paru.
2) Pemeriksaan CT Scan Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan
dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita
parenkimal, klasifikasi nodul dan adenopati.
3) Radiologis TB paru Milier Hasil pemeriksaan Rontgen thoraks
bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.
4) Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis terbaik dari penyakit TB paru
diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri
(Muttaqin, A. 2008).
g. Terapi farmakologi yang terjadi pada pasien TB paru
Terapi farmakologi yang terjadi pada pasien TB paru dengan
resimen pengobatan saat ini ( Metode DOTS) :
1) Keterangan Lengkap
a) Ketegori I . Pasien TB paru (TBP) dengan sputum BTA positif.
Table 2.1 Regimen Pengobatan Tb Paru
(sumber: Sudoyo A.W dkk 2006)
Kategori Pasien TB Regimen pengobatan

Fase Awal Fase Lanjutan

1 TBP sputum BTA 2 SHRZ (EHRZ) 6 HE


positif baru. Bentuk 2 SHRZ (EHRZ) 4 HR
TBT berat 2 SHRZ (EHRZ) 4 H3H3
TB ekstra-paru (berat),
TB BTA-negatif
2 Relaps 2 SHZE/I HRZE 5 H3R3E3
Kegagalan pengobatan 2 SHZE/I HRZE
Kembali ke default
3 TBP sputum BTA- 2 HRZ atau H3R3Z3 6 HE
negatif TB extra-paru 2 HRZ atau H3R3Z3 2 HR/4H
(menengah berat) 2 HRZ atau H3R3Z3 2 H3R3/4H
4 Kasus kronis (masih Tidak dapat diaplikasikan
BTA-positif setelah (mempertimbangkan menggunakan obat-
pengobatan ulang yang obatan baris kediua)
disupervisi)
Keterangan :
(1) TB = TB
(2) TBP = Tuberculosis paru
(3) S = Streptomisin
(4) H = Isoniazid
(5) R = Rifampisin
(6) Z = Pirazinamide
(7) E = Etambutol
Membaca regimen, misalnya : 2 SHRZ (EHRZ) / 4 H3R3 menunjukkan
sebuah regimen untuk 2 bulan di antara obat-obatan etambutol, isoniazid,
rifampisin dan pirazinamide yang diberikan setiap hari yang diikuti dengan 4 bulan
isoniazid dan rifampisin yang diberikan tiap hari atau 3 kali seminggu (Sudoyo, Aru
W, 2006).
Dan kasus baru, TB paru lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningiti,
miliaris, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan
gangguan neurologik. Sputum BTA negatif tetapi kelainan di paru luas, TB usus
dan saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimenya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap
hari selama dua bulan obat H,R,Z dan S atau E. Sputum BTA awal yang positif
setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase
selanjutnya 4HR atau 4HɜR3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih tetap positif
setelah dua bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat
apakah sputum sudah negatif atau tidak (Sudoyo, dkk, 2006).
b) Kategori 2
Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif.
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE, yaitu R
dengan H,Z,E setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama
2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif, fase lanjutan
bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA massif positif pada
minggu ke12 , fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi.
Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat
dihentikan selama 30 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji
kepekaan. Obat dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan, yaitu
5H3R3E3 atau 5HRE (Sudoyo, dkk, 2006).
c) Kategori 3 Pasien TB Paru dengan sputum BTA negatif tetapi
kelainan paru tidak luas dan kasus extra-pulmonal (selain kategori
I). Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3E3Z3, yang
diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3 (Sudoyo, dkk,
2006).
d) Kategori 4 TB paru kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami
resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat.
Untuk seumur hidup diberi H saja sesuai rekomendasi WHO untuk
pengobatan TB resistensi ganda (multidrugs resistant tuberculosis
(MDR-TB) (Sudoyo, dkk, 2006). Kortikostreoid diberikan untuk
tuberculosis yang mengenai system saraf pusat (meningitis) dan
perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai
tambahan terapi pada tuberculosis jenis lainnya. Pengobatan
tuberculosis pada pasien dengan HIV positif pada dasarnya tidak
berbeda dengan pengobatan pada pasien dengan HIV negatif. Hal
yang perlu diperhatiakn adalah Rifamoin tidak diberikan pada
pasien HIV positif yang menggunakan obat protease inhibitor
(kecuali obat ritonavir) atau obat non nucleoside reverse
transcriptase inhibitor/NNRTI (kecuali obat efavirenz) (Sudoyo,
dkk, 2006). 31 Salah satu masalah utama pengobatan TB ini adalah
munculnya strain M. tuberculosis yang bersifat resistensi ganda
terhadap obat primer. Resistensi ganda dapat berkembang dengan
salah satu dari dua cara berikut ini yaitu resisten obat primer dan
resistensi obat sekunder. Resistensi obat primer dikembangkan pada
seseorang yang belum menerima pengobatan TB sebelumnya, yaitu
mereka yang terinfeksi dengan strain resistan, sedangkan resistensi
sekunder atau yang diperboleh (acquired resistance) merujuk ke
resistensi yang berkembang selama periode pengobatan. Jenis
resistensi sekunder khususnya merupakan akibat resimen atau lama
pengobatan yang kurang memadai. Agar dapat dicegah, penemuan
atau penambahan modus pengobatan lain yang lebih ampuh sangat
dibutuhkan dengan salah satu tujuannya dapat mengurangi jangka
waktu pengobatan. Pada akhirnya, mungkin beberapa obat yang
berperan sebagai imunomodulator berpotensi untuk memperbaiki
hal ini. Tujuan jenis terapi ini adalah dengan meningkatkan respons
imun pejamu menuju proteksi optimal (Sudoyo, dkk, 2006).
h. Paduan Obat
Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberculosis dahulu diapakai
satu macam obat saja. Kenyataanya dengan pemakaian obat tunggal ini
banyak terjadi resistensi karena sebagian besar basil tuberculosis
memang dapat dibinasakan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil
yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa. Untuk
mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis dilakukan dengan
memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat
bakterisid (Sudoyo, dkk, 2006). Dengan memakai paduan obat ini,
kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena :
a) Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih.
b) Pola resitensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.
Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi
terhadap lebih dari satu obat (multi drugs resistance) terutama terhadap
INH dan rifampisin. Jenis obat yang dipakai :
a) Obat primer (obat antituberkulosis tingkat dua) : Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol.
b) Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat satu) : Kinamisin,
PAS (Para Amino Sallicylic acid), Tiasetazon, Etionamid,
Protionamid, Sikloserin,Rifamviomisin, Kapreomisin,
Amikasin, Oflokasin, Siprofloksasin, Norfloksasin,
Levofloksasin, Klofasimin.
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi TB paru adalah dengan system
jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau
etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan
INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan. Setelah Rifampisin ditemukan
paduan obat menjadi INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol setiap hari (
fase initia ) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau etambutol ( fase lanjut )
(Sudoyo, dkk, 2006).
Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan
memberikan INH + rifampisin + strepsomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z)
setiap hari sebagai fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH =
rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan,
sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan (Sudoyo, dkk, 2006).
Paduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah
: 2 RHZ/4 RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4RɜHɜ, 2 RHS/4R/H/. Untuk TB
paru yang berat (milier) dan tuberculosis extra paru, terapi tahap lanjutan
diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll.
Dengan pemberian terapi jangka panjang pendek akan didapat beberapa
keuntungan seperti waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk
pengobatan menjadi lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang menjadi
berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan menjadi lebih hemat/efisisen (Sudoyo,
dkk, 2006).
Oleh karena itu Departemen Kesehatan RI dalam rangka program
pemberantasan penyakit TB paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan
panduan obat HRE/5 HaRa (isoniazid + rifampisin = etambutol setiap hari selama
satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama
5 bulan). Daripada terapi jangaka panjang HSZ/11 H/Z/ (INH + streptomish +
pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan ) (Sudoyo, dkk, 2006).
Dinegara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini
banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85%
karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan berobat pasien yang
buruk, sehingga menimbulkan populasi TB paru makin meluas, resistensi obat
makin banyak (Sudoyo, dkk, 2006).
i. Dosis Obat
Tabel 2 menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia)
secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan
pasien (Sudoyo, dkk, 2006).

j. Efek Samping Obat


Dalam pemakaian obat-obat anti tuberculosis tidak jarang
ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila
efek ini ditemukan, mungkin obat anti tuberculosis yang bersangkutan
masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tetapi bila efek
samping ini menganggu, obat antituberculosis yang bersangkutan harus
dihentikan pemberianya dan pengobatan dapat diteruskan dengan obat
lain (Sudoyo, dkk, 2006).

Table 2.2
Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Dosis harian Dosis berkala 3x
Nama obat
BB < 50 kg BB > 50 kg seminggu
Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg
Pirazinamid 1000 mg 2.000 mg 2-3 g
Streptomisin 750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol 750 mg 1000 mg 1-1,5 g
Etionamid 500 mg 750 mg
PAS 99 10 g
(Sudoyo A.W, dkk, 2006)

2. Diagnosis keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi
mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, dan
edema trakheal/faringeal.
b. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga
pleura
c. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan kerusakan membran
alveolar-kapiler.
d. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan
metabolisme tubuh.
e. Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas) dan prognosis penyakit
yang belum jelas.
f. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan yang
berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan perawatan di rumah (Muttaqin, A, 2008).
3. Rencana intervensi
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi
mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, dan
edema trakheal/faringeal.
1) Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan bersihan
jalan nafas kembali efektif.
2) Kriteria evaluasi :
a) Klien mampu melakukan baruk efektif.
b) Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot
bantu nafas. Bunyi nafas normal, Rh -/- dan pergerakan pernapasan
normal.
3) Rencana intervensi :
a) Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman,
dan penggunaan otot bantu napas)
b) Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume
sputum, dan adanya hemoptisis.
c) Berikan posisi fowler/semifowler.
d) bantu klien berlatih napas dalam dan batuk efektif
e) Lakukan fisioterapi dada jika perlu
f) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500ml/ hari kecuali tidak
diindikasikan.
g) Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea, bila perlu lakukan
penghisapan (suction) h) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
OAT
b. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengna menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga
pleura
1. Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan pola
nafas kembali efektif
2. Kriteria evaluasi :
a) Klien mampu melakukan batuk efektif
b) Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batas
normal, pada pemeriksaan rontgen dada tidak ditemukan adanya
akumuasi cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.
3. Rencana intervensi :
a) Identifikasi faktor penyebab
b) Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea,
sianosis dan perubahan tanda vital.
c) Berikan posisi fowler/ semi fowler tinggi dan bantu klien
berlatih napas dalam dan batuk efektif
d) Lakukan fisioterapi dada jika perlu
e) Auskultasi bunyi nafas
f) Kaji pengembangan dada dan posisi trakhea
g) Kolaborasi untuk tindakan thorakosintesis atau kalau perlu
WSD 38
h) Bila di pasang WSD : periksa pengontrol pengisap dan jumlah
isapan yang benar
i) Periksa batas cairan pada botol pengisap dan jumlah isapan yang
benar
j) Periksa batas cairan pada botol pengisap dan pertahankan pada
batas yang ditentukan.
k) Observasi gelembung udara dalam botol penampung
l) Setelah WSD di lepas, tutup sisi lubang masuh dengan kassa
steril dan observasi tanda yang dapat menunjukkan berulangnya
pneumothoraks seperti nafas pendek, keluhan nyeri.
c. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan kerusakan
membran alveolar-kapiler.
1. Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan
gangguan pertukaran gas tidak terjadi
2. Kriteria evaluasi :
a) Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea
b) Klien menunjukkan tidak ada gejala distres pernapasan
c) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan
adekuat dengan gas darah arteri dalam rentan normal.
3. Rencana intervensi :
a) Kaji dispnea, takipnea, bunyi nafas, peningkatan upaya
pernapasan, ekspansi thoraks, dan kelemahan
b) Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis, dan
perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
c) Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi
khususnya untuk klien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim
paru.
d) Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, dan bantu kebutuhan
perawatan diri sehari-hari sesuai keadaan klien.
e) Kolaborasi pemeriksaan AGD
f) Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan (Muttaqin, A.
2008).
4. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan
yang telah direncanakan oleh perawat untuk dikerjakan dalam membantu
pasien mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak atau respon
yang ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan ( Zaidin Ali,
2014).
5. Evaluasi
Evaluasi dalam proses keperawatan umumnya merupakan penentuan
dari efektifitas rencana asuhan terhadap seorang pasien (Vaughans, 2013).
Daftar Pustaka
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Smeltzer, S.C., and Bare, B.G. 2015. Medical Surgical Nursing (Vol 1). LWW

Somantri Irman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan


Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Wahid & Imam, 2013. Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta
: CV Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai