OLEH :
PENDIDIKAN KIMIA A
2. Resuspensi sel
Pelet sel kemudian diresuspensikan dalam larutan yang mengandung Tris-
EDTA dan glukosa. Larutan ini umumnya dikenal sebagai larutan atau
solution I. EDTA dalam larutan I berfungsi mengkhelat (mengikat) kation-
kation divalen seperti Mg2+ dan Ca2+. Kedua ion ini berfungsi sebagai
kofaktor yang esensial bagi aktivitas Dnase dalam mencacah molekul DNA.
Selain itu, ion Mg dan Ca diketahui berperan penting dalam memelihara
integritas dan kestabilan membran plasma bakteri sehingga kerja EDTA juga
berfungsi membantu destabilisasi membran. Glukosa berfungsi menjaga
tekanan osmotik sel agar tidak pecah. Keutuhan sel pada tahap ini penting
untuk tetap terpelihara, Dnase yang ada di dalam sel tidak bertemu dengan
DNA plasmid yang akan diisolasi. Penelitian Qiagen menyimpulkan tanpa
glukosa pun, metode alkalin lisis dapat bekerja dengan baik dalam
mengisolasi plasmid.
3. Lisis sel dan Denaturasi DNA
ahap selanjutnya lisis sel dan denaturasi DNA dengan pemberian larutan II
yang terdiri dari SDS dan NaOH. SDS merupakan garam deterjen anionik,
yang ketika dilarutkan dalam air akan berdisosiasi menjadi ion Na + dan dan
dodesil sulfat. Dodesil sulfat adalah molekul deterjen berantai hidrofobik
panjang dengan gugus sulfat bermuatan negatif pada salah satu ujungnya.
Dodesil sulfat akan berikatan dengan bagian interior lipid bilayer pada
membran sehingga mengakibatkan lisis sel. Komponen selular bakteri
termasuk DNA dan RNA akan keluar dan larut dalam. Ion deterjen dodesil
sulfat juga mendenaturasi protein yang ada dalam lisat, dengan jalan
memutuskan ikatan-katan non kovalen (terutama ikatan hidrogen) pada
protein, sehingga kembali ke struktur primernya, sebagai rantai linier
polipeptida. Hal ini membuat protein-protein enzim kehilangan aktivitas
enzimatiknya termasuk enzim Dnase yang dikhawatirkan merusak DNA
plasmid. Pada tahap ini larutan akan berisi asam nukleat (DNA dan RNA)
dan debris sel yang terdapat dalam kompleks dodesil sulfat-lipid-protein.
Sementara itu, NaOH yang bersifat basa membuat seluruh molekul DNA
berutas ganda baik DNA kromosomal maupun plasmid mengalami
denaturasi menjadi utas-utas tunggal. Itulah mengapa metode ini disebut
sebagai metode lisis basa (alkaline lysis). Pada tahapan ini, DNA
kromosomal terpisah sempurna menjadi utas-utas tunggal terpisah;
sedangkan utas tunggal plasmid yang berbentuk lingkaran tetap terhubung,
seperti dua cincin yang saling bertautan. Karakter ukuran dan struktur kedua
jenis DNA inilah yang menjadi dasar pemisahan DNA plasmid dari DNA
kromosomal.
4. Netralisasi
Tahap selanjutnya adalah netralisasi dengan penambahan larutan III sodium
asetat pH ~5,5. Ion K+ bebas yang berasal dari potasium asetat pada larutan
III akan menetralkan muatan negatif dari kompleks kompleks dodesil sulfat-
lipid-protein terdenaturasi, membentuk potasium dodesil sulfat (KDS) yang
tidak larut dan terpresipitasi bersama lipid membran dan protein yang
terdenaturasi. Laju presipitasi KDS dapat ditingkatkan dengan inkubasi pada
suhu es (4oC).
Larutan III adalah sodium asetat yang diatur pHnya ke 5,5 menggunakan
asam asetat. Asam asetat berfungsi menetralkan suasana basa yang
diciptakan oleh ion hidroksida dari NaOH yang diberikan pada tahap lisis
sebelumnya. Ketika pH larutan kembali netral, ikatan-ikatan hidrogen antar
basa utas tunggal DNA terbentuk kembali, sehingga molekul tersebut dapat
berenaturasi menjadi DNA berutas ganda. Proses renaturasi inilah yang
menjadi tahap seleksi bagi plasmid. Utas-utas tunggal sirkular DNA plasmid
yang yang berukuran kecil dan tetap saling bertautan dapat berenaturasi
sempurna membentuk utas ganda yang tetap berada dalam larutan;
sedangkan DNA kromosomal yang berukuran jauh lebih besar dari plasmid
tidak dapat berenaturasi sempurna, membentuk struktur kusut tak beraturan
yang terperangkap dan ikut terpresipitasi bersama kompleks KDS-lipid-
protein. Oleh karena itu, pencampuran pada tahap lisis sel harus dilakukan
dengan perlahan. Pengocokan yang kuat (misalnya vortex) akan
mengakibatkan molekul DNA kromosom akan terpotong menjadi fragmen-
fragmen yang kecil yang dapat ikut berenaturasi seperti halnya DNA
plasmid, dan mengkontaminasi DNA plasmid.
5. Purifikasi
Purifikasi bertujuan untuk membersihkan isolat dari kontaminasi bahan
selain DNA. Pada tahap ini, kontaminan yang umum terdapat dalam larutan
adalah protein dan komponen buffer yang digunakan dalam tahap
sebelumnya seperti garam potasium asetat, SDS, dan EDTA. Terdapat
berbagai metode purifikasi DNA hasil ekstraksi. Salah satu metode
tradisional yang efektif dan relatif murah untuk purifikasi DNA plasmid
adalah metode ekstraksi fenol-kloroform. Campuran pelarut organik ini
secara signifikan dapat mendenaturasi protein dan melarutkan komponen
lipid. Jumlah fenol-kloroform yang ditambahkan umumnya satu kali volume
larutan yang akan dipurifikasi. Umumnya fenol-kloroform disiapkan dalam
bentuk campuran fenol-kloroform-isoamil alkohol dengan perbandingan
volume 25:24:1. Campuran fenol-kloroform adalah campuran yang
homogen. Fenol-kloroform dan air tidak dapat bersatu sehingga akan
terbentuk dua fase yakni fase air (fase aqueous) dan fase fenol-kloroform.
Fenol-kloroform lebih ‘berat’ daripada air sehingga fasenya berada di bawah
fase air. Kedua fase kemudian dicampur dengan cara vorteks. Pencampuran
akan membuat fenol merangsek ke dalam lapisan air dan membentuk emulsi
droplet. Protein akan terdenaturasi dan terperangkap dalam fase fenol-
kloroform, sedangkan DNA tetap berada di air. Kedua fase kemudian dapat
dipisahkan dengan baik dengan sentrifugasi. Fase atas yang berisi DNA akan
dapat dengan mudah diambil dengan pemipetan, dan fase fenol-kloroform
dapat dibuang.
6. Pemekatan DNA
Pemekatan DNA bertujuan memisahkan DNA dari larutan sehingga
diperoleh konsentrasi yang lebih tinggi. Cara sederhana dan murah untuk
memisahkan DNA dari larutan dapat dilakukan dengan presipitasi etanol.
Prosedur dasarnya adalah etanol absolut ditambahkan ke larutan DNA.
Proses presipitasi etanol umumnya dapat dibantu dengan penambahan
garam. Setelah perlakuan itu, DNA akan terpresipitasi dan dapat dipeletkan
dengan sentrifugasi. Selanjutnya pelet DNA dicuci dengan etanol 70%.
Kemudian pelet dikeringkan dan setelah itu dilarutkan kembali ke dalam air
atau buffer tris EDTA (TE). Berikut sekelumit penjelasan mengenai
mekanisme presipitasi etanol.
Ekstraksi fenol-kloroform dan presipitasi etanol.
Sebagai pelarut polar, molekul air memiliki muatan negatif parsial di sekitar
atom oksigennya, dan muatan positif parsial di sekitar atom hidrogennya.
Oleh karena itu DNA yang bermuatan negatif dapat berinteraksi dengan
molekul air, dan larut di dalamnya. Garam berfungsi untuk menetralkan
muatan pada kerangka gula fosfat. Garam yang umum dipakai adalah
sodium asetat. Selain sodium asetat 0,3 M, sodium klorida 0,3 M dan
amonium asetat 2,5 M juga dapat digunakan sebagai garam alternatif. Dalam
larutan, sodium asetat terdisosiasi menjadi ion sodium (Na +) dan ion
[CH3COO]–. Kation monovalen dalam hal ini ion (Na +) sodium akan
menetralkan muatan negatif pada gugus fosfat (PO43-) DNA, sehingga
membuat molekulnya kurang larut dalam air.
Namun demikian penambahan garam saja tidak serta merta menyebabkan
presipitasi DNA dari larutan. Interaksi antar ion dalam larutan dipengaruhi
oleh Gaya Coulumb yang sangat bergantung pada konstanta dielektrik
pelarut. Air sebagai pelarut memiliki konstanta dielektrik yang tinggi
sehingga membuat ion sodium dan gugus fosfat DNA sulit untuk
berinteraksi. Sebaliknya etanol memiliki konstanta dielektrik yang jauh lebih
rendah daripada air. Penambahan etanol akan menurunkan konstanta
dielektrik larutan sehingga memudahkan interaksi ion sodium dan gugus
fosfat DNA. Netralisasi muatan pada gugus fosfatnya membuat DNA
menjadi kurang hidrofilik dan akhirnya keluar dari larutan (terpresipitasi).
DNA akan terpresipitasi pada larutan dengan konsentrasi akhir etanol
minimal 70%. Oleh karena itu, dibutuhkan etanol absolut sebanyak 2-2,5
kali volume sampel. Inkubasi campuran DNA-garam-etanol pada suhu
rendah (-20oC atau -80oC) umum digunakan dalam prosedur presipitasi.
Suhu rendah mendukung flokulasi DNA untuk membentuk kompleks
presipitat yang lebih besar, sehingga dengan mudah terpeletkan dengan
sentrifugasi. Pencucian dengan etanol 70% berfungsi untuk menghilangkan
sisa-sisa garam yang masih terikut pada pelet DNA hasil presipitasi. Pelet
yang ada dikeringkan dengan menguapkan sisa etanol pada suhu ruang atau
dapat pula dengan menggunakan oven bersuhu 50oC atau speed vacum.
Yang terpenting untuk diingat adalah jangan sampai membuat pelet DNA
terlalu kering. Hal ini akan menyulitkan resuspensinya dalam air atau buffer.
Pelet DNA kemudian dilarutkan dengan air bidestilata (double destiled
water) atau buffer Tris-EDTA (TE) pH 7,5. Stok DNA dapat disimpan pada
suhu -20 atau -80oC. Prinsipnya, semakin rendah suhu penyimpanan, maka
semakin baik kualitas preservasinya. Untuk penyimpanan jangka panjang
DNA umumnya dilarutkan dalam buffer TE. Buffer Tris yang berpH netral
akan menjaga DNA dari proses depurinasi yang terjadi pada pH rendah.
Selain itu, buffer TE dapat mencegah degradasi DNA oleh nuklease, karena
EDTA dalam TE mengkhelat kation-kation divalen (seperti Mg2+ dan Ca2+)
yang menjadi kofaktor Dnase. Akan tetapi, hal ini membuat DNA dengan
pelarut TE kurang cocok digunakan untuk aplikasi hilir enzimatis, contohnya
PCR, karena EDTA mengikat Mg2+ yang merupakan kofaktor bagi Taq
polimerase. Oleh karena itu untuk stok DNA yang akan segera dipakai atau
hanya disimpan untuk jangka waktu pendek, penyimpanan dalam pelarut air
lebih disarankan.
Dalam prakteknya isopropanol juga dapat digunakan untuk presipitasi DNA.
Isopropanol kurang volatil daripada etanol sehingga butuh waktu lebih lama
untuk diuapkan. Selain itu, beberapa garam kurang larut dalam isopropanol
(dibandingkan dengan dalam etanol) dan akan lebih cenderung terpresipitasi
bersama dengan DNA. Oleh karena itu, pencucian ekstra dengan etanol 70%
perlu dilakukan untuk menghilangkan kontaminasi garam. Isopropanol
memiliki kelebihan karena jumlah volume yang dibutuhkan untuk presipitasi
DNA hanya setengah dari jumlah volume etanol.
2. Isolasi DNA
Tahap selanjutnya adalah mengisolasi DNA, Isolasi DNA diawali dengan
perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat dilakukan baik dengan
cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh maupun dengan cara
enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah lisis sel. Bahan-
bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam medium
bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu diperlakukan
dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium dodesil
sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus disertai dengan perusakan
membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis, remukan-remukan sel harus
dibuang. Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi.
Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti
kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis
dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel
masih tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk
membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut
kemudian dimurnikan dengan penambahan amonium asetat dan alkohol atau
dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl.
3. Pemotongan DNA
Setelah isolasi DNA plasmid dan DNA sumber selanjutnya adalah pemotongan
DNA atau restriksi DNA. Untuk pemotongan DNA yakni menggunakan enzim
restriksi Enzim restriksi adalah enzim yang digunakan untuk memotong DNA
secara spesifik. Enzim restriksi disebut sebagai gunting biologi. Enzim ini
diisolasi dari bakteri. Restriksi yang digunakan untuk memotong plasmid harus
sama dengan pemotong DNA asing agar urutan basanya bisa sesuai sehingga
antara plasmid dan DNA asing yang disisipkan bisa bersatu. Penamaan enzim
restriksi diambil dari enzim yang diambil dari bakteri yang menghasilkan enzim
tersebut misalnya EcoR1 yakni
R RY13 Strain
Urutan Urutan enzim
I penemuan yang ditemukan
pada bakteri
Pada tabel 1 penamaan enzim restriksi terlihat bahwa enzim tersebut diperoleh
dari bakteri Escherichia coli yang memiliki bentuk strain dan I adalah urutan
enzim yang ditemukan pada bakteri atau untuk membedakan enzim yang
berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.
Enzim restriksi memiliki peran dalam hal digesti. Digesti yaitu teknik
pemotongan fragmen
DNA dengan
menggunakan enzim
retriksi. Proses digesti
dengan menggunakan
enzim bergantung dari
pengenalan enzim
tersebut terhadap
sequence DNA yang
akan dipotong yang
ditunjukan dengan area
seperti pada gambar 4
peta plasmid .Adapun
prinsip kerja enzim
restriksi adalah:
Hasil pemotongan enzim restriksi terdiri atas dua macam yaitu sticky ends
dan blunt ends tergantung dari enzim tersebut.
Perbedaan pemotongan yang berupa sticky end dan blunt end dapat dilihat
pada table 4
D. DAFTAR PUSTAKA
Brown, T.A. 2010. Gene Cloning & DNA Analysis An Introduction Sixth
Edition. Ebook
Hornby, A.S. 1990. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford
University Press
Lehninger, A.L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 3. Jakarta: Erlangga
Mizarwati. 2003. Penerapan Teknik-Teknik Kloning Gen Dalam Kehidupan
Manusia. USU digital library
Nugroho, E.D., Rahayu D.A. 2017. Pengantar Bioteknologi (Teori dan
Aplikasi). Ebook
Wangko, S., Kristanto, E. 2010. Kloning Manfaat Versus Masalah. Jurnal
Biomedik Volume 2 Nomor 2. P (88-94). Manado: Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi