Anda di halaman 1dari 5

TUGAS SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

OLEH

NAMA : WILMUS GAMEL NINO

NPM : 21 16 0 039

SEMESTER : VIIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

UNIVERSITAS TIMOR

KEFAMENANU

2019
A. LATAR BELAKANG

Dinamika ketatanegaraan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan dinamika


perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD)
1945. Secara teoritis pengubahan dan perubahan suatu konstitusi dapat dilihat sebagai bagian
dari sebuah proses penyempurnaan ketatanegaraan sebagai akibat dinamika perubahan sistem
politik hukum dan demokratisasi. Upaya penyempurnaan atas kekurangan lahiriah yang terdapat
dalam suatu konstitusi, menurut K.C. Wheare dapat dilakukan melalui formal amandement,
constitutional convension, ataupun judicial interpretation. Seiring dengan hal tersebut,
penyempurnaan dan pengubahan terhadap UUD 1945 baik perubahan pertama, kedua, ketiga dan
keempat (bahkan kelima nanti) diharapkan mampu menciptakan dan mengawal transisi politik
kekuasaan yang otoritarianisme menuju era demokrasi konstitusional sebagai upaya menciptakan
pemerintahan yang demokratis baik pada level nasional (pemerintah pusat) mapun pada level sub
nasional (pemerintah daerah).
Pada era reformasi muncul gumpalan aspirasi dan gugatan kuat agar pemilu sebagai sarana
paling nyata bagi pelaksanaan demokrasi harus diselenggarakan secara benar-benar langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada pemilu tahun 1999 kita boleh bergembira karena
berhasil menyelenggarakan secara ralatif fair dan bersih, terutama jika dibandingkan dengan
pemilu era Orde Baru. Meskipun harus diakui pada tingkat Panitia Pemilihan Indonesia yang
diisi dengan orang-orang parpol itu terjadi kekisruhan dalam penetapan hasil pemilu, tetapi akal
sehat publik (public commen sense) menyatakan bahwa pemilu tahun 1999 adalah pemilu yang
terbaik setelah pemilu yang pertama tahun 1955. Tetapi problem atau ancaman bagi
penyelenggaraan pemilu yang membaik itu muncul lagi sejak pemilu legislatif tahun 2004, lalu
menguat lagi pada pemilu tahun 2009, terutama terkait dengan isu politik uang (money politic)
dan gejala menguatnya oligarki di kalangan partai politik. Problem yang tidak kondusif, bahkan
mengacam demokrasi, ini bisa dilihat dari berbagai kasus yang dimuat secara telanjang di
berbagai media massa dan menjadi kasus sengketa hasil pemilu dan pemilu kepala daerah di
Mahkamah Konstitusi. Selain itu, permasalahan lain yang seringkali terjadi dalam Pemilu baik
pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah adalah terkait
dengan daftar pemilih yang tidak akurat (daftar pemilih tetap), manipulasi dalam perhitungan
suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, netralisasi institusi penyelenggara, dan berbagai
permasalahan lainnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu.
Terdapat beberapa alasan mengapa Pemilu menjadi penting bagi sebuah negara
demokrasi. Pertama, melalui Pemilu dapat dibangun basis dan konsep demokrasi. Tanpa Pemilu,
tanpa persaingan yang terbuka di antara kekuatan sosial dan kelompok politik, maka tidak ada
demokrasi. Kedua, Pemilu melegitimasi sistem politik. Ketiga, mengabsahkan kepemimpinan
politik. Keempat, pemilu sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara-negara demokrasi.
Oleh karena itu, dinamika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan manifestasi dan
perwujudan hak-hak politik dan demokrasi rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan
ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, pemilihan kepala daerah
juga dimaksudkan untuk mengukur tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap
seorang pemimpin.
Secara yuridis, dasar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis
(langsung) dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa ”Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah
Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Apabila kita mencermati amanat
konstitusi tersebut, maka pemilihan kepala daerah tersebut tidak disebutkan secara tegas
mengenai apakah pemilihan kepala daerah tersebut termasuk didalamnya pemilihan Wakil
Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota dipilih secara demokratis dalam satu pasangan
calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun demikian, setelah keluarnya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian ditafsirkan termasuk di
dalamnya adalah gubernur, bupati, dan walikota memiliki pasangan seorang wakil yang juga
dipilih sebagai satu pasangan calon. Hal mana telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 56 UU No
32 Tahun 2004 ditentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas
dan rahasia, jujur dan adil. Pasangan tersebut harus diajukan oleh partai politik atau gabungan
partai politik seperti halnya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Namun, implementasi kebijakan desentralisasi politik telah menimbulkan dinamika politik
yang cukup tinggi dalam kurun waktu 2005-2014, di mana penyelenggaraan Pilkada membawa
implikasi yang negatif di satu sisi, yakni membawa potensi tidak terselenggaranya pemerintahan
daerah secara efektif dan efisien, sekaligus memicu terjadinya konflik-konflik horizontal. Oleh
karena itu, berdasarkan latar belakang berbagai problematika yang ada serta pemahaman bahwa
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU tentang Pemerintahan
Daerah sudah tidak sejalan dengan tuntutan demokrasi kekinian saat ini, maka pengaturan
tentang Pemilihan Kepala Daerah perlu diatur dalam UU tersendiri. Terkait dengan pengaturan
Pilkada dalam UU tersendiri ini, DPR-RI telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang). Undang- Undang ini antara lain diarahkan untuk
memproyeksikan format Pilkada yang ideal kedepan, sekaligus meletakan Pilkada secara
konsisten dalam konfigurasi ketatanegaraan Indonesia dengan menata kembali mekanisme
Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di Indonesia dengan berbagai dinamika sosial-politik
dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu Pilkada serentak selain dimaksudkna untuk
memperkuat demokrasi di aras lokal juga merupakan mekanisme untuk melahirkan pemerintahan
daerah yang mampu menciptakan akuntabilitas dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, kesetaraan hak warga negara dalam berpolikan serta bagi penguatan demokrasi nasional.
Selain itu, salah tujuan dilaksanakannya Pilkada serentak baik pemilihan gubernur, bupati,
walikota adalah agar terciptanya efektivitas dan efisiensi anggaran negara. Misalnya saja,
pemilihan Gubernur yang berbarengan dengan pemilihan Bupati atau Walikota, pembiayaan atas
petugas TPS hanya perlu dibayarkan satu kali termasuk biaya bimbingan teknis, biaya sosialisasi,
dan biaya-biaya lain untuk pembiayaan satu kali pemilihan, termasuk proses rekapitulasi
pemilihan gubernur, proses pemungutan dan perhitungan suara bupati, walikota. Dalam
kaitannya dengan efisiensi anggaran ini, KPU juga melakukan pembatasan pengeluaran biaya
kampanye. Pembatasan dilakukan dengan memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan,
perkiraan jumlah peserta, standar biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan, cakupan
wilayah dan kondisi geografis, logistik dan manajemen kampanye. Hal ini dilakukan KPU agar
para calon kepala daerah diharapkan tidak terjebak dengan politik uang (money politic). Problem
lainnya yang menjadi perhatian utama KPU dalam penyelenggaraan Pilkada serentak adalah
terkait dengan sosialisasi. Sebab partisipasi pemilih Pilkada secara nasional telah diambang titik
kritis, terutama di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Medan, Surabaya dan Bandung.
Terkait dengan sosialisasi ini menurut KPU, setidaknya ada tiga metode yang akan digunakan
untuk aktivitas sosialisasi, yakni komunikasi massa seperti tatap muka, pertemuan terbatas,
diskusi; iklan di media cetak, elektronik, media sosial dan sosialisasi melalui berbagai jejaring
yang dimiliki KPU.
Berdasarkan uraian diatas, pertanyaan mendasar dalam penulisan ini berfokus pada:
Pertama: Problem-problem apa sajakah yang seringkali terjadi dalam pelaksanaan pemilihan
kepala daerah di Indonesia. Kedua: apakah Pilkada serentak dapat memperkuat demokrasi dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia ?. dan apakah Pilkada serentak juga merupakan momentum
konsolidasi sistem demokras Pancasila?
Oleh karena itu, sebelum Penulis menguraikan atau membahas lebih lanjut mengenai
artikel ini, maka terlebih dahulu membahas beberapa teori yang relevan dengan topik
pembahasan dalam penulisan ini, terutama mengenai bagaimana hubungan teoretik antara partai
politik dalam sebuah negara demokrasi dengan proses demokrasi itu sendiri (baca: pemilu),
termasuk bagaimana pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

B. Analisis Fakta

Setelah digelar pertama kali sejak 2005, pemilihan kepalda aderah (Pilkada) belum
berhasil melahirkan atau memunculkan kepala daerah yang berkualitas. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemilihan kepala daerah tidak hanya melahirkan pemimpin- pemimpin baru hasil pilihan
rakyat, tetapi juga melahirkan segudang permasalahan baru. Praktik politik uang yang semakin
massif, konflik, sengketa, bahkan kerusuhan selalu membayangi penyelenggaraan Pilkada.
Memang, kondisi ini tidak terjadi di semua daerah, karena ada kepala daerah hasil Pilkada yang
berhasil memimpin daerahnya. Namun, jika melihat data bahwa sejak 2004, sudah ratusan lebih
kepala daerah dan mantan kepala daerah menjadi tersangka atau dipidana dalam pelbagai perkara
korupsi yang tiap tahun terus meningkat. Hal ini tentu menjadi problem tersendiri dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga Pilkada perlu dibenahi secara komprehensif.
Selain itu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah disinyalir
menjadi salah satu pangkal terseretnya para kepala daerah dalam pusaran penyelewengan
anggaran. Permasalahan Pilkada yang semakin menyeruak ini kemudian oleh Kementerian Dalan
Negeri –mengambil inisitif untuk menata Pilkada melalui Pilkada serentak sebagai pintu masuk
untuk menata sistem penyelenggaraan Pilakda secera menyeluruh agar jauh lebih baik dan
efisien. Aturan Pilkada yang selama ini dititipkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
(UU 32/2004) dirasa tidak mampu menjawab tantangan dan problematika Pilkada yang semakin
kompleks. Untuk itulah saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang- Undang No. 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Dengan UU baru ini, diharapkan Pilkada bisa lebih maju, lebih
baik, dan lebih sempurna, bahkan bisa mengurangi serta menghilangkan semua masalah-masalah
yang muncul dalam Pilkada, mengingat salah satu permasalahan terbesar dalam pelaksanaan
Pilkada selama ini adalah –belum berhasil melahirkan dan memunculkan pemimpin kepala
daerah yang berintegritas, berkualitas, bebas korupsi. Persoalan lainnya, ‘ongkos’ Pilkada terlalu
tinggi (biaya penyelenggaraan dan biaya yang harus dikeluarkan pada calon), kerap terjadi
politisasi dalam jabatan birokrasi, praktik politik uang yang semakin massif, dan banyak
persoalan lainnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan
daerah tidak berjalan efektif.
Beranjak dari berbagai problem dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, maka
perlu dilakukan berbagai langkah konsolidasi dalam berdemokrasi. Konsolidasi demokrasi
merupakan upaya dinamis yang perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan
kualitas demokrasi (baca: pemilu/pilkada). Setidaknya, saat ini kita dihadapkan pada tiga
fenomena sosial yang mengharuskan adanya evaluasi atas sistem, kultur, dan aturan
berdemokrasi.
Pertama, sistem demokrasi dalam konteks pemilihan kepala daerah yang menggantungkan
kedaulatan rakyat ternyata tidak selalu menghasilkan kepala daerah yang bertindak sesuai
aspirasi rakyat.
Kedua, penyelenggaraan pemerintahan cenderung tidak stabil, tidak efektif dan cenderung
terjadi politisasi jabatan dalam birokrasi, berjalannya demokrasi tidak berbanding lurus dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Problem ini perlu dipikirkan langka-langkah perbaikan dan
pembenahan sistem Pilkada itu sendiri dalam kontek demokrasi Indonesia, khususnya
demokrasi Pancasila yang sesuai dengan kultur dan idelologi bangsa Indonesia.
Ketiga; politik uang (money politic) selalu “tercium” dalam setiap pelaksanaan Pilkada dan
telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Politik uang yang sejatinya merupakan proses suap-
menyuap (gratifikasi) telah bergeser menjadi kewajaran, baik bagi calon maupun masyarakat.
Pada masa Orde Baru, memang sangat mungkin juga terjadi politik uang, namun saat itu hal
tersebut masih dilakukan secara tersembunyi. Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi
tergadai. Calon yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki oleh
rakyat. Sebaliknya, para calon terpilih pun lebih memerhatikan kepentingan sendiri daripada
kepentingan rakyat. Karena merasa sudah “membeli” suara rakyat, tidak ada hubungan lagi
antara kepada daerah terpilih dengan rakyat pemilih. Jual-beli sudah selesai.
Keempat; terjadi politisasi birokrasi baik menjelang Pilkada maupun sesudah Pilkada. Hal
ini mengakibatkan kekacauan dalam dunia pegawai negeri sipil (PNS) di daerah, di mana
birokrasi dipaksa oleh politik Pilkada untuk main taktik dalam pemilihan sehingga menjadi tidak
netral dan professional. Saat pemilihan usai, pegawai yang dianggap tidak memihak calon yang
menang akan di nonjob-kan semua dari jabatannya, sedangkan yang dianggap memihak akan
diberi kedudukan padahal tidak sesuai dengan kompetensinya. Bayangkan bagaimana
pemerintahan diurus berdasarkan koncoisme seperti itu. Ini sangat serius dan tidak boleh
terjadi lagi dalam Pilkada-Pilkada kedepan, jika pemerintah konsisten menata Pilkada ini dalam
konteks demokrasi Pancasila kedepan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
C. SOLUSI (KESIMPULAN)

Keempat problem tersebut di atas, memunculkan gagasan untuk memperbaiki sistem dan
cara pemilihan kepala daerah secara serentak sesuai dinamika perkembangan demokrasi dan cara
berdemokrasi. Kontestasi politik lokal dan kepemerintahan yang terus berkembang. Perubahan
konstestasi politik lokal ini terjadi ketika DPR menyetujui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala
daerah (Pilkada) secara serentak dilakukan pada Desember 2015 dan secara bertahap Pilkada
serentak akan dilakukan hingga 2019. Pada akhirnya bangsa ini berhasil keluar dari kemelut
politik; debat panjang soal langsung tidaknya penyelenggaraan Pilkada. Keputusan DPR
menyudahi itu dengan menegaskan bahwa Pilkada tetap dilaksanakan secara langsung dan
serentak. Kendatipun pelaksanaan pemilihan kepala daerah dari waktu ke waktu masih saja
menjadi problem, terjadi kesemrautan dan indikasi kecurangan di berbagai lini. Namun, dari
berbagai indikasi tentang adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkada merupakan bagian
tersendiri dari sebuah proses politik. Disisi lain, keadaan itu dapat dilihat sebagai kemajuan
dalam demokrasi kita karena kesemrawutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama dari
seluruh komponen. Artinya bahwa kesemrawutan yang sebenarnya merupakan kemunduran
Pilkada ini merupakan kemajuan demokrasi, karena ia menjadi tanggung jawab bersama, tidak
karena hegemoni negara seperti yang terjadi pada rezim yang lalu. Oleh karena itu, berbagai
problem yang terjadi dalam sistem Pilkada dalam kurun waktu 2005-2007 berdasarkan rezim UU
No. 32/2004; kurun waktu 2008-2013 berdasarkan rezim UU 12/2008, UU 22/2007, UU
15/2011 dan kurun waktu 2015 berdasarkan rezim UU 1/2015 sebagaimana telah diubah
dengan UU 8/2015, maka hal penting yang menjadi perhatian dan tanggungjawab baik
pemerintah dan penyelenggaraa (KPU) dan semua elemen bangsa adalah, memastikan bahwa
sistem Pilkada yang selama ini terus mengalami kemunduran, maka Pilkada serentak 2015
menjadi sebuah keniscayaan dan momentum penting untuk menata sistem Pilkada di Indonesia
agar lebih berkualitas dan zero conflict. Hal ini sangat penting, mengingat Pilkada serentak 2015
menjadi model Pilkada serentak berikutnya, mengingat Pilkada serentak 2015 merupakan tahap
pertama yang akan menentukan perjalanan tahap Pilkada berikutnya dari tiga tahapan Pilkada
serentak yang akan dilaksanakan hingga 2027.
Untuk menghilangkan budaya Money Politik adalah dengan memberikan sosialisasi dari
pihak penyelenggara pemilu kepada seluruh lapisan masyarakat yang belum paham tentang arti
dari demokrasi. Jika yang dilakukan hanyalah dengan memberikan penyluhan atau pelatihan
kepada para tim dari berbagai kalangan Calon, maka tindakan ‘Jual Beli’ suara akan mendarah
daging dan bahkan akan menjadi budaya yang buruk bagi generasi penerus.

Anda mungkin juga menyukai