OLEH
NPM : 21 16 0 039
SEMESTER : VIIA
UNIVERSITAS TIMOR
KEFAMENANU
2019
A. LATAR BELAKANG
B. Analisis Fakta
Setelah digelar pertama kali sejak 2005, pemilihan kepalda aderah (Pilkada) belum
berhasil melahirkan atau memunculkan kepala daerah yang berkualitas. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemilihan kepala daerah tidak hanya melahirkan pemimpin- pemimpin baru hasil pilihan
rakyat, tetapi juga melahirkan segudang permasalahan baru. Praktik politik uang yang semakin
massif, konflik, sengketa, bahkan kerusuhan selalu membayangi penyelenggaraan Pilkada.
Memang, kondisi ini tidak terjadi di semua daerah, karena ada kepala daerah hasil Pilkada yang
berhasil memimpin daerahnya. Namun, jika melihat data bahwa sejak 2004, sudah ratusan lebih
kepala daerah dan mantan kepala daerah menjadi tersangka atau dipidana dalam pelbagai perkara
korupsi yang tiap tahun terus meningkat. Hal ini tentu menjadi problem tersendiri dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga Pilkada perlu dibenahi secara komprehensif.
Selain itu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah disinyalir
menjadi salah satu pangkal terseretnya para kepala daerah dalam pusaran penyelewengan
anggaran. Permasalahan Pilkada yang semakin menyeruak ini kemudian oleh Kementerian Dalan
Negeri –mengambil inisitif untuk menata Pilkada melalui Pilkada serentak sebagai pintu masuk
untuk menata sistem penyelenggaraan Pilakda secera menyeluruh agar jauh lebih baik dan
efisien. Aturan Pilkada yang selama ini dititipkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
(UU 32/2004) dirasa tidak mampu menjawab tantangan dan problematika Pilkada yang semakin
kompleks. Untuk itulah saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang- Undang No. 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Dengan UU baru ini, diharapkan Pilkada bisa lebih maju, lebih
baik, dan lebih sempurna, bahkan bisa mengurangi serta menghilangkan semua masalah-masalah
yang muncul dalam Pilkada, mengingat salah satu permasalahan terbesar dalam pelaksanaan
Pilkada selama ini adalah –belum berhasil melahirkan dan memunculkan pemimpin kepala
daerah yang berintegritas, berkualitas, bebas korupsi. Persoalan lainnya, ‘ongkos’ Pilkada terlalu
tinggi (biaya penyelenggaraan dan biaya yang harus dikeluarkan pada calon), kerap terjadi
politisasi dalam jabatan birokrasi, praktik politik uang yang semakin massif, dan banyak
persoalan lainnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan
daerah tidak berjalan efektif.
Beranjak dari berbagai problem dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, maka
perlu dilakukan berbagai langkah konsolidasi dalam berdemokrasi. Konsolidasi demokrasi
merupakan upaya dinamis yang perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan
kualitas demokrasi (baca: pemilu/pilkada). Setidaknya, saat ini kita dihadapkan pada tiga
fenomena sosial yang mengharuskan adanya evaluasi atas sistem, kultur, dan aturan
berdemokrasi.
Pertama, sistem demokrasi dalam konteks pemilihan kepala daerah yang menggantungkan
kedaulatan rakyat ternyata tidak selalu menghasilkan kepala daerah yang bertindak sesuai
aspirasi rakyat.
Kedua, penyelenggaraan pemerintahan cenderung tidak stabil, tidak efektif dan cenderung
terjadi politisasi jabatan dalam birokrasi, berjalannya demokrasi tidak berbanding lurus dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Problem ini perlu dipikirkan langka-langkah perbaikan dan
pembenahan sistem Pilkada itu sendiri dalam kontek demokrasi Indonesia, khususnya
demokrasi Pancasila yang sesuai dengan kultur dan idelologi bangsa Indonesia.
Ketiga; politik uang (money politic) selalu “tercium” dalam setiap pelaksanaan Pilkada dan
telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Politik uang yang sejatinya merupakan proses suap-
menyuap (gratifikasi) telah bergeser menjadi kewajaran, baik bagi calon maupun masyarakat.
Pada masa Orde Baru, memang sangat mungkin juga terjadi politik uang, namun saat itu hal
tersebut masih dilakukan secara tersembunyi. Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi
tergadai. Calon yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki oleh
rakyat. Sebaliknya, para calon terpilih pun lebih memerhatikan kepentingan sendiri daripada
kepentingan rakyat. Karena merasa sudah “membeli” suara rakyat, tidak ada hubungan lagi
antara kepada daerah terpilih dengan rakyat pemilih. Jual-beli sudah selesai.
Keempat; terjadi politisasi birokrasi baik menjelang Pilkada maupun sesudah Pilkada. Hal
ini mengakibatkan kekacauan dalam dunia pegawai negeri sipil (PNS) di daerah, di mana
birokrasi dipaksa oleh politik Pilkada untuk main taktik dalam pemilihan sehingga menjadi tidak
netral dan professional. Saat pemilihan usai, pegawai yang dianggap tidak memihak calon yang
menang akan di nonjob-kan semua dari jabatannya, sedangkan yang dianggap memihak akan
diberi kedudukan padahal tidak sesuai dengan kompetensinya. Bayangkan bagaimana
pemerintahan diurus berdasarkan koncoisme seperti itu. Ini sangat serius dan tidak boleh
terjadi lagi dalam Pilkada-Pilkada kedepan, jika pemerintah konsisten menata Pilkada ini dalam
konteks demokrasi Pancasila kedepan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
C. SOLUSI (KESIMPULAN)
Keempat problem tersebut di atas, memunculkan gagasan untuk memperbaiki sistem dan
cara pemilihan kepala daerah secara serentak sesuai dinamika perkembangan demokrasi dan cara
berdemokrasi. Kontestasi politik lokal dan kepemerintahan yang terus berkembang. Perubahan
konstestasi politik lokal ini terjadi ketika DPR menyetujui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala
daerah (Pilkada) secara serentak dilakukan pada Desember 2015 dan secara bertahap Pilkada
serentak akan dilakukan hingga 2019. Pada akhirnya bangsa ini berhasil keluar dari kemelut
politik; debat panjang soal langsung tidaknya penyelenggaraan Pilkada. Keputusan DPR
menyudahi itu dengan menegaskan bahwa Pilkada tetap dilaksanakan secara langsung dan
serentak. Kendatipun pelaksanaan pemilihan kepala daerah dari waktu ke waktu masih saja
menjadi problem, terjadi kesemrautan dan indikasi kecurangan di berbagai lini. Namun, dari
berbagai indikasi tentang adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkada merupakan bagian
tersendiri dari sebuah proses politik. Disisi lain, keadaan itu dapat dilihat sebagai kemajuan
dalam demokrasi kita karena kesemrawutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama dari
seluruh komponen. Artinya bahwa kesemrawutan yang sebenarnya merupakan kemunduran
Pilkada ini merupakan kemajuan demokrasi, karena ia menjadi tanggung jawab bersama, tidak
karena hegemoni negara seperti yang terjadi pada rezim yang lalu. Oleh karena itu, berbagai
problem yang terjadi dalam sistem Pilkada dalam kurun waktu 2005-2007 berdasarkan rezim UU
No. 32/2004; kurun waktu 2008-2013 berdasarkan rezim UU 12/2008, UU 22/2007, UU
15/2011 dan kurun waktu 2015 berdasarkan rezim UU 1/2015 sebagaimana telah diubah
dengan UU 8/2015, maka hal penting yang menjadi perhatian dan tanggungjawab baik
pemerintah dan penyelenggaraa (KPU) dan semua elemen bangsa adalah, memastikan bahwa
sistem Pilkada yang selama ini terus mengalami kemunduran, maka Pilkada serentak 2015
menjadi sebuah keniscayaan dan momentum penting untuk menata sistem Pilkada di Indonesia
agar lebih berkualitas dan zero conflict. Hal ini sangat penting, mengingat Pilkada serentak 2015
menjadi model Pilkada serentak berikutnya, mengingat Pilkada serentak 2015 merupakan tahap
pertama yang akan menentukan perjalanan tahap Pilkada berikutnya dari tiga tahapan Pilkada
serentak yang akan dilaksanakan hingga 2027.
Untuk menghilangkan budaya Money Politik adalah dengan memberikan sosialisasi dari
pihak penyelenggara pemilu kepada seluruh lapisan masyarakat yang belum paham tentang arti
dari demokrasi. Jika yang dilakukan hanyalah dengan memberikan penyluhan atau pelatihan
kepada para tim dari berbagai kalangan Calon, maka tindakan ‘Jual Beli’ suara akan mendarah
daging dan bahkan akan menjadi budaya yang buruk bagi generasi penerus.