Topik PDF
Topik PDF
Xt = φ1 Xt−1 + εt
Agar variansi dari model AR(1) berhingga maka nilai parameter dibatasi
antara 0 < |φ1 | < 1. Batasan parameter ini menjadi syarat kestasioneran
untuk model AR(1).
Kemudian dilakukan simulasi pola ACF untuk model AR(1) dengan param-
eter yang berbeda-beda dan memenuhi syarat kestasioneran model AR(1)
yang telah dijelaskan diatas.
1
(a) (b)
(a) (b)
Dari gambar1 dan gambar2 terlihat bahwa data deret waktu yang dibangk-
itkan tidak stasioner. Untuk gambar1 terlihat bahwa meannya berubah-ubah
bergantung terhadap waktu sedangkan untuk gambar2, variansi nya berubah-
ubah bergantung terhadap waktu. Hal ini dikarenakan nilai parameternya
tidak memenuhi syarat kestasioneran. Kemudian fungsi autokorelasi dari
masing-masing parameter menurun sangat perlahan. Dengan demikian data
yang dibangkitkan tidak stasioner.
(a) (b)
Dari gambar3 dan gambar4 terlihat bahwa data deret waktu yang dibangk-
itkan bersifat stasioner (lemah), dikarenakan mean yang tidak bergantung
terhadap waktu. Hal ini sangat dimungkinkan karena nilai parameternya
2
(a) (b)
(a) (b)
Xt = φ1 Xt−1 + φ2 Xt−2 + εt
ρk = φ1 ρk−1 + ρk−2 , ∀k = 1, 2, . . .
Agar variansi dari model AR(1) berhingga maka nilai parameter dibatasi
3
sebagai berikut:
φ1 + φ2 < 1
φ2 − φ1 < 1
|φ2 | < 1
(a) (b)
Gambar 6: Plot Grafik dan ACF model AR(2) dengan ψ1 = 1 dan ψ2 = −0.5
(a) (b)
Gambar 7: Plot Grafik dan ACF model AR(2) dengan ψ1 = 0.5 dan ψ2 = 0.3
Dari gambar6 dan gambar7 dapat dilihat bahwa data deret waktu yang
dibangkitkan bersifat stasioner (lemah), dikarenakan dari gambar tersebut
terlihat bahwa meannya tidak bergantung terhadap waktu. Hal tersebut
dimungkinkan karena nilai parameternya memenuhi syarat kestasioneran.
Kemudian dapat juga dilihat bahwa fungsi autokorelasi dari masing-masing
parameter turun secara eksponensial.
4
(a) (b)
Gambar 8: Plot Grafik dan ACF model AR(2) dengan ψ1 = −0.5 dan ψ2 =
0.6
Dari gambar8 terlihat dari plot grafik bahwa data deret waktu yang dibangk-
itkan tidak stasioner karena variansi nya berubah-ubah bergantung terhadap
waktu. Hal tersebut dimungkinkan karena nilai parameternya tidak memenuhi
syarat kestasioneran. Untuk gambar8 diatas syarat kestasioneran tidak ter-
penuhi karena φ2 −φ1 > 1. Kemudian fungsi autokorelasi dari masing-masing
parameter menurun secara perlahan sehingga data yang dibangkitkan tidak
stasioner.
(a) (b)
Gambar 9: Plot Grafik dan ACF model AR(2) dengan ψ1 = −0.5 dan ψ2 =
0.5
Dari gambar9 terlihat dari plot grafik bahwa data deret waktu yang dibangk-
itkan tidak stasioner karena variansi nya berubah-ubah bergantung terhadap
waktu. Hal tersebut dimungkinkan karena nilai parameternya tidak memenuhi
syarat kestasioneran. Kemudian fungsi autokorelasi dari masing-masing pa-
rameter menurun secara perlahan sehingga data yang dibangkitkan tidak
stasioner.
5
(a) (b)
Gambar 10: Plot Grafik dan ACF model AR(2) dengan ψ1 = 0.5 dan ψ2 = 1
Dari gambar10 terlihat bahwa data deret waktu yang dibangkitkan tidak sta-
sioner karena variansi nya berubah-ubah bergantung terhadap waktu. Hal
tersebut dimungkinkan karena nilai parameternya tidak memenuhi syarat
kestasioneran. Untuk gambar10 diatas syarat kestasioneran tidak terpenuhi
karena φ1 + φ2 > 1 dan nilai φ2 = 1. Kemudian fungsi autokorelasi dari
masing-masing parameter menurun secara perlahan sehingga data yang dibangk-
itkan tidak stasioner.
Xt = εt + θ1 εt−1
Selanjutnya dilakukan simulasi pola ACF untuk model MA(1) dengan pa-
rameter yang berbeda-beda.
6
(a) (b)
(a) (b)
(a) (b)
Gambar 13: Plot Grafik dan ACF model MA(1) dengan θ1 = 0.9
(a) (b)
Gambar 14: Plot Grafik dan ACF model MA(1) dengan θ1 = −0.9
7
(a) (b)
Kemudian dari gambar diatas terlihat bahwa fungsi autokorelasi selalu cut
off di lag 1, dimana hal ini merupakan ciri khas dari model MA(1). Namun
pada gambar15 terlihat pada lag pertama dan seterusnya, fungsi autokore-
lasi masuk dalam batas signifikansi yang berarti bahwa data yang diperoleh
saling bebas. Hal tersebut memungkinkan karena ketika nilai θ = 0 maka
model MA(1) menjadi proses white noise.
8
Moving Average (MA) orde 2
Misalkan {Xt } adalah proses stokastik pada waktu t. {Xt } dikatakan mengikuti
model MA(1) jika memenuhi persamaan berikut:
Xt = εt + θ1 εt−1 + θ2 εt−2
Selanjutnya dilakukan simulasi pola ACF untuk model MA(2) dengan pa-
rameter yang berbeda-beda.
(a) (b)
Gambar 16: Plot Grafik dan ACF model MA(2) dengan θ1 = 0.5 dan θ2 = 0.3
(a) (b)
Gambar 17: Plot Grafik dan ACF model MA(2) dengan θ1 = 1 dan θ2 = 0.5
9
(a) (b)
Gambar 18: Plot Grafik dan ACF model MA(2) dengan θ1 = 0.5 dan θ2 = −1
(a) (b)
Gambar 19: Plot Grafik dan ACF model MA(2) dengan θ1 = −0.3 dan
θ2 = −0.6
(a) (b)
Gambar 20: Plot Grafik dan ACF model MA(2) dengan θ1 = 0 dan θ2 = 0
10
Selanjutnya dari gambar diatas terlihat bahwa fungsi autokorelasi selalu cut
off di lag 2, dimana hal ini merupakan ciri khas dari model MA(2). Namun
pada gambar20 terlihat pada lag pertama dan seterusnya, fungsi autokore-
lasi masuk dalam batas signifikansi yang berarti bahwa data yang diperoleh
saling bebas. Hal ini memungkinkan karena bila nilai θ1 = 0 dan θ2 = 0
maka model MA(2) menjadi proses white noise.
Kesimpulan
Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
4. Model Moving Average memiliki fungsi autokorelasi yang selalu cut off
pada lag sesuai dengan jumlah parameter dari model, misalnya ACF
dari MA(1) akan selalu cut off pada lag 1, ACF dari MA(2) akan selalu
cut off pada lag 2, dan seterusnya.
11