Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH FIQH MUAMALAH

Qardh, Hiwalah dan Khafalah

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan nilai pada mata kuliah
Fiqh Muamalahh
DISUSUN
1. ITA PURNAMA (17.2400.007)
2. KARMILA (17.2400.029)
3. MUH. ADRIYANZAH (17.2400.040)
4. NURUL QISTI (17.2400.050)
5. DARMA PRATIWI (17.2400.063)
6. S. NURRAHIMAH (17.2400.081)
7. A. PUTRI (1.2400.099)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam
karena atas izin dan kehendakNya jualah sehingga makalah sederhana ini dapat
kami rampungkan tepat pada waktunya.
Penyusunan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fiqhi Muamalah, sebagai salah satu syarat penilaian. Adapun yang
kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai Qardh, Hiwalah dan
Khafalah, yang merupakan salah satu pembahasan yang sesuai dengan jurusan
kami yaitu Ekonomi Syariah, sebagai salah satu jurusan yang ada di IAIN
PAREPARE.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang
dikarenakan terbatasnya ilmu pengetahuan kami dan referensi mengenai hal yang
berkenan dengan penyusunan makalah ini.Oleh karena itu sudah sepatutnya kami
berterima kasih kepada dosen pembimbing kami yakni Pak Muhammad Majdy
Amiruddin, Lc, M.MA, yang telah memberikan limpahan ilmu yang berguna
kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih minim. Dalam
makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin.Tapi kami yakin makalah
ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga
kritik yang membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harapan kami, makalah ini dapat menjadi sumber dan referensi bagi kami
dalam mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat
berguna bagi orang lain yang membacanya.

Parepare, 20 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
A. PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1. Latar Belakang.......................................................................................................1
2. Rumusan Masalah..................................................................................................1
B. PEMBAHASAN.......................................................................................................2
1. Pengertian Qard......................................................................................................2
3. Dasar Hukum Akad Qardh.....................................................................................6
4. Apliksai Qard di Lembaga Keuangan Syariah........................................................8
5. Pengertian Hiwalah..............................................................................................12
6. Rukum dan Syarat Hiwalah..................................................................................13
7. Dasar Hukum Hiwalah.........................................................................................15
8. Aplikasi Hiwalah di Lemnaga Kuangan Syariah..................................................15
9. Pengertian Khafalah.............................................................................................16
10. Rukun dan Syarat Khafalah..................................................................................18
11. Dasar Hukum Khafalah........................................................................................20
12. Aplikasi Khafalah dalam Kehidupan Sehari-hari.................................................21
C. PENUTUP...............................................................................................................25
1. Simpulan..............................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................26

ii
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam Hukum Islam diperintahkan untuk bekerja sekuat tenaga untuk
mencari rizki yang halal. Dalam menjalankan usahanya dilarang melakukan
transaksi riba dan dianjurkan untuk memanifestasikan sejumlah nilai-
nilai akhlaqul karimah seperti tolong-menolong.
Prinsip At Ta'âwunadalah salah satu prinsip dalam Hukum Islam. Prinsip
tolong-menolong dalam ketakwaan merupakan salah satu faktor penegak agama
karena dengan tolong menolong akan menciptakan rasa saling memiliki di antara
umat sehingga akan lebih mengikat persaudaraan. Selain itu secara lahiriah
manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian karena manusia
butuh berinteraksi dengan sesamanya. Dengan
Salah satu bentuk aplikasi prinsip tolong menolong adalah dalam
akad qardh, hiwalah dan khafalah  merupakan salah satu perwujudan prinsip
tolong menolong dalam praktek bank syariah. Oleh karena itu di dalam makalah
ini penulis akan membahas tentang akad-akad pinjam-meminjam.
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Qardh?
b. Apa saja rukun Qard?
c. Apa saja dasar hukum Qardh?
d. Bagaimana aplikasi Qard dalam kehidupan sehari-hari?
e. Apa yang dimaksud dengan Hiwalah?
f. Apa saja rukun Hiwalah?
g. Apa saja dasar hukum Hiwalah?
h. Bagaimana aplikasi Hiwalah dalam kehidupan sehari-hari?
i. Apa yang dimaksud dengan Khafalah?
j. Apa saja rukun Khafalah?
k. Apa saja dasar hukum Khafalah?
l. Bagaimana aplikasi Khafalah dalam kehidupan sehari-hari?

1
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Qard
Secara etimologis, qardh merupakan bentuk mashdar dari kata qaradha asy-
syai’- yaqridhu, yang berarti dia memutuskannya. Qardh adalah bentuk mashdar
yang berarti memutuskan. Dikatakan, qaradhu sya’ia bilmiqradh atau memutus
sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik
untuk dibayar.1
Menurut al- Burthi dalam kitabnya Kasyf al-Qana memberikan definisi qardh
secara etimologis sebagai berikut:
َّ ‫ض‬
‫الش ْي َء‬ ‫ الْ َقط‬: ‫(و ُهو) فِي اللُّغَ ِة‬ ‫وح ِك َي َك ْس ِر َها‬ ِ ‫بب الْ َقلر ض بَِف ْتح الْ َق‬
َ ‫اضر‬
َِ‫صقْتَِدرُر َق‬
ْ ِ ‫ َم‬، ‫ْع‬
ُ َ ُ ‫اف‬ ُ ْ ‫َيقٌٍر‬
َ ِ ٍ
‫ص َدرب َمغْنَى اال‬ْ ‫اس ُم َم‬ ْ ‫ض‬ُ ‫ َوالْ َق ْر‬،‫اض‬ُ ‫الر ِاء قَطَ َعهُ َوم ْنهُ الْم ْق َر‬
ِ ِ َّ ‫ضهُ بِ َك ْس ِر‬
ُ َْ
“Qardh dengan harakat fathah atau kasrah pada huruf qaf, secara etimologi
berarti potongan. Qardh adalah bentuk mashdar dari kata qaradha al-sya’I yang
memiliki makna memotong sesuatu. Qardh adalah isim mashdar yang bermakna
al-iqtiradh, yaitu meminta potongan.”
Adapun definisi qardh secara terminology dikemukakakn oleh para ulama
fikih sebagai berikut :
Menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud dengan qardh secara etimologi
adalah sebagai berikut :
‫ هو عقد‬: ‫ هو ما تعطيه من مال مثلي لتتقا ضاه ـ أوبعبارة أخرى‬: ‫واصطالحاً عند الحنفية‬
‫مخصوص يرد على دفع مال مثلي آلخر ليد مثله‬
“Secara istilah, qardh adalah sesuatu yang diberikan dari harta mitsli (harta
yang terdapatnya padanannya di pasar) untuk diutangkan. Atau dengan
ungkapan lain, qardh adalah akad tertentu yang menyerahkan harta mitsi kepada
orang lain, agar orang tersebut mengembalikan nilai yang sama.
Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan qardh secara etimologi
adalah sebagai berikut :
‫تمليك الشيءعلى أن يرد مثله‬
“Pemilikan sesuatu atas dasar dikembalikan dengan nilai yang sama.”
Menurut ulama Hanabilah, yang dimaksud dengan qardh secara etimologi
adalah sebagai berikut :
‫ دفع مال لمن ينتفع به ويردبدله‬: ‫ الفرض‬: ‫ قالوا‬-‫الحنا بلة‬
“Menyerahkan harta kepada orang yang memanfaatkan dengan ketentuan ia
mengembalikan gantinya (dengan nilai yang sama).
Dalam konteks hukum di Indonesia, menurut pasal 20 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES), qardh didefinisikan sebagai penyediaan dana atau
1
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.233

2
tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu. Adapun menurut Fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.19/DSN-MUI/IV/2001
tentang Qardh, yang dimaksud dengan qardh adalah pinjaman yang diberikan
kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.2
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa qardh adalah
pinjaman uang atau modal yang diberikan seseorang kepada pihak lainnya, di
mana pinjaman tersebut digunakan untuk usaha atau menjalankan bisnis tertentu.
Pihak peminjam berkewajiban mengembalikan pinjaman tersebutu sesuai dengan
jumlah yang dipinjamnya tanpa bergantung pada untung atau rugi usaha yang
dijalankannya. Pinjaman qardh juga tidak berbunga karena prinsip qardh ini
adalah tolong menolong berdasarkan firman Allah Qur’an surah Al-Maidah ayat 2
sebagai berikut :
‫ْح َـر َام‬
َ ‫ت ال‬ َ ‫ي َواَل الْ َقاَۤل ئِ َد َواَلۤ ٰآ ٍِّم ْي َن الَْب ْي‬َ ‫ال َْه ْد‬ ‫ْح َـر َام َواَل‬ َّ ‫يٰـۤاَُّي َها الَّ ِذيْ َن ٰا َم ُن ْوا اَل تُ ِحلُّ ْوا َش َعآئَِر ال ٰلّ ِه َواَل‬
َ ‫الش ْه َر ال‬
‫ُّو ُك ْم َع ِن‬ ٰ ِ ِ ْ ‫ضاًل ِّم ْن َّربِِّه ْم َو ِر‬
ْ َِ ْ َ ْ ِ ُ ِ َ َ ْ ُ َ ْ َ‫ۗ َواَل ي‬
‫د‬ ‫ص‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ق‬
َ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ش‬ ‫م‬ ‫ك‬ َّ
‫ن‬ ‫م‬‫ر‬ ‫ج‬ ‫اد ْوا‬
ُ َ‫اصط‬ ْ َ‫ض َوانًا ۗ َوا َذا َحلَلْتُ ِْم ف‬ ْ َ‫َي ْب َـتغُ ْوَِن ِف‬
‫ان ۖ َو َّات ُقوا‬ ‫َواَل َت َع َاو ُن ْوا َعلَى ااْل ثْم َوالْعُ ْد َو‬ ۖ ‫الت ْق ٰوى‬َّ ‫ْح َـر ِام اَ ْن َت ْعتَ ُد ْوا ۘ َوَت َع َاو ُن ْوا َعلَى الْب ِّر َو‬ ‫الْمسجد ال‬
ِ ‫ال ٰلَّهَ ْ ۗ اِ َّن ال َٰلّهَ َش ِديْ ُد ال ِْع َق‬
‫اب‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban
yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya.
Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu.
Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-
halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2)
Kara qardh ini kemudian diadopsi menjadi credo (Romawi), credit
(inggris), dan kredit (Indonesia). Objek dari pinjaman qardh biasanya adalah uang
atau alat tukar lainnya yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa bunga
ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini bank)
dan hanya mengembalikan pokok utang pada waktu tertentu di masa yang akan

2
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.235

3
datang. Peminjam atas prakarsa sendiri dapat mengembalikan lebih besar sebagai
ucapan terimah kasih.
Ulama-ulama tertentu membolehkan pemberi pinjaman untuk membebani
biaya jasa pengadaan pinjaman. Biaya jasa ini bukan merupakan keuntungan,
melainkan merupakan biaya actual yang dikeluarkan oleh pemberi pinjaman,
seperti biaya sewa gedung, gaji pegawai, dan peralatan kantor. Hukum Islam
memperbolehkan pemberi pinjaman untuk meminta kepada peminjam untuk
membayar biaya-biaya operasi diluar pinjaman pokok agar biaya ini tidak
menjadi bunga terselubung komisi atau biaya ini tidak boleh dibuat proporsional
terhadap jumlah pinjaman.
2. Rukun dan Syarat Qard3
Rukun qardh menurut ulama Hanafiyah adalah ijab dan kabul. Sementara itu,
menurut Jumhur ulama rukun qardh ada tiga, yaitu: 1) dua orang yang berakad
terdiri dari: muqridh (yang memberikan utang) dan muqtaridh (orang yang
berutang); 2) qardh (barang yang dipinjamkan); 3) shighat ijab dan kabul. Adapun
yang menjadi syarat qardh adalah sebagai berikut :
a. Dua pihak yang berakad, yakni orang yang berutang (muqtaridh) dan orang
yang memberikan pinjaman (muqridh), disyaratkan :
1) Baligh, berakal cerdas dan merdeka, tidak dikenakan hajru. Artinya, cakap
bertindak hukum;
2) Muqridh adalah orang yang mempunyai kewenangan kekuasaan untuk
melakukan akad tabaruu’. Artinya, harta yang diutangkan merupakan
miliknya sendiri. Berkaitan ini, ulama Hanabilah merinci syarat ahliyah
al-tabaruu’ bagi pembari utang, bahwa seorang wali anak yatim tidak
boleh mengutangkan anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak
boleh mengutangkan harta wakaf. Syafi’iyah merinci permasalahan
tersebut. Mereka berpendapat, bahwa seorang wali tidak boleh

3
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.239

4
mengutangkan harta orang yang dibawah perwaliannya, kecuali dalam
keadaan darurat.
b. Harta yang diutangkan (qardh) disyaratkan :
1) Harta yang diutangkan merupakan mal mitsilyat, yakni harta yang dapat
ditakar (makilat), harta yang ditimbang (mauzunat), harta yang dapat
diukur (zari’at), dan harta yang dapat dihitung (addiyat). Ini merupakan
pendapat ulama Hanafiyah.
2) Setiap harta yang dapat dilakukan jual-beli saham, baik itu jenis harta
makilat, mauzunat, maupun addiyat. Ini merupakan pendapat ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Atas dasar ini tidak sah
mengutangkan manfaat (jasa). Hal ini merupakan pendapat jumhur fukuha.
3) Al-Qabdh atau penyerahan. Akad utang-piutang tidak sempurna, kecuali
dengan adanya serah terima karena di dalam akad qardh ada tabarru’.
Akad tabarru’ tidak akan sempurna, kecuali dengan serah terima (al-
qabdh). Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
‫اليتم التبرع اال با لقبض‬
“ tidak sempurna akad tabarru’ (akad yang tidak diperuntukkan untuk
mencari keuntungan), kecuali setelah diserahkan.
4) Utang-piutang tidak memunculkan keuntungan bagi muqridh (yang
mengutangkan)
5) Utang itu menjadi tanggung jawab muqtaridh (orang yang berutang.)
artinya orang yang berutang mengembalikan utangnya dengan harga atau
nilai yang sama.
6) Barang itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan dalam Islam (mal
mutawaqawwim).
7) Harta yang diutangkan diketahui, yakni diketahui kadar dan sifatnya.
8) Pinjaman boleh secara mutlak, atau ditentukan dengan batas waktu.

c. Shighat Ijab Kabul

5
Akad qardh dinyatakan sah dengan adanya ijab dan kabul berupa lafaz
qardh atau yang sama pengertiannya, seperti:”aku memberimu utang” atau
“aku mengutangimu”. Demikian pula kabul sah dengan semua lafaz yang
menunjukkan kerelaan, seperti “aku berutang” atau “aku menerima”, atau
“aku ridho”, dan sebagainya.
Akad utang-piutang dimaksud untuk tolong-menolong dengan sesame,
bukan untuk mencari keuntungan dan eksploitasi. Karena itu, dalam utang-
oiutang tidak dibenarkan mengambil keuntungan oleh pihak muridh (orang
yang menguntungkan). Apabila disyarakatkan ada tambahan dalam
pembayaran, hukumnya haram dan termasuk riba, seperti yang dijelaskan oleh
Rasulullah Saw.dalam sebuah hadis sebagai berikut:
‫ كل قرض جر منفعة فهو وجه من‬: ‫عن فضالة بن عبيد صا حب النبي صلى اللَّه عليه وسلم أنه قال‬
)‫وجه من وجوه الربا (رواه البيهقي‬
“Dari Fadhlah Ibn Ubaid bahwasanya Nabi Saw.bersabda : setiap utang-
piutang yang mendatangkan manfaat adalah salah satu bentuk
riba.”(HR.Baihaqi).
Jika tidak disyaratkan dan tidak ditentukan ada tambahan dalam
pembayaran utang-piutang, maka hal tersebut tidak termasuk riba. Apabila ada
inisiatif atau niat dari orang yang berutang untuk melebihkan pembayaran
utangnya merupakan hal yang sangat dianjurkan Rasulullah Saw. Hal ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra.yang
menceritakan, bahwa seorang laki-laki telah menagih piutangnya kepada Nabi
Muhammad Sa.di hadapan sahabat. Kemudian Nabi Muhammad SAW
memrintahkan sahabat untuk membayar dengan sama.
3. Dasar Hukum Akad Qardh
Landasan yurudis disyariatkan akad qardh berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,
dan Ijma’. Adapun landasan akad qardh berdasarkan Al-Qur’an adalah sebagai
berikut :

‫ط ۖ َو اِل َْي ِه ُت ْر َجعُ ْو َن‬ ٰ ٰ ِ


ُ‫ص‬ُ ‫ض َو َي ْب‬ ْ َ‫ضا َح َسنًا َفيُض ِٰع َفهٗ لَهٗۤ ا‬
ُ ِ‫ض َعافًا َکثِْي َر ًة ۗ َواللّهُ َي ْقب‬ ُ ‫َم ْن ذَا الَّذ ْي ُي ْق ِر‬
ً ‫ض اللّهَ َق ْر‬

6
“Siapakah yang mau member pinjaman kepada Allah, Pinjaman yang baik
(menfkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya kamu kembalikan.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 245).

‫ال ال ٰلّهُ اِنِّ ْي َم َع ُك ْم ۗ لَئِ ْن اَقَ ْمتُ ُم‬ َ َ‫َولََق ْد اَ َخ َذ ال ٰلّهُ ِم ْيث‬
َ َ‫اق بَنِ ْۤي اِ ْس َرآ ِءيْ َل ۚ َو َب َع ْثنَا ِم ْن ُه ُم ا ْثنَ ْي َع َش َر نَِق ْٰيبًا ۗ َوق‬
ِ ٰ َّ ِّ ‫اَّل‬
‫ضا َح َسنًا ُ َكف َرن َع ْن ُك ْم َسيِّات ُك ْم‬ ً ‫ضتُ ُم ِاللّهَ َِق ْر‬ ِ ِ ٰ َّ ‫الص ٰلوةَ َو ٰاَت ْيتُ ُم‬
ْ ‫الز ٰكوةَ َوا َمِْنتُ ْم ب ُر ُِسل ْي َو َع َّز ْرتُ ُم ْو ُه ْم َواَق َْر‬ َّ
ِ
‫السب ْي ِل‬
َّ ‫ض َّل َس َوآ َء‬ َ ‫ك م ْن ُك ْم َف َق ْد‬ ٰ
َ ‫ت تَ ْجر ْي م ْن تَ ْحت َها ااْل َْن ٰه ُر ۚ فَ َم ْن َك َف َر َب ْع َد ذل‬ ِ ٍ ّ‫واَلُ ْد ِخلَـنَّ ُكم ج ٰن‬
َ ْ َ
“Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan
kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-
dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surge yang
mengalir air di dalamnya sungai-sungai.” (QS. Al-Maidah [5]: 12)
Adapun landasan hukum akad qard dari al-Sunnah adalah sebagai berikut :
ً ‫ض ُم ْسلِ ًما َق ْر‬ ِ ِ ِ ِ ٍ
‫ضا َم َّرَت ْي ِن إِاَّل َكا َن‬ َ ‫َع ْن ابْ ٍنِ َم ْسعُود أَ ْن النَّبِ َِّي‬
ُ ‫صلَّىِ اللَّه َعلَْيه َو َسٍلَّ َم قَ َل َما م ْن ُم ْسل ِم ُي ْق ِر‬
)‫ك أَْنبَأَني اتَ ُن َم ْسعُود (رواه ابن ماجه‬ َ ‫ص َدقَت َها َم َّر ًة قَال َك َذل‬ َ ‫َك‬
“Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda: “Tidaklah seorang musim memberi pinjaman kepada orang lain dua
kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama.” Ia berkata. “Seperti itu pula
yang diberitakan Ibnu Mas’ud kepadaku.” (HR. Ibn Majah)
ٍ ِ‫س بْ ِن مال‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
‫ال‬
َ َ‫ك ق‬
ِ ََّ ِ َ‫َع ْن أَن‬
‫ض‬ ‫ر‬ ‫ق‬ْ
‫ل‬ ‫ا‬
ُ ْ َ َ َِ‫و‬ ‫ها‬ ‫ال‬ ‫َمث‬
‫أ‬ ‫ر‬ ‫ش‬ ‫ع‬‫ب‬
َ ُِ‫ة‬‫ق‬
َ ‫د‬ ‫الص‬
َّ ‫ا‬ ‫وب‬ ‫ْت‬
‫ك‬ ‫م‬
ًَّ ُ َ َِ‫َّة‬
‫ن‬ ‫ْج‬‫ل‬ ‫ا‬ ‫اب‬ َ ِ َ َ ِ ْ َ ْ ُ ْ َ َِ َِ َ ْ َ ُ ‫ول الل‬
‫ب‬ ‫ى‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫ي‬‫ر‬ ‫ُس‬‫أ‬ ‫ة‬ ‫ل‬
َ ‫َي‬
‫ل‬ ‫ت‬ ‫َي‬
‫أ‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬َ‫ل‬‫ع‬ ‫ه‬ ُ ‫قَ َل َر ُس‬
‫ض‬ ِ
‫ر‬ ‫ق‬‫ت‬ ‫س‬ ‫ْم‬‫ل‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫د‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫َل‬ ‫أ‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ئ‬ ‫ا‬ ‫الس‬ ‫َن‬ ‫أل‬ ‫ال‬‫ق‬ ‫ة‬‫ق‬ ‫د‬ ‫الص‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ض‬ ‫ف‬ َ
‫أ‬ ‫ض‬ ‫ر‬ ِ ِ
ُ ْ َ ْ ُ َ ُ َ ْ َ ْ َ َّ ُ َ َ َ َّ
َ ْ َُ ْ ْ َ َ َ ُ ْ ِْ َ ُ ِ ُ َ‫بثَ َمانيَهَ َِع َ َ ِاَّل‬
‫ق‬ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ال‬
ُ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ر‬ ‫ب‬ ‫اج‬‫ي‬ ‫ْت‬ ‫ل‬‫ق‬‫ف‬ ‫ر‬‫ش‬
)‫اجة (رواه ابن ماجه‬ َ ‫ض إ م ْن َح‬ ُ ‫الَيَ ْسَت ْقر‬
“Dari Anas bin Malik ia berkat, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda : “pada malam aku diisyaratkan aku melihat di atas pintu surge tertulis
‘Sedekah akan dikalikan menjadi sepuluh kali lipat, dan member pinjaman
dengan delapan belas kali lipat’. Maka aku pun bertanya: “Wahai Jibril, apa
sebabnya memberi utang lebih utama ketimbang sedekah?” Jibril menjawab:
“Karena saat seorang peminta meminta, (terkadang) ia masih memiliki (harta),
sementara orang yang meminta pinjaman, ia tidak meminta pinjaman kecuali
karena ada butuh.” (HR. Ibn Majah)
Adapun berdasarkan ijma (konsensus), kaum musliman juga telah bersepakat,
bahwa qardh diisyaratkan dalam bermuamalah. Hal ini karena dalam akad qardh
terdapat unsure untuk meringankan beban orang lain tanpa mengharap imbalan
dan berdasarkan prinsip tolong-menolong. Karena qardh merupakan akad
pinjaman tanpa adanya syarat (tanpa adanya bunga). Adapun landasan qardh
dalam konteks peraturan hukum di Indonesia terdapat dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 612-617.4
4. Apliksai Qard di Lembaga Keuangan Syariah

4
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.239

7
Dalam literature fikih, akad qardh merupakan akad tabarru (sosial) bukan
akad tijarah (komersial). Pada perbankan syariah, akad qardh diluncurkan pada
produk al- qardh. Produk ini berdasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qard, yakni suatu akad injam kepada
nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang
diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan
Nasabah.
Dikalangan perbankan, produk ini dinamakan al- qardh al-hasan, yakni
pinjaman sosial yang diberikan secara lunak kepada nasabah (masyarakat miskin)
yang mengelola usaha kecil tanpa pengembalian imbalan apapun dari pinjaman
tersebut. Di dalam produk ini, bank menyalurkan dana kepada masyarakat dengan
tujuan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin yang membutuhkan
dana dalam usahanya.
Dari produk al- qardh al-hasan ini membuktikan, bahwa Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) di samping sebagai lembaga komersial, juga harus dapat berperan
sebagai lembaga social. Landasan hukum yang dipakai dalam produk ini adalah
Al-Qur’an Al-Hadid ayat 11:
‫ضا َح َسنًا َفيُض ِٰع َفهٗ لَهٗ َولَهٗۤ اَ ْج ٌر َك ِريْ ٌم‬ ٰ ِ
ُ ‫َم ْن ذَا الَّذ ْي ُي ْق ِر‬
ً ‫ض اللّهَ َق ْر‬
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak.” (QS.Al-Hadid [57]:11)
Aplikasi akad qardh Lembaga Keuangan Syariah (LKS), uang yang dititpkan
nasabah kepada LKS yang biasanya menggunakan akad wadi’ah dapat berubah
menjadi akad qardh. Perubahan ini terjadi apabila LKS menggunakan dana atau
uang tersebut untuk dimanfaatkan atau diinvestasikan dalam kegiatan bisnis atau
penggunaan uang tersebut untuk dikembangkan. Namun demikian, bila ada
keuntungan yang dipatok dengan bunga tertentu, maka hal ini tidak dibenarkan
dalam syariat kalau pihak bank tidak memberikan bunga, namun menggunakan
dan titipan tersebut untuk melakukan kredit ribawi dan praktik-praktik yang
diharamkan lainnya, hal ini juga tidak diperbolehkan.5
5
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.246

8
Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan, menurutnya ada tiga macam deposito.
Pertama, deposito yang mempuyai nilai yang terus bertambah karena
diinvestasikan. Kedua, deposito yang memiliki pemasukan lancar, dimana
keuntungan atau laba dapat ditarik setiap setengah atau satu tahun, sementara
pokok pinjaman masih utuh. Ketiga, deposito yang tidak memberikan laba pasti
setiap tahun, namun nasabah diberi keuntungan dengan cara undian.
Berdasarkan ketiga jenis depositto tersebut, jenis pertama dan kedua menurut
Wahbah al-Zuhaili masuk ke dalam kategori qardh, namun yang dilarang karena
ada keuntungan ribawi. Begitu pula yang ketiga, meskipun tidak memberikan laba
pasti, namun pemberian hadiah dengan undian hanyalah hilah untuk memberikan
bunga kepada nasabah pemberi pinjaman.
Praktik qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS), mengingat sifatnya
bukan transaksi mu’awadhah (komersial) dan tanpa kompensasi, maka qardh
menggunakan sumber dana yang bersal.
a. Untuk membantu dana talangan yang bersifat jangka pendek, digunakan
modal bank.
b. Untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan sosial, digunakan dana
yang bersumber dari zakat, infak, dan sedekah.
Sementara Ismail menyatakan, bahwa asal dana qardh adalah sebagai berikut:
a. Qardh yang diperlukan untuk pemberian dana talangan kepada nasabah
yang memiliki deposito di bank syariah yang jumlahnya sedikit dan jangka
waktunya pendek sehingga bank syariah tidak diragukan.
b. Qardh yang digunakan untuk memberikan pembiayaan kepada pedagang
asongan (pedagang kecil) atau lainnya, sumber dana bersal dari dana
zakat, infak, dan sedekah dari nasabah atau para pihak yang
menitipkannya kepada bank syariah.
c. Qardh untuk bantuan social, sumber dana berasal dari pendapatan bank
syariah dari transaksi yang tidak dapat dikategorikan pendapatan halal.
Misalnya, pendapatan dana atau keterlambatan pembayaran angsuran oleh

9
nasabah pembiayaan, denda atas pencairan deposito berjangka sebelum
jatuh tempo, dan pendapatan non-halal lainnya.
Simpanan giro dan tabungan dapat menggunakan prinsip qardh, ketika
bank dianggap sebagai penerima titipan tanpa bunga dari nasabah deposan
sebagai pemilik modal. Bank dapat memanfaatkan dana pinjaman dari
nasabah deposan untuk tujuan apapun, termasuk untuk kegiatan produktif
mencari keuntungan. Sementara, nasabah deposan dijamin akan
memperoleh kembali dananya secara utuh, sewaktu-waktu nasabah ingin
menarik dananya. Bank boleh memberikan binus kepada nasabah deposan,
selama hal ini tidak disyarakatkan di awal perjanjian.
Menurut Rozalinda, aplikasi qardh al-hasan dalam perbankan syariah
biasanya disalurkan dalam bentuk:6
a. Pinjaman tabungan haji, nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran ONH(Ongkos Naik Haji). Nasabah
akan melunasi sebelum keberangkatan haji.
b. Pinjaman kepada pengusaha kecil yang kekurangan dana. Jika diberikan
pembiayaan dalam bentuk akad tijarah seperti pembiayaan mudharabah,
musyarakah, ataupun jual-beli dan ijarah akan memberatkan mereka
karena ketidakmampuan mereka memberikan imbalan kepada bank.
c. Pinjaman kepada pegawai bank, bank memberikan fasilitas kepada
pegawai bank untuk mendapatkan dana pinjaman yang akan dikembalikan
secara cicilan melalui pemotongan gaji.
Ketentuan lembaga keuangan, termasuk bank terkait dengan qardh adalah
sebagai berikut:
a. Kontrak perjanjian qardh dilaksanakan antara bak dan nasabah.
b. Nasabah menyediakan tenaga untuk mengelola usaha dan bank syariah
menyerahkan modal sebagai investasi. Modal yang diserahkan dalam
qardh berasal dari dana bank dan dana kebajikan yang dikumpulkan oleh

6
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.248

10
bank dari berbagai sumber antara infak, sedekah, denda, bantuan dari
pihak lain, dan dana lainnya:
c. Bila terdapat keuntungan, maka keuntungan 100% dinikmati oleh nasabah,
tidak dibagihasilkan dengan bank syariah;dan
d. Pada saat pembayaran atau jatuh tempo, maka nasabah mengembalikan
100% modal yang berasal dari bank syariah, tanpa ada hambatan.
Praktik qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Nasabah mengajukan pinjaman dana qardh kepada Lembaga Keuangan
Syariah;
b. Nasabah dan pihak LKS menyepakati mengenai biaya administrasi dan
waktu pengembalian pinjaman;
c. LKS dapat meminta jaminan atas pinjaman apabila diperlukan;
d. Nasabah menggunkan dana pinjaman tersebut untuk usaha
e. Apabila mendapat keuntungan dari usaha tersebut, maka seluruhnya
menjadi hak nasabah, apabila terjadi kerugian, juga menjadi tanggung
jawab nasabah;
f. Nasabah harus mengembalikan pinjaman sejumlah nominal yang dipinjam,
tanpa harus memberikan margin atau bunga.
g. Pasal 615 KHES menyebutkan, bahwa nasabah dapat member
tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada pemberi pinjaman selama
tidak diperjanjikan dalam transaksi.
h. Pasal 616 KHES menyebutkan, bahwa jika nasabah tidak dapat
mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah
disepakati dan pemberi pinjaman Lembaga Keuangan Syariah telah
memastikn ketidakmampuannya dapat;
1) Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
2) Mengharus/ write off sebagian atau seluruh kewajibannya.
5. Pengertian Hiwalah

11
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-
tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan.7 Secara bahasa, hawalah
atau iwalah berasal dari kata hawwala yang berarti ghayyara (mengubah) dan
nawala (memindahkan), terkadang diartikan juga aI-syahadah (kesaksian) dan al-
kafalah (jaminan). Hawalah dalam pengertian aI-kafalah disampaikan oleh Ibn
Abd al-Barr, bawalah ialah pemindahan tanggung jawab.
Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
hiwalah menurut bahasa ialah:
‫النقل من محل إلى محل‬
“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda
dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hinafiyah, yang dimaksud hiwaliyah ialah:
‫نقل المطالبة من ذمة المديون إلى ذالملتزم‬
memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang
punya tanggung jawab kewajiban pula.”
Muhammad Syatha al-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud hiwayah
ialah:
‫عقد يقتضي تحويل دين من ذمة إلى ذمة‬
“akad yang menetapkan pemindahan utang dan beban seorang menjadi beban
orang lain.”
Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwaliyah ialah:
‫انتقال الدين من ذمة إلى ذمة‬
“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”

Menurut ulama Malikiyah, akad hawalah adalah:


‫تقل الدين من ذمة إألخرى بسبب وجود مثله في األ خرى‬
"Memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada orang lain disebabkan
adanya utang semisalnya yang ada pada orang lain.
Menurut ulama Syafi'iyah, yang dimaksud akad bawalah adalah:
‫ حولت الشئ من موضع إلى موضع إذ نقله إليه‬: ‫الحوالة نقل حق من ذمة إلى ذمة من قولهو‬
“Memindahkan hak dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain:
seperti perkataan: Aku memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain
apabila memindahkannya"
Menurut Pasal 20 ayat(13) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
adalah ”Pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal 'alaih”. Berangkat dari
definisi tersebut, dapat dipahami bahwa bawalah atau hiwalah adalah pengalihan
7
Hedi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 99

12
utang dari satu pihak kepada pihak lain yang saling diketahui oleh para pihak
dengan sukarela, tanpa ada keterpaksaan. Berdasarkan definisi ini maka dalam
akad hawalah setidaknya ada tiga pihak yang terlibat. Pertama, pihak yang
mengalihkan utang; kedua, pihak yang menanggung utang pihak pertama atau
pihak yang menerima limpahan utang; ketiga, pihak yang menerima limpahan
piutang.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut: A berutang
kepada B sebanyak 1 juta, sementara B berutang pula kepada C sebanyak 1 juta
pula (dalam posisi ini, B berperan sebagai orang yang berutang sekaligus sebagai
orang yang punya utang). B atas seizin C memindahkan utangnya terhadap C
kepada A sehingga B beban dari utang kepada C. Akhirnya, jadilah A berutang
kepada C, berarti A wajib melunasi utang B kepada C.
6. Rukum dan Syarat Hiwalah
Menurut Hinafiyah, rukun hiwaliyah hanya satu, yaitu ijab dan kabul yang
dilakukan antara yang menghilawayahkan dengan yang menerima hiwalah.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwaliyah itu ada empat, sebagai berikut:
a. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang memindahkan utang.
b. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalayahkan, yaitu orang yang mempunyai
utang kepada muhil.
c. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
d. Shighat hiwalah, yitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “aku
hiwalayahkan urangku yang hak bagi engkau kepada anu” dan kabul dari
muhtal dengan kata-katanya. “Aku terima hiwalayah engkau.”
Adapun yang menjadi syarat-syarat pada rukun tersebut adalah sebagai
berikut:8
a. Muhil disyaratkan: a) cakap bertindak hukum, yakni baligh dan berakal. Oleh
karena itu, hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil; b)
adanya kerelaan muhfl. Jika adanya pemaksaan maka bawalah tidak sah.

8
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.344

13
Karena sesungguhnya hawalah adalah pembebasan yang di dalamnya
mengandung makna kepemilikan sehingga bila dilakukan dengan cara paksa
akad akan fasid. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
b. Muhil di isyaratkan: a) cakap bertindak hukum, yakni baligh dan berakal.
Oleh karena itu, orang yang tidak berakal tidak pantas menerima hawalah,
sementara itu, jika muha/ belum baligh pelaksanaan akad hawalah
membutuhkan izin walinya; b) adanya kerelaan Muhil. Oleh karena itu,
hawalah tidak sah jika ada pemaksaan. Demikian pendapat Malikiyah dan
Syafi'iyah;c) pernyataan ijab kabul dari muhal harus dinyatakan secara
sempurna pada majelis akad. Ini merupakan syarat pelaksanaan akad bawalah
menurut Hanafiyah dan Muhammad. Karena pernyataan kabul merupakan
rukun dari akad bawalah.
c. Muhal 'alaih disyaratkan: a) cakap bertindak hukum, yakni baligh dan berakal.
Oleh karena itu, hawalah tidak sah dilakukan terhadap anak kecil dan orang
gila; b) adanya kerelaan muhil. Oleh karena itu, bawalah tidak sah jika muhal
'alaih dipaksa untuk menerima hawalah. Namun, ulama di kalangan Malikiyah
tidak mensyaratkan adanya kerelaan muhal alaih; c) pernyataan kabul dari
muhal harus dinyatakan secara sempurna pada majelis akad. Ini merupakan
syarat pelaksanaan akad hawalah menurut Hanafiyah dan Muhammad.
d. Muhal bih, disyaratkan: a) berupa utang, yakni utang muhil kepada muhal; b)
utang tersebut adalah utang yang lazim (mengikat). Oleh karena itu, tidak sah
hawalah apabila utang itu dilakukan anak kecil dan orang bodoh yang tidak
ada izin walinya karena utang keduanya ghair lazim dan sementara wali dapat
menggugurkan utang yang dilakukan anak kecil dan orang bodoh; c) adanya
kesamaan utang muhal dan muhal alaih berupa jenis dan jumlahnya. Maka
tidak sah meng-hawalah-kan utang emas dibayar dengan perak. Ini merupakan
pendapat Malikiyah ; d) utang tersebut adalah utang yang bersifat segera
karena apabila tidak dalam keadaan segara akan memunculkan jualbeli utang
dengan utang; e) utang tersebut bukan berupa makanan pada juaI-beli salam;

14
f) utang yang akan di-hawalah-kan tersebut pasti keberadaannya. Maka tidak
sah seseorang meng-hawalah-kan utang majikan kepada pegawai yang belum
dibayar gajinya; dan g) utang tersebut merupakan sesuatu yang mesti dibayar
dan tidak bisa digugurkan dari debitur setiap saat.
7. Dasar Hukum Hiwalah9
Hawalah diperbolehkan berdasarkan dalil dalam AI-Sunnah dan Ijma
(konsensus). Landasan yuridis akad bawalah daIam AI-Sunnah adalah sebagai
berikut:
‫حدثنا عبد اهلل بن يو سف أخبرنامالك عن أبي الزناد عن األ عرج عن أني هر يرة رضي اهلل عنه‬
)‫أن رسول اهلل عليه وسلم قل مطل ظلم فإذا أتبع أحدكم على ملي فليتبع (رواه البخا رى‬
”Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Menunda membayar
utang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian
utangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikut.”(HR. Bukhari)
Berdasarkan landasan hukum ijma akad hawalah adalah sebagai berikut:
‫وأما اإلجمع أهل العلم عل جواز الحوالة في الجملة فهي عقد جائزفي الد يون دون األعيان‬
"Para ulama bersepakat tentang kebolehan akad hawalah, baik objeknya utang
piutang ataupun barang.”
Dalam konteks hukum di lndonesia, legitimasi akad bawalah juga terdapat
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 318-328.
8. Aplikasi Hiwalah di Lemnaga Kuangan Syariah
Dalam teknis perbankan, Hawalah merupakan akad pengalihan piutang
nasabah (muhal) kepada bank (muhal alaih). Nasabah meminta bantuan bank agar
membayar terlebih dahulu piutangnya atas transaksi yang halal dengan pihak yang
berutang (muhil). Selanjutnya, bank akan menagih kepada pihak yang berutang
tersebut, atas bantuan bank membayarkan terlebih dahulu piutang nasabah, bank
dapat membebankan fee jasa pengalihan. Penetapannya dilakukan dengan
memperhatikan besar kecilnya risiko tidak tertagihnya piutang. Akad hawalah
dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan, di antaranya adalah: 1.
Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan; 2.
Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan; 3. Dapat

9
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.343

15
menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan nonpembiayaan bagi
bank syariah;
Beberapa produk jasa bank syariah yang menggunakan akad hawalah antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Factoring atau anjak piutang, di mana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, lalu bank
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga.
b. Post dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar
dahulu piutang tersebut.
c. Bill discounting pada dasarnya sama dengan hawalah, namun dalam bil
discouting nasabah harus membayar fee.10
9. Pengertian Khafalah
‫ هي اال لتزام‬:‫ وفي كتب الشا فعية‬. ‫ هي الضم‬:‫الكفا لة لغة كما في كتب الحنفية والحنا بلة‬
“Kafalah secara bahasa sebagaimana termakhtub dalam kitab-kitab
Hanafiyahdan Hanabilah bermakna al-dham yakni tanggungan, dan menurut
Syafi’iyah bermakna al-iltizam.
Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa kafalah secara bahasa berarti ad-dham,
yaitu tanggungan. Secara bahasa, ad-dham memiliki makna sebagai berikut:
‫الضمان في اللغة التزام في ذمة الغير وهو مشتق من الضمن‬
“ tetapnya sesuatu berada dalam tanggungan orang lain.”
Pendapat lain mengatakan, bahwa kafalah mempunyai beberapa padanan kata
atau sinonim, antara lain hamalah (denda atau tanggungan), damanah
(penjaminan) dan za’amah (pinjaman dan harta yang paling utama). Menurut Ibn
Abidin, kafalah secara bahsa adalah sama dengan al-dammu yang berarti
memelihara atau menanggung, dalam hal in bisa dilihat firman Allah Swt.dalam
surah Ali Imran ayat 37:
‫َو َك َّفلَ َها َز َك ِريَّا‬
“…dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharannya…” (QS.Ali Imran (3): 37)
Maksudnya adalah zakariyah-lah yang menanggung diri Maryam untuk
dipelihara dan dididik.

10
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.349

16
Ulama Malikiyah mengatakan, bahwa ad-dhaman, al-kafalah, dan hamalah
memiliki arti yang sama. Keragaman kata yang dipergunakan oleh para ulama
dipandang semakna dengan kafalah, bisa dilihat secara proporsional berdasarkan
adat kebiasaan adalah wajar. Hal ini karena al-dhaman merujuk pada pengertian
penjaminan mengenai utang al-za’amat merujuk pada pengertian pinjaman harta
dalam jumlah yang besar dan jaminan untuk menghindarkan seseorang dalam
menyelesaikan masalah al-qishash atau utang disebut al-hamalat atau kafalah an-
nafs. Lebih- lebih kata al-za’amat dilihat dari sisi pelakunya disebut al-za’im yang
berarti pemimpin yang bertanggung jawab.
Adapun definisi kafalah secara istilah dikemukakan oleh para ulama mazhab
fikih sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah:
‫ضم ذمة الكفيل (إلى ذمة) األصيل في المطالبة مطلقا‬
“Jaminan yang diberikan oleh kafil (penjamin) terhadap orang lain untuk
memenuhi kewajiban dalam hal utang-piutang secara mutlak”.
Menurut Ulama Hanabilah:
‫وأما الحمالة فمعنا ها شغل ذمة أخرى بالحق ومعناهاومعنى الكفالة والزعامة والضمان واحد زال تصح‬
‫إالبحق‬
“ Jaminan yang diberikan kepada orang yang mempunyai tanggungan dalam
memenuhi kewajibannya”.
Menurut Pasal 20 ayat (12) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),
kafalah didefinisikan: “jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin
kepada pihak ketigal pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua/peminjam,”11
Berdasarkan uraian definisi kafalah tersebut, dapat diberi kesimpulan
bahwa kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh satu pihak kepada
pihak lain berupa pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang
seharusnya bertanggung jawab.
10. Rukun dan Syarat Khafalah
a. Rukun Kafalah

11
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.320

17
Menurut ulama Hanafiyah dan Muhammad, rukun akad kafalah adalah iajb
dan kabul, yakni ijab berasal dari kafil (orang yang menjamin), seperti saya
bertanggung jawab untuk menghadirkannnya” atau “saya menjamin utangnya”,
sedangkan kabul berasal dari orang yang berutang. Namun, menurut Abu Yusuf
dan mayoritas ulama fikih, rukun akad kafalah hanya ijab, sedangkan kabul tidak
termasuk rukun kafalah.
Adapun rukun kafalah menurut jumhur ulama ada lima, yaitu: 1) orang yang
menjamin (kafil atau dhamin); 2) orang yang berpiutang (makful lahl madhun
lah); 3) orang yang berutang/yang dijamin (makful anhu/ madhmun anhu); 4)
objek kafalah, yaitu setiap hak yang sah dijadikan pengganti, bisa berupa utang,
barang, atau jiwa (makful bih/madhmun bih)dan 5) ijab, tanpa kabul (sighat), yaitu
darikafil. Alasannya karena akad kafalah murni adanya keharusan dari kafil untuk
membayar utang, bukan tukar-menukar. Bahkan mengandung akad sukarela yang
timbul dari satu pihak, yaitu cukup ijab dari kafil.
b. Syarat Kafalah
Syarat yang berhubungan dengan kafil adalah sebagai berikut:
1) Cakap dalam melakukan akad (ahliyah al-tasharuf) dan cakap dalam
memberi (ahliyah al-tabarru’), yaitu baligh dan berakal.
2) Merdeka (bukan hamba sahaya)
3) Tidak terhalang melakukan akad, seperti orang bodoh, sekalipun ada izin
dari walinya.
4) Tidak dalam keadaan terpaksa
5) Tidak dilakukan oleh seorang istri yang melebihi sepertiga hartanya,
kecuali ada izin dari suaminya.
Syarat yang berhubungan dengan makful lah adalah sebagai berikut:
1) Diketahui oleh kafil. Misalnya kafil berkata “ saya menjamin utang yang
ada pada Fulan kepada masyarakat”.
2) Baligh dan berakal
3) Diterima oleh makful lah

18
4) Hadir di majelis akad, jika tidak ada wakilnya. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Abu Hanifah dan Muhammad.
Syarat yang berhunungan dengan Makful anhu sebagai berikut.
1) Mampu menyerahkan makful bih,baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh
wakilnya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.
2) Diketahui oleh kafil. Karena kafil hanya melaksanakan haknya, tidak perlu
mengetahui makful’anhu-nya.
Syarat yang berhubungan dengan makful bih sebagai berikut:
1) Hak makful anhu, baik berupa utang, harta, atau jiwa. Pendapat
dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.
2) Diketahui keberadaannya dantetap.
3) Keberadaaanya merupakan kewajiban dalam tanggungan. Pendapat ini
disepakati oleh ulama.
4) Dapat diukur oleh kafil,yaitu berupa harta. Hal tersebut karena berkenaan
dengan kafalah harta. Oleh karena itu tidak boleh jaminan jiwa (kafalah bi
al-nafs) berupa had (hukuman yang telah ditentukan dalam nash) dan
qishash, baik jaminan had yang berkaitan dengan hak Aallah maupun hak
manusia. Selain itu karena kafalah adalah akad kepercayaan, sedangkan
had dasarnya adalah pencegahan dapat digugurkan karena syubhat. Hak
tidak boleh dilaksanakan oleh kafil apabila dia sulit menghadirkan makful
bih. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
Mereka berargumen dengan hadis berikut ini:
‫ ال كفالة فى‬: ‫ قال‬-‫حدثنى عمرو بن شعب عن أبيه عن جده أن النبى – صلى اهلل عليه وسلم‬
‫حد‬
“Dari Amr ibn Syuaib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi
aw. Bersabda : “ Tidak ada jaminan dalam perkara had.”(HR.Al-
Baihaqi)
Adapun ulama Syafi’iyah memperbolehkan jaminan had yang ada
kaitannya murni dengan hak manusia seperti had qadzf (menuduh seorang
perempuan berbuat zina tanpa mendatangkan saksi), qishash, dan ta’zir
(hukuman yang tidak ditentukan dalam nash). Adapun jaminan had yang

19
murni kaitanyya dengan hak Allah seperti had khamr, zina, dan sariqah
(pencurian) mereka tidak memperbolehkannya.
11. Dasar Hukum Khafalah12
Landasan yuridis diperbolehkannya akad kafalah berlandaskan pada ketentuan
dalam Al-Quran, Al-Sunnah, dan ‘Ijma’ (konsensus). Adapun ayat-ayat Al-
Qur’an yang menjadi legitimasi akad kafalah adalah sebagai berikut:
‫ك َولِ َم ْن َج ٓا َء بِهٖ ِح ْم ُل بَِع ْي ٍر َّواَنَ ۡا بِهٖ َز ِع ْي ٌم‬
ِ ِ‫اع الْمل‬
َ َ ‫ص َو‬
ِ
ُ ‫قَال ُْوا َن ْفق ُد‬
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)beban unta,
dan menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf(12): 72)
Ibn Abbas sebagaiman dikutip oleh al-Thabari, menafsirkan kata za’im dalam
ayat tersebut dengan kafil (penaggung) yang berarti penjamin. Senada dengan
pendapat Ibn Abbas, al-Kalbai sebagaimana dikutip oleh al-Razi, juga
berpendapat bahwa kata za’im maknanya adalah kafil.

‫ك َز ِع ْي ٌم‬
َ ِ‫َسل ُْه ْم اَُّي ُه ْم بِ ٰذل‬
“ Tanyakanlah kepada mereka: “siapakah di antara mereka yang bertanggung
jawab terhadap keputusan yang diambil itu?” (QS Al-Qalam (68):40)
Adapun landasan yuridis akad kafalah dalam Al-Sunnah adalah sebagai
berikut:
‫أبا أمامة البا هلي يقول‬
)‫سمعت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يقول الزعيم غار والدين مقضي (رواه اين ماجه‬
“Abu Umamah Al Bahili berkata: “ Aku mendengar Rasulullah shallalahu alai
wassalam bersabda : “ Menanggung berarti berutang, dan utang harus dibayar.
(HR.Ibn Majah)
Khafalah disyariatkan oleh Allah Swt. terbukti dengan firmannya:
‫ال‬ َ ‫َن اُ ْر ِسلَهٗ َم َع ُك ْم َح ٰتّى ُت ْؤ ُت ْو ِن َم ْوثًِقا ِّم َن ال ٰلّ ِه لَــتَأُْتنَّنِ ْي بِهٖۤ اِاَّلۤ اَ ْن يُّ َحا‬
َ َ‫ط بِ ُك ْم ۚ َفلَ َّماۤ ٰاَت ْوهُ َم ْوثَِق ُه ْم ق‬ ْ ‫ال ل‬
َ َ‫ق‬
‫ال ٰلّهُ َع ٰلى َما َن ُق ْو ُل َوكِْي ٌل‬
“Ya’kub berkata: “Aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau
memberikan janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya
kembali kepadaku (Yusuf: 66).
12. Aplikasi Khafalah dalam Kehidupan Sehari-hari
al-khafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu (a) munjaz, (b)
mu’allaq (ta’liq) dan (c) mu’aqqat (tauqit).

12
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.320

20
Munjaz (tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang
berkata “Saya tanggung si Fulan dan saya jamin si Fulan sekarang”, lafaz-lafaz
yang menunjukkan al-kafalah menurut para ulama adalah seperti lafaz:
Tahammaltu, takaffaltu, dhammintu, ana kafil laka, ana za’im, hawa laka ‘indi
atau hawa laka ‘alaya. Apabila akad penanggungan terjadi, maka penanggungan
itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau
dicicil, kecuali disyaratkan pada penanggungan.
Mu’allaq (ta’liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu,
seperti seseorang berkata, “Jika kamu mengutamakan pada anakku, maka aku
yang akan membayarnya” atau “Jika kamu ditagih pada A, maka aku yang akan
membayarnya,” seperti firman Allah Swt.
‫ك َولِ َم ْن َج ٓا َء بِهٖ ِح ْم ُل بَِع ْي ٍر َّواَنَ ۡا بِهٖ َز ِع ْي ٌم‬
ِ ِ‫اع الْمل‬
َ َ ‫ص َو‬
ِ
ُ ‫قَال ُْوا َن ْفق ُد‬
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)beban unta,
dan menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf(12): 72)
Mu’aqqat (taukit) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan
pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang, “Bila ditagih pada bulan Ramadhan,
maka aku yang menanggung pembayaran utangmu”, menurut Mazhab Hanafi
penanggungan seperti ini sah, tetapi menurut Mazhab Syafi’i batal. Apalagi akad
telah berlangsung maka madmun lah boleh menagih kepada kafil (orang yang
menanggung beban) atau kepada madhmun ‘anhu atau makhful ‘anhu (yang
berutang), hal ini dijelaskan oleh para ulamabjumhur.
Akad kafalah diterapkan di perbankan syariah berdasarkan Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah. Di perbankan,
prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian bank
guarantee, letter of credit,dan syariah card.. Fungsi kafalah adalah pemberian
jaminan oleh bank bagi pihak-pihak yang terkait untuk menjalankan bisnis mereka
secara lebih aman dan terjamin sehingga adanya kepastian dalam bertransaksi
karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko dan kewajiban

21
nasabah, apabila nasabah wanprestasi atau lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Fasilitas yang diberikan dalam penerapan prinsip kafalah adalah:13
a. Bank garansi, yaitu surat jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin
pihak ketiga atas permintaan nasabah sehubungan dengan transaksi ataupun
kontrak yang telah mereka sepakati sebelumnya.
Bank garansi dilakukan denga cara bank sebagai kafil menerbitkan surat
tanggungan kepada pemilik proyek atau usaha atas permintaan nasabah sesuai
dengan transaksi yang telah disepakati antar bank, nasabah, dan pemilik
proyek. Akan tetapi, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti risiko di
luar kesengajaan ataupun kelalaian berdasarkan surat jaminan yang
dikeluarkan oleh bank (kafil) maka pihak ketiga, yaitu pemilik proyek dapa
mengajukan klaim kepada penerbit bank garansi.
Transaksi penjaminan diberikan oleh penanggung (kafil) atau bank syariah
kepada pihak ketiga atau yang tertanggung (makful lahu) untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua (makful anhu atau ashil)atau nasabah. Mekanisme
transaksi ini adalah :
1) Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban
nasabah terhadap pihak ketiga;
2) Kontrak (akad) jaminan memuat kesepakatan antara pihak bank dan pihak
kedua yang dijamin dan dilegkapi dengan persaksian pihak penerima
jaminan;
3) Objek penjaminan harus merupakan kewajiban yang meminta jaminan,
jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya termasuk jangka waktu peminjaman,
dan tidak bertentangan dengan syariah
4) Bank dapat memperoleh imbalan atau fee yang disepakati di awal serta
dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap;
5) Bank dapat meminta jaminan berupa cash collateral atau bentuk jaminan
lainnya atas nilai peminjaman;

13
Panji Adam, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017), h.335

22
6) Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga,
mka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak ketiga
dengan memberikan dana talangan sebagai pembiayaan atas dasar akad
qard yang harus diselesaikan oleh nasaban.
b. Letter of Credit merupakan dokumen bank yang intinya berupa janji atau
komitmen bank kepada pihak penjual atau ekportir melalui bank mereka unutk
melakukan pembayaran, pembelian, atau akseptasi dokumen-okumen yang
mereka kirim dengan syarat apabila klausula-klausula yang disyaratkan dalam
dokumen tadi telah dipenuhi oleh penjual atau eksportir.
Fasilitas Letter of Credit pada bank Syariah dilaksanakan berdasarkan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter of
Credit (L/C) dengan akad kafalah bil ujrah. Pada fatwa ini dinyatakan, bahwa
untuk memenuhi kebutuhan transaksi L/C tersebut, LKS berkewajiban untuk
menyediakan skema penjaminan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dengan
menggunakan akad kafalah bil ujrah.
c. Kartu Kredit Syariah (Syariah Card), Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan Fatwa No. 42/DSN-MUI/V/2004
tentang Syariah Charge Card. Kemudian Fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006
tentang Syariah Card. Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti kartu
kredit yang hubungan hukum (berdasarkan system yang sudah ada) antara
para pihak berdasarkan prinsip syariah. Akad yang digunakan dalam Syariah
Card adalah:
1) Kafalah : dalam hal ini penerbit kartu adalah penjamin(kafil) bagi
pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn)
yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu merchant,dan/atau
penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu. Atas
pemberian kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).

23
2) Qard: dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh)
kepada pemegang kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank
atau ATM bank penerbit kartu.
3) Ijarah; dalam hal ini penerbit kartu adalah penyedia jasa system
pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Berdasarkan pada
kedua fatwa ini bank dapat mengambil fee terhadap fasilitas kartu kredit
yang diberikan kepada nasabah dengan ketentuan:
a) Penerbit kartu berhak menerima iuran keanggotaan termasuk
perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai
imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
b) Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek
transaksi atau pelayanan sebagai imbalan (ujrah) atas perantara
pemasaran dan penagihan.
c) Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai sebagai
fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarannya tidak
dikaitkan dengan jumlah penarikan.
4) Penerbit kartu boleh menerima fee dari pemegang kartu atas pemberian
kafalah.
5) Semua bentuk fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad aplikasi
kartu kredit jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.

24
C. PENUTUP
1. Simpulan
Secara etimologis, qardh merupakan bentuk mashdar dari kata qaradha asy-
syai’- yaqridhu, yang berarti dia memutuskannya. Qardh adalah bentuk mashdar
yang berarti memutuskan. Dikatakan, qaradhu sya’ia bilmiqradh atau memutus
sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik
untuk dibayar.
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-
tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Secara bahasa, hawalah
atau iwalah berasal dari kata hawwala yang berarti ghayyara (mengubah) dan
nawala (memindahkan), terkadang diartikan juga aI-syahadah (kesaksian) dan al-
kafalah (jaminan). Hawalah dalam pengertian aI-kafalah disampaikan oleh Ibn
Abd al-Barr, bawalah ialah pemindahan tanggung jawab.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kafalah mempunyai beberapa padanan kata
atau sinonim, antara lain hamalah (denda atau tanggungan), damanah
(penjaminan) dan za’amah (pinjaman dan harta yang paling utama). Menurut Ibn
Abidin, kafalah secara bahsa adalah sama dengan al-dammu yang berarti
memelihara atau menanggung.

25
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Panji. 2017. Fikih Muamalah Maliyah. Bandung: PT Refika Aditama

Al-Qardhawi, Yusuf. 1997. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam
Robbani Press Jakarta.

Gemala Dewi. Aspek-aspek hukum dalam perbankan. Jakarta : Kencana Prenada


Media Group.

Huda, Nurul dkk. 2008. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Kencana Jakarta.

Nafis, M. Cholil. 2011. Teori Hukum Ekonomi Syariah. UI-Press Jakarta.

Pusat nasional katalog dalam terbitan (kdt). 2015. Akad dan produk bank syariah.
Jakarta: PT rajagrafindo persada.

Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : Sinar baru Algesindo

Suhendi, Hedi. 2005. Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

Zuhaili, Wahbah. 2001. Fiqh Muamalah Perbankan Syariah. Jakarta: Kapita


Selekta.

26

Anda mungkin juga menyukai