Anda di halaman 1dari 21

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-

Share

2.1.1 Pengertian Model Pembelajaran

Soekamto, dkk ( dalam Bariroh, 2012:29). mengemukakan maksud

dari model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan

prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar

untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman

bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan

aktifitas belajar mengajar berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami,

bahwa model pembelajaan merupakan kerangka umum pelaksanaan

pembelajaran yang akan dilaksanaan.

Arends (dalam Bariroh, 2012:31) berpendapat bahwa istilah model

pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu

termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya dan sistem

pengelolaannya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat

disimpulkan, bahwa Model pembelajaran adalah seluruh rangkaian

penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum sedang dan

sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang


10

terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses

belajar mengajar.

2.1.2 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran Kooperatif secara umum dapat diartikan

sebagai suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa

dalam kelompok-kelompok kecil guna mencapai tujuan pembelajaran.

Senada dengan pengertian tersebut, Slavin (dalam Isjoni, 2009: 15),

mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai suatu model

pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-

kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 5 orang dengan

struktur kelompok heterogen. Pendapat tersebut menegaskan bahwa inti

dari pembelajaran kooperatif adalah adanya proses pengelompokan siswa

kedalam kelompok-kelompok kecil, sehingga mereka dapat bekerjasama

dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Meskipun pembelajaran kooperatif diartikan sebagai kegiatan

belajar yang dilaksanakan siswa secara berkelompok, kenyataanya tidak

semua kegiatan belajar berkelompok dapat dikatakan pembelajaran

kooperatif. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan Lie, (2007: 29) sebagai

berikut.

“Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar


dalam kelompok. Ada lima unsur dasar pembelajaran kooperatif
yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan
asal-asalan. Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif dengan
benar akan menunjukkan pendidik mengelola kelas lebih efektif”
11

Lebih rinci lagi, lima unsur yang harus ada pada pembelajaran

kooperatif sebagaimana dimaksud di atas adalah saling ketergantungan

positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar

anggota, dan evaluasi proses kelompok (Johnson, dalam Lie,2007: 30)

2.1.2.1 Saling Ketergantungan Positif

Menurut Roger at.al (dalam Suprijono, 2009: 58) Unsur ini

menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua

pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang

ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota

kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan

tersebut. Dalam bahasa lain Lungdren (dalam Isjoni, 2009: 16)

mengemukakan bahwa para siswa harus memiliki persepsi bahwa

mereka “ tenggelam atau berenang bersama” dalam artian merekan

memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau siswa lain dalam

kelompoknya.

2.1.2.2 Tanggung Jawab Perseorangan

Menurut Roger at.al (dalam Suprijono, 2009: 58) tanggung

jawab ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan

kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah membentuk

semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat.

Tanggungjawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua

anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. Artinya,

setelah mengikuti kelompok belajar bersama, anggota kelompok


12

harus dapat menyelesaikan tugas yang sama. Hal senada juga

disampaikan Lungdren (dalam Isjoni, 2009: 16), bahwa siswa

harus berpendapat bahwa mereka semua memiliki tujuan yang

sama;.

2.1.2.3 Face to face promotive interaction (Interaksi Promotif)

Johnson, (dalam Lie, 2007: 30), mengemukakan bahwa

Setiap anggota kelompok diberikan kesempatan untuk bertemu

muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan membentuk

sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran

beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil satu kepala saja.

Lebih jauh lagi, hasil kerjasama ini jauh lebih besar daripada

jumlah hasil masing-masing anggota. Inti dari sinergi ini adalah

menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan dan mengisi

kekurangan masing-masing.

Lebih lanjut Ciri–ciri interaksi promotif menurut Roger at.al

(dalam Suprijono, 2009: 58) adalah saling membantu secara efektif

dan efisien, saling memberikan informasi dan sarana yang

diperlukan, memproses informasi bersama secara lebih efektif dan

efisien, saling mengingatkan, saling membantu dalam merumuskan

dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan kemampuan

wawasan terhadap masalah yang dihadapi, saling percaya, dan

saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.


13

2.1.2.4 Komunikasi Antar Anggota

Menurut Johnson, (dalam Lie 2007: 30), Sebelum

menugaskan siswa dalam kelompok, guru perlu mengajarkan cara-

cara berkomunikasi. Keberhasilan suatu kelompok juga

bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk mengutarakan

pendapat mereka. Proses ini merupakan proses yang merupakan

proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk

memperkaya pengalaman belajar dan perkembangan mental dan

emosional para siswa. Lebih lanjut Roger at.al (dalam Suprijono,

2009: 58) mengemukakan bahwa untuk mengkoordinasikan

kegiatan siswa dalam pencapaian tujuan siswa harus adalah saling

mengenal dan mempercayai, mampu berkomunikasi secara akurat

dan tidak ambisius, saling menerima dan saling mendukung, serta

mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.

2.1.2.5 Evaluasi Proses Kelompok

Menurut Johnson, (dalam Lie ,2007: 30), pengajar perlu

menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi

proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar

selanjutnya dapat bekerjasama dengan efektif. Hal senada juga

disampaikan Lungdren dalam Isjoni (2009: 16), bahwa para siswa

harus diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut

berpengaruh terhadap evaluasi kelompok;.


14

Pendapat ahli di atas sama-sama menegaskan, bahwa

pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur pokok yang

membedakannya dengan model pembelajaran lain. Pembelajaran

kooperatif menekan adanya kerjasama antar siswa dalam mencapai

hasil belajar. Dengan demikian maka dapat disimpilkan, bahwa

Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu rancangan

kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan agar siswa mampu

belajar secara aktif sesuai dengan tugas dan kapasitasnya dalam

kelompok-kelompok kecil yang heterogen serta dibuktikan dengan

adanya kriteria saling ketergantungan positif, tatap muka,

tanggungjawab perseorangan, komunikasi antar anggota dan

evaluasi kelompok .

2.1.3 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share

Model pembelajaran kooperatif yang memenuhi lima unsur dasar

sebagaimana diuraikan di atas memiliki banyak jenis atau tipe. Salah satu

tipe dari model pembelajaran kooperatif yang menarik dan relevan

dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tipe

think-pair-share.

Think-Pair-Share merupakan pendekatan khusus yang

dikembangkan oleh Frank Lyman di Universitas Maryland pada tahun

1985. Think Pair Share memiliki prosedur yang ditetapkan secara

eksplisit untuk memberi waktu lebih banyak kepada siswa untuk berpikir,

menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Majid, 2013: 191). Dari
15

pandangan tersebut dapat dipahami, bahwa Think-Pair-Share sebagai

model pembelajaran pada dasarnya mengarahkan siswa untuk berpikir

dan menyampaikan pendapatnya terhadap suatu permasalahan.

Keunggulan lain dari Think-Pair-Share ditegaskan pula oleh

Isjoni, (2010: 78), dalam pandangannya, tehnik ini memberikan siswa

kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain

serta adanya optimalisasi partisipasi siswa, yaitu memberi kesempatan

delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan

partisipasi mereka kepada orang lain. Lebih lanjut, Arends (dalam

Husaini. 2012. http :// matheducations .blogsopt . com), menyatakan

bahwa:

“Model pembelajaran think pair and share merupakan suatu cara


yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.
Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan
pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan
prosedur yang digunakan dalam think pair and share dapat memberi
murid lebih banyak waktu berfikir, untuk merespon dan saling
membantu.”
Pandangan tersebut menekankan Think-Pair-Share sebagai

inovasi dalam suatu pembelajaran dengan model diskusi. Pola “berpikir-

berpasangan” pada prakteknya memberikan kesempatan yang lebih besar

kepada siswa untuk menunjukan kemampuannya serta proses diskusi

akan lebih mudah untuk dikendalikan oleh guru.

Pandangan yang dikemukakan oleh Majid (2013: 19), Bahwa

Think-Pair-Share menunjukan tiga Tahap utama dalam pelaksanaannya

yakni berpikir saling berbagi dan menjawab pertanyaan. Tahap tersebut


16

telah memenuhi unsur pokok dari suatu model pembelajaran koperatif.

Namun demikian, Think-Pair-Share juga mempunyai Keunggulan dalam

memberikan kesempatan yang lebih bagi siswa untuk menunjukan

kapasitasnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Isjoni, (2010: 78)

oleh karena tipe dari pembelajaran kooperatif ini mengelompokan siswa

secara berpasangan.

Model pengelompokan ini oleh Arends (dalam Husaini. 2012:12)

dikatakan sebagai suatu inovasi untuk mempermudah guru dalam

mengendalikan kelas, sehingga dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share adalah suatu model

pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk berpikir scara individu

terhadap suatu permasalahan kemudian hasil pemikiran tersebut

didiskusikan secara berpasangan dan membagikan hasil diskusinya

kepada siswa lain.

2.1.4 Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Think Pair Share

Langkah kerja dari Think Pair Share tidak sama dengan tipe-tipe

lain dari pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif tipe

think pair share memiliki langkah-langkah khusus sesuai dengan

karakteristiknya sebagaimana diuraikan sebelumnya. Menurut Warsono

(2012: 203), sintaks atau cara kerja pembelajaran kooperatif tipe think

pair share adalah sebagai berikut.


17

1. Siswa duduk berpasangan.

2. Guru melakukan presentasi dan kemudian mengajukan pertanyaan.

3. Mula-mula siswa diberi kesempatan berfikir secara mandiri.

4. Siswa kemudian saling berbagi (share) bertukar pikiran dengan

pasanganya untuk menjawab pertanyaan guru.

5. Guru memandu pleno kecil diskusi, setiap kelompok

mengemukakan hasil diskusinya.

Dalam bahasa yang lain, langkah langkah Langkah-langkah dalam

model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share menurut

Saminanto (2010 : 35), adalah sebagai berikut:

1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai.


2. Siswa diminta untuk berpikir tentang materi/permasalahan yang
disampaikan guru.
3. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2
orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing.
4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan
hasil diskusinya.
5. Berawal dari kegiatan tersebut mengarahkan pembicaraan pada
pokok permasalahan dan menambah materi yang belum
diungkapkan para siswa.
6. Guru memberi kesimpulan

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa tahap inti

dari pelaksanaan model pembelajaran ini terdiri dari tiga tahap, yakni

tahap penjabaran masalah atau Think, tahap pembentukan kelompok atau

Pair dan tahap presentasi kelompok atau Share. Adapun rincian tentang

apa-apa saja yang harus dilakukan guru pada ketiga tahap inti tersebut

dijabarkan oleh Suprijono (2013: 90), yakni sebagai berikut.


18

1. “Thinking”(Berpikir)

Pada tahap ini pembelajaran diawali dengan guru mengajukan

pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan oleh

siswa. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

memikirkan jawabannya.

2. “Pairing” (Berpasangan)

Pada tahap ini guru meminta peserta didik berpasang-

pasangan. Guru memberi kesempatan kepada pasangan-pasangan

tersebut untuk berdiskusi. Dalam diskusi tersebut diharapkan dapat

memperdalam makna dari jawaban yang telah dipikirkannya melalui

intersubjektif dengan pasangannya. Hasil diskusi intersubjektif

ditiap-tiap pasangan nantinya dibicarakan dengan pasangan lain di

seluruh kelas.

3. “Sharing” (Berbagi)

Dalam kegiatan ini diharapkan terjadi Tanya jawab yang

mendorong pada pengonstruksian pengetahuan secara integrative.

Peserta didik dapat menemukan struktur dari pengetahuan yang

dipelajari.
19

Pandangan mengenai langkah-langkah pembelajaran model

kooperatif tipe think-pair-share dari masing-masing ahli diatas memiliki

persaman bahwa tahap inti dari pelaksanaan model ini adalah, proses

berpikir secara individu, proses berdiskusi dengan pasangan serta proses

mempresentasikan hasil duiskusi. Dengan demikian maka dapat

disimpukan bahwa langkah inti dari kegiatan pembelajaran model

kooperatif tipe think-pair-share adalah sebagai berikut.

1. Penyampaikan materi inti

2. Penyampaikan permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan

3. Membagi siswa secara berpasangan

4. Siswa mendiskusikan permasalahan bersama pasangannya

5. Siswa menyampaikan hasil diskusinya di depan Kelas

2.2 Tinjauan Tentang Hasil Belajar IPA Siswa

2.2.1 Pengertian Belajar

Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan

dengan tujuan dan bahan acuan, dalam kegiatan belajar terdapat proses

yang dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Slameto (2010:

2) belajar ialah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara

keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi

dengan lingkungannya. Musfiqon (2012: 5) belajar didefinisikan

sebuah proses interaksi antara manusia dengan lingkungan yang


20

dilakukan secaraterencana untuk mencapai pemahaman, keterampilan,

dan sikap yang diinginkan.

Winkel (Susanto, 2013: 4), belajar adalah suatu aktivitas mental

yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan

lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam

pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang relatif

konstan dan berbekas. Susanto (2013: 4), belajar adalah aktivitas yang

dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk

memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru

sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang

relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak.

Dari pengertian-pengertian belajar tersebut dapat disimpulkan,

bahwa belajar merupakan perubahan diris eseorang dalam berperilaku

dan berkemampuan. Perubahan tersebut menuju kearah lebih baik

sebagai hasil dari aktivitas dan pengalaman.

2.2.2 Pengertian Hasil Belajar

Tolak ukur tercapainnya tujuan belajar dapat dilihat dari hasil

belajar, baik tercapai atau tidaknya sebuah tujuan belajar tersebut.

Menurut Sudjana (2011:22), hasil belajar adalah kemampuan-

kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman

belajarnya. Susanto (2013: 5), memaknai hasil belajar sebagai

perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa baik yang

menyangkut aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Prinsipnya


21

hasil belajar tersebut adalah tolak ukur yang didapat ketika

melaksanakan proses belajar.

Bloom (Sudjana, 2011:22), mengelompokkan tujuan pendidikan

berdasarkan pada tiga jenis ranah yang melekat pada diri peserta didik,

yaitu.

1. Ranah proses berpikir (cognitive).

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual

yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan,

pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek

pertama disebut aspek kognitif rendah dan keempat aspek

berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.

2. Ranah nilai atau sikap (affective)

Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima

aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaiaan,

organisasi, dan internalisasi.

3. Ranah keterampilan (psycomotor).

Ranah psikomotoris berkenaaan denganhasil belajar

keterampilan dan kemampuan bertidak. Adaenam aspek ranah

psikomitorisyakni,a) gerakan reflek, b) keterampilan gerakan

dasar, c) kemampuan perseptua, d) keharmonisan, e) gerakan

keterampilan kompleks, f) gerakan ekspresif dan interpretatif.

Hasil belajar berupa perubahan yang terjadi pada ranah

kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga ranah tersebut menjadi objek


22

penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah

yang banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan

kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran.

sehingga ranah inilah yang menjadi fokus penelitian ini.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar siswa yang dicapai setelah mengikuti kegiatan

belajar mengajar menurut tingkat kemampuan berbeda-beda, yaitu

ada hasil yang baik dan ada pula hasil yang kurang baik. Perbedaan

tersebut disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi yaitu

faktor dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa

atau faktor lingkungan.

Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang

dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya

terhadap hasil belajar yang dicapai. Clark menyatakan bahwa hasil

belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan

30% dipengaruhi oleh lingkungan (Sudjana, 2011: 39).

Di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada

faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan

kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.

Salah satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi

hasil belajar di sekolah ialah kualitas pengajaran. yang dimaksud

dengan kualitas pengajaran ialah tinggi rendahnya atau efektif

tidaknya proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pengajaran


23

(Sudjana, 2011: 41). Berdasarkan uraian tersebut maka efektifitas

pembelajaran ditentukan oleh kesesuaian proses pembelajaran yang

dilaksanakan dengan karakteristik siswa dengan materi pembelajaran

yang akan diajarkan.

2.2.4 Karakteristik Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang

berhubungan dengan gejala-gejala alam dan kebendaan yang sistematis

yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari

hasil observasi dan eksperimen (Samatowa, 2006:21). Menurut Susanto

(2016:23), IPA adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta

melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta menggunakan

prosedur dan dijelaskan dengan penalaran, sehingga mendapatkan suatu

kesimpulan.

Istilah Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA dikenal juga dengan

istilah Sains. Kata Sains ini berasal dari bahasa latin, yaitu scientia yang

berarti “saya tahu”. Dalam bahasa Inggris, kata Sains berasal dari kata

science yang berarti pengetahuan (Hisbullah dkk, 2018:23). Ilmu

Pengetahuan Alam atau Sains merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari mengenai alam semesta beserta isinya, serta peristiwa-

peristiwa yang terjadi di dalamnya (Sudjana, 2014).

Carin (dalam Sudjana, 2014:12) mengemukakan, bahwa Sains

merupakan pengetahuan yang sistematis, berlaku secara umum, serta

berupa kumpulam data hasil observasi atau penagamatan dan


24

eksperimen. Secara sederhana Sains juga dapat didefinisikan dengan

kata lain, Sains bukan hanya kumpulan pengetahuan mengenai benda,

atau makhluk hidup, melainkan menyangkut cara kerja, cara berpikir,

serta memecahkan masalah.

Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar dikenal dengan pembelajaran

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Konsep IPA di Sekolah Dasar

merupakan konsep yang masih terpadu, karena belum dipisahkan

secara tersendiri, seperti mata pelajaran kimia, biologi dan fisika.

2.2.5 Karakteristik Siswa Kelas Tinggi

Siswa Sekolah Dasar pada umumnya berada pada rentang usia 6-

12 tahun. Pada rentang usia ini, siswa SD sedang dalam tahap

perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik dan sosial.

Perkembangan yang terjadi pada tiap individu merupakan suatu

proses yang kompleks dan teratur karena banyak faktor yang

berpengaruh dan saling terjalin dalam berlangsungnya proses

perkembangannya. Setiap anak mempunyai karakteristik pada

pertumbuhan dan perkembangannya. Usia anak kelas V SD yang

berkisar 9-11 tahun mempunyai karakteristik pertumbuhan tersendiri

baik fisik maupun psikisnya.

Buhler ( dalam Sobur, 2003 : 132), menjelaskan bahwa pada

fase 9-11 tahun , anak mencapai objektivitas tertinggi, atau bisa juga

disebut dengan masa menyelidik, mencoba, dan bereksperimen,

yang distimulasi oleh rasa ingin tahu yang tinggi. Selain itu, pada fase
25

ini juga disebut sebagai masa pemusatan dan penimbunan tenaga

untuk berlatih, menjelajah, dan bereksplorasi.

Sementara Desmita (2012: 156), berpendapat jika pada usia

sekolah dasar, daya pikir anak berkembang kearah berpikir konkrit,

rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga

anak benar-benar dalam suatu stadium belajar.

Sedangkan Piaget (Desmita, 2012: 156), menyebutkan bawha

pemikiran anak-anak pada usia sekolah dasar disebut dengan pemikiran

operasional konkrit (concrete operational thought). Pada masa ini

anak mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep. Piaget juga

menyatakan bahwa proses berpikir anak-anak berubah secara

signifikan selama tahap operasi konkret. Anak-anak usia sekolah dasar

telah mampu untuk mengklasifikasi atau mengelompokkan sesuai

dengan perkembangan logis (Darmin, 2013: 64).

Pendapat di atas menggariskan, bahwa karakteristik siswa

Sekolah Dasar khususnya di kelas V telah mencapai kemampuan

berpikir yang rasional, senang bereksplorasi dan berkelompok.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan, bahwa karakteristik

siswa kelas V yang berkisar pada usia 9-11 tahun , mempunyai ciri,

yaitu sudah mulai berpikir logis terhadap suatu objek, memiliki rasa

ingin tahu yang tinggi sehingga anak lebih suka untuk menyelidiki,

bereksplorasi, timbul minat ke hal-hal tertentu dan senang

membentuk kelompok-kelompok sebaya.


26

2.3 Penelitian yang Relevan

Adapun beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki hubungan

dengan penelitian yang hendak dilakukan, yakni sebagai berikut.

1. Hasil penelitian Ratnaningsih Sri Handaani (2013), yang berjudul:

“Penerapan MetodePembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Pada

Mata Pelajaran IPA di Kelas IV SDN Malangga Selatan Tolitoli”

menunjukan bahwa prestasi hasilbelajar siswa model pembelajaran Think

Pair Share ketuntasan belajar klasikal, siklus I sebesar 43,6% menjadi

86,6% pada siklus II. Persamaan penelitian di atas dengan skripsi penulis

yaitu, menerapkan metode pembelajaran Think Pair Share dan

mengaktifan siswa melalui diskusi (bertukar pikiran) serta mengukur hasil

belajarnya.

2. Hasil Penelitian Wayan Raditya (2015), yang berjudul: “Pengaruh Model

Pembelajaran Koopratif Tipe Think Pair Share (TPS) Terhadap hasil

belajar siswa kelas IV SD Gugus Letda Made Putra Kecamatan Denpasar

Utara Tahun Ajaran 2014/2015” menunjukan hasil belajar yang

meningkat dibandingkan menggunakan metode konvensional. Persamaan

penelitian di atas dengan skripsi penulis, yaitu menerapkan model

pembelajaran Think Pair Share dan mengaktifkansiswa melalui diskusi

(bertukar pikiran) serta mengukur hasil belajarnya. Perbedaannya

penelitian tidak membandingkan penerapan model pembelajaran Think

Pair Share dengan model pembelajaran Konvensional.


27

3. Hasil penelitian Rahmi Yunus (2012), yang berjudul: “Penerapan Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share untuk Meningkatkan

Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 12 Gading Sari

Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar Tahun Pelajaran 2011/2012,”

terjadinya peningkatan aktivitas siswa selama proses pembelajaran karena

siswa dilatih untuk banyak berfikir dan saling bertukar pendapat baik

dengan teman sebangku ataupun dengan teman sekelas siswa. Persamaan

penelitian di atas dengan skripsi penulis, yaitu menerapkan model

pembelajaran Think Pair Share dan mengaktifkan siswa melalui diskusi

serta mengukur hasil belajarnya.

2.4 Kerangka Berpikir

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah memalui

kegiatan belajar, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil belajar erat kaitannya

dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru sebagai salah satu

faktor yang dominan. Proses pembelajaran yang baik akan mendorong siswa

mencapai hasil belajar yang optimal. Pembelajaran yang baik adalah proses

yang dilaksanakan sesuai dengan karakteristik siswa dan materi

pembelajaran. Kaitannya dengan Ilmu Pengetahuan Alam, maka

pembelajaran yang dilaksanakan hendaknya disesuaikan dengan karakteristik

mata pelajaran tersebut serta karakteristik siswa yang dijadikan subjek

pembelajaran.

Karakteristik IPA yang didefinisikan Susanto (2016:2), sebagai usaha

manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat pada
28

sasaran, serta menggunakan prosedur dan dijelaskan dengan penalaran,

sehingga mendapatkan suatu kesimpulan. Mengandung arti bahwa IPA

dilaksanakan melalui kegiatan belajar yang nyata melalui kegiatan

mengamati, mengumpulkan informasi serta mengkomunikasikan.

Karakteristik Siswa Sekolah Dasar khususnya di kelas V telah

mencapai kemampuan berpikir yang rasional, senang bereksplorasi dan

berkelompok. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan, bahwa

karakteristik siswa kelas V yang berkisar pada usia 9-11 tahun , mempunyai

ciri, yaitu sudah mulai berpikir logis terhadap suatu objek, memiliki rasa

ingin tahu yang tinggi, sehingga anak lebih suka untuk menyelidiki,

bereksplorasi, timbul minat ke hal-hal tertentu dan senang membentuk

kelompok-kelompok sebaya.

Model pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share merupakan

Model yang relevan dengan karakeristik IPA dan peserta didik di kelas V

sebagaimana pandangan Isjoni, (2010: 78), bahwa tehnik ini memberikan

siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain

serta adanya optimalisasi partisipasi siswa, yaitu memberi kesempatan

delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan

partisipasi mereka kepada orang lain. Oleh karena model ini mampu

mengarahkan siswa untuk mempelajari materi kedalam permasalahan yang

nyata kemudian dikomunikasikan secara berpasangan, maka diharapkan

proses pembelajaran menjadi optimal, sehingga dapat berpengaruh terhadap

optimalisasi pencapain hasil belajar kognitif siswa.


29

Model
Karakteristik Siswa Pembelajaran Karakteristik IPA
Kelas V Kooperatif tipe
Think-Pair-Share

Proses Pembelajaran Kuantitatif Eksperimen


IPA

Hasil Belajar IPA


Siswa

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajan teori dan kerangka berpikir, maka dirumuskan

hipotesis sebagai berikut :

1. 𝐻𝑎 : Ada Pengaruh Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think-

Pair-Share Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Sekolah Dasar

di Gugus 2 Sengkol Tahun Pelajaran 2019/2020.

2. 𝐻0 : Tidak ada Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-

Share Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Sekolah Dasar di

Gugus 2 Sengkol Tahun Pelajaran 2019/2020.

Anda mungkin juga menyukai