PENDAHULUAN
Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah
umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil
penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30
% atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta
diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru
UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum menurun.
Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan
angkaangka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik
57,1%, gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.
Tingginya prevalensi penyakit KKP disebabkan pula oleh faktor tingginya angka kelahiran.
Menurun Morley (1968) dalam studinya di Nigeria, insidensi kwashiorkor meninggi pada
keluarga dengan 7 anak atau lebih. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gopalan (1964) pada
1400 anak prasekolah menunjukkan bahwa 32% diantara anak-anak yang dilahirkan sebagai
anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda KKP yang jelas, sedangkan anakanak
yang dilahirkan terlebih dahulu hanya 17% memperlihatkan gejala KKP. Ia berkesimpulan
bahwa 62% dari semua kasus kekurangan gizi pada anak prasekolah terdapat pada anak-anak
keempat dan berikutnya.
Mortalitas KKP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada
tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara
mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya.
Menurut WHO, 150 juga anak berumur di bawah 5 tahun menderita KKP dan 49% dari 10,4 juga
anak berumur di bawah 5 tahun meninggal karena KKP yang kebanyakan terjadi di negaranegara
yang sedang berkembang.
KKP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KKP disebabkan karena defisiensi
macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari
defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KKP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya
penurunan prevalensi KKP (Aritonang, 2008).
Penyakit akibat KKP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan
Manismic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. KKP umumnya diderita
oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami
Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka
bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami Marasmus adalah badan kurus kering,
rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, 2008). Adapun yang menjadi penyebab
langsung terjadinya KKP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada
orang dewasa, KKP timbul pada anggota keluarga rumahtangga miskin olek karena kelaparan
akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian. Bentuk berat dari KKP di beberapa daerah
di Jawa pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem) (Aritonang,
2008).
Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat ± 1 milyar penduduk dunia yang
kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu
masih ada ± 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas
minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara
normal(Aritonang, 2008) .
Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok
yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa
daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi
kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan
sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi
pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan
keadaan gizi masyarakat (Aritonang, 2008).
Untuk memenuhi tugas Keperawatan Anak yang berupa makalah tentang malnutrisi.
3. Bagi penulis :Terpenuhinya tugas keperawatan anak yang berupa makalah Malnutrisi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat
masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang
cukup lama (Ngastiyah, 1997).
Gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori dalam makanan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. (AKG)
2.2 Etiologi
protein, hambatan utilisasi zat gizi. Adanya penyakit infeksi dan investasi
gizi yang menjadi dasar timbulnya KEP. Penyebab langsung KEP dapat
dijelaskansebagaiberikut:
a. Penyakit infeksi
batuk rejang, TBC, malaria, diare, dan cacing, misalnya cacing Ascaris
utilisasi zat-zat gizi yang dapat menurunkan daya tahan tubuh yang
KKP.
b. Konsumsi makan
KKP sering dijumpaipada anak usia6 bulan hingga 5 tahun dimana pada usia tersebut tubuh
memerlukan zat gizi yang sangat tinggi, sehingga apabila kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi
maka tubuh akan menggunakan
cadangan zat gizi yang ada di dalam tubuh, yang berakibat semakin lama cadangan semakin
habis dan akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang menimbulkan perubahanpada gejala
klinis.
c. Kebutuhan energi
Kebutuhan energi tiap anak berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh metabolisme basal tubuh,
umur, aktivitas, fisik, suhu, lingkungan serta kesehatannya. Energi yang dibutuhan seseorang
tergantung pada beberapa faktor,yaitu jeniskelamin,umur,aktivitas fisik,dan kondisi psikologis.
d. Kebutuhan protein
Protein merupakan zat gizi penting karena erat hubungannya dengan kehidupan.
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh dan kembang
anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat menerima segala informasi dari
luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik. Seorang ibu dengan pendidikan yang
tinggi akan dapat merencanakan menu makan yang sehat dan bergizi bagi dirinyadan
keluarganya. Pengetahuan ibu tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan
dengan tujuan membersihkan kotoran, tetapi sering kali dilakukan berlebihan sehingga merusak
dan mengurangi zat gizi yang dikandungnya.
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua
dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer seperti makanan maupun yang
sekunder.Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli. Keluarga
yang pendapatannya rendah membelanjakan sebagian besar untuk serealia, sedangkan keluarga
dengan pendapatan yang tinggi cenderung membelanjakan sebagian besar untuk hasil olah susu.
Jadi, penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Antara
penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yang menguntungkan. Pengaruh peningkatan
penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi
dengan status gizi yang berlaku hampir universal.
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan social ekonominya cukup akan
mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak, lebih-lebih kalau
jarak anak terlalu dekat. Adapun pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang,
jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kurangnya kasih saying dan perhatian pada anak,
juga kebutuhan primer seperti makanan,sandang,papan tidak terpenuhi.
Penyebab tidak langsung dari KKP ada beberapa hal yang dominan, antara lain pendapatan yang
rendah sehingga daya beli terhadap makanan terutama makanan berprotein rendah. Penyebab
tidak langsung yang lain adalah ekonomi negara, jika ekonomi negara mengalami krisis moneter
akan menyebabkan kenaikan harga barang, termasuk bahan makanan sumber energy dan protein
seperti beras, ayam, daging, dan telur. Penyebab lain yang berpengaruh terhadap defisiensi
konsumsi makanan berenergi dan berprotein adalah rendahnya pendidikan umum dan pendidikan
gizi sehingga kurang adanya pemahaman peranan zat gizi bagi manusia. Atau mungkin dengan
adanya produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan, jumlah anak yang terlalu banyak,
kondisi higiene yang kurang baik, sistem perdagangan dan distribusi yang tidak lancer serta tidak
merata (AdrianidanWijatmadi,2012).
2.3 Patofisiologi
Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal untuk
kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energi yang didapat, dipengaruhi oleh makanan
yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein digunakan
juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut. Kekurangan energi protein dalam makanan
yang dikonsumsi akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino essensial yang
dibutuhkan untuk sintesis, oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi
insulin akan meningkat dan sebagai asam amino di dalam serum yang jumlahnya sudah kurang
tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab
kurangnya pembentukan alkomin oleh heper, sehingga kemudian timbul edema perlemahan hati
terjadi karena gangguan pembentukan lipo protein beta sehingga transport lemak dari hati ke hati
dapat lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumuasi lemak dalam heper. (Ilmu kesehatan
anak, 1998).
Perjalanan penyakit Kurang Kalori Protein (KKP) yang terdiri dari marasmus (kurang
protein dan kalori) dan kwashiorkor (kurang protein) diawali dengan adanya ketidakseimbangan
pasokan protein dan kalori dengan kebutuhan sebenarnya. Penyakit yang biasanya melanda anak-
anak di negara miskin dan berkembang ini disebabkan oleh selain dari kurangnya pasokan
sumber nutrisi terpenting seperti protein, karbohidrat dan lemak sebagai penyebab utama, infeksi
yang kronis dan tergolong berat, khususnya yang disertai dengan diare, juga meningkatkan angka
kejadian KKP (Dixone, 2008).
2.4 Pathway
2.5 Manifestasi Klinis
Anak-anak dengan KKP kronis, tergolong kecil untuk umur dan cenderung tidak aktif secara
fisik, apatis, dan mudah terkena infeksi. Anoreksia dan diare juga sering dijumpai pada anak
yang mengalami KKP (Behrman, 2007).
Pada KKP akut, anak tampak kecil, sangat kurus tampak seperti tulang yang hanya dilapisi kulit
tanpa adanya jaringan lemak di bawah kulit.2 Kulit kering, dan “baggy” seperti, rambut jarang
dan berwarna coklat kusam atau kuning kemerahan. Temperatur tubuh rendah, denyut nadi dan
frekuensi pernapasan melambat. Mereka juga tampak lemah, irritable, dan biasanya lapar,
walaupun ada beberapa yang mengalami anoreksia disertai mual dan muntah (Behrman, 2007).
Pada penderita yang mengalami KKP, gejala klinis yang khas untuk marasmus adalah triangular
face, amenore primer atau sekunder, perut yang melar (akibat dari hipotonus otot abdomen),
prolapsus anal atau rektal (akibat dari kehilangan lemak perianal). Sedangkan pada penderita
kwashiorkor manifestasi klinis yang sering dijumpai adalah edema, perubahan pada warna kulit
dan rambut, anemia, hepatomegali, letargi, defisiensi imunitas yang berat, dan kematian yang
cepat (Behrman, 2007).
Edema yang tidak terjadi pada penderita marasmus sedangkan sering dijumpai pada penderita
kwashiorkor masih sering diperdebatkan.1 Protein yang diketahui sebagai pengatur tekanan
onkotik plasma, akan hilang fungsinya jika tidak mencapai kadar yang sesuai dalam pembuluh
darah, sehingga menyebabkan edema dan asites. Tetapi pada penderita kwashiorkor lebih banyak
mengalami edema dan asites dipercaya akibat anemia berat yang dialami oleh penderita karena
dari beberapa penelitian didapati bahwa konsentrasi total protein dalam plasma pada penderita
marasmus tidak jauh berbeda dengan penderita kwashiorkor (Behrman, 2007).
Organ vital yang sering mengalami degeneradsi pada penderita KKP adalah hati dan jantung.
Akibatnya akan terjadi insufisiensi pada otot-otot jantung, yang akhirnya akan menjadi gagal
jantung. Hilangnya lemak subkutan menyebabkan anak-anak penderita KKP tidak memiliki
kemampuan untuk pengaturan suhu tubuh yang baik dan menurunkan cadangan air. Hal ini akan
berujung pada dehidrasi, hipotermi dan hipoglikemi jika dibandingkan dengan anak-anak yang
sehat. Pada KKP berat juga terjadi atrofi vili-vili usus halus sehingga penyerapan nutrisi pun
tidak baik yang akhirnya memperparah keadaan si penderita (Behrman, 2007).
d. Jaringan lemak dibawah kulit menghilang, kulit keriput dan tanus otot
menurun.
e. Kulit bersisik
f. Anemia
g. Carzy pavemen permatosisis (bercak-bercak putih dan merah muda dengan tepi hitam).
h. Pembesaran hati
2.6 Klasifikasi
Bentuk Klinis:
Bentuk klinis:
Bentuk klinis:
a. Gambaran klinis marasmus-kwashiorkor merupakan campuran dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus dengan BB/umur <60% baku median WHO NCHS dengan
edema yang mencolok.
b. Pada setiap penderita KKP berat selalu diperiksa gejala defisiensi nutrient mikro yang
sering menyertai seperti vitamin A, anemia, stomatitis ( vitamin B dan C ), serta dicari
penyakit penyerta seperti infeksi bakteri, TBC, cacingan.
2.7 Komplikasi
Vitamin A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata terkena
cahaya).Jika tidak segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia (menjadi buta).
Dianggap sebagai faktor anti anemia dalam faktor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12 dapat
menyebabkan anemia pernisiosa.
7. Defisiensi Vitamin C
Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat merugikan tumbuh
kembang anak.
9. Tuberkulosis paru dan bronkopneumonia.
Noma atau stomatitis merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga
dapat menembus pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan tubuh sedang menurun. Bau
busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini (Muller, 2005).
2.8 Pencegahan
1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak
mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan
tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak,
vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori
yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati
apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan
hal itu ke dokter.
4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola
dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi
dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah
sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula
suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil
yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi
kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang
permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
1) Memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai biologik tinggi, tinggi
kalori, cukup cairan, vitamin dan mineral.
2) Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap.
3) Makanan diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap makanan sangat rendah. Protein
yang diperlukan 3-4 gr/kg/hari, dan kalori 160-175 kalori.
4) Antibiotik diberikan jika anak terdapat penyakit penyerta.
5) Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi terhadap keluarga.
Dalam keadaan dehidrasi dan asidosis pedoman pemberian cairan parenteral adalah sebagai
berikut:
1) Jumlah cairan adalah 200 ml/kgBB/hari untuk kwashiorkor atau marasmus kwashiorkor, dan
250 ml/kg BB/hari untuk marasmus.
2) Jenis cairan yang dipilah adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan menjadi
10% bila terdapat hipoglikemia.
3) Cara pemberiannya adalah sebanyak 60 ml/kg BB diberikan dalam 4-8 jam pertama,
kemudian sisanya diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya.
Makanan tinggi energi tinggi protein (TETP) diolah dengan kandungan protein yang dianjurkan
adalah 3,0-5,0 gr/kg BB dan jumlah kalori 150-200 kkal/kg BB sehari.
Asam folat diberikan per oral dengan variasi dosis antara 3×5 mg/hari pada anak kecil dan 3×15
mg/hari pada anak besar. Kebutuhan kalium dipenuhi dengan pemberian KCL oral sebanyak 75-
150mg/kg BB/hari (ekuivalen dengan 1-2 mEq/kg BB/hari); bila terdapat tanda hipokalemia
diberikan KCl secara intravena dengan dosis intramuskular atau intravena dalam bentuk larutan
MG-sulfat 50% sebanyak 0,4-0,5 mEq/kgBB/hari selama 4-5 hari pertama perawatan.
1. Memberikan makanan yang mengandung banyak protein, tinggi kalori, cukup cairan, vitamin
dan mineral.
2. Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah diserap dan dicerna
5. Tindak lanjut bersehatan berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi
terhadap keluarga.
b. Terapi dietik (Junia, 2009) 3 tahap cara pemberian makanan pada KKP adalah Tahap
Penyesuaian (Junia, 2009)
1. Berat badan < 7 kg Pada penderita dengan berat badan dibawah 7 kg jenis makanan yang
diberikan adalah makanan bayi. Pada awal perawatan makanan utama adalah susu yng
diencerkan ( 1/3, 2/3, 3/3) atau susu formula rendah laktosa. Untuk tambahan kalori dapat
diberikan glukosa 2 – 5 % dan tepung 2 %.
2. Berat badan > 7 kg Pada penderita dengan berat badan diatas 7kg jenis makanan yang
diberikan adalah makanan anak umur satu tahun. Pemberian kalori 50 kkal/kgBB, protein 0,1
g/kgBB, cair200 ml/kgBB, makanan cair kental ( 1/3 , 2/3, 3/3). Sumber makanan utama adalah
susu dengan tambahan kalori glukosa 5%.
Pada tahap penyembuhan, toleransi terhadap makanan dan nafsu makan sudah membaik. Ien
Pemberian makanan dapat ditingkatkan secara berangsur setiap 1-2 hari. Konsumsi kalori 150 –
200 kkal/kgBB dan protein 3,0 – 5,0 g/kgBB. Tahap Lanjutan (Junia, 2009) Pada tahap lanjutan,
pemberian makanan kembali ke kebutuhan nutrien baku.
3. Tambahan KCL 75 – 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis, MgSO4 50% sebanyak 0,25
ml/kgBB/hari secara IM.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
a. inspeksi: Meliputi observasi sistemik keadaan pasien sehubungan dengan status gizi
pasien meliputi :
1) Pemampilan umum pasien menunjukkan status nutrisi atau gizi pasien
2) Pada kwashiorkor; apakah ada edema, rambut rontok, BB menurun, muka seperti
bulan.
3) Pada marasmus : badan kurus, atrofi otot, rambut kemerahan dan kusam, tampak
siannosis, perut membuncit
b. Palpasi Pada marasmus terdapat tugor kulit yang jelek dan pada kwashiorkor terdapat
pembesaran hati
3.3 Diagnosa Keperawatan
• Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d asupan yang tidak adekuat,
anoreksia dan diare.
• Kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan peroral dan peningkatan
kehilangan akibat diare.
• Gangguan integritas kulit b/d tidak adanya kandungan makanan yang cukup
• Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein
yang tidak adekuat dan proses penyakit kwashiokor dan marasmus.
• Kurangnya pengetahuan b/d tidak tahu memberikan intake nutrisi yang adekuat
pada anak
3.4 Intervensi Keperawatan
No NDX NOC NIC
3.5 EVALUASI
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
• Dapat disimpulkan bahwa KKP merupakan suatu keadaan di mana tubuh
mengalami gangguan terhadap absorbsi, pencernaan, dan penggunaan zat gizi untuk
pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas.
• Penyebab KKP secara langsung ialah karena kurangnya asupan makanan:
Kurangnya asupan makanan sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah
makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara
pemberian makanan yang salah. Serta karena adanya penyakit infeksi.
• Sedangkan penyebab yang tidak langsung ialah kurangnya ketahanan pangan
keluarga, kualitas perawatan ibu dan anak, sanitasi lingkungan yang kurang,
buruknya pelayanan kesehatan
• Penderita marasmus tanpa komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan
mengenai pemberian makanan yang baik; sedangkan penderita yang mengalami
komplikasi serta dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di
rumah sakit.
• Penatalaksanaan kwashiorkor bervariasi tergantung pada beratnya kondisi anak.
Keadaan shock memerlukan tindakan secepat mungkin dengan restorasi volume
darah dan mengkontrol tekanan darah. Pada tahap awal, kalori diberikan dalam
bentuk karbohidrat, gula sederhana, dan lemak. Protein diberikan setelah semua
sumber kalori lain telah dapat menberikan tambahan energi. Vitamin dan mineral
dapat juga diberikan.
4.2 Saran
Demikian materi yang kami paparkan,tentunya masih banyak kekurangan
dankelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap
para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun
demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan-kesempatan
berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga
parapembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ns. Dony Setiawan Hendycha Putra,dkk. 2014. Keperawatan Anak dan Tumbuh Kembang.
Yogyakarta : NuhaMedika
Nurari, Amin H dan Hardhi Kusuma. 2015 Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta : MediAction.
Suhada, Rahman. 2018. Kurang Kalori Protein Pada Anak, diakses dari
https://id.scribd.com/380265416/kalori-protein-kkp-pada-anak. Pada 4 maret 2020