Anda di halaman 1dari 22

[12/5/2018, 09:02] Sensei Iman Al Hakim: *MANUSIA YANG TAK TERSENTUH API NERAKA.

Bila kita berharap menjadi orang Muslim, Mu'min yang tidak akan disentuh api neraka,

Perhatikanlah Hadits berikut ini .

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda :

"Maukah kalian aku tunjukkan orang yang Haram baginya tersentuh api neraka ?"....

Para sahabat berkata :

Mau, wahai Rasulallah !"..

Beliau menjawab :

-yang Haram tersentuh api neraka adalah- orang yang *"Hayyin, Layyin, Qariib, Sahl".*

(H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Hiban)...

Apa itu *Hayyin*?,

ialah adalah orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir maupun batin. Cirinya tidak mudah
memaki, melaknat orang lain, serta teduh jiwanya..

*Layyin*. Yaitu, Orang yang lembut dan santun, baik dalam bertutur-kata serta bersikap dan berprilaku,
tidak kasar, tidak semaunya sendiri, lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk sesama
manusia...
*Qariib*. Yaitu, Orang yang cepat dekat dengan siapa saja, cepat akrab, ramah & enak diajak bicara,
menyenangkan bagi lawan bicaranya, murah senyum jika bertemu, tidak angkuh dan tidak mengabaikan
orang lain...

*Sahl*. Yaitu, Orang yang memudahkan urusan orang lain, ringan tangan untuk membantu, tidak
mempersulit sesuatu, selalu ada solusi bagi setiap permasalahan...

*Subhanallah*...

Semoga kita menjadi bagian dari golongan orang-orang yang Allah haramkan dari api neraka...

Semoga bermanfaat

[12/11/2018, 14:29] Sensei Shanti: THARIQAH MENURUT HABIB LUTHFI BIN YAHYA

Ma’rifat adalah “mengerti dan mengenal”. Mengerti belum tentu mengenal, tapi kalau mengenal sudah
pasti mengerti. Jadi ma’rifat di sini adalah mengenal Allah Swt., seperti halnya kita mengetahui sifat-
sifatNya, baik yang wajib, mustahil dan jaiz. Tapi pengenalan itu baru pondasi. Untuk mengenal lebih
jauh kita harus sering-sering mendekati Allah Swt. agar Allah juga mendekat dengan kita.

Makhluk Allah banyak yang mengerti tapi tidak mengenal Allah. Dengan ilmu ma’rifat ini, kita belajar
mengenal Allah dan Allah pun akan mengenali kita. Tapi tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan
ritual-ritual khusus untuk bisa lebih dekat dengan Allah dan agar kita juga tidak lalai dengan Allah.

Bila dalam mengenal Allah kita sudah dapat saling mengenal, berarti kita sudah semakin dekat dengan
Allah. Tapi pasti pengenalan seseorang dengan Allah berbeda-beda, tergantung dengan tahapan-
tahapannya. Itulah pentingnya wirid untuk mencapai tingkatan kema’rifatan yang tinggi.

Sebenarnya dalam thariqah yang dikhususkan adalah cara membersihkan hati, tashfiyatulqulub atau
tazkiyatunnufus. Sedangkan bacaan-bacaannya (wiridan) adalah sebagai nilai tambahan untuk
pendekatan kepada Allah Swt.
Thariqah sebagian besar adalah mengamalkan kalimat “La ilaha illallah” atau kalimat “Allah” sebanyak-
banyaknya sesuai ketentuan oleh thariqah itu sendiri. Ada yang mewiridkan secara sirr (dalam hati atau
pelan) dan ada pula yang mewiridkannya secara jahr (keras).

Wirid yang paling baik sebenarnya adalah membaca al-Quran, karena dalam hadits dijelaskan bahwa
“Barangsiapa ingin berdialog dengan Allah, maka bacalah al-Quran”. Dialog dengan Tuhan adalah wirid
yang paling indah. Kemudian membaca kalimat thayibah seperti lafadz “La ilaha illallah”, maka Allah akan
menjamin surga bagi para pembaca kalimat tersebut. Kemudian lafadz-lafadz yang lainya seperti
istighfar, shalawat, tahmid, tasbih, asmaul husna, karena itu semua juga adalah kalimat-kalimat yang
sering dibaca oleh Rasulullah Saw. dan kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat yang biasa dibaca oleh
para jamaah thariqah.

Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa, thariqah juga amalan yang tidak gampang untuk dijalani.
Karena apabila terjadi kelalaian dalam pengerjaannya kita akan berdosa, sebab amalan dalam thariqah
adalah suatu keharusan (kewajiban) untuk dikerjakan. Tapi kalau dilihat dari segi positifnya memang
thariqah tersebut adalah proses kita untuk lebih mengenali Allah.

Disamping itu, thariqah dapat melepaskan kedua penyakit hati yang ada pada diri kita; untuk mengatasi
kealpaan dalam hati dan menghilangkan noktah atau kotoran yang ada. Sebab amalan dalam thariqah
adalah kewajiban maka orang akan berhutang apabila tidak mengerjakan amalan tersebut, dan akan
mengerjakannya walaupun dalam keadaan apapun. Dan thariqah juga dapat menghapus hijab pembatas
yang terdapat dalam dirinya yang mengakibatkan sifat lalai serta banyak lupa kepada Allah Swt.

Kalau seseorang ingin hatinya bersih dan membersihkan hati setidaknya orang tersebut mempunyai
ketertarikan terhadap thariqah tersebut, karena kalau dilihat dari fungsi thariqah adalah menghapuskan
kotoran dalam hati dengan selalu mengamalkan dzikirnya. Karena dari dzikir tersebut orang akan selalu
tenang dan sabar dalam menghadapi setiap masalah yang ia hadapi, karena orang tersebut akan selalu
merasa dekat dengan Allah.

Kaitan Thariqah dan Syariat


Kalau kita pahami lebih lanjut, thariqah dan syariat sebenarnya memang tidak dapat dipisahkan, karena
tujuan keduanya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena ketika seseorang berthariqah
tetapi ia meninggalkan syariat, maka itu juga salah karena ia telah meninggalkan kewajibannya.

Thariqah adalah buah dari syariat. Jadi kalau berthariqah tidak boleh lepas dari pintunya dahulu yaitu
syariat. Karena syariatlah yang mengatur tentang kehidupan kita, dengan menggunakan hukum, dari
mulai aqidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kitab Allah, para rasul,
hari akhir, takdir yang baik dan buruk. Dan dengan syariat pula kita mengetahui rukun Islam, yaitu dua
kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Setelah kita dapat menjalankan syariat dengan baik, dan kita sudah memgetahui hukum-hukum dalam
syariat maka kita baru menuju pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu menuju thariqah dan belajar untuk
mengenal Allah. Maksudnya bahwa thariqah adalah tingkatan bagi orang yang sudah cukup ilmunya,
terutama yang sudah diwajibkan syariat. Karena tidak semua orang langsung dapat menuju pada tingkat
thariqah.

Orang yang menuju thariqah haruslah mengetahui Allah, seperti mengetahui tentang sifat wajib dan
mustahil Allah, dan juga mengetahui sifat mumkin (jaiz) Allah. Orang tersebut juga mengetahui tentang
hukum-hukum dalam beribadah, seperti rukun wudhu, rukun iman, hal-hal yang membatalkan wudhu,
rukun shalat serta hal-hal yang membatalkan dalam shalat. Dan juga orang tersebut dapat membedakan
mana yang halal dan yang haram. Bilamana hal-hal tersebut sudah dapat terpenuhi maka tidak ada
salahnya apabila orang tersebut masuk ke dalam thariqah.

Antisipasi dalam Berthariqah

Perlu diketahui juga bahwa sufisme itu sudah tidak asing lagi di kalangan kita, dan telah menjadi warna di
kota-kota besar di beberapa negara. Jika kita tertarik pada thariqah atau perkumpulan dzikir tertentu,
kita juga harus mengetahui tentang perkumpulan tersebut. Karena di jaman sekarang banyak organisasi-
organisasi yang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan mereka dan menyelewengkan tentang
hukum-hukum yang telah ditetapkan.

Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, yang perlu kita lakukan adalah seperti apakah thariqah tersebut
dan siapakah yang memimpin thariqah tersebut. Meskipun dalam dzikir yang dibaca itu memang dari
Rasulullah Saw., namun terkadang ada kelompok yang menyelewengkannya atau menyimpang dari
ajaran sehingga keluar dari jalan yang benar dan menyesatkan.

Pada thariqah yang kita perlu ketahui dahulu adalah alirannya, semissal thariqah Qadiriyah, Syadziliyah,
Syatariyah dan lain sebagainya. Menurut data yang ada pada Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-
Nahdliyyah (JATMAN), jumlah thariqah yang diakui itu ada sekitar 70 thariqah. Penegasan muktabar atau
tidaknya sebuah thariqah tentu harus melalui suatu penelitian. Pertama dari ajarannya, kemudian dari
ketentuan wiridnya tergolong ma’tsur atau tidak, dan yang ketiga memiliki silsilah atau mata rantai
dengan guru yang jelas hingga pada pendiri thariqah tersebut.

Guru thariqah yang merupakan guru ruhani itu haruslah orang yang mengerti tentang agama. Jika tidak
mengerti maka bisa diragukan kapasitas keguruannya. Sebab bagaimana ia bisa memimpin suatu
organisasi ritual dan keruhanian sementara ia tidak mengerti tentang agama? Sebab orang yang telah
menapak jalur thariqah haruslah sudah sempurna syariatnya dan guru tersebut juga telah menjalankan
semua kewajiban agama bahkan termasuk shalat sunnahnya. Hal ini juga terkait dengan akhlak sang
guru. Seseorang dianggap mengerti tentang ilmu agama minimal bisa dilihat dari bacaan al-Qurannya.
Sebab seorang ulama diukur pertama kalinya dari pemenuhan syarat menjadi imam shalat antara lain
dari kefasihannya membaca ayat-ayat al-Quran.

Memang dalam kenyataannya, terkadang banyak orang yang bingung tentang thariqah, ada yang ingin
masuk tetapi belum sampai pada tingkatan tersebut dan juga belum mengetahui tentang pentingnya
berthariqah. Perlu kita ketahui, jika kita masuk pada thariqah maka keimanan kita akan terbimbing.
Disitulah peran para guru mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, ma’rifat kita tidak salah dan tidak
sembarangan menempatkan diri sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut.

Antara Berthariqah dan Tidak

Bagaimana dengan orang yang tidak berthariqah? Syarat berthariqah itu harus mengetahui syariatnya
dahulu, artinya kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dapat dipahami.
Diantaranya hak Allah Swt., lalu hak para rasulNya. Setelah kita mengenal Allah dan RasulNya kita perlu
meyakini apa yang telah disampaikannya, seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan
shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu.
Begitu juga mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu dan lain-lain.
Orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirinya, tentu tidak sama dengan orang yang
menempuh jalan kepada Allah secara bersama-sama yaitu melalui seorang mursyid. Sebagai contoh
kalau kita ingin ke Mekkah dan kita belum pernah ke Mekkah dan belum mengenal Mekkah, tentu
berbeda dengan orang yang datang ke tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekali tempat tersebut, karena meyakini berdasarkan informasi dan
kemampuannya maka itu sah-sah saja. Namun bagi orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan
sempurna, karena pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun yamani, sumur
zamzam, makam Ibrahim, dan lain-lain. Meski orang tersebut sudah sampai ke Ka’bah namun apabila
tidak tahu rukun yamani, dia tidak akan mampu untuk thawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang yang ingin berthariqah haruslah melalui para guru atau
mursyid, agar jalan yang ditempuh dapat berjalan dengan baik dan bisa mendekatkan diri kepada Allah
sedekat mungkin.

Agama Islam adalah agama yang fleksibel, yaitu maksudnya bahwa agama Islam tidak memberatkan
kepada umatnya tentang suatu ibadah. Dalam arti orang Islam melakukan suatu ibadah itu menurut
kemampuannya masing-masing, karena kemampuan seseorang dengan orang yang lain tentu berbeda-
beda. Itulah sebabnya mengapa tingkatan-tingkatan seseorang dalam beribadah kepada Allah pun
berbeda-beda pula. Memang tujuannya sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi
tentu hasilnya akan berbeda menurut dengan usaha yang dilakukan.

Dalam beribadah tentu sekelompok orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencapai
kesempurnaan untuk dapat mengerti Allah dan dekat dengan Allah Swt. Cara-cara tersebut sah-sah saja
asal tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh syariat, dan tidak menyesatkan.

Kaitan Thariqah dan Tasawuf

Tasawuf adalah salah satu usaha peniadaan diri, yaitu menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk
mengabdi kepada Allah Swt. Itulah cara yang kebanyakan ditempuh oleh seorang sufi, melalui ritual-
ritual khusus dan amalan-amalan yang berbeda-beda pula. Amalan-amalan tersebut ditunjukan untuk
menyanjung Allah dan mengakui kebesaran Allah Swt. Allah adalah Dzat yang Mahapengasih dan
penyayang. Barangsiapa yang ingin berusaha dengan sungguh-sungguh pasti Allah akan
mengabulkannya.
Thariqah itu min ahli la ilaha illallah, dimana ajarannya mencermikan setelah kita iman dan Islam lalu
ihsan. Makna ihsan dalam hal ini adalah menyembahlah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah.
Kalau tidak mampu, kita harus yakin bahwa kita sedang dilihat Allah Swt. Dengan merasa didengar dan
dilihat oleh Yang Maha Kuasa, itu akan mengurangi perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri
apalagi kepada orang lain. Karena kita malu, takut kepada Yang Maha Kuasa.

Tasawuf itu sendiri berfungsi untuk menjernihkan hati dan membersihkan hawa nafsu dari berbagai sifat
yang dimiliki manusia, utamanya sifat kesombongan yang disebabkan oleh banyak hal. Jika ajaran
tasawuf itu diamalkan, tidak ada yang namanya saling dengki dan saling iri, justeru yang muncul adalah
saling mengisi.

Tasawuf itu buah dari thariqah. Pakaian thariqah adalah tasawuf yang bersumberkan dari akhlak dan
tatakrama (adab). Contohnya, orang masuk kamar mandi dengan kaki kiri terlebih dahulu, masuk masjd
mendahulukan kaki kanan, dll. Itu semua ajaran tasawuf. Contoh lain, sebelum makan baca Basmalah
dan setelah selesai baca Hamdalah. Apa yang diajarkan dalam tasawuf sebagai bentuk rasa terimakasih
kepada yang memberi rejeki. Kita ambil satu butir nasi yang terjatuh, karena kita sadar bahwa kita tidak
bisa membuat butir nasi, lalu kita bersyukur. Itu semua ajaran tasawuf.

Nah, kalau syariat itu terbatas. Maka jika syariat yang diberlakukan, orang mabuk tidak boleh berdekatan
dengan orang Muslim. Kalau tasawuf tidak demikian, mereka harus diajak bicara, mengapa mereka
mabuk. Kita tidak boleh tunduk dengan pejabat karena ada alasan tertentu, akan tetapi kita wajib
menjaga wibawa pejabat di hadapan umum, sekalipun dengan pribadi kita ada ketidakcocokan. Akan
tetapi jangan asal tabrak. Ini semua juga ajaran tasawuf.

Berthariqah dan Batasan Usia

Jika belajar dzikir kepada Allah Swt. menunggu sudah tua, iya kalau umurnya sampai tua. Bagaimana
kalau masih muda meninggal? Yang terpenting adalah mereka mengerti tata urutan berthariqah,
mengerti syarat dan rukunnya dulu seperti masalah wudhu dan shalat, mengerti sifat wajib, jaiz dan
mustahil Allah, mengetahui halal dan haram.
Kalau menertibkan hati menunggu tua, nanti terlanjur hati berkarat tebal. Maka sejak usia muda
seyogyanya mereka mulai mengamalkan ajaran thariqah, seperti MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqah An-
Nahdliyyah).

Apakah boleh mengikuti baiat thariqah, padahal masih belajar ilmu syariat? Setiap Muslim tentu boleh,
bahkan harus, berusaha menjaga serta meningkatkan kualitas iman dan Islam di hatinya dengan berbagai
cara. Salah satunya dengan berthariqah. Namun berthariqah sendiri bukan hal yang sangat mudah.
Karena, sebelum memasukinya, seseorang harus terlebih dulu mengetahui ilmu syariat. Tapi juga bukan
hal yang sangat sulit, seperti harus menguasai seluruh cabang ilmu syariat secara mumpuni.

Yang diprasyaratkan untuk masuk thariqah hanya pengetahuan tentang hal-hal yang paling mendasar
dalam ilmu syariat. Dalam aqidah, misalnya, ia harus sudah mengenal sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi
Allah. Dalam fiqih, ia sudah mengetahui tata cara bersuci dan shalat, lengkap dengan syarat, rukun, dan
hal-hal yang membatalkannya, serta hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh agama.

Jika dasar-dasar ilmu syariat sudah dimiliki, ia sudah boleh berthariqah. Tentu saja ia tetap mempunyai
kewajiban melengkapi pengetahuan ilmu syariatnya yang bisa dikaji sambil jalan. Syariat lainnya adalah
umur yang cukup (minimal 8 tahun), dan khusus bagi wanita yang berumah tangga harus mendapat izin
dari suami. Jika semuanya sudah terpenuhi, saya mengimbau segeralah ikut thariqah.

Semua thariqah, asalkan mu’tabarah, ajarannya murni dan silsilahnya bersambung sampai Rasulullah
Saw., sama baiknya. Karena semua mengajarkan penjagaan hati dengan memperbanyak dzikrullah,
istighfar dan shalawat. Yang terpenting, masuklah thariqah dengan niat agar kita bisa menjalankan ihsan.
Jangan masuk thariqah karena khasiatnya atau karena cerita kehebatan guru-guru mursyidnya.

( Maulana Habib Luthfi bin Yahya).

[1/28, 05:22] Sensei Shanti: Don't judge people

Abu Hanifa (may Allah be pleased with him) had an alcoholic neighbor who when he tried to advice him
on many occasions, until he got tired and left him.
One day, the wife of the alcoholic man knocked on the door of Abu Hanifa, telling him that her husband
had passed away, and that she wants him to pray for his Janazah, but Abu Hanifa refused.

Later that day, Abu Hanifa saw that man in his dream walking between the gardens of heaven saying:
“Tell Abu Hanifa that Alhamdulillah Jannah wasn’t on his hands“.

When Abu Hanifa woke up, he rushed to the wife of the deceased and asked: “how was he before his
death?“

She said: “He was the same as you knew him (an alcoholic), except that every Friday, he used to feed the
orphans and say to them gently: “Please pray for me”.

It could be the dua of one of the orphans. Hearing this, Abu Hanifa had a deep regret.

So my dear brother/sister, do not shame the people of sins and look down on them.

Today, you might be righteous but tomorrow you might end up with a bad ending. We all are under the
cover of Allah SWT, and if He was to remove that cover, we would all be exposed.

Don’t be proud of your plentiful prayers and fasts because you don’t know who is closer to Allah SWT.

[1/29, 08:16] +62 815-9998-590: Bismillah.

Assalamu'alaikum.

_”Mengapa *Istiqomah* berat, Kyai?"_

_"Karena kamu sedang melawan dirimu"._

_"Kalau saya bisa istiqomah, apakah dapat *CintaNya*?"_

_"Tidak..."_

_Santri kaget bukan main atas jawaban Kyainya._

_"Tapi *kalau Allah mencintaimu, kamu pasti Istiqomah*."_


_Santri semakin menganga mulutnya._

_Jika ini benar, sehari jantung kita berdetak 133.000 x, maka setahun berdetak 47,880,000 x. Jika usia
anda seribu bulan, *sekitar 80 tahun*, berarti *jantung anda berdetak 3,830,400,000 x*._

_Sekian miliar detakan jantungmu, *yang bersama Allah berapa kali*?_

_Orang yang lalai dan alpa selalu mereka-reka apa yg akan dilakukan hari ini ya... Tapi orang yg berakal
sehat melakukan apa yg diberlakukan oleh Allah padanya hari ini._ (Al-Hikam)

[1/30, 00:38] Sensei Shanti: Saya baca berkali-kali.. Namun tdk ada istilah kata bosen..

Terima kasih sahabat!?

Berita mbah Jum memasarkan dagangan nya yg menuntun konsumen beribadah.....

MBAH JUM

Oleh : Irene Radjiman

Begitulah beliau dipanggil. Aku sempat bertemu dengannya 5 tahun yang lalu saat berlibur di Kasian
Bantul Yogyakarta. Nama desanya saya lupa.

Mbah Jum seorang tuna netra yang berprofesi sebagai pedagang tempe. Setiap pagi beliau dibonceng
cucunya ke pasar untuk berjualan tempe. Sesampainya dipasar tempe segera digelar. Sambil menunggu
pembeli datang, disaat pedagang lain sibuk menghitung uang dan ngerumpi dengan sesama pedagang,
mbah Jum selalu bersenandung sholawat. Cucunya meninggalkan mbah Jum sebentar, karena ia juga
bekerja sebagai kuli panggul dipasar itu. Dua jam kemudian, cucunya datang kembali untuk mengantar
simbahnya pulang kerumah. Tidak sampai 2 jam dagangan tempe mbah Jum sudah habis ludes. Mbah
Jum selalu pulang paling awal dibanding pedagang lainnya. Sebelum pulang mbah Jum selalu meminta
cucunya menghitung uang hasil dagangannya dulu. Bila cucunya menyebut angka lebih dari 50 ribu
rupiah, mbah Jum selalu minta cucunya mampir ke masjid untuk memasukkan uang lebihnya itu ke kotak
amal.
Saat kutanya : “kenapa begitu ?”

“karena kata simbah modal simbah bikin tempe Cuma 20 ribu. Harusnya simbah paling banyak dapetnya
yaa 50 ribu. Kalau sampai lebih berarti itu punyanya gusti Allah, harus dikembalikan lagi. Lha rumahnya
gusti Allah kan dimasjid mbak, makanya kalau dapet lebih dari 50 ribu, saya diminta simbah masukkin
uang lebihnya kemasjid.”

“Lho, kalo sampai lebih dari 50 ribu, itukan hak simbah, kan artinya simbah saat itu bawa tempe lebih
banyak to ?” Tanyaku lagi

“Nggak mbak. Simbah itu tiap hari bawa tempenya ga berubah-ubah jumlahnya sama.” Cucunya kembali
menjelaskan padaku.

“Tapi kenapa hasil penjualan simbah bisa berbeda-beda ?” tanyaku lagi

“Begini mbak, kalau ada yang beli tempe sama simbah, karena simbah tidak bisa melihat, simbah selalu
bilang, ambil sendiri kembaliannya. Tapi mereka para pembeli itu selalu bilang, uangnya pas kok mbah,
ga ada kembalian. Padahal banyak dari mereka yang beli tempe 5 ribu, ngasih uang 20 ribu. Ada yang beli
tempe 10 ribu ngasih uang 50 ribu. Dan mereka semua selalu bilang uangnya pas, ga ada kembalian.
Pernah suatu hari simbah dapat uang 350 ribu. Yaaa 300 ribu nya saya taruh dikotak amal masjid.” Begitu
penjelasan sang cucu.

Aku melongo terdiam mendengar penjelasan itu. Disaat semua orang ingin semuanya menjadi uang,
bahkan kalau bisa kotorannya sendiripun disulap menjadi uang, tapi ini mbah Jum…?? Aahhh…. Logikaku
yang hidup di era kemoderenan jahiliyah ini memang belum sampai.

Sampai rumah pukul 10:00 pagi beliau langsung masak untuk makan siang dan malam. Ternyata mbah
Jum juga seorang tukang pijat bayi (begitulah orang dikampung itu menyebutnya). Jadi bila ada anak-
anak yang dikeluhkan demam, batuk, pilek, rewel, kejang, diare, muntah-muntah dan lain-lain, biasanya
orang tua mereka akan langsung mengantarkan ke rumah mbah Jum. Bahkan bukan hanya untuk pijat
bayi dan anak-anak, mbah Jum juga bisa membantu pemulihan kesehatan bagi orang dewasa yang
mengalami keseleo, memar, patah tulang, dan sejenisnya. Mbah Jum tidak pernah memberikan tarif
untuk jasanya itu, padahal beliau bersedia diganggu 24 jam bila ada yang butuh pertolongannya. Bahkan
bila ada yang memberikan imbalan untuk jasanya itu, ia selalu masukan lagi 100% ke kotak amal masjid.
Ya ! 100% ! anda kaget ? sama, saya juga kaget.

Ketika aku kembali bertanya : “kenapa harus semuanya dimasukkan ke kotak amal ?”

mbah Jum memberi penjelasan sambil tersenyum :

“Kulo niki sakjane mboten pinter mijet. Nek wonten sing seger waras mergo dipijet kaleh kulo, niku sanes
kulo seng ndamel seger waras, niku kersane gusti Allah. Lha dadose mbayare mboten kaleh kulo, tapi
kaleh gusti Allah.” (Saya itu sebenarnya nggak pinter mijit. Kalau ada yang sembuh karena saya pijit, itu
bukan karena saya, tapi karena gusti Allah. Jadi bayarnya bukan sama saya, tapi sama gusti Allah).

Lagi-lagi aku terdiam. Lurus menatap wajah keriputnya yang bersih. Ternyata manusia yang datang dari
peradaban kapitalis akan terkaget-kaget saat dihadapkan oleh peradaban sedekah tingkat tinggi macam
ini. Dimana di era kapitalis orang sekarat saja masih bisa dijadikan lahan bisnis. Jangankan bicara GRATIS
dengan menggunakan kartu BPJS saja sudah membuat beberapa oknum medis sinis.

Mbah Jum tinggal bersama 5 orang cucunya. Sebenarnya yang cucu kandung mbah Jum hanya satu, yaitu
yang paling besar usia 20 tahun (laki-laki), yang selalu mengantar dan menemani mbah Jum berjualan
tempe dipasar. 4 orang cucunya yang lain itu adalah anak-anak yatim piatu dari tetangganya yang dulu
rumahnya kebakaran. Masing-masing mereka berumur 12 tahun (laki-laki), 10 tahun (laki-laki), 8 tahun
(laki-laki) dan 7 tahun (perempuan).

Dikarenakan kondisinya yang tuna netra sejak lahir, membuat mbah Jum tidak bisa membaca dan
menulis, namun ternyata ia hafal 30 juz Al-Quran. Subhanallah…!! Cucunya yang paling besar ternyata
guru mengaji untuk anak-anak dikampung mereka. Ke-4 orang cucu-cucu angkatnya ternyata semuanya
sudah qatam Al-Quran, bahkan 2 diantaranya sudah ada yang hafal 6 juz dan 2 juz.

“Kulo niki tiang kampong. Mboten saget ningali nopo-nopo ket bayi. Alhamdulillah kersane gusti Allah
kulo diparingi berkah, saget apal Quran. Gusti Allah niku bener-bener adil kaleh kulo.” (saya ini orang
kampong. Tidak bisa melihat apapun dari bayi. Alhamdulillah kehendak gusti Allah, saya diberi
keberkahan, bisa hafal Al-Quran. Gusti Allah itu benar-benar adil sama saya).
Itu kata-kata terakhir mbah Jum, sebelum aku pamit pulang. Kupeluk erat dia, kuamati wajahnya. Kurasa
saat itu bidadari surga iri melihat mbah Jum, karena kelak para bidadari itu akan menjadi pelayan bagi
mbah Jum.

Matur nuwun mbah Jum, atas pelajaran sedekah tingkat tinggi 5 tahun yang lalu yang sudah simbah
ajarkan pada saya di pelosok desa Yogyakarta.

SILAHKAN SHARE ATAU COPAS UNTUK KEBAIKAN DAN KEBAJIKAN...

@alun2 utara

Kisah diatas bukan lah kisah seorang Ulama ataupun Waliyullah. Hanya kisah seorang perempuan biasa
yg mampu membuat iri seluruh penghuni Alam.

-CopasFB-

[2/1, 10:24] Sensei Iman Al Hakim: Barakah Comes When We Trust in Our Creator

The old man was

sitting in his usual place with

Zikr of Almighty Allah on his lips;

but slightly pre-occupied with the loaf of bread,

which was going to be his sustenance

for the entire day.

Always the same...

just one loaf of bread each day.

Sayyidina Musa (a.s) happened to be walking past.


The old man thought:

"Here is my chance to send a message to Almighty Allah..."

So, he greeted Sayyidina Musa (a.s),

and said somewhat falteringly:

"Oh Holy Man,

when you speak to your Creator,

can you please ask Him

to increase my rizq (sustenance),

for so long now

all I have is single loaf of bread per day.

I long for more.

Can I not have more

than this...?

If you ask him,

O Musa,

surely He will answer your request,

and grant me more."

Without hesitation,

the reply he got from Sayyidina Musa (a.s),

was that his request

would be put to Almighty Allah.

And so it was.

The reply that Sayyidina Musa (a.s)


received,

was that the old man's lot in life,

was to receive one loaf of bread per day.

That this was what had been written

for the old man,

for all the days of his life.

The next time Sayyidina Musa (a.s) saw the old man,

he passed on the message to him;

that one loaf of bread was all that he would receive,

every day for all the days of his life,

as it had been so written in his destiny.

The old man was overjoyed.

He clapped his hands with delight!

Surprised by this reaction,

Sayyidina Musa (a.s) asked him the reason for his joy?

The man replied:

"If it is written -

then so it shall be!!!!

I have nothing to worry about.

At least,

I will always receive one loaf of bread

for the rest of my life."


And with that he went back to his prayers.

Now as the months passed,

the man's tranquility increased with the knowledge

that he need not worry about his sustenance.

This enabled him to focus more

on his remembrance of Allah (zikr);

which caused him to have less time to focus on food,

and even less time to eat.

So, from eating one loaf of bread per day,

he barely managed to eat half a loaf.

What remained of the loaf of bread every day,

was put in a corner.

Soon, the pile in the corner began to increase,

until it became a huge heap.

One morning a herdsman

was passing through the village,

and he stopped to speak to the old man.

He was looking for hay for his livestock -

but there was none to be found.

The old man said to him:

"Why don't you take the stale bread

that is lying in that heap,


soften it with water,

and give it to your animals."

The herdsman did this,

and, his herd happily ate every last crumb.

The herdsman, to show his gratitude,

gave the old man a nanny (female) goat,

and went on his way.

Days passed into months,

and a few years had gone by

when Sayyidina Musa (a.d)

happened to be passing this way again.

To his astonishment, he found that the spot

where the old man used to sit

had been transformed into a garden.

There were fruit trees growing nearby,

and animals grazing not very far away.

There was a field with grain,

and a general atmosphere of abundance and well being.

Sayyidina Musa (a.s) found out that

all this belonged to the same old man.

Puzzled, because he knew what was written


in the old man's destiny,

- a single loaf of bread per day -

Sayyidina Musa (a.s) was determined to find out

what this was all about.

How could this be?

"A loaf a day" is

all that was written,

yet the old man had so much more?

The answer when it came

is something we should all take heed of:

One loaf of bread was the RIZQ (sustenance)

that had been written for the old man.

The fruit trees, the live stock, and field of crops,

were the BARAKAH (blessing)

which came from the acceptance of

what had been written as his lot in life!

It was his reward

for his COMPLETE trust in Almighty Allah.

The Barakah (blessings/abundance)

was the result of his shift in focus

from what he wanted,

to enjoying what he had,

to such a degree,
that even after eating as much as he wanted,

he still had some left.

His needs had become so small.

The abundance this created in the old man's life

was compounded by his generosity,

and willingness to share what he had.

So, Rizq is written...

BUT, Barakah comes,

when we trust in Almighty Allah,

and, when we are generous with what we have,

and, when we are grateful,

and, when we put the ibaadah (worship),

and, zikr(remembrance of Almighty Allah)

above EVERYTHING else.

May Almighty Allah,

Make us among those,

who are grateful,

and obedient to Allah.

Amin.

And Allah Says:

"If you are grateful,

I Will Give you more..."


~Qur'an, 14:7

- Shaykh Ibrahim Niassè, shared by Sayyida Fawzia El-Nur -

[2/1, 10:33] Sensei Iman Al Hakim: Bahwasannya barakah memiliki dua sisi / bentuk ,yaitu;

1. Dhahir (kuantitas ) dr suatu hal yg Allah Redhoi atas seorang hamba .

Cth ; usia yg panjang, rizqi yg luas dan melimpah, pengetahuan yg banyak, anak2 yg banyak. Dll.

2. Batin / Haqiqi ( kualitas) ;

Usia yg sepenuh dipakai utk taat. Harta yg sebagian besar atau seluruhnya digunakan dijalan Allah,
anak2 yg sholeh.. Ilmu yg bermanfaat yg mengantarkan kpd Allah..dll

[2/2, 21:21] Sensei Shanti: *Hati yang cenderung kepada dunia*

‫ وكذلك القلب إذا علق حب الدنيا لم ينجع فيه المواعظ‬.‫إن البدن إذا سقم ل ينجع فيه طعام ول شراب ول نوم ول راحة‬

_“Sesungguhnya apabila badan sakit, maka makan, minum, tidur dan istirahat tidak enak baginya. Begitu
juga dengan hati, apabila ia cenderung kepada dunia, maka nasihat-nasihat tidak lagi berguna baginya.”_

*Malik Bin Dinar*

[2/4, 01:07] Sensei Shanti: Ihsan in Arabic is a very difficult word to translate literally.

If you look at the root word Ihsanah it means to be beautiful and the word Ahsanah means to make
something beautiful.

So doing good in the world(Ihsan) is beautifying the world.

Prophet (peace be upon him) explained Ihsan in the words: “ you should worship God as if you see
Him”.
The idea of being in the world as if you see God is the idea that you are a guest in a dominion that
belongs to God and that if you actually behave in the world as if you see Him you will behave
appropriately. You will behave with excellent manners, you will behave beautifully and that is the
essence of Ihsan.

- Shaykh Hamza Yusuf

[2/4, 14:07] Sensei Shanti: “Your remedy is within you, but you do not sense it. Your sickness is from you,
but you do not perceive it. You believe you are small entity, but within you is enfolded the entire
universe. You are indeed the evident book, by whose alphabet the hidden becomes the manifest. You
therefore have no need to look beyond yourself. What seek is within you, if you but reflect.” -Ali bin Abi
Thalib r.a.-

[2/14, 12:19] Sensei Shanti: ‫ بل إنما العجب من حبك لي وأنت ملك قدير‬...‫ليس العجب من حبي لك و أنا عبد فقير‬...

_Tidak Mengherankan bila aku mencintai-Mu karena aku adalah seorang hamba yang fakir... Tetapi yang
Mengherankan adalah cinta-Mu kepadaku padahal Engkau adalah Raja yang Maha Mampu_

*Abu Yazid Al Busthomi, wafat 261H*

[2/14, 18:51] +62 811-269-065: ‫بسم ا الرحمن الرحيم‬

۞ ‫صلل اعالىَ اسيلددانا هماحممدد اواعالىَ آدل اسيلددانا هماحممدد‬


‫۞ االلههمم ا‬

*TERPAKSA MENINGGALKAN WIRID*

Habib ‘Alawi bin Muhammad adalah seorang yang kaya raya. Di antara kebiasaannya, selepas solat
Maghrib, dia akan duduk bersandar di tiang Masjid Thoha untuk membaca wirid-wirid. Dia akan keluar
dari masjid hanya selepas solat Isya’.

Pada suatu malam, seorang faqir datang kepadanya dan berkata, “Wahai Habib, malam ini aku tidak
memiliki makanan untuk keluargaku.”
Habib ‘Alawi berasa serba salah, “Jika aku memberinya makanan, aku harus keluar dari masjid dan
meninggalkan wirid-wiridku. Tetapi jika aku tetap mahu berwirid, aku terpaksa menolak permintaan
orang ini dan aku akan kehilangan pahala yang dijanjikan kepada orang yang menghilangkan kesusahan
orang lain dan menyenangkan hati seseorang.”

Akhirnya, Habib ‘Alawi membuat keputusan untuk menolong hamba Allah tersebut lalu dia pun balik di
iringi orang tersebut. Di rumahnya, dia menimbang lebih kurang sekilo makanan dan bertanya,
“Cukupkah ini?”

“Tidak,” jawab al-faqir.

Dia menambah lebih kurang sekilo makanan lagi dan bertanya, “Cukupkah ini?”

“Tidak,” jawab orang itu.

Dia menambah lagi dan bertanya, “Cukupkah ini?”

“Penuhkan bekas ini,” jawab orang itu.

Walau bagaimanapun, ketika Habib ‘Alawi bergerak hendak masuk semula ke dalam rumah untuk
memenuhkan bekas tersebut, hamba Allah itu mengembalikan semua makanan yang diberikan
kepadanya. Dia berkata,

“Sesungguhnya aku adalah Khidhir. Aku hanya ingin mengujimu. Ambillah kembali makanan ini. Semoga
Allah memberkatimu.”

Cintailah Para Ulama', Pewaris Para Anbiya'

Anda mungkin juga menyukai