Atresia kongenital esofagus dan fistula trakeoesofagus terjadi pada 1 dari setiap 3000
sampai 5000 kelahiran hidup. Sekitar tiga minggu setelah pembuahan, ujung kranial
usus depan mulai mengalami pembatasan menjadi esofagus dan trakea. Sebuah alur
longitudinal memisahkan esofagus dari saluran trakea. Seiring dengan saling
mendekatnya bubungan antara saluran trakea dan saluran esofagus, maka usus depan
membelah menjadi saluran trakea dan esofagus. Diujung distal trakea, tunas paru
mulai terbentuk, sewaktu pemisahan antara saluran trakea dan esofagus berlanjut,
juga terjadi pemanjangan dari kedua saluran tersebut. Seperti saluran GI lain,
poliferasi endoderm menyumbat lumen yang mengalami rekanalisasi pada usia
gestasi sekitar 7 minggu. Selama 3 bulan berikutnya perkembangan mudigah, muncul
lapisan otot, persyarafan dan pembuluh darah. Sementara itu tunas paru dan trakea
terus berkembang dan berpoliferasi. Kelainan pemisahan usus depan menjadi
esofagus dan trakea serta perkembangan esofagus ditaut kardiak merupakan penyebab
sebagian besar anomali anatomi esofagus.
Manifestasi klinis
Atresia esofagus perlu dicurigai bila pada bayi baru lahir yang mulut dan
tenggorokannya telah dibersihkan dengan baik, beberapa jam berikutnya timbul nafas
mengorok atau terlihat gelembung udara bercampur lendir putih pada lubang hidung
dan mulut. Keadaan ini karena regurgitasi air ludah atau minuman pertama. Pada
keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan keutuhan lumen esofagus dengan
memasukkan kateter kecil melalui hidung kedalam esofagus. Jika kateter tertahan
setelah masuk 10-12 cm dari lubang hidung diangnosis atresia esofagus dapat
ditegakkan. Diangnosis harus dibuat sebelum bayi diberi minum karena bila telah
diberi minum apalagi minum susu, dapat menimbulkan kegawatan akibat aspirasi
susu kedalam paru-paru.
Atresia esofagus juga harus dicurigai pada :
Bayi diletakkan setengah duduk dan dimasukkan kateter melalui hidung keesofagus
yang buntu. Tiap 10 menit lendir dan ludah diisap melalui kateter untuk mencagah
refluks dan aspirasi.
Pengisapan sekresi yang berlebihan dari mulut dan faring sering menghasilkan
perbaikan, tapi gejalanya akan cepat berulang kembali. Sayangnya sering kali
diangnosis baru dibuat setelah bayi mengalami aspirasi makanan. Apabila fistula
menghubungkan dengan atresia dan esofagus distal, udara biasanya masuk keperut,
sehingga perut menjadi timpani dan mungkin menjadi begitu kembung sehingga
menganggu pernafasan. Jika fistula menghubungkan esofagus proksimal dengan
trakea, upaya pertama pemberian makan dapat menyebabkan aspirasi berat. Bayi
dengan atresia yang tidak mempunyai fistula mempunyai perut skafoid dan tidak
berisi udara. Pada keadaaan fistula tanpa atresia (tipe yang jarang terjadi) tanda yang
sering ditemukan adala pnemonia aspirasi berulang, dan diangnosisnya dapat tertunda
hingga beberapa hari atau bakan berbulan-bulan. Aspirasi sekret faring hampir selalu
ada pada semua penderita atresia esofagus, tapi aspirasi isi lambung lewat fistula
distal menyebabkan pnemonitis kimia yang lebih berat dan membahayakan jiwa.
Sekitar 50% bayi dengan atresia esofagus juga mengalami beberapa anomali terkait.
Malformasi kardiovaskuler, malformasi rangka termasuk hemivertebrae dan
perkembangan abnormal radius, serta malformasi ginjal dan urogenital sering terjadi.
Semua kelainan itu disebut sindrom VATER. ( John J. Herbst )
Diangnosis
Tipe B (<1%) Atresia esofagus dengan fistula diantara segmen bagian atas dan
trakea.
Tipe C (85,8%) Atresia esofagus dengan fistula diantara trakea dan segmen distal.
Tipe D (1,4%) Atresia esofagus dengan fistula diantara kedua segmen dan trakea.
Pada anak-anak defek ini mengakibatkan air susu memasuki trakea baik secara
langsung (B,D, dan E) ataupun secara refluks (A dan C); hal ini menyebabkan batuk
dan sianosis selama pemberian ASI, dan diikuti terjadinya aspirasi bronkopnemonia.
Kelainan trakea yang berhubungan dengan bagian bawah esofagus (C,D, dan E)
mengakibatkan dilatasi lambung akibat penelanan udara.
Delapan puluh sampai 90% anak dengan anomali trakeoesofagus memiliki kantong
esofagus atas yang buntu dengan fistula antara segmen esofagus bawah dan bagian
bawah trakea di regio karina. Variasi umum yang lain adalah atresia esofagus dengan
dua kantong buntu. Tanpa adanya fistula trakeoesofagus dan terdapat sebuah fistula
antara esofagus dan trakea yang utuh. Mungkin manifestasi yang samar dari
keseluruhann spektrum anomali esofagus kongenital adalah stenosis esofagus
kongenital, yang mungkin terjadi akibat tidak adekuatnya rekanalisasi lumen
esofagus.
Bayi sering memperlihatkan sekresi oral yang berlebihan, dengan episode tersedak.
Saat dilakukan usaha memasang selang nasogastrik untuk menghisap lambung,
selang tidak dapat dimasukkan kedalam lambung dan radiografi toraks
memperlihatkan bahwa kateter bergulung dikantong esofagus yang buntu. Konstelasi
temuan ini menyebabkan diangnosis atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus
dapat ditegakkan dengan kepastian yang tinggi.
Penanganan awal para bayi ini adalah insersi kateter orogastrik plastik lunak yang
berlumen ganda pada jarak 7 cm kedalam kantong esofagus atas yang buntu.
Memplester kateter dalam posisi ini dan menghubungkannya ketekanan negatif yang
rendah dan konstan agar air liur yang menumpuk dapat terus dikeluarkan sehingga
aspirasi dari atyas dapat dicegah. Menjaga kepala tegak, akan mempermudah drainase
sekresi kedalam kantong untuk dihisap dan mencegah refluks isi lambung kedalam
paru.
Malformasi struktur trakea sering ditemukan pada penderita atresia dan fistula
esofagus. Trakeomalasia, pneumonia aspirasi berulang dan penyakit saluran nafas
reaktil sering ditemukan. Perkembangan trakeanya normal jika tidak ada fistula,
stenosis esofagus dan fleksus gastroesofagus berat lebih sering pada penderita ini.
Gagal tumbuh, makan lambat, batuk dan sulit menelan adalah sekuele yang sering
timbul, terutama jika anastomosis primer tidak dapat dilakukan segera pada payi baru
lahir. Stenosis ditempat anastomosis sering terjadi dan mungkin memerlukan dilatasi.
Motilitas abnormal esofagus bagian distal selalu dijumpai dan seringkali merupakan
faktor predisposisi untuk terjadinya refluks gastroesofagus, aspirasi,esofagitis, dan
striktur.
contoh kasus :
PENGUMPULAN DATA
BIODATA
Panjang Badan : 47 cm
Orang tua
DATA SUBJEKTIF
1. Alasan Masuk : Bidan mengatakan bayi Ny “A” muntah setelah disusui dan
temuan fisik ditemukan ronki basah kasar pada suara napas. Intubasi
menggunakan teknik intubasi sadar.
2. Riwayat penyakit kehamilan:
1. Kala I : 10 jam
2. Kala II : 4 jam
3. Kala III : 15 menit
4. Kala IV : 2 Jam
Ketuban :
Pemeriksaan Umum
Suhu : 37 0C
Panjang badan : 47 cm
2. Pemeriksaan Fisik
Ubun-ubun : menutup
Hidung :lubang hidung ada, tidak ada keluar setkret dari kedua
lubang hidung, ada pernafasan cuping hidung.
Ekstremitas
Anus : berlubang
3. Refleks
Lingkar kepala : 34 cm
Lingkar dada : 33 cm