PENDAHULUAN
Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang, cairan hidung
yang jernih dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel,
secara spontan atau dengan pengobatan.4
Pada reaksi alergi seperti rinitis alergi terjadi reaksi imunitas antara
penjamu dengan alergen. Respon imun pada manusia ada dua yaitu sistem imun
bawaan dan sistem imun didapat. Respon imun dimulai dari stimulasi sel imun
oleh patogen, antigen dan sitokin. Stimulus ini memicu respon melalui reseptor
seluler. Respon imun sangat komplek dan berbeda-beda karena melibatkan
berbagai tipe sel seperti makrofag, sel natural killer dan sel dendrit pada sistem
imun bawaan dan Limfosit T dan Limfosit B pada sistem imun didapat.5
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
3
Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu medial, lateral, inferior
dan superior. 10,11,12,13,14,15
Dinding medial hidung adalah sepum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari 1) lamina perendikularis os
edmoidalis 2) os vomer, 3) krista nasalis os maxilla, 4) krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan terdiri dari 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
10,11,12,13,14,15
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adlah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka superema. Konka superema ini biasanya rudimenter. 10,11,12,13,14,15
Konka superema, konka superior dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maxilla bagian superior dan palatum.Konka inferior adalah tulang
yang memanjang berbentuk seperti kulit kerang, bagian superior melekat ke
dinding lateral cavum nasi. Ada tepi melengkung yang memisahkan permukaan
medial dengan lateral. Tepi bebas inferior melengkung dari depan ke belakang
dan dari atas ke bawah, dengan bagian cembungnya menghadap kearah septum.
10,11,12,13,14,15
4
Gambar 2.Anatomi dinding lateral hidung.2
Konka media dan konka inferior dilapisi oleh epitel-epitel torak berlapis
semu bersilia, yang ujung-ujung anteriornya pada orang dewasa epitelnya dapat
berubah menjadi epitel kubik atau gepeng. Stroma konka media mengandung
banyak sekali kelenjar, sedangkan struma konka inferior banyak mengandung
pembuluh darah. Pada konka inferior juga ada kelenjar, tetapi tidak sebanyak
konka media. 10,11,12,13,14,15
Pembuluh-pembuh darah di konka inferior adalah pleksus vena yang
membentuk jaringan erektil hidung dan letaknya terutama pada sisi bawah konka
inferior dan ujung posterior konka inferior dan media. 10,11,12,13,14,15
5
Batas rongga hidung, dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh prosesus palatina os maxilla dan prosesus horizontal os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
krobroformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
oftalmikus. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
10,11,12,13,14,15
PENDARAHAN HIDUNG
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama 1)
a.etmoidalis anterior, 2) a. edmoidalis posterior, 3) a. sfenopalatina, cabang
terminal dari a. maksilaris interna, yang berasal dari a. karotis interna.8,9
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid
anteriordan posterior yang merupakan cabang dari a. Oftalmika dari a. Karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.
Maxillaris interna, diantaranya ialah ujung a. Palatina mayor dan a. Sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. Sfenopalatina dam memasuki
rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media.8,9
6
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.8,9
8
Suhu udara yang melalui hidung akan diatur sehingga berkisar 37oC.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu,
virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. 10,11,12,15
FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius dan epitel oftalmikus berlapis semu yang berwarna kecklatan
pada atap rongga hiung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. 10,11,12,15
FUNGSI FONETIK
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses
9
pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada
pembentukan konsonen nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,
palatum mole turun untuk aliran udara. 10,11,12,15
REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. 10,11,12,15
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Etiologi
11
4. Paparan terhadapalergen rumah tangga seperti hewan dan tungau
deburumah tangga
5. Uji kulit tusuk positif.
Faktor predisposisiterjadinya alergi adalah faktor genetik dan faktor
lainmisalnya pemaparan dengan virus-virus tertentu.Pemaparan alergen virus
jangka lama dapat menyebabkaneksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal
ini dapatmuncul bersamaan atau salah satu muncul lebih dulu. Pada penelitian
didapatkan 48% pasien mempunyairiwayat atopi. Riwayat atopi keluarga
ditemukan pada ibu(42%); ayah (40%), dan pada saudara kandung (24%).7,8
Atopi merupakan predisposisi genetik untuk membentukantibodi alergi
(IgE) dalam memberikan respons terhadapalergen spesifik. Atopi merupakan
faktor risiko terjadinyaasma dan rinitis alergi. Periode kritis sensitisasi
allergenterjadi sampai usia dua atau tiga tahun.7
Apabiladidapatkan riwayat atopi pada kedua orang tuanya,kemungkinan
risiko rinitis alergi lebih besar dibandingkanapabila salah satu dari orang tuanya
yang atopi, namunperlu diketahui bahwa rinitis alergi disebabkan
multifaktorial.Seseorang tanpa riwayat keluarga atopi dapat menderitarinitis
alergi. Individu atopi mewariskan kecenderunganterjadinya respons imun limfosit
Th2 dengan pembentukanIgE-sel mast.7
Paparan terhadap alergen tungau debu rumah,kecoa, kucing, anjing dan
hewan piaraan lain, serbuk sariatau alergen lain untuk jangka lama dengan
konsentrasirendah menyebabkan presentasi alergen oleh antigenpresenting cell
(APC) terhadap CD41. Alergrn penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan
oleh makanan alergen ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan
bertambahnya usia. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe 1 pada telinga,
hidung dan tenggorok anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.7,8
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
yang berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
12
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur,coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.2,6,8,9
3.4 Epidemiologi
Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang
mempengaruhisekitar 10 hingga 25% populasi. Padanegara maju prevalensi rinitis
alergi lebihtinggi seperti di Inggris mencapai 29%, diDenmark sebesar 31,5%, dan
di Amerikaberkisar 33,6%.Prevalensi di Indonesiabelum diketahui secara pasti,
namun datadari berbagai rumah sakit menunjukkanbahwa rinitis alergi memiliki
frekuensiberkisar 10-26%.2,3,4,5
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.
Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong
2,3,4,5
(25-30%).
Rinitis alergi umumnyabukan penyakit yang fatal tetapi gejalanyadapat
mempengaruhi status kesehatanseseorang dan menurunkan kualitas
hiduppenderita. Penyakit ini juga menurunkanproduktifitas kerja, waktu efektif
kerja, danprestasi sekolah. Dampak secara ekonomidi Amerika mencapai 3 juta
dolar dantambahan 4 juta dolar akibat komplikasi yangterjadi seperti otitis dan
asma. 2,3,4,5
13
3.4 Patofisiologi
Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh Ishizaka
(Amerika) dan Johansson &Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung
timbulnya penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan
diagnostik. Selanjutnya pemeriksaan invivo dan invitro ditujukan untuk
membuktikan adanya IgE yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi
mediator yang dilepaskan.1,4,8
Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC)
dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). RAFC berlangsung sampai satu jam setelah
kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan
alergen, sedangkan RAFL berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak
reaksi pada 4-8 jam pertama. 1,4,5,8,11,16
Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup
bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel
dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen
Presenting Cell atau APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14
asam amino yang berikatan dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen)
kelas II membentuk kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0). 1,4,5,8,11,16
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringandan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensitisasi yangmenghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. 1,4,5,8,11,16
14
Gambar 7. Reaksi alergi yang bersifat akut dan kronis.7
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin. Selain
histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi
fase cepat. 1,4,5,8,11,16
Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain
itu histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet akan
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain seperti hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. 1,4,5,8,11,16
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini
akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan.Pada RAFL
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada
sekret hidung. 1,4,5,8,11,16
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi olehfaktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi. 1,4,5,8,11,16
Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita
yang mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada
sel B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk
memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada
bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya
dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. 1,4,5,8,11,16
15
Sel mastosit kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar
dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa
hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis
alergi atau penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat
memberikan hasil yang positif. 1,4,5,8,11,16
17
3.6.1 Anamnesis
anamnesa sangat penting, karena sering kali serangan tidak
terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesa saja, rinitis alergi biasanya
mulai timbul pada kanak-kanak dan ditandai dengan gejala
rinitis alergi yang khas: 1,4,5
Bersin (lebih dari 5 kali setiap serangan)
Rinore (ingus bening encer)
Hidung tersumbat (menetap / bergantian)
Gatal di hidung, tenggorok, langit langit atau telinga
Mata gatal berair dan kemerahan
Hiposmia atau anosmia
Post nasal drip atau batuk kronik
Variasi diurnal (memburuk pada pagi hingga siang,
membaik saat malam hari)
Frekuensi serangan, beratnya, durasi, intermiten atau
persisten
Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti gangguan
pekerjaan, sekolah, tidur dan aktivitas sehari-hari.
19
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi
dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan
rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit
kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk
diagnostik.
3. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang
diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan
hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak
ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun
1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan
komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan
sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST,
Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu
pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam
saja.
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk
menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan
morfologik dari mukosa hidung.
20
3.6.4. Diagnosa Banding. 4,8
21
3.6.5. Komplikasi Rinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi cukup jarang terjadi, namun ada beberapa
penyakit yang menjadi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering
diantaranya adalah :1
Penyakit rinitis alergi berhubungan dengan asma bronkial,
sekitar 3-10% kasus asma bronkial di Amerika diikuti oleh
rinitis alergi.
Polip hidung, beberapa penelitian mendapatkan bahwa,
alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Ototis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-
anak
Rinosinusiti
BAB IV
PENATALAKSANAAN
22
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti
pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.
1. Kontrol lingkungan
Salah satupenanganan rinitis alergi yang pentingadalah
menghindari alergen. Sementara initidak ada keraguan bahwa
menghindarialergen efektif dapat memberikan perbaikanklinis, hanya
dalam prakteknya banyakkesulitan. Misalnya pada seseorang yangalergi
kucing dia tetap memelihara kucingdan membiarkan gejala alerginya
berlanjut,demikian juga seseorang yang alergi tepungsari walaupun dia
tidak masuk taman tetapitetap terkena paparan karena tingginyakadar
tepung sari di udara.1,5
Antihistamin.
Pemberian antihistamin oraldosis tunggal merupakan first line
terapiuntuk kasus rinitis alergi ringan. Gejala –gejala alergi (gatal,bersin,
pilek dan hidungtersumbat) disebabkan interaksi antaramediator dengan
saraf, pembuluh darahdan kelenjar yang berada di rongga hidung.Histamin
melalui interaksinya denganreseptor H1 mempunyai peran dalammediator
inflamasi yang terlibat dalamproses ini. Aktivitas antihistamin
disebabkanperan antagonis hiatamin pada reseptornya.1,5,8
23
Antihistamin generasi pertam efektif menekan respon alergi
tetapikemampuannya menembus sawar darahotak menimbulkan efek
samping sentra yang dibagi dalam 3 kategori yaitu depresif,stimulatori dan
neuropsikiatri. Juga terdapatefek antikolinergik perifer seperti matakabur,
dilatasi pupil, mulut kering dangangguan berkemih.1,5,8
Sebagian besar antihistamingenerasi kedua tidak mampu
menembussawar darah otak karena perubahan sifatlipophobisitis dan
elektrostatis tetapi padadosis tinggi terdapat efek sedasi.Fexofenadine
antihistamin generasi terbarumerupakan sediaan tanpa efek
sedasiwalaupun dalam dosis tinggidirekomendasikan pemakiannya oleh
RoyalAir Force pada pilot karena tidak ada efeksedasi dan gangguan
psikomotor.1,5,8
Terfenadine dan astemizolepenggunaannya terbatas karena
dapatmenimbulkan aritmia jantung sehinggadengan alasan keamanan obat
tersebutditarik dari peredaran.1,5,8
2. Steroid intranasal
Pemakaian steroid intranasaldirekomendasikan untuk rinitis
alergisedang-berat, secara efektif dapatmengatasi gejala-gejala elergi pada
anakanakdan dewasa. Walaupun availabilitasdan dosis obat rendah pada
pemakaiansteroid intranasal harus diwaspadai efeksupresinya terhadap
aksis HPA, dan resikogangguan pertumbuhan pada anak-anak.5
3. Dekongestan
Dekongestan seringditambahkan sebagai kombinasi terapiuntuk
menghilangkan keluhan hidungtersumbat, pemakaian topikal lebih
efektiftetapi ada resiko tachyphilaxis dan reboundphenomen jika
pemberiannya dihentikan.Sedangkan sediaan oral adakecenderungan
terjadi insomnia dankenaikan tekanan darah.5
4. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfracuted, inferior turbinoplasty
perlu dipertimbangkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasilkan dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triktor asetat,1
24
5. Imunoterapi
Imunoterapi memberikankemungkinan kesembuhan
yangpermanen, tetapi memerlukan waktu terapijangka lama sehingga
memilikiketerbatasan hanya dapat diterapkan padapasien tertentu,
pemberiannya harusdilakukan oleh dokter spesialis dan tidakdianjurkan
pada pasien multipel alergi.5
6. Anti IgE Antibodi
Sebagian besarterapi yang ada sekarang hanyamengurangi gejala,
tidak mempengaruhiperjalanan penyakit, diketahuinyapatofisiologi
penyakit alergi membukakesempatan untuk mengembangkan terapibaru.
Semakin besar pengetahuanmekanisme keseimbangan antara sel-selTh1
dan Th2 dan sitokin-sitokin yangdiproduksi dikembangkan
targetpenghambatan efek bradikinin, substansi P,leukotrin, antibodi IgE,
triptase, plateletactivatingfactor dan prostaglandin.5
IgEtampaknya memiliki peran kunci pada reaksialergi sehingga
menjadi pusat perhatiandalam modifikasi terapi Reaksi inflamasialergi
pada saluran pernafasan disebabkankegagalan kontrol respon imunologi
yangdimediasi oleh IgE. Sehingga kenaikankadar imunoglobulin bebas
dalam darahdianggap sebagai petanda penyakit atopi.6
25
Tabel 2. Algoritma Diagnosa dan Tatalaksana Rinitis Alergi5
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
28