Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang
sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact
on Asthma), 2001 rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung
yang disebabkanproses inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE)
akibat paparan alergen pada mukosa hidung.1,2,3,

Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang, cairan hidung
yang jernih dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel,
secara spontan atau dengan pengobatan.4

Pada reaksi alergi seperti rinitis alergi terjadi reaksi imunitas antara
penjamu dengan alergen. Respon imun pada manusia ada dua yaitu sistem imun
bawaan dan sistem imun didapat. Respon imun dimulai dari stimulasi sel imun
oleh patogen, antigen dan sitokin. Stimulus ini memicu respon melalui reseptor
seluler. Respon imun sangat komplek dan berbeda-beda karena melibatkan
berbagai tipe sel seperti makrofag, sel natural killer dan sel dendrit pada sistem
imun bawaan dan Limfosit T dan Limfosit B pada sistem imun didapat.5

Disebutkan oleh ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)


bahwa prevalensi RA di dunia berkisar antara 10-25% dari jumlah populasi.
Untuk di Indonesia sendiri, Semarang khususnya, baru ada 2 penelitian yang
pernah dilakukan, yaitu pada range umur 6-7 tahun dan range umur 13-14 tahun.
Prevalensi RA pada anak umur 6-7 tahun di Semarang sebelumnya sudah pernah
dilakukan pada tahun 2005 sebesar 11,5%. Sementara itu prevalensi RA pada
anak umur 13-14 tahun di Semarang didapatkan angka sebesar 17,3%.6,7

Penyebab pasti peningkatan prevalensi RA belum jelas diketahui. Namun


diduga ada beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi angka kejadian RA.
1
Diantaranya yaitu serbuk bunga, asap kendaraan, asap rokok, tungau debu rumah,
binatang peliharaan di rumah, makanan dan faktor genetik.8

Terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan bertahap sesuai dengan berat


ringan penyakit dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. Prinsip
terapirinitis alergi meliputi penghindaran terhadap alergen, edukasi, farmako
terapi, operasi, maupun imunoterapi.4,9

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan perdarahan dan persyarafannya,


bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu, 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
2
hidung (dorsum nasi) merupakan bagian agak ke atas dan belakang dari puncak
hidung yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi, 3)
puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela bermula dari puncak hidung, yaitu di
posterior bagian tengah bibir dan terletak sebelah bibir dan terletak sebelah distal
dari kartilago septum, 6) lubang hidung (nares anterior).10,11,12,13,14,15
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari, 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maxilla, 3) prosesus nasalis os frontalis,
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga kartilago
ala mayor, 3) tepi anterior kartilago septum. 10,11,12,13,14,15

Gambar 1. Anatomi pembentuk hidung luar.1

Hidung luar dipendarahi oleh a. facialis dan a.ophtahalmica. infeksi


permukaan didaerah hidung dapat meluas dan menimbulkan komplikasi
intrakranial yang serius. 10,11,12,13,14,15
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh cavum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring. 10,11,12,13,14,15

3
Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu medial, lateral, inferior
dan superior. 10,11,12,13,14,15
Dinding medial hidung adalah sepum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari 1) lamina perendikularis os
edmoidalis 2) os vomer, 3) krista nasalis os maxilla, 4) krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan terdiri dari 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
10,11,12,13,14,15

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adlah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka superema. Konka superema ini biasanya rudimenter. 10,11,12,13,14,15
Konka superema, konka superior dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maxilla bagian superior dan palatum.Konka inferior adalah tulang
yang memanjang berbentuk seperti kulit kerang, bagian superior melekat ke
dinding lateral cavum nasi. Ada tepi melengkung yang memisahkan permukaan
medial dengan lateral. Tepi bebas inferior melengkung dari depan ke belakang
dan dari atas ke bawah, dengan bagian cembungnya menghadap kearah septum.
10,11,12,13,14,15

Tulang yang membentuk konka berlubang-lubang seakan-akan


mempunyai sel-sel sehingga penampangnya kasar dan berlekuk-lekuk. Ujung
anterior dan posterior agak meruncing.Permukaan konka berlubang-lubang di
beberapa tempat untuk dilalui pembuluh darah. Lekukan longitudinal atau parit-
parit juga membantu distribusi pembuluh darah besar. Mukosa konka tebal, kaya
akan pembuluh darah, dan melekat erat pada perikondrium atau periosteum.
10,11,12,13,14,15

4
Gambar 2.Anatomi dinding lateral hidung.2

Konka media dan konka inferior dilapisi oleh epitel-epitel torak berlapis
semu bersilia, yang ujung-ujung anteriornya pada orang dewasa epitelnya dapat
berubah menjadi epitel kubik atau gepeng. Stroma konka media mengandung
banyak sekali kelenjar, sedangkan struma konka inferior banyak mengandung
pembuluh darah. Pada konka inferior juga ada kelenjar, tetapi tidak sebanyak
konka media. 10,11,12,13,14,15
Pembuluh-pembuh darah di konka inferior adalah pleksus vena yang
membentuk jaringan erektil hidung dan letaknya terutama pada sisi bawah konka
inferior dan ujung posterior konka inferior dan media. 10,11,12,13,14,15

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yaitu meatus
inferior, meatus media dan meatus superior. Meatus inferior terletak diantara
konka inferior dan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak
diantara konka media dan didndin lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat muara sinus frontal , sinus maxilla, dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus spenoidalis. 10,11,12,13,14,15

5
Batas rongga hidung, dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh prosesus palatina os maxilla dan prosesus horizontal os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
krobroformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
oftalmikus. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
10,11,12,13,14,15

PENDARAHAN HIDUNG
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama 1)
a.etmoidalis anterior, 2) a. edmoidalis posterior, 3) a. sfenopalatina, cabang
terminal dari a. maksilaris interna, yang berasal dari a. karotis interna.8,9
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid
anteriordan posterior yang merupakan cabang dari a. Oftalmika dari a. Karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.
Maxillaris interna, diantaranya ialah ujung a. Palatina mayor dan a. Sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. Sfenopalatina dam memasuki
rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media.8,9

Gambar 3.Perdarahan Arteri Dinding Lateral Hidung3


Bagin depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. Fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
Sfenopalatina, a. Palatina mayor, a. Etmoid anterior, a. Labialis superior, yang
disebut sebagai pleksus kiesselbach (littel’s area). Pleksus kiesselbach letaknya

6
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.8,9

Gambar 4.Perdarahan Arteri Dinding Medial Hidung.4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung ke
v. Oftalmika dan v. facialis yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi samapai ke intrakranial.8,9,10

Gambar 5. Persarafan Dinding Lateral Dan Medial Hidung.5

2.1.2 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dari teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
7
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5) Refleks nasal. 11,12,13,16

Gambar 6. Fisiologi Hidung6


FUNGSI RESPIRASI

Hidung merupakan tempat lalunya udara pernapasan masuk dan keluar.


Dibagiandepan ditunjang oleh kartilago lateralis superior dan inferior yang
setengah kaku, pada inspirasi kuat dinding lateral hidung dapat tertarik kedalam.
Sedangkan bagian posterior saluran udara ini kaku. 10,11,12,15

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares


anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
10,11,12,15

8
Suhu udara yang melalui hidung akan diatur sehingga berkisar 37oC.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu,
virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. 10,11,12,15

FUNGSI PENGHIDU

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius dan epitel oftalmikus berlapis semu yang berwarna kecklatan
pada atap rongga hiung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. 10,11,12,15

Menurut teori stereokimia, untuk penghidu setiap bau-bauan kimia atau


dasar indra penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan
bersifat elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai
reseptor yang bentuk dan dimensinya tertentu, sehingga satu molekul bau yang
spesifik membutuhkan partikel reseptor tersendiri. 10,11,12,15

Bau-bauan primer adalah bau-bauan eterial, kamper, “musky” wangi bunga,


bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan
kombinasi yang ditimbulkan oleh peraturan molekul-molekul dengan dua atau
lebih reseptor.Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manisyang berasal dari berbagai macam bahan, seperti
perbedaan rasa manis strowberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa. 10,11,12,15

FUNGSI FONETIK
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses

9
pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada
pembentukan konsonen nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,
palatum mole turun untuk aliran udara. 10,11,12,15

REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. 10,11,12,15

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Rinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1

Rinitis alergi (RA), secara klinis merupakan penyakit inflamasi mukosa


hidung diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) setelah terjadi paparan alergen
pada mukosa hidung, diikuti oleh ikatan alergen – IgE pada sel mast dan basofil
yang tersensitisasi. Gejala yang timbul antara lain rinore, buntu hidung, gatal pada
hidung, bersin dan pada beberapa kasus terdapat gejala mata, telinga dan
tenggorok.2

Berdasarkan ARIA 2007, klasifikasi RA didasarkan pada parameter gejala,


kualitas hidup, durasi dan tingkat keparahan, menjadi kelompok persisten dan
intermiten dengan derajat ringan dan sedang berat.Rinitis alergi merupakan
masalah kesehatan global yang dapat terjadi di semua negara, semua golongan
dan etnik, semua tingkat usia, dengan puncak pada usia produktif.2

3.2 Etiologi

Faktor risiko terjadinya rinitis alergi meliputi :7


1. Riwayat atopi keluarga
2. IgE serum lebih tinggi daripada100 IU/ml pada anak di bawah usia 6
tahun
3. Keluargadengan sosial ekonomi yang tinggi

11
4. Paparan terhadapalergen rumah tangga seperti hewan dan tungau
deburumah tangga
5. Uji kulit tusuk positif.
Faktor predisposisiterjadinya alergi adalah faktor genetik dan faktor
lainmisalnya pemaparan dengan virus-virus tertentu.Pemaparan alergen virus
jangka lama dapat menyebabkaneksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal
ini dapatmuncul bersamaan atau salah satu muncul lebih dulu. Pada penelitian
didapatkan 48% pasien mempunyairiwayat atopi. Riwayat atopi keluarga
ditemukan pada ibu(42%); ayah (40%), dan pada saudara kandung (24%).7,8
Atopi merupakan predisposisi genetik untuk membentukantibodi alergi
(IgE) dalam memberikan respons terhadapalergen spesifik. Atopi merupakan
faktor risiko terjadinyaasma dan rinitis alergi. Periode kritis sensitisasi
allergenterjadi sampai usia dua atau tiga tahun.7
Apabiladidapatkan riwayat atopi pada kedua orang tuanya,kemungkinan
risiko rinitis alergi lebih besar dibandingkanapabila salah satu dari orang tuanya
yang atopi, namunperlu diketahui bahwa rinitis alergi disebabkan
multifaktorial.Seseorang tanpa riwayat keluarga atopi dapat menderitarinitis
alergi. Individu atopi mewariskan kecenderunganterjadinya respons imun limfosit
Th2 dengan pembentukanIgE-sel mast.7
Paparan terhadap alergen tungau debu rumah,kecoa, kucing, anjing dan
hewan piaraan lain, serbuk sariatau alergen lain untuk jangka lama dengan
konsentrasirendah menyebabkan presentasi alergen oleh antigenpresenting cell
(APC) terhadap CD41. Alergrn penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan
oleh makanan alergen ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan
bertambahnya usia. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe 1 pada telinga,
hidung dan tenggorok anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.7,8

Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
yang berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

12
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur,coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.2,6,8,9

3.4 Epidemiologi
Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang
mempengaruhisekitar 10 hingga 25% populasi. Padanegara maju prevalensi rinitis
alergi lebihtinggi seperti di Inggris mencapai 29%, diDenmark sebesar 31,5%, dan
di Amerikaberkisar 33,6%.Prevalensi di Indonesiabelum diketahui secara pasti,
namun datadari berbagai rumah sakit menunjukkanbahwa rinitis alergi memiliki
frekuensiberkisar 10-26%.2,3,4,5
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.
Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong
2,3,4,5
(25-30%).
Rinitis alergi umumnyabukan penyakit yang fatal tetapi gejalanyadapat
mempengaruhi status kesehatanseseorang dan menurunkan kualitas
hiduppenderita. Penyakit ini juga menurunkanproduktifitas kerja, waktu efektif
kerja, danprestasi sekolah. Dampak secara ekonomidi Amerika mencapai 3 juta
dolar dantambahan 4 juta dolar akibat komplikasi yangterjadi seperti otitis dan
asma. 2,3,4,5

13
3.4 Patofisiologi
Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh Ishizaka
(Amerika) dan Johansson &Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung
timbulnya penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan
diagnostik. Selanjutnya pemeriksaan invivo dan invitro ditujukan untuk
membuktikan adanya IgE yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi
mediator yang dilepaskan.1,4,8
Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC)
dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). RAFC berlangsung sampai satu jam setelah
kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan
alergen, sedangkan RAFL berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak
reaksi pada 4-8 jam pertama. 1,4,5,8,11,16
Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup
bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel
dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen
Presenting Cell atau APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14
asam amino yang berikatan dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen)
kelas II membentuk kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0). 1,4,5,8,11,16
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringandan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensitisasi yangmenghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. 1,4,5,8,11,16

14
Gambar 7. Reaksi alergi yang bersifat akut dan kronis.7

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin. Selain
histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi
fase cepat. 1,4,5,8,11,16
Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain
itu histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet akan
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain seperti hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. 1,4,5,8,11,16
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini
akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan.Pada RAFL
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada
sekret hidung. 1,4,5,8,11,16
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi olehfaktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi. 1,4,5,8,11,16
Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita
yang mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada
sel B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk
memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada
bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya
dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. 1,4,5,8,11,16

15
Sel mastosit kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar
dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa
hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis
alergi atau penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat
memberikan hasil yang positif. 1,4,5,8,11,16

3.5 Klasifikasi Rinitis Alergi


Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,5
 Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara peernapasan,
misalnya : tungau debu rumah (D. Pteronissinus, D. Farinae, B.
Tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,anjing),
rerumputan (bermuda grass) serta jamur (aspergilus alternaria)
 Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan
kacang-kacangan.
 Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin dan sengatan lebah.
 Alergen kontakan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

1. Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis dibagi atas :1,5


 Rinitis alergi musiman (seasonal, hay faver, polinolis). Di
indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada dinegara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
serbuk (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
ialah pollinosis.
 Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial) gejala pada penyakit ini
timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi
dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering
ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen
ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor)
contoh : tungau dan alergen diluar rumah (autdoor). Alergen
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
16
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologi pada golongan perenial lebih
ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

2. Berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :1,4,6,16


 Intermiten (kadang –kadang): Bila gejala kurang dari 4 hari/
minggu atau kurang dari 4 minggu. Gejala dijumpai hilang timbul
dan biasanya terdapat dinegara dengan 4 musim. Terdapat 3
kelompok alergen serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang
tiap kelompok ini berturut-turut terdapat pada musim semi,
musim panas dan musim gugur.
Sering terjadi mulai masa anak-anak dan paling sering pada
dewasa muda, yang meningkat sesuai degan bertambahnya umur
dan menjadi masalah pada usia tua.
 Persisten /menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan
lebih dari 4 minggu. Gejala rinitis alergi ini dapat terjadi
sepanjang tahun, penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non
alergik. Gejalanya sering timbul tetapi hanya sekitar 2-4 %
popiulasi yang mengalami gejala yang berarti.
3. Berdasarkan berat ringannya penyakit dibagi menjadi : 1,4,6,16

 Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas


harian(seperti bersekolah, bekerja, berolahraga), bersantai, dan
hal-hal lain yang mengganggu.
 Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut,
dan terdapat gejala yang berat. Berdasarkan penelitian di RSUP
Dr. Kariadi semarang derajat sedang-berat memiiki prevalensi
angka kejadian tertinggi dibandingkan derajat ringan.

3.6 Diagnosis Rinitis Alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.1,4,5

17
3.6.1 Anamnesis
anamnesa sangat penting, karena sering kali serangan tidak
terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesa saja, rinitis alergi biasanya
mulai timbul pada kanak-kanak dan ditandai dengan gejala
rinitis alergi yang khas: 1,4,5
 Bersin (lebih dari 5 kali setiap serangan)
 Rinore (ingus bening encer)
 Hidung tersumbat (menetap / bergantian)
 Gatal di hidung, tenggorok, langit langit atau telinga
 Mata gatal berair dan kemerahan
 Hiposmia atau anosmia
 Post nasal drip atau batuk kronik
 Variasi diurnal (memburuk pada pagi hingga siang,
membaik saat malam hari)
 Frekuensi serangan, beratnya, durasi, intermiten atau
persisten
 Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti gangguan
pekerjaan, sekolah, tidur dan aktivitas sehari-hari.

3.6.2. Pemeriksaan Fisik 1,4,5,8,11


 Hidung
Menggunakan spekulum hidung yaitu rinoskopi anterior,
untuk melihat patologi kavum nasi, misalnya mukosa edema
dan kebiruan atau pucat(livid), adanya secret encer yang
banyak, hidung buntu. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi, untuk memperjelas dapat dilakukan
pemeriksaan nasoendoskopi.
 Ciri umum muka
Tampak warna kebiruan infra orbita (allergic shinners),
lipatan menonjol di bawah kelopak mata inferior (Morgan-
18
Dennie lines), tampak garis melintang didorsum nasi bagian
sepertiga bawah disebut (nasal crease)dan tampak anak
menggosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan.
(allergic salute),
 Telinga, mata, mulut dan faring
Menilai keadaan membrana timpani, udem konjungtiva, mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi
geligi (facies adenoid), lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue) dan keadaan faring, dinding posterior
faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance),
serta dinding lateral faring menebal.
 Leher, paru dan kulit
Evaluasi untuk mencari gejala klinis asma dan dermatitis
atopik.

3.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai
dengan fasilitas yang ada.1,4,8
1. Uji kulit cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk
mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil
pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan
Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas
tersedia.

19
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi
dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan
rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit
kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk
diagnostik.
3. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang
diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan
hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak
ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun
1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan
komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan
sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST,
Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu
pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam
saja.
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk
menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan
morfologik dari mukosa hidung.

5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).


Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis
rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes
alergi selalu negatif.

6. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi.


Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti
adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan
jika direncanakan tindakan operasi.

20
3.6.4. Diagnosa Banding. 4,8

Alternative Diagnosis Typical Characteristics

Acute rhinosinusitis Facial pressure or pain, purulent nasal discha


maxillary toothache; failure to respond to
decongestants; fever or cough may be presen
typically follows an allergy flare-up or a vira
Chronic rhinosinusitis Facial pressure or pain, purulent discharge; f
often absent; may be present in addition to al
rhinitis; symptoms may wax and wane over t
chronic hyposmia.
Viral URI Self-limited course with symptoms (clear
rhinorrhea, cough, ache, low grade fever) usu
resolving within 3-7 days
Structural abnormalities Include nasal septal deviation, nasal polyps,
enlarged turbinates, adenoidal hypertrophy.
Obstruction may be unilateral or bilateral and
or may not be seen on routine nasal examinat
Gustatory rhinitis Clear rhinorrhea caused by hot (i.e. soup) or
foods, may have prominent nasal congestion
symptom.
Rhinitis medicamentosa Also called “rebound rhinitis;” caused by ove
of topical decongestants; diagnosis is easily m
by history; may mask another underlying con
such as septal deviation or allergic rhinitis.
Autonomic dysfunction (vasomotor rhinitis ) Clear rhinorrhea, nasal obstruction, often dep
on position (e.g., supine), may be episodic.
Pregnancy may exacerbate symptoms. Comm
geriatric patients
Medication side effect Common medications causing rhinitis sympt
Atrophic rhinitis include calcium channel blockers, beta block
ACE inhibitors and alpha blockers
Also called “ozena”, caused by over-resectio
nasal turbinate tissue or poor mucus producti
resulting in nasal dryness and crusting. Foul
may be present.

Gastroesophageal reflux Under-recognized cause of post-nasal drip, c


Non-allergic rhinitis and globus sensation; hoarseness or frequent
clearing may also be present
Post-nasal drip sensation often with morning
phlegm

21
3.6.5. Komplikasi Rinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi cukup jarang terjadi, namun ada beberapa
penyakit yang menjadi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering
diantaranya adalah :1
 Penyakit rinitis alergi berhubungan dengan asma bronkial,
sekitar 3-10% kasus asma bronkial di Amerika diikuti oleh
rinitis alergi.
 Polip hidung, beberapa penelitian mendapatkan bahwa,
alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
 Ototis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-
anak
 Rinosinusiti

BAB IV
PENATALAKSANAAN

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang


dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE
spesifik yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut.Tujuan
pengobatan rinitis alergi adalah :1,4,5,8
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.

22
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti
pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.

Terapi rinitis alergi harusmempertimbangkan gejala utama, derajat,kualitas


hidup, dan cost effectiveness.Terapi rinitis alergi meliputi controllingkungan,
farmakoterapi, danimmunoterapi. Farmakoterapi meliputipemberian antihistamin,
kortikosteroid,nasal dekongestan, antileukotrin, mukolitik.Bila secara
farmakoterapi mengalamikegagalan bisa dilanjutkan denganimunoterapi dan
sebagai wacana baruadalah terapi anti Ig E antibodi yangmerupakan alternatif
dalam penatalaksaanpasien dengan penyakit alergi.1,5

1. Kontrol lingkungan
Salah satupenanganan rinitis alergi yang pentingadalah
menghindari alergen. Sementara initidak ada keraguan bahwa
menghindarialergen efektif dapat memberikan perbaikanklinis, hanya
dalam prakteknya banyakkesulitan. Misalnya pada seseorang yangalergi
kucing dia tetap memelihara kucingdan membiarkan gejala alerginya
berlanjut,demikian juga seseorang yang alergi tepungsari walaupun dia
tidak masuk taman tetapitetap terkena paparan karena tingginyakadar
tepung sari di udara.1,5
Antihistamin.
Pemberian antihistamin oraldosis tunggal merupakan first line
terapiuntuk kasus rinitis alergi ringan. Gejala –gejala alergi (gatal,bersin,
pilek dan hidungtersumbat) disebabkan interaksi antaramediator dengan
saraf, pembuluh darahdan kelenjar yang berada di rongga hidung.Histamin
melalui interaksinya denganreseptor H1 mempunyai peran dalammediator
inflamasi yang terlibat dalamproses ini. Aktivitas antihistamin
disebabkanperan antagonis hiatamin pada reseptornya.1,5,8

23
Antihistamin generasi pertam efektif menekan respon alergi
tetapikemampuannya menembus sawar darahotak menimbulkan efek
samping sentra yang dibagi dalam 3 kategori yaitu depresif,stimulatori dan
neuropsikiatri. Juga terdapatefek antikolinergik perifer seperti matakabur,
dilatasi pupil, mulut kering dangangguan berkemih.1,5,8
Sebagian besar antihistamingenerasi kedua tidak mampu
menembussawar darah otak karena perubahan sifatlipophobisitis dan
elektrostatis tetapi padadosis tinggi terdapat efek sedasi.Fexofenadine
antihistamin generasi terbarumerupakan sediaan tanpa efek
sedasiwalaupun dalam dosis tinggidirekomendasikan pemakiannya oleh
RoyalAir Force pada pilot karena tidak ada efeksedasi dan gangguan
psikomotor.1,5,8
Terfenadine dan astemizolepenggunaannya terbatas karena
dapatmenimbulkan aritmia jantung sehinggadengan alasan keamanan obat
tersebutditarik dari peredaran.1,5,8
2. Steroid intranasal
Pemakaian steroid intranasaldirekomendasikan untuk rinitis
alergisedang-berat, secara efektif dapatmengatasi gejala-gejala elergi pada
anakanakdan dewasa. Walaupun availabilitasdan dosis obat rendah pada
pemakaiansteroid intranasal harus diwaspadai efeksupresinya terhadap
aksis HPA, dan resikogangguan pertumbuhan pada anak-anak.5

3. Dekongestan
Dekongestan seringditambahkan sebagai kombinasi terapiuntuk
menghilangkan keluhan hidungtersumbat, pemakaian topikal lebih
efektiftetapi ada resiko tachyphilaxis dan reboundphenomen jika
pemberiannya dihentikan.Sedangkan sediaan oral adakecenderungan
terjadi insomnia dankenaikan tekanan darah.5
4. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfracuted, inferior turbinoplasty
perlu dipertimbangkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasilkan dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triktor asetat,1
24
5. Imunoterapi
Imunoterapi memberikankemungkinan kesembuhan
yangpermanen, tetapi memerlukan waktu terapijangka lama sehingga
memilikiketerbatasan hanya dapat diterapkan padapasien tertentu,
pemberiannya harusdilakukan oleh dokter spesialis dan tidakdianjurkan
pada pasien multipel alergi.5
6. Anti IgE Antibodi
Sebagian besarterapi yang ada sekarang hanyamengurangi gejala,
tidak mempengaruhiperjalanan penyakit, diketahuinyapatofisiologi
penyakit alergi membukakesempatan untuk mengembangkan terapibaru.
Semakin besar pengetahuanmekanisme keseimbangan antara sel-selTh1
dan Th2 dan sitokin-sitokin yangdiproduksi dikembangkan
targetpenghambatan efek bradikinin, substansi P,leukotrin, antibodi IgE,
triptase, plateletactivatingfactor dan prostaglandin.5
IgEtampaknya memiliki peran kunci pada reaksialergi sehingga
menjadi pusat perhatiandalam modifikasi terapi Reaksi inflamasialergi
pada saluran pernafasan disebabkankegagalan kontrol respon imunologi
yangdimediasi oleh IgE. Sehingga kenaikankadar imunoglobulin bebas
dalam darahdianggap sebagai petanda penyakit atopi.6

Aktifitas Biologi IgE dimediasi melaluireseptor dengan afinitas


tinggi (FcåRI) danreseptor afinitas rendah (FcåRII atauCD23), sedangkan
sel mast pada penderitaatopi memiliki peningkatan jumlah reseptorFcåRI
sehingga berhubungan denganpeningkatan pengikatan IgE dan
mudahterjadi degranulasi.5

25
Tabel 2. Algoritma Diagnosa dan Tatalaksana Rinitis Alergi5
BAB V
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan sesuai dengan berat ringannya


penyakit dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. Prinsip terapi rinitis
alergi yaitu dengan menghindari paparan alergen bila mungkin, edukasi kemudian
26
pemberian anti histamin, dekongestan, atau kombinasi dekongestan-anti histamin.
Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik untuk jangka pendek pada penderita
rinitis alergi musiman yang berat dan berlangsung singkat juga sangat efektif
selain itu dapat juga dilakukan operasi maupun imunoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepsrdi Asyad E, Iskandar N, Bashiruddin J. 2012. Rinitis Alergi. Buku


Ajar IlmuKesehatan Telinga Hidung Dan Tenggorokan Kepala Dan Leher.
FK.UI Jakarta, Hal: 106-112.
2. Yulian Nugraha,Prasetya. Pravelensi dan Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada
Siswa Sekolah Umur 16-19 tahun di Kodya Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
3. Jati Kuncara,Rido. Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernafasan Atas Akut Episode Sering. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

4. Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang


Disertai Asma Bronkial.Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Padang
27
5. Widuri, A. 2009. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi. Mutiara
Medika. FK. UMY Yogyakarta.
6. (Allergic Rhinitis and Its Impact On Asthma)2008 Update, ARIA.2008

7. Harsono G, Munasir Z, Siregar PS. 2007. Faktor yang Diduga Menjadi


Resiko Pada Anak Dengan Rinitis Alergi Di RSU DR. Cipto
mangunkusumo Jakarta. FK. Brawijaya. Malang
8. Ap Arwin, Munasir Z, kurniati N. 2010. Rinitis Alergi. Buku Ajar Alergik
Imunologik Anak Edisi 2. Jakarta. Balai Penerbit IDAI. Hal 245-251
9. Ballenger J. Infeksi Kronis Fosa Nasal. Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Tangerang. Binapura Aksara Publisher,

10. Soepsrdi Asyad E, Iskandar N, Bashiruddin J. 2012. Rinitis Alergi. Buku


Ajar IlmuKesehatan Telinga Hidung Dan Tenggorokan Kepala Dan Leher.
FK.UI Jakarta, Hal: 118-121.
11. Gurkov Robert, Nagel Patrick. Dasar- Dasar Ilmu THT( Basics Hals-
Nasen-Ohren-Heilkunde ).
12. Soepsrdi Asyad E, Iskandar N, Bashiruddin J. 2012. Rinitis Alergi. Buku
Ajar IlmuKesehatan Telinga Hidung Dan Tenggorokan Kepala Dan Leher.
FK.UI Jakarta, Hal: 97-99
13. S. Snell Richard. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC
14. Rukmini Sri, Herawati Sri. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
Tanggorok. EGC
15. Sloane Ethel. Anatoi dan Fisiologi Untuk Pemula. EGC
16. Ballenger J. Infeksi Kronis Fosa Nasal. Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Hal :169-179

17. Huriyati E, J Budiman Bestari, Octija Ricki. Peran Kemokin dalam


Patogenesis Rinitis Alergi. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas -
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Padang

28

Anda mungkin juga menyukai