Anti Monopoli
Anti Monopoli
Oleh:
Tim Pematangan Bahan Masukan
Rancangan Peraturan Pemerintah Mengenai Merger
(Pendapat dalam makalah ini adalah pandangan Tim, bukan merupakan pendapat Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Anggota Komisi ataupun Sekretariat KPPU)
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
2. Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahan lain apabila
tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ketentuan mengenai pengambilalihan
saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Tim telah melaksanakan studi mengenai pengendalian merger yang berlaku di beberapa negara
sebagai bahan perbandingan. Hasil studi tersebut tentunya harus dikombinasikan dengan
kondisi objektif di Indonesia baik dari sudut ekonomi maupun sudut hukum, sehingga tercipta
suatu pengendalian merger yang efektif dan mendorong persaingan usaha ke arah yang sehat.
Dalam tulisan ini terdapat beberpa perisitilahan yang berbeda namun mengacu pada hal yang
sama dan karenanya sering dipertukarkan, yaitu merger dengan penggabungan, konsolidasi
dengan peleburan, dan akuisisi dengan pengambilalihan.
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENENTU MODEL PENGENDALIAN MERGER INDONESIA
Pasal 28 tidak mengatakan secara jelas sistem pelaporan merger, peleburan, maupun akuisisi.
Yang jelas pelaku usaha yang hendak merger berkewajiban bahwa tindakan mergernya tidak
mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila anti
persaingan, maka merger tesebut dapat dibatalkan oleh KPPU. Untuk mencegah terjadi
pembatalan tersebut, UU persaingan dibanyak negara mewajibkan pelaku usaha yang hendak
merger memberitahukan rencananya kepada Lembaga Pengawas Persaingan, sehingga KPPU
dapat melakukan penilaian apakah penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham
yang dimaksud termasuk ke dalam bentuk-bentuk penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan saham yang dilarang.
Pemahaman atas kewjiban pre-notification didukung juga oleh sejarah hukum persaingan di
berbagai negara yang menunjukkan bahwa suatu penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan saham operasional perusahaan.
Pembatalan juga merugikan bagi pelaku usaha yang telah mengeluarkan biaya yang cukup
besar dalam melaksanakan proses penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan tersebut.
Pembatalan juga melahirkan iklim ketidakpastian dalam berusaha sehingga justru menghambat
penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan yang berdampak positif dan pro-persaingan.
Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh Majelis Komisi dibantu oleh investigator dan panitera
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja. Pemeriksaan lanjutan dapat
diperpanjang satu kali dengan masa perpanjangan selambat-lambatnya 30 hari kerja.
Prosedur penilaian rencana merger tidak dapat dilakukan melalui prosedur penanganan perkara
biasa sebagaimana berlaku selama ini. Prosedur biasa berlaku terhadap laporan dugaan
pelaporan yang terjadi oleh suatu kegiatan merger.
1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau
oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemriksaan tentang ada atau tidak adanya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang ini;
6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan UndangUndang ini;
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Pasal 28 ayat (1) dan (2) melarang pelaku usaha yang
melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham
perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan secara garis besar tercantum dalam UU no. 1
tahun 1995 tentang perseroan terbatas, dalam bab VII dari Pasal 102 sampai dengan Pasal
109. UU No. 1/1995 tidak memberikan definisi tentang penggabungan dan peleburan, dalam
Pasal 102 ayat (1) hanya menyatakan sebagai berikut:
"Satu perseroan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perseroan yang
telah ada atau meleburkan diri dengan perseroan lain dan membentuk perseroan baru"
demikian halnya dengan definisi pengambilalihan, Pasal 103 ayat (1) dan (2) hanya
menyatakan sebagai berikut:
Pemerintah dalam Penjelasan atas PP No. 27/1998, menyatakan bahwa dalam rangka
menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks perlu
diciptakan iklim usaha yang sehat dan efisien, sehingga terbuka kesempatan bagi perseroan
terbatas untuk tumbuh dan berkembang diantaranya dengan cara merger, akuisisi dan
konsolidasi. Terbitnya PP No. 27/1998 yang mengatur mengenai syarat-syarat, tata cara, dan
keberatan terhadap penggabungan, peleburan atau pengambilalihan bertujuan agar tindakan
penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tidak mengarah dan dapat dihindari sejak dini
akan terjadinya monopoli, monopsoni atau persaingan curang.
Sebelum terbitnya PP No. 27/1998 diatas, berdasarkan UU No. 1/1995 dan Undang-undang No.
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal mengeluarkan
Keputusan Nomor Kep-52/PM/1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
Perusahaan Publik atau Emiten.
Pada tahun 1999, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Seperti halnya PP No. 27/1998, PP No.
28/1999 ini juga mengatur syarat-syarat merger, konsolidasi dan akuisisi, tata cara merger, tata
cara konsolidasi, tata cara akuisisi dan keberatan-keberatan atas merger, konsolidasi dan
akuisisi bank.
Pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan peraturan yang khusus mengatur mengenai
merger, konsolidasi dan akuisisi bank karena bank adalah badan usaha yang memiliki peran
yang strategis dan kekhususan dalam dalam fungsi utamanya yaitu sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat dalam rangka penunjang perekonomian nasional. Dalam
menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, perbankan perlu didorong untuk
memperkuat diri sehingga menjadi sehat, efisien dan mampu bersaing , diantaranya dengan
cara merger, konsolidasi dan akuisisi.
PP No. 28/1999 ini kemudian ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia dengan mengeluarkan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/51/Kep/Dir tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum dan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 32/52/Kep/Dir tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan
Di Indonesia, perkembangan merger dan akuisisi cukup signifikan walaupun instrumen yang
mendukung pelaksanaan merger dan akuisisi pada Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu pada pasal 28 dan pasal 29
masih dalam proses pematangan usulan. Oleh karenanya pelaksanaan merger dan akuisisi
masih menggunakan instrumen Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang merger,
akuisisi, dan konsolidasi perseroan terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999
tentang merger, konsolidasi, dan akuisisi bank.
Pada tahun 1995, PT Semen Gresik (Persero) mengakuisisi 100 persen saham PT Semen
Padang (Persero). Keduanya masih berdiri sebagai badan hukum yang terpisah tetapi
menyebabkan beralihnya kepemilikan PT Semen Padang (Persero) dari pemilik lama kepada PT
Semen Gresik (Persero). Selanjutnya PT Semen Gresik (Persero) memiliki pengendalian secara
penuh terhadap kebijakan PT Semen Padang (Persero) baik menyangkut manajemen,
keuangan, produksi, pemasaran, dan kebijakan-kebijakan strategik lainnya.
Merger di dunia perbankan, yaitu merger antara Bank Danamon dan Bank Duta. Bank Danamon
merupakan pihak yang menerima merger dan bertahan hidup (surviving firm) dan Bank Duta
merupakan pihak yang dimerger (merged firm) dan bubar setelah merger. Peristiwa merger ini
mengakibatkan Bank Danamon memiliki ukuran yang makin besar, karena telah mengambil alih
seluruh aset dan hutang Bank Duta. Pemegang saham atau pemilik Bank Duta akan tetap
memiliki saham perusahaan hasil merger (Danamon) melalui pertukaran atau penggantian
saham, kecuali bila saham tersebut dijual. Penentuan besarnya nilai pertukaran atau
penggantian saham (rasio tukar) tersebut dilakukan melalui negosiasi kedua belah pihak. Bila
saham-saham tersebut dijual-belikan di pasar modal, maka harga yang disepakati didasarkan
pada harga pasar masing-masing saham.
Pada tahun 1998, empat bank pemerintah yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank
Ekspor Impor, dan Bank Pembangunan Indonesia dikonsolidasi menjadi Bank Mandiri.
Pemerintah mengambil kebijakan ini dalam rangka efisiensi dan peningkatan daya saing bank
pemerintah dalam industri perbankan nasional.
Pada tanggal 22 Nopember 2001, pemerintah melalui Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK) telah merekomendasikan bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan perbankan,
bank-bank di bawah pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yaitu: Bank
Bali, Bank Universal, Bank Patriot, Bank Prima Express dan Bank Artamedia akan dimerger.
Pada tahun 2002, merger kelima bank swasta tersebut dilakukan dan bank yang masih
dipertahankan adalah Bank Bali, dengan pertimbangan secara ekonomi, finansial, dan sumber
daya lebih kuat dibanding dengan keempat bank lainnya. Dalam perkembangannya, nama bank
hasil merger tersebut menjadi Bank Permata yang dimaksudkan untuk membangun image.
Selain merger beberapa perusahaan di atas, bila dibedakan menurut aktivitas ekonomik,
pengklasifikasian merger dan akuisisi yang telah terjadi di Indonesia adalah merger horisontal,
yaitu merger antara PT Cold Rolling Mill Indonesia (CRMI) dengan PT Krakatau Baja Permata
pada tahun 1991 yang kemudian berubah nama menjadi PT Krakatau Steel. Merger vertikal
yaitu merger antara PT Gudang Garam sebagai perusahaan rokok dengan PT Surya Pamenang
sebagai perusahaan kertas. PT Gudang Garam melakukan merger vertikal ini dengan maksud
agar dapat menjaga kontinyuitas pasokan kertas yang merupakan salah satu komponen utama
dalam industri rokok dari PT Surya Pamenang. Merger konglomerat yaitu merger antara Vicks
Richardson (farmasi) dengan Procter & Gamble (consumer goods). Pada akuisisi aset, yaitu
akuisisi aset PT Semen Gresik (Persero) untuk mengakuisisi PT Bintang Semen Mandiri yang
lokasinya berhimpitan dengan pabrik Semen Gresik Unit IV di Tuban Jawa Timur.
Selain dampak positif, merger atau akuisisi juga dapat memberikan dampak negatif. Salah satu
dampak negatif dari merger yang sering terjadi pada negara transisi atau negara berkembang
adalah menciptakan atau meningkatkan posisi dominan sehingga dapat melakukan kegiatan
yang dapat men-distorsi pasar. Distorsi pasar tersebut dapat berupa mengurangi tingkat
persaingan, hambatan masuk bagi pelaku usaha lain dalam pasar, menetapkan harga yang
lebih tinggi, pengurangan output dan mutu produk yang lebih rendah sehingga pada akhirnya
konsumen juga dirugikan.
Melihat dampak yang ditimbulkan dari suatu merger, perlu dilakukan pengawasan agar merger
yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak mengakibatkan adanya distorsi pasar. Badan pengawas
persaingan usaha perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk menilai apakah merger atau
akuisisi tersebut dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif terhadap persaingan
diantaranya adalah peringkat penguasaan pasar, berkurangnya tingkat persaingan, jumlah
pesaing dan rasio kosentrasi dalam pasar bersangkutan, ada atau tidak adanya hambatan
masuk dalam pasar bersangkutan, ketersediaan produk impor dan substitusi, pengaruh pesaing
dari pasar terdekat, efisiensi dan lain-lain.
BAB III
MODEL-MODEL PENGENDALIAN MERGER DI BEBERAPA NEGARA
Dalam bab ini diketengah beberapa model pengendalian merger yang berlaku di Amerika, Uni
Eropa, dan Australia. Tiga negara atau gabungan negara tersebut mewakili tiga benua besar di
dunia yang paling sering menangani permasalah di seputar pengendalian merger.
Ketentuan mengenai merger di Amerika diatur dalam Section 7 of the Clayton Act, Section 1 of
the Sherman Act, Section 5 of the FTC Act, dan Hart-Scott-Rodino Antitrust Improvement Act.
Di Uni Eropa hal yang sama diatur dalam European Merger Control Regulation atau Council
Regulation No. 4064/89 dan Merger Regulation di masing-masing negara anggota Uni Eropa.
Sedangkan di Australia pengendalian merger diatur dalam Trade Practices Act 1974 (TPA) dan
Foreign Acquisitions and Takeovers Act 1975 (FATA).
Di Amerika lembaga yang berwenang untuk menangani pengendalian merger adalah US Federal
Trade Commission dan Antitrust Division, US Department of Justice. Sedangkan di Uni Eropa
lembaga yang berwenang adalah Merger Task Force of the Directorate Generale for the
Competition of the European Commission. Di Australia terdapat dua lembaga yang menangani
pengendalian merger, yaitu Australian Competition and Consumer Commission (ACCC), Foreign
Investment Review Board (FIRB), dan Federal Treasures.
1. Apabila kosentrasi pasar akibat dari merger, akuisisi dan konsolidasi memberikan
dampak yang signifikan terhadap perdagangan di tingkat community. Kriterianya
adalah:
o Total turnover dunia perusahaan yang telah merger melebihi EUR 5 milliar dan,
o Dua atau lebih perusahaan yang telah merger menyebabkan nilai turnover di
wilayah EU melebihi EUR 250 juta
o Atau, salah satu perusahaan yang telah merger memiliki lebih dari 2/3 EU
turnover di salah satu negara anggota EU
1. Apabila konsentrasi pasar akibat merger, akuisisi dan konsolidasi memberikan dampak
yang signifikan terhadap sekurang-kurangnya di 3 negara anggota EU. Kriterianya
adalah:
o Total turnover dunia perusahaan yang telah merger melebihi EUR 2,5 milliar
dan,
o Dua atau lebih perusahaan yang telah merger menyebabkan nilai turnover di
wilayah EU melebihi EUR 100 juta dan,
o Total turnover dari perusahaan yang telah merger melebihi EUR 100 juta di
sekurang-kurangnya 3 negara anggota EU dan,
o Total turnover dari dua atau lebih perusahaan yang telah merger melebihi EUR
25 juta di sekurang-kurangya 3 negara anggota EU
o Atau, salah satu perusahaan yang telah merger memiliki lebih dari 2/3 EU
turnover di salah satu negara anggota EU
Di Australia, Trade Practices Act 1974 tidak mengatur mengenai jurisdiction
threshold, sedangkan Foreign Acquisitions and Takeovers Act 1975 menerapkan
jurisdiction threshold sebagai berikut:
pihak asing akan melakukan akuisisi 15% atau lebih dari aset suatu
perusahaan di Australia dimana perusahaan tersebut mempunyai nilai
total aset lebih dari A$ 50 Milyar
akuisisi yang akan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan dari tanah di Australia
akuisisi dari pengembangan non-residential commercial real estate,
dimana property tersebut bukan merupakan subject heritage listing dan
bernilai A$ 50 Milyar atau lebih
akuisisi dari pengembangan non-residential commercial real estate,
dimana property tersebut merupakan subject heritage listing dan
bernilai A$ 50 Milyar atau lebih
akuisisi dari tanah yang tersedia untuk dijadikan real estate tanpa
melihat nilainya
akuisisi dari residential real estate tanpa melihat nilainya
pihak asing melakukan akuisisi langsung dari aset perusahaan di
Australia dimana nilai total aset yang akan diakuisisi bernilai lebih dari
A$ 50 Milyar
pihak asing melakukan akuisisi langsung dari saham di perusahaan
lepas pantai (off-shore) atau non-Australian incorporated company
dimana kepemilikan aset dari perusahaan maupun cabangnya
mempunyai nilai total lebih dari A$ 50 Milyar atau memiliki lebih dari 50
% target aset keseluruhan
Di Uni Eropa, substantive test yang digunakan hanyalah menilai apakah merger yang akan
dilaksanakan melahirkan posisi dominan atau tidak dalam suatu pasar bersangkutan.
Sedangkan di Australia, berdasarkan TPA 1974, penilaian yang dilakukan terhadap merger
meliputi:
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa model
pengendalian merger yang efektif harus mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh,
seperti faktor hukum dan faktor ekonomi.
Pengendalian merger di Indonesia harus mempertimbangkan faktor hukum yang telah ada di
Indonesia berikut lembaga-lembaga hukum yang telah ada sebelumnya. Sehingga pengendalian
merger dapat kompatibel dan beroperasi di dalam sistem hukum yang telah ada.
Dari sisi ekonomi, pengendalian merger harus memperhatikan kondisi ekonomi objektif saat ini.
Jangan sampai pengendalian merger malah menghambat dunia usaha dalam mengembangkan
bisnisnya.
Kondisi ekonomi ini dapat terlihat dari jurisdiction threshold yang akan digunakan di Indonesia
sebagai syarat pelaporan suatu merger yang akan dinilai oleh lembaga berwenang. Jurisdiction
threshold akan memberikan indikasi awal mengenai merger dan akuisisi mana yang
memerlukan penilaian lebih dalam dari sisi persaingan usaha.
Dari sisi substantive test, pengalaman di negara-negara lain merupakan bahan awal yang
sangat baik untuk dijakdikan substantive test dalam pengendalian merger di Indonesia. Namun
tentunya harus ada penyesuaian dengan kondisi objektif yang berlaku di Indonesia.
Dengan memperhatikan berbagai unsur-unsur di atas, maka diharapkan KPPU dapat memberi
masukan yang ideal dalam pengendalian merger di Indonesia yang akan dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 dan 29 UU No 5 Tahun 1999.