Anda di halaman 1dari 10

Menemukan Model Pengendalian Merger Di Indonesia

Oleh:
Tim Pematangan Bahan Masukan
Rancangan Peraturan Pemerintah Mengenai Merger

(Pendapat dalam makalah ini adalah pandangan Tim, bukan merupakan pendapat Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Anggota Komisi ataupun Sekretariat KPPU)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangsa pasar yang besar atas produk yang dihasilkan oleh perusahaannya adalah merupakan
suatu harapan/target setiap pelaku usaha, terlebih untuk memiliki posisi dominan atas produk
atau jasa yang diperdagangkan dalam suatu pasar tertentu. Oleh karena itu adalah hal yang
wajar/lazim jika suatu perusahaan senantiasa membangun strategi-strategi pemasaran barunya
dalam rangka meningkatkan volume penjualannya.
Untuk mengembangkan pangsa pasar suatu produk, banyak cara yang dapat dilakukan,
diantaranya dengan cara penggabungan, peleburan badan usaha dan pengambilalihan badan
usaha lain. Oleh karena itu, strategi yang dibangun oleh suatu perusahaan adalah berbeda
dibanding dengan yang diterapkan oleh perusahaan pesaingnya, namun keduanya tetap
mempunyai tujuan/target yang sama, yaitu peningkatan volume penjualan dan
mempertahankannya serta memperoleh keuntungan yang besar dan memadai..
Mengetahui akan adanya kemungkinan perusahaan menerapkan strateginya dengan melakukan
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham perusahaan maka Pasal 28 dan Pasal 29
dari Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menentukan sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
2. Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahan lain apabila
tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ketentuan mengenai pengambilalihan
saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Selanjutnya Pasal 29 dari Undang-undang No. 5 tahun 1999 menyatakan :

1. Panggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi
jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.
2. Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Baik pasal 28 maupun pasal 29 UU No 5 Tahun 1999 mengamanatkan untuk dibuatnya
Peraturan Pemerintah sebagai landasan operasionalisasi pengendalian merger di
Indonesia.
Sesuai dengan amanat tersebut KPPU telah membentuk Tim Pematangan Bahan
Masukan Rancangan Peraturan Pemerintah Mengenai Merger dengan maksud untuk
memberi masukan kepada pemerintah dalam rangka membentuk Peraturan Pemerintah
yang dimaksud.

Tim telah melaksanakan studi mengenai pengendalian merger yang berlaku di beberapa negara
sebagai bahan perbandingan. Hasil studi tersebut tentunya harus dikombinasikan dengan
kondisi objektif di Indonesia baik dari sudut ekonomi maupun sudut hukum, sehingga tercipta
suatu pengendalian merger yang efektif dan mendorong persaingan usaha ke arah yang sehat.

Dalam tulisan ini terdapat beberpa perisitilahan yang berbeda namun mengacu pada hal yang
sama dan karenanya sering dipertukarkan, yaitu merger dengan penggabungan, konsolidasi
dengan peleburan, dan akuisisi dengan pengambilalihan.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk:

a. Memberi gambaran mengenai faktor-faktor yang menentukan bagi efektivitas pengendalian


merger di Indonesia
b. Memberi gambaran mengenai model-model pengendalian merger di beberapa negara.
c. Menerima masukan dari para stakeholder sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan bagi
Tim untuk menyusun bahan masukan yang lebih baik.

BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENENTU MODEL PENGENDALIAN MERGER INDONESIA

2.1 Faktor Hukum


2.1.1 Merger Dalam Hukum Persaingan Indonesia
2.1.1.1. Sistem Pelaporan Merger
Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU No 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan
penggabungan atau peleburan atau pengambilalihan saham yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 28 tidak mengatakan secara jelas sistem pelaporan merger, peleburan, maupun akuisisi.
Yang jelas pelaku usaha yang hendak merger berkewajiban bahwa tindakan mergernya tidak
mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila anti
persaingan, maka merger tesebut dapat dibatalkan oleh KPPU. Untuk mencegah terjadi
pembatalan tersebut, UU persaingan dibanyak negara mewajibkan pelaku usaha yang hendak
merger memberitahukan rencananya kepada Lembaga Pengawas Persaingan, sehingga KPPU
dapat melakukan penilaian apakah penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham
yang dimaksud termasuk ke dalam bentuk-bentuk penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan saham yang dilarang.

Pemahaman atas kewjiban pre-notification didukung juga oleh sejarah hukum persaingan di
berbagai negara yang menunjukkan bahwa suatu penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan saham operasional perusahaan.

Pembatalan juga merugikan bagi pelaku usaha yang telah mengeluarkan biaya yang cukup
besar dalam melaksanakan proses penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan tersebut.
Pembatalan juga melahirkan iklim ketidakpastian dalam berusaha sehingga justru menghambat
penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan yang berdampak positif dan pro-persaingan.

Pertimbangan ini mengarahkan pada pendapat agar KPPU menerapkan sistem


laporan/pemberitahuan sebelum dilaksanakannya penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan saham (pre notification). Kemudian KPPU, melalui kewenangan yang
dimilikinya sesuai dengan ketentuan pasal 36 huruf b UU No 5 Tahun 1999 memberikan
penilaian apakah penggabungan, peleburan, atau pengambilaihan saham yang akan
dilaksanakan merupakan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham yang dilarang
vide pasal 28 UU No 5 Tahun 1999.

2.1.1.2 Penanganan Perkara Persaingan oleh KPPU


Dalam UU No 5 Tahun 1999, penanganan perkara dibagi ke dalam dua tahap, yaitu
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan. Tahap pemeriksaan pendahuluan
dilakukan oleh Tim Pemeriksa yang dibantu oleh investigator dan panitera dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 30 hari kerja. Hasil pemeriksaan pendahuluan berupa penetapan untuk
meneruskan perkara ke pemeriksaan lanjutan atau tidak meneruskan. Perkara yang ditetapkan
untuk diteruskan ke dalam pemeriksaan lanjutan adalah perkara yang memiliki indikasi kuat
adanya pelanggaran UU No 5 Tahun 1999. Penetapan tersebut diputuskan oleh Komisi atas
rekomendasi Tim Pemeriksa.

Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh Majelis Komisi dibantu oleh investigator dan panitera
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja. Pemeriksaan lanjutan dapat
diperpanjang satu kali dengan masa perpanjangan selambat-lambatnya 30 hari kerja.

Dengan berakhirnya pemeriksaan lanjutan, maka perkaran memasuki tahapan penyusunan


putusan dengan jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja. Putusan KPPU harus
dibacakan dalam suatu sidang terbukan yang dinyatakan terbuka untuk umum. Putusan KPPU
yang tidak dimintakan keberatan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Pelaku usaha yang
dinyatakan melanggar UU No 5 Tahun 1999 dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat pelaku usaha tersebut berdomisili, dalam jangka waktu selambat-lambatnya
14 hari setelah menerima putusan KPPU. Atas putusan Pengadilan Negeri, para pihak dapat
melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Prosedur penilaian rencana merger tidak dapat dilakukan melalui prosedur penanganan perkara
biasa sebagaimana berlaku selama ini. Prosedur biasa berlaku terhadap laporan dugaan
pelaporan yang terjadi oleh suatu kegiatan merger.

2.1.1 3 Tugas dan Kewenangan KPPU


Tugas dan kewengan KPPU diatur dalam pasal 35 dan 36 UU No 5 Tahun 1999, khusus
berkaitan dengan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, KPPU bertugas untuk
melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Selanjutnya KPPU memiliki kewenangan untuk:

1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau
oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemriksaan tentang ada atau tidak adanya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang ini;
6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan UndangUndang ini;

Terhadap penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang mengakibatkan praktek


monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, KPPU , sebagaimana diatur dalam pasal 47
ayat (2) huruf e, memilki kewenangan untuk menetapkan pembatalan penggabungan, dan
pengambilalihan.

2.1.2 Existing Rules Mengenai Merger

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Pasal 28 ayat (1) dan (2) melarang pelaku usaha yang
melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham
perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan secara garis besar tercantum dalam UU no. 1
tahun 1995 tentang perseroan terbatas, dalam bab VII dari Pasal 102 sampai dengan Pasal
109. UU No. 1/1995 tidak memberikan definisi tentang penggabungan dan peleburan, dalam
Pasal 102 ayat (1) hanya menyatakan sebagai berikut:
"Satu perseroan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perseroan yang
telah ada atau meleburkan diri dengan perseroan lain dan membentuk perseroan baru"
demikian halnya dengan definisi pengambilalihan, Pasal 103 ayat (1) dan (2) hanya
menyatakan sebagai berikut:

1. pengambilalihan perseroan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang


perseorangan.
2. Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat dilakukan melalui
pengambilalihan seluruha tau sebagian besar saham yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.

Pasal 109 menyatakan bahwa ketentuan mengenai penggabungan, peleburan dan


pengambilalihan diatur lebih lanjut oleh pemerintah.
Menindaklanjuti UU No. 1 tahun 1995 tersebut, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun
1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. PP No. 27
tahun 1998 ini selain memberikan pengertian mengenai penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan perusahaan juga memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat, tata cara,
dan keberatan terhadap penggabungan, peleburan atau pengambilalihan.

Pemerintah dalam Penjelasan atas PP No. 27/1998, menyatakan bahwa dalam rangka
menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks perlu
diciptakan iklim usaha yang sehat dan efisien, sehingga terbuka kesempatan bagi perseroan
terbatas untuk tumbuh dan berkembang diantaranya dengan cara merger, akuisisi dan
konsolidasi. Terbitnya PP No. 27/1998 yang mengatur mengenai syarat-syarat, tata cara, dan
keberatan terhadap penggabungan, peleburan atau pengambilalihan bertujuan agar tindakan
penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tidak mengarah dan dapat dihindari sejak dini
akan terjadinya monopoli, monopsoni atau persaingan curang.

Sebelum terbitnya PP No. 27/1998 diatas, berdasarkan UU No. 1/1995 dan Undang-undang No.
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal mengeluarkan
Keputusan Nomor Kep-52/PM/1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
Perusahaan Publik atau Emiten.

Pada tahun 1999, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Seperti halnya PP No. 27/1998, PP No.
28/1999 ini juga mengatur syarat-syarat merger, konsolidasi dan akuisisi, tata cara merger, tata
cara konsolidasi, tata cara akuisisi dan keberatan-keberatan atas merger, konsolidasi dan
akuisisi bank.

Pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan peraturan yang khusus mengatur mengenai
merger, konsolidasi dan akuisisi bank karena bank adalah badan usaha yang memiliki peran
yang strategis dan kekhususan dalam dalam fungsi utamanya yaitu sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat dalam rangka penunjang perekonomian nasional. Dalam
menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, perbankan perlu didorong untuk
memperkuat diri sehingga menjadi sehat, efisien dan mampu bersaing , diantaranya dengan
cara merger, konsolidasi dan akuisisi.

PP No. 28/1999 ini kemudian ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia dengan mengeluarkan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/51/Kep/Dir tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum dan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 32/52/Kep/Dir tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan

Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat.


Sebagaimana judulnya, Bank Indonesia membedakan Persyaratan dan Tata Cara Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum dengan Bank Perkreditan Rakyat, karena berdasarkan
peraturan BI tersebut, merger dan konsolidasi hanya dilakukan antar bank umum atau antar
BPR saja.

2.2 Faktor Ekonomi


2.2.1 Gambaran Umum Ekonomi dan Trend Merger di Indonesia
Merger dan akuisisi telah menjadi topik yang cukup populer dalam beberapa tahun terakhir ini.
Pada awalnya perbincangan tentang merger dan akuisisi hanya terbatas pada kalangan
komunitas pelaku usaha, namun kini masyarakat publik mulai familiar dengan dua terminologi
ini. Berbagai media massa cukup banyak yang selalu menyajikan informasi merger dan akuisisi
baik yang telah melakukan merger dan akuisisi maupun yang masih sebatas rencana.

Di Indonesia, perkembangan merger dan akuisisi cukup signifikan walaupun instrumen yang
mendukung pelaksanaan merger dan akuisisi pada Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu pada pasal 28 dan pasal 29
masih dalam proses pematangan usulan. Oleh karenanya pelaksanaan merger dan akuisisi
masih menggunakan instrumen Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang merger,
akuisisi, dan konsolidasi perseroan terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999
tentang merger, konsolidasi, dan akuisisi bank.

Pada tahun 1995, PT Semen Gresik (Persero) mengakuisisi 100 persen saham PT Semen
Padang (Persero). Keduanya masih berdiri sebagai badan hukum yang terpisah tetapi
menyebabkan beralihnya kepemilikan PT Semen Padang (Persero) dari pemilik lama kepada PT
Semen Gresik (Persero). Selanjutnya PT Semen Gresik (Persero) memiliki pengendalian secara
penuh terhadap kebijakan PT Semen Padang (Persero) baik menyangkut manajemen,
keuangan, produksi, pemasaran, dan kebijakan-kebijakan strategik lainnya.

Merger di dunia perbankan, yaitu merger antara Bank Danamon dan Bank Duta. Bank Danamon
merupakan pihak yang menerima merger dan bertahan hidup (surviving firm) dan Bank Duta
merupakan pihak yang dimerger (merged firm) dan bubar setelah merger. Peristiwa merger ini
mengakibatkan Bank Danamon memiliki ukuran yang makin besar, karena telah mengambil alih
seluruh aset dan hutang Bank Duta. Pemegang saham atau pemilik Bank Duta akan tetap
memiliki saham perusahaan hasil merger (Danamon) melalui pertukaran atau penggantian
saham, kecuali bila saham tersebut dijual. Penentuan besarnya nilai pertukaran atau
penggantian saham (rasio tukar) tersebut dilakukan melalui negosiasi kedua belah pihak. Bila
saham-saham tersebut dijual-belikan di pasar modal, maka harga yang disepakati didasarkan
pada harga pasar masing-masing saham.

Pada tahun 1998, empat bank pemerintah yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank
Ekspor Impor, dan Bank Pembangunan Indonesia dikonsolidasi menjadi Bank Mandiri.
Pemerintah mengambil kebijakan ini dalam rangka efisiensi dan peningkatan daya saing bank
pemerintah dalam industri perbankan nasional.

Pada tanggal 22 Nopember 2001, pemerintah melalui Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK) telah merekomendasikan bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan perbankan,
bank-bank di bawah pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yaitu: Bank
Bali, Bank Universal, Bank Patriot, Bank Prima Express dan Bank Artamedia akan dimerger.
Pada tahun 2002, merger kelima bank swasta tersebut dilakukan dan bank yang masih
dipertahankan adalah Bank Bali, dengan pertimbangan secara ekonomi, finansial, dan sumber
daya lebih kuat dibanding dengan keempat bank lainnya. Dalam perkembangannya, nama bank
hasil merger tersebut menjadi Bank Permata yang dimaksudkan untuk membangun image.

Selain merger beberapa perusahaan di atas, bila dibedakan menurut aktivitas ekonomik,
pengklasifikasian merger dan akuisisi yang telah terjadi di Indonesia adalah merger horisontal,
yaitu merger antara PT Cold Rolling Mill Indonesia (CRMI) dengan PT Krakatau Baja Permata
pada tahun 1991 yang kemudian berubah nama menjadi PT Krakatau Steel. Merger vertikal
yaitu merger antara PT Gudang Garam sebagai perusahaan rokok dengan PT Surya Pamenang
sebagai perusahaan kertas. PT Gudang Garam melakukan merger vertikal ini dengan maksud
agar dapat menjaga kontinyuitas pasokan kertas yang merupakan salah satu komponen utama
dalam industri rokok dari PT Surya Pamenang. Merger konglomerat yaitu merger antara Vicks
Richardson (farmasi) dengan Procter & Gamble (consumer goods). Pada akuisisi aset, yaitu
akuisisi aset PT Semen Gresik (Persero) untuk mengakuisisi PT Bintang Semen Mandiri yang
lokasinya berhimpitan dengan pabrik Semen Gresik Unit IV di Tuban Jawa Timur.

2.2.2 Dampak Merger Terhadap Perekonomian


Merger adalah merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk
menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat. Pada prinsipnya terdapat dua faktor yang
pelaku usaha melakukan merger dan akuisisi, yaitu faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi.
Beberapa faktor ekonomi yang mendukung perusahaan untuk melakukan merger dan atau
akuisisi adalah: efisiensi waktu, biaya dan risiko kegagalan memasuki pasar; mengakses
reputasi teknologi, produk dan merek dagang; memperoleh individu-individu sumber daya
manusia yang profesional; membangun kekuatan pasar (market power); membangun kekuatan
monopoli; memperluas pangsa pasar; mengurangi persaingan (memperkecil jumlah pelaku
usaha dalam pasar bersangkutan); mendiversifikasi lini produk; mempercepat pertumbuhan
perusahaan; menstabilkan cash flow dan keuntungan.

Selain dampak positif, merger atau akuisisi juga dapat memberikan dampak negatif. Salah satu
dampak negatif dari merger yang sering terjadi pada negara transisi atau negara berkembang
adalah menciptakan atau meningkatkan posisi dominan sehingga dapat melakukan kegiatan
yang dapat men-distorsi pasar. Distorsi pasar tersebut dapat berupa mengurangi tingkat
persaingan, hambatan masuk bagi pelaku usaha lain dalam pasar, menetapkan harga yang
lebih tinggi, pengurangan output dan mutu produk yang lebih rendah sehingga pada akhirnya
konsumen juga dirugikan.

Melihat dampak yang ditimbulkan dari suatu merger, perlu dilakukan pengawasan agar merger
yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak mengakibatkan adanya distorsi pasar. Badan pengawas
persaingan usaha perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk menilai apakah merger atau
akuisisi tersebut dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif terhadap persaingan
diantaranya adalah peringkat penguasaan pasar, berkurangnya tingkat persaingan, jumlah
pesaing dan rasio kosentrasi dalam pasar bersangkutan, ada atau tidak adanya hambatan
masuk dalam pasar bersangkutan, ketersediaan produk impor dan substitusi, pengaruh pesaing
dari pasar terdekat, efisiensi dan lain-lain.

BAB III
MODEL-MODEL PENGENDALIAN MERGER DI BEBERAPA NEGARA

Dalam bab ini diketengah beberapa model pengendalian merger yang berlaku di Amerika, Uni
Eropa, dan Australia. Tiga negara atau gabungan negara tersebut mewakili tiga benua besar di
dunia yang paling sering menangani permasalah di seputar pengendalian merger.

Ketentuan mengenai merger di Amerika diatur dalam Section 7 of the Clayton Act, Section 1 of
the Sherman Act, Section 5 of the FTC Act, dan Hart-Scott-Rodino Antitrust Improvement Act.
Di Uni Eropa hal yang sama diatur dalam European Merger Control Regulation atau Council
Regulation No. 4064/89 dan Merger Regulation di masing-masing negara anggota Uni Eropa.
Sedangkan di Australia pengendalian merger diatur dalam Trade Practices Act 1974 (TPA) dan
Foreign Acquisitions and Takeovers Act 1975 (FATA).

Di Amerika lembaga yang berwenang untuk menangani pengendalian merger adalah US Federal
Trade Commission dan Antitrust Division, US Department of Justice. Sedangkan di Uni Eropa
lembaga yang berwenang adalah Merger Task Force of the Directorate Generale for the
Competition of the European Commission. Di Australia terdapat dua lembaga yang menangani
pengendalian merger, yaitu Australian Competition and Consumer Commission (ACCC), Foreign
Investment Review Board (FIRB), dan Federal Treasures.

3.1 Sistem Pelaporan Merger dan Jurisdiction Threshold


Baik di Amerika, Uni Eropa, maupun Australia rencana merger atau akuisisi wajib dilaporkan
kepada lembaga berwenang sebelum merger dan akuisisi dilakukan (pre-notification).
Kewajiban melaporkan timbul setelah adanya ukuran-ukuran yang dipenuhi atau disebut juga
dengan jurisdiction threshold.
Di Amerika jurisdiction threshold yang digunakan adalah:

1. The Commerce Test


Pihak yang mengambil alih atau yang diambilalih melakukan usaha komersial dlm
wilayah US atau berpengaruh terhadap US
2. The Size-of-the-Transaction Test
� Aset hasil merger diatas US$ 200 juta harus dilaporkan
� Aset hasil merger US$ 50 juta s/d US$ 200 harus dilaporkan apabila memenuhi the-
size-of-the-parties-test
� Aset hasil merger dibawah US$ 50 juta tidak harus dilaporkan
3. The-Size-of-the-Parties-Test
Aset atau penjualan satu pihak diatas US$ 100 juta atau pihak lainnya diatas US$ 10
juta

Di Uni Eropa jurisdiciton threshold yang digunakan adalah:

1. Apabila kosentrasi pasar akibat dari merger, akuisisi dan konsolidasi memberikan
dampak yang signifikan terhadap perdagangan di tingkat community. Kriterianya
adalah:

o Total turnover dunia perusahaan yang telah merger melebihi EUR 5 milliar dan,
o Dua atau lebih perusahaan yang telah merger menyebabkan nilai turnover di
wilayah EU melebihi EUR 250 juta
o Atau, salah satu perusahaan yang telah merger memiliki lebih dari 2/3 EU
turnover di salah satu negara anggota EU

1. Apabila konsentrasi pasar akibat merger, akuisisi dan konsolidasi memberikan dampak
yang signifikan terhadap sekurang-kurangnya di 3 negara anggota EU. Kriterianya
adalah:

o Total turnover dunia perusahaan yang telah merger melebihi EUR 2,5 milliar
dan,
o Dua atau lebih perusahaan yang telah merger menyebabkan nilai turnover di
wilayah EU melebihi EUR 100 juta dan,
o Total turnover dari perusahaan yang telah merger melebihi EUR 100 juta di
sekurang-kurangnya 3 negara anggota EU dan,
o Total turnover dari dua atau lebih perusahaan yang telah merger melebihi EUR
25 juta di sekurang-kurangya 3 negara anggota EU
o Atau, salah satu perusahaan yang telah merger memiliki lebih dari 2/3 EU
turnover di salah satu negara anggota EU
Di Australia, Trade Practices Act 1974 tidak mengatur mengenai jurisdiction
threshold, sedangkan Foreign Acquisitions and Takeovers Act 1975 menerapkan
jurisdiction threshold sebagai berikut:
 pihak asing akan melakukan akuisisi 15% atau lebih dari aset suatu
perusahaan di Australia dimana perusahaan tersebut mempunyai nilai
total aset lebih dari A$ 50 Milyar
 akuisisi yang akan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan dari tanah di Australia
 akuisisi dari pengembangan non-residential commercial real estate,
dimana property tersebut bukan merupakan subject heritage listing dan
bernilai A$ 50 Milyar atau lebih
 akuisisi dari pengembangan non-residential commercial real estate,
dimana property tersebut merupakan subject heritage listing dan
bernilai A$ 50 Milyar atau lebih
 akuisisi dari tanah yang tersedia untuk dijadikan real estate tanpa
melihat nilainya
 akuisisi dari residential real estate tanpa melihat nilainya
 pihak asing melakukan akuisisi langsung dari aset perusahaan di
Australia dimana nilai total aset yang akan diakuisisi bernilai lebih dari
A$ 50 Milyar
 pihak asing melakukan akuisisi langsung dari saham di perusahaan
lepas pantai (off-shore) atau non-Australian incorporated company
dimana kepemilikan aset dari perusahaan maupun cabangnya
mempunyai nilai total lebih dari A$ 50 Milyar atau memiliki lebih dari 50
% target aset keseluruhan

3.2 Substantive Test


Dalam menilai apakah suatu merger dan akuisisi akan membahayakan persaingan usaha,
masing-masing lembaga berwengan mendasarkan penilaian pada beberapa hal (substantive
test). Apabila lembaga berwenang menilai bahwa merger atau akuisisi yang diusulkan tidak
membahayakan persaingan usaha, maka merger atau akuisisi akan diperbolehkan. Sebaliknya,
jika lembaga berwenang menilai merger atau akuisisi akan membahayakan persaingan usaha,
maka lembaga berwenang akan melarang atau memberikan persyaratan-persyaratan tertentu.
Di Amerika, substantive test yang digunakan dalam menilai suatu rencana merger dan aukisisi
adalah:
1. Definisi pasar, pengukuran dan konsentrasi, meliputi:
� Product market definition
� Geographic market definition
� Identifikasi pelaku usaha dalam pasar bersangkutan
� Penguasaan pasar
� Tingkat konsentrasi dan penguasaan pasar
2. Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh merger, meliputi:
� Berkurangnya persaingan melalui interaksi yang terkoordinasi
� Berkurangnya persaingan melalui efek unilateral
3. Analisa entry, meliputi:
� Entry alternatives
� Timeliness of entry
� Likelihood of entry
� Sufficiency of entry
4. Efisiensi
5. Kegagalan dan exiting assets, meliputi:
� Failing firm
� Failing division

Di Uni Eropa, substantive test yang digunakan hanyalah menilai apakah merger yang akan
dilaksanakan melahirkan posisi dominan atau tidak dalam suatu pasar bersangkutan.
Sedangkan di Australia, berdasarkan TPA 1974, penilaian yang dilakukan terhadap merger
meliputi:

 tingkat kompetisi barang impor yang actual dan potensial di pasar


 hambatan masuk ke dalam pasar
 tingkat konsentrasi dalam pasar
 tingkat countervailing power dalam pasar
 kemungkinan akuisisi yang dilakukan akan menyebabkan perusahaan yang akan
melakukan akuisisi dapat secara significant dan sustainably meningkatkan harga atau
marjin keuntungan
 ketersediaannya barang substitusi di pasar
 pergerakan karakteristik pasar termasuk pertumbuhan, inovasi dan product
differentiation
 kemungkinan akuisisi akan menyebabkan hilangnya persaingan yang baik dalam pasar
 akan menyebabkan terjadinya integrasi vertikal dalam pasar
Selain itu di Australia, berdasarkan FATA 1975, penilaian terhadap merger meliputi:
 merger yang dilakukan bertujuan untuk mengambilalih keuntungan dari tanah di
Australia (to acquire interests in Australia urban land)
 merger yang dilakukan bertujuan untuk mengambilalih kepemilikan saham
(shareholdings) sekurang-kurangnya 15% dari perusahaan Australia yang mempunyai
total aset yang bernilai lebih dari A$ 50 Milyar
 merger yang dilakukan bertujuan untuk mengambilalih aset dari bisnis Australia dimana
total aset yang akan diambil alih bernilai lebih dari A$ 50 Milyar

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa model
pengendalian merger yang efektif harus mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh,
seperti faktor hukum dan faktor ekonomi.
Pengendalian merger di Indonesia harus mempertimbangkan faktor hukum yang telah ada di
Indonesia berikut lembaga-lembaga hukum yang telah ada sebelumnya. Sehingga pengendalian
merger dapat kompatibel dan beroperasi di dalam sistem hukum yang telah ada.
Dari sisi ekonomi, pengendalian merger harus memperhatikan kondisi ekonomi objektif saat ini.
Jangan sampai pengendalian merger malah menghambat dunia usaha dalam mengembangkan
bisnisnya.

Kondisi ekonomi ini dapat terlihat dari jurisdiction threshold yang akan digunakan di Indonesia
sebagai syarat pelaporan suatu merger yang akan dinilai oleh lembaga berwenang. Jurisdiction
threshold akan memberikan indikasi awal mengenai merger dan akuisisi mana yang
memerlukan penilaian lebih dalam dari sisi persaingan usaha.

Dari sisi substantive test, pengalaman di negara-negara lain merupakan bahan awal yang
sangat baik untuk dijakdikan substantive test dalam pengendalian merger di Indonesia. Namun
tentunya harus ada penyesuaian dengan kondisi objektif yang berlaku di Indonesia.
Dengan memperhatikan berbagai unsur-unsur di atas, maka diharapkan KPPU dapat memberi
masukan yang ideal dalam pengendalian merger di Indonesia yang akan dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 dan 29 UU No 5 Tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai