BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah di sini ialah:
1. Hubungan akidah dengan syariat
Menjelaskan tentang pengertian keduanya, dalil-dalil, serta contoh hubungan keduanya.
2. Hubungan akidah dengan akhlak
Menjelaskan tentang pengertian akhlak, dalil-dalil, serta contoh hubungan keduanya.
BAB II
HUBUNGAN AQIDAH DENGAN SYARIAT DAN AKHLAK
1[1]Dr. Asmaran As., M.A. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h. 69-70
2[2] Mahmud Syaltut, 1966. Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar al-Kalam. h. 150
Inilah aqidah yang kuat, aqidah yang sebenarnya. Apabila keyakinan semacam ini telah
dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mukmin yang semacam ini telah mempunyai prinsip
yang benar dan kokoh. Ia senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang dengan penuh rasa
tanggung-jawab dan waspada dalam segala urusan. Apabila mereka berada di atas dasar
kebenaran, maka ia dapat bekerja sama dengan mereka. Kalau ia melihat mereka menyimpang
dari jalan yang benar, maka ia mengambil jalan sendiri.4[4]
Rasulullah bersabda:
' ولكن وظن''وا انفس''كم، ان احسن الناس احسنث وان اس''اءوا اس''أث، انا مع الناس: اليكن احدكم أمعة يقول
)ان حسن الناس ان ثحسنوا وان اساءوا ان ثجثنبوا اساءثهم (رواه الترذي
“Janganlah ada di antara kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian, ia berkata: Saya
ikut bersama orang-orang. Kalau orang berbuat baik, saya juga berbuat baik; dan kalau orang
berbuat jahat, saya juga berbuat jahat. Akan tetapi teguhlah pendirianmu. Apabila orang berbuat
baik, hendaklah kamu juga berbuat baik dan kalau mereka berbuat jahat, hendaklah kamu jauhi
perbuatan jahat itu.” (HR. Turmuzi)
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa iman itu merupakan satu hal yang sangat
fondamental dalam Islam dan dengan sendirinya dalam kehidupan. Untuk memantapkan uraian
ini, iman laksana mesin bagi sebuah mobil yang menggerakkan segala kekuatannya untuk
berjalan. Tanpa mesin, maka mobil itu tak ubahnya seperti benda-benda mati yang lain yang
tidak bisa bergerak dan berjalan.5[5]
Kemantapan iman dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid La Illaha illa al-
Allah (Tiada tuhan selain Allah). Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat kecuali Allah;
dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah. Pendket kata, kebahagiaan
dan kesengsaraan hanyalah dari Allah. Al-Maududi mengemukakan beberapa pengaruh kalimat
tauhid ini dalam kehidupan manusia.
1. Manusia yang percaya dengan kalimat ini tidak mungkin orang yang berpandangan sempit dan
berakal pendek.
2. Keimanan mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya sebagai manusia.
3. Bersamaan dengan rasa harga diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke dalam diri
manusia rasa kesederhanaan dan kesahajaan.
4. Keimanan membuat manusia menjadi suci dan benar.
5. Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang bagaimanapun.
6. Orang yang beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya teguh
kepada Allah SWT.
7. Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia.
8. Keimanan terhadap kalimat La Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan sikap cinta damai dan
keadilan menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.
9. Pengaruuh yang terpenting adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada hukum-
hukum Allah.6[6]
3[3] Prof. Dr. Hamka. 1982. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas. h. 6
4[4] Muhammad al_Gazali, 1970, Khuluk al-Muslim, Kuwait: Dar al Bayan. h. 117
6[6] Abdul Al-Maududi, t.t., Towards Undestanding Islam, Jeddah: One Seeking Mercy of Allah h. 98-104
B. Hubungan Aqidah dengan Akhlak
Menurut Mahmud Syaltut, tidak diragukan lagi bahwa untuk memperguanakan dan
menjalankan bagian aqidah dan ibadah perlu pula berpegang kuat dan tekun dalam mewujudkan
bagian lain yang disebut dengan bagian akhlak. Sejarah risalah ketuhanan dalam seluruh
prosesnya telah membuktikan bahwa kebahagiaan di segenap lapangan hanya diperoleh dengan
menempuh budi pekerti (berakhlak mulia).7[7]
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddiequ di dalam bukunya Al Islam mengatakan:
Kepercayaan dan Budi pekerti dalam pandangan Al-Qur’an hampir dihukum satu, dihukum
setaraf, sederajat. Lantaran demikianlah Tuhan mencurahkan kehormatan kepada akhlak dan
membesarkan kedudukannya. Bahkan Allah memerintahkan seorang muslim memelihara
akhlaknya dengan kata-kata perintah yang pasti, terang, dan jelas. Para muslim tidak dibenarkan
sedikit juga menyia-nyiakan akhlaknya, bahkan tak boleh memudah-mudahkannya.8[8]
Akidah tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat
berlindung di saat kepanasan dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak
tanpa akidah hanya merupakan layang-layaang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu
bergerak. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terletak pada
kesempurnaan dan kebaikan akhlaknya. Sabda beliau: “Orang mukmin yang paling sempurna
imannya ialah mereka yang paling bagus akhlaknya”. (HR. Muslim)
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui
tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari
imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang
kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah. 9[9]
Muhammad al-Gazali mengatakan, iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia,
sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk.10[10]
Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa iman yang kuat itu akan melahirkan
perangai yang mulia dan rusaknya akhlak berpangkal dari lemahnya iman. Orang yang
berperangai tidak baik dikatakan oleh Nabi sebagi orang yang kehilangan iman. Beliau bersabda:
)الحياء وااليمان قرناء جميعا فاذا رفع احدهما رفع االخر (رواه الكاريم
”Malu dan iman itu keduanya bergandengan, jika hilang salah satunya, maka hilang pula yang
lain”. (HR. Hakim)
Kalau kita perhatikan hadits di atas, nyatalah bahwa rasa malu sangat berpautan dengan
iman hingga boleh dikatakan bahwa tiap orang yang beriman pastilah ia mempunyai rasa malu;
dan jika ia tidak mempunyai rasa malu, berarti tidak beriman atau lemah imannya.11[11]
8[8] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Al Islam I, Jakarta: Bulan Bintang, h. 37
Kaitan antara aqidah, syariat dan akhlak ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar,
batang dan daun, yang saling menyatu bila satu hilang atau rusak maka akan terjadi kehancuran
untuk pohon tersebut.
Aqidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariat dan akhlak. Tanpa aqidah,
syariat dan akhlak yang baik akan menjadi percuma, atau pun sebaliknya. Rasulullah pernah
menjelaskan tentang pegertian ketiganya ketika Jibril datang kepadanya sebagai seorang
manusia.
Rasulullah sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama
lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syariat dan akhlak akan kehilangan
keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk memelihara ketiganya
dalam tubuh seorang mukmin dan muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Asmaran As., M.A. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mahmud Syaltut, 1966. Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar al-Kalam.
Prof. Dr. Hamka. 1982. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas
Muhammad al_Gazali, 1970, Khuluk al-Muslim, Kuwait: Dar al Bayan.
_________________, 1970, Al Aqidah Islam, Kuwait: Dar al Bayan.
Abdul Al-Maududi, t.t., Towards Undestanding Islam, Jeddah: One Seeking Mercy of Allah
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Al Islam I, Jakarta: Bulan Bintang
Aqidah, syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.
Aqidah, syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut iman dan amal saleh. Iman
menunjukkan makna aqidah, sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah
dan akhlak.
antara lain firman Allah dalam (An-Nur, 24:55) “Allah menjanjikan bagi
orang-orang yg beriman diantara kamu dan mengerjakan amal saleh menjadi
pemimpin di bumi sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang dari sebelum
mereka (kaum muslimin dahulu) sebagai pemimpin; dan mengokohkan bagi mereka
agama mereka yg Ia Ridhai bagi mereka; dan menggantikan mereka dari rasa takut
mereka (dengan rasa) tenang. Mereka menyembah (hanya) kepada-Ku, mereka tidak
menserikatkan Aku dengan sesuatupun. Dan barang siapa ingkar setelah itu, maka
mereka itu adalah orang-orang yg fasik”