Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

UJIAN AKHIR SEMESTER 2

KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI

(Dosen Pengampu: Dr. Hapsari Dwiningtyas Sulistyani)

Indah Laksmiwati - 14040118410001

Komunikasi Strategis
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2019
Expectacy Violation Theory dalam kehidupan di lingkungan kerja

Teori Pelanggaran Harapan (Expectacy Violation Theory) menjelaskan bahwa setiap orang
memiliki harapan mengenai perilaku orang lain berdasarkan; 1)norma-norma sosial,
2)pengalaman sebelumnya dengan orang itu, dan 3)situasi dimana perilaku itu terjadi.
Harapan terhadap perilaku orang lain itu mencakup perilaku nonverbalnya, antara lain
kontak mata (eye contact), jarak antara kita dan orang itu dan sudut tubuh (body angle).1
Perilaku orang lain yang sesuai dengan harapan kita, akan kita nilai positif. Perilaku orang
lain yang bertentangan dengan harapan kita, akan kita nilai negatif. Namun hal ini tidak
selamanya berlaku seperti ini. Pelanggaran harapan yang dilakukan oleh orang lain dapat
kita nilai positif jika pelanggaran harapan itu menarik kita ke perilaku lainnya, dan kita
melihat adanya sisi positif yang dimiliki orang tersebut, dan akan terjadi sebaliknya jika kita
menilai negatif.

Sesuai dengan pendapat DeVito, Expectancy Violation Theory adalah sebuah teori
proxemics yang memegang bahwa orang memiliki harapan tertentu untuk hubungan ruang.
Ketika itu dilanggar hubungan menjadi fokus yang lebih jelas dan menimbulkan pertanyaan
mengapa “jarak normal” ini dilanggar. 2 Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam
berkomunikasi atau lebih populer disebut Proksemik sebenarnya telah dikembangkan oleh
Edward T. Hall sejak tahun 1960-an. Dalam teorinya, Hall membedakan empat macam jarak
yang menurutnya mengambarkan ragam jarak komunikasi yang diperbolehkan dalam kultur
Amerika yakni jarak intim (0 – 18 inci), jarak pribadi (18 inci – 4 kaki), jarak sosial (4 -10
kaki), dan jarak publik (lebih dari 10 kaki). 3

Pengalaman di lingkungan kerja yang berkaitan dengan Teori Pelanggaran Harapan


misalnya saat melakukan presentasi di depan klien. Saya bekerja di bagian marketing yang
dituntut untuk menguasai produk perusahaan. Hal ini sangat diperlukan untuk melakukan
presentasi di depan klien. Sebagai marketing saya seringkali bertemu dengan klien.
Pertemuan itu dilakukan dengan tujuan untuk memperkenalkan perusahaan, melakukan
persentasi maupun menjaga hubungan baik dengan klien.

1
Morrisan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, PT. Fajar Interpratama Mandiri 2015, hl. 217
2 Joseph, A. DeVito, The Interpersonal Communication Book.14 edition, England: Pearson Education Limited
3 Syukuri, M, Analisis Pelanggaran Harapan Non Verbal Dalam Jarak Personal Karyawan Riau Pos Pekanbaru, JOM FISIP Vol. 3 No.

2 Oktober 2016.
Agenda saya di pagi hari itu adalah menemui klien di kantornya untuk melakukan presentasi.
Saya berangkat diantar oleh sopir dengan menggunakan mobil dari kantor. Tugas presentasi
di hadapan klien ini saya laksanakan sendiri tanpa didampingi oleh rekan marketing yang
lain. Sebelum presentasi ini, saya belum pernah bertemu sebelumnya dengan klien tersebut.
Selama ini pihak kantor klien hanya menghubungi via telepon ke kantor saya. Saya tiba di
kantor klien sekitar seperempat jam sebelum waktu presentasi. Saya memasuki lobi kantor,
bertemu dengan resepsionis dan mengutarakan tentang tujuan saya datang dan dengan siapa
saya ingin bertemu. Setelah mengetahui tujuan kedatangan saya, resepsionis bermaksud
untuk menelepon ke ruangan Pak X. pada saat yang bersamaan, Pak X terlihat melintas di
lobi. Kemungkinan beliau barusaja tiba di kantor. resepsionis menghampiri beliau dan
mengatakan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Pak X adalah manajer promosi di
perusahaannya. Saya perkirakan Pak X berumur sekitar 40an tahun. Saya memperkenalkan
diri sebagai marketing dari perusahaan yang ditugaskan untuk presentasi ke klien tersebut.
Kesan pertama yang saya dapatkan sesaat setelah pertemuan di lobi adalah, Pak X seseorang
yang ramah dan friendly. Dia menjabat tangan saya, menyambut saya dengan baik. Setelah
pertemuan di lobi, saya dipersilakan masuk ke ruang pertemuan.

Ruangan presentasi tidak begitu besar, dilengkapi dengan laptop dan proyektor. Setelah
melakukan sedikit persiapan, saya berdiri di dekat layar dan presentasi di depan klien. Saya
berusaha untuk melakukan presentasi sebaik mungkin. Berusaha untuk meyakinkan klien
agar mempercayai dan memilih perusaan kami. Pak X memperhatikan dan tampak antusias
menyimak presentasi. Setelah presentasi selesai saya mempersilahkan klien untuk bertanya
jika dirasa ada hal yang kurang jelas dan memerlukan penjelasan lebih.

Pak X bertanya menanyakan beberapa hal sehubungan dengan materi yang saya
presentasikan. Dalam satu pertanyaan dia berdiri dan mendekati saya pada jarak yang cukup
dekat, hanya berjarak sekitar satu meter. Jarak yang menurut saya cukup dekat mengingat
space ruangan yang cukup luas untuk kami melakukan pertemuan terkait pekerjaan. Sesaat
saya terkejut dengan sikap Pak X. Perilaku non verbal yang dilakukan Pak X membuat saya
merasa tidak nyaman dengan kedekatan jarak tersebut. Terlebih saya juga merasa Pak X
terlihat berlebihan dalam menunjukkan sikap ramahnya. Pada momen ini, telah terjadi
pelanggaran harapan yang dilakukan oleh Pak X kepada saya. Saya merasa dalam
hubungan kerja ada “ruang” yang terjaga untuk sesama rekan bisnis. Kedekatan jarak yang
dilakukan oleh Pak X telah melampaui “ruang” tersebut.
Sikap yang ditunjukkan Pak X membuat saya tidak nyaman. Situasi yang saya hadapi
sebenarnya adalah saya masih menebak-nebak atas sikap Pak X. Perilaku Pak X dapat
memiliki lebih dari satu makna (ambigu) sehingga saya tidak terlalu yakin untuk
memberikan respon. Apakah dia mempunyai maksud tertentu (menggoda) atau Pak X
memang tipikal orang yang sangat ‘friendly’ meskipun dengan orang yang baru dia kenal,
atau dia hanya bercanda dalam melakukan kedekatan itu. Di sisi lain saya tidak yakin harus
bersikap bagaimana. Respon yang saya berikan akan mempengaruhi penilaian pribadi Pak
X terhadap saya. Penilaian pribadi Pak X terhadap saya akan mempengaruhi
pertimbangannya kepada perusahaan saya.

Saya mempunyai kepentingan untuk melakukan tugas saya dengan baik. Perusahaan akan
sangat diuntungkan jika saya mampu mendapatkan klien ini. Saya menginterpretasi dan
mengevaluasi perilaku Pak X. Saya bisa saja menanggapi sikap Pak X, jika saya merasa ada
“derajat kemanfaatan” (reward valence) dalam momen tersebut. Perilaku ambigu yang
dilakukan Pak X dapat bernilai positif karena memiliki manfaat untuk kelanjutan dari hasil
presentasi yang saya lakukan. Kemungkinan Pak X akan langsung merekomendasikan
perusahaan saya ke manajemen di kantornya agar meneruskan kerjasama ini.

Pada akhirnya interpretasi saya menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Pak X adalah
perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Perilaku Pak X bernilai negatif bagi saya. Saya
memilih untuk bersikap yang menunjukkan “penolakan”. Saya memundurkan badan saya,
memberi “ruang” yang cukup untuk jarak bagi seorang marketing dan kliennya. Saya tidak
menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak berhubungan dengan presentasi yang saya
lakukan. Saya tersenyum secukupnya sambil tetap tenang dan menunjukkan perilaku sopan
dan professional. Saya berusaha sebisa mungkin menjawab pertanyaan Pak X dalam bahasa
formal seperti yang biasa saya lakukan terhadap klien-klien yang lain. Saya juga menjaga
nada bicara dalam situasi formal. Saya melakukan respon non verbal atas perilaku non verbal
Pak X. Saya berharap dengan perilaku non verbal tersebut dapat membuat Pak X memahami
bahwa saya tidak suka diperlakukan seperti itu. Saya berharap saya tidak perlu melakukan
respon verbal (mengatakan secara langsung) apa yang saya rasakan. Saya tidak mau
mengatakan secara verbal, karena ada kemungkinan Pak X akan tersinggung jika saya harus
mengatakan secara langsung. Saya juga mempunyai ketakutan jika saya mengatakan secara
langsung Pak X menilai saya yang ke-GR-an. Saya dinilai salah sangka terhadap sikapnya.
Saya mengira-ira apakah Pak X terbiasa melakukan hal ini terhadap rekan bisnisnya yang
lain. Ataukah dia melakukan hal ini hanya kepada saya saja. Posisi saya saat itu adalah
sebagai marketing dari suatu perusahaan sekaligus sebagai perempuan secara pribadi. Ada
sedikit ketakutan jika saya salah dalam bersikap. Kesalahan itu bisa berdampak bagi kantor
saya atau berdampak bagi diri pribadi saya. Saya hanya berharap Pak X menyadari
perilakunya dan segera merubah perilakunya.

Lambat laun Pak X seperti memahami bahwa saya tidak nyaman dengan perilakunya.
Memundurkan badan, menggunakan bahasa dan nada bicara yang formal, bersikap tenang
merupakan perilaku yang saya pilih untuk menunjukkan penolakan. Pak X tidak
meneruskan perilaku yang membuat saya tidak nyaman. Saya melihat sikap Pak X berubah
menjadi sikap dalam suasana formal dan professional pekerjaan. Saya berharap sesi
presentasi itu segera berakhir. Setelah dirasa cukup, saya undur diri dan berpamitan kepada
Pak X. Pak X mengatakan bahwa dia akan mempertimbangkan presentasi yang saya
lakukan. Setelah pertemuan tersebut, Pak X menunjuk salah satu stafnya untuk
menghubungi saya akan kelanjutan dari kerjasama ini. Saya bersyukur bahwa saya tidak
perlu berhubungan langsung dengan Pak X untuk kelanjutan kerjasama ini. Pada akhirnya
pelanggaran harapan yang terjadi di lingkungan kerja merupakan pengalaman yang berharga
bagi saya. Pengalaman ini mengajarkan saya untuk melakukan introspeksi diri, apakah
pembawaan saya di dunia kerja sudah cukup baik dan tepat. Ataukah sikap saya yang
mengundang seseorang untuk berperilaku tertentu. Hal ini juga membuat saya untuk lebih
berhati-hati dalam menghadapi rekan kerja dimanapun saya berada. Saya pun harus mampu
bersikap yang tepat jika saya menemui pelanggaran harapan yang mungkin saja akan terjadi
lagi dalam kehidupan saya.

Anda mungkin juga menyukai