Anda di halaman 1dari 19

BAB I.

PENDAHULUAN

Penerapan Expanded Programme on Immunization (EPI) yang dimulai


sejak tahun 1977 telah berperan besar dalam menurunkan kasus difteri secara
drastis di seluruh dunia. EPI sendiri merupakan salah satu program World Health
Organization yang bertujuan membuat vaksin guna mencegah persebaran penyakit
yang semakin parah. Pada periode tahun 2000-2004, tercatat bahwa angka
penurunan difteri mencapai 10.000 kasus. Namun pada 2009 kasus difteri
pertahunnya relatif stagnan/terhenti. Sejak tahun 2005, wilayah Asia Tenggara
menjadi wilayah dengan kasus difteri terbanyak di seluruh dunia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus difteri tertinggi
dunia. Tercatat bahwa kasus difteri terparah terjadi pada tahun 2012 dengan 1192
kasus. Kementerian Kesehatan menggolongkan difteri ke dalam Kejadian Luar
Biasa (KLB) dan mengambil langkah Outbreak Response Immunization (ORI)
untuk mengurangi kasus difteri di Indonesia.
Tingkat mortalitas yang disebabkan oleh penyakit ini diperkirakan
mencapai 5-10%, pada populasi umum dan jika terjadi akibat bakteremia dapat
meningkat hingga 30-40%. Mortalitas pada kasus difteri bervariasa tergantung
pada faktor-faktor seperti bakteremia, usia serta ada tidaknya komplikasi. Jika
terjadi komplikasi, maka kematian dapat terjadi pada hari ketiga atau keempat.
BAB II. KONSEP PENYAKIT
2.1 Definisi
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Difteri adalah penyakit
yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita. Komplikasi
dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, miokarditis, paralisis otot
palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan
pneumonia. (Hartoyo, 2018).

2.2 Etiologi
Spesies Corynebacterium adalah basil aerob, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, kebanyakan tidak bergerak, pleomorfik, gram-negatif. Tidak
bersifat selektif dalam pertumbuhan nya, isolasinya dipermudah dengan media
tertentu (yaitu, sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan
organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphtheriae , membuat
koloni menjadi abu-abu hitam. Tiga biotip yaitu, mitis, gravis, dan intermedius,
masing-masing mampu menyebabkan difteria, dibedakan oleh morfologi koloni,
hemolisis dan reaksi fermentasinya (Nelson, 2000).

2.3 Manifestasi klinis


Tatalaksana Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Umum Pasien diisolasi
sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.1,2 Khusus Antitoksin: Anti
difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan ketergantungan pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan berat dan fatal. Sebagai faktor primer
adalah imunitas pejamu, virulensi serta toksigenitas diphteriae (kemampuan
kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis. Difteria
mempunyai masa tunas 2-6 hari. Berikut ini adalah beberapa jenis difteri menurut
lokasinya.
a) Difteri saluran napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian
hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi,
menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan
pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas
merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan
merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala
demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit
kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar
baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan
paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior,
hypopharynx, atau area glotis.2,4

b) Difteri hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur
menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada
nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah
septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak
nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

c) Difteri tonsil dan faring


Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah perdarah,
melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas
ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan
dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala
tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat
terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang,
penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau
neuritis. Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna.

d) Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria
laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga
gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring
sukar dibedakan dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus
berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria
laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak
merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia. (Hartoyo, 2018)

2.4 Tatalaksana
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria. (Hartoyo, 2018)
a) Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi
selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
(Hartoyo, 2018)

b) Khusus
Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera
setelah dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama,
angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih
dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
Pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik sehingga harus disediakan larutan
adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL
ADS dakam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit trejadi indurasi > 10 mm.
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam
garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif
bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan
berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi
sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness). (Hartoyo, 2018)

c) Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari,
dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), Penisilin V
Oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000
U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-
50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14
hari. Beberapa pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari.
Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif
dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi
selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C.
diphteriae. (Hartoyo, 2018)

d) Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai
gejala yaitu obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck).

e) Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi. (Hartoyo, 2018)

f) Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi
harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria. (Hartoyo, 2018)

g) Pengobatan karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji


Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/iv atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/ adenoidektomi. (Hartoyo, 2018)

2.5 Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di
imunisasi, masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran
difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma
sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis
atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna
tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang
menetap. (Hartoyo, 2018)

2.6 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang
kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang
nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunisasi DPT
sangat penting untuk mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang
pencegahan dan imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi
sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick
dan uji Moloney.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga
kali dengan interval masing-masing 4-6 minggu. Apabila imunisasi belum
lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan,
tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (<1 tahun) perlu
dilakukan imunisasi DPT ulangan umur 18 bulan dan 5 tahun.
 DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun
 DT untuk anak usia 5 tahun sampai <7 tahun
 Td untuk usia 7 tahun keatas

Test kekebalan:
 Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes
dilakukan dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara
intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis
jaringan sehingga test positif.
 Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheri toxoid secara
suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10
mm. Ini berarti bahwa
-pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipesensitivitas.
-pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya. (Hartoyo, 2018)
2.7 Patofisiologi

Faktor Pencetus 1. Imunisasi tidak lengkap Kuman C. Difteriae Masuk melalui mukosa
2. Faktor lingkungan dan kulit
3. Daerah endemik bakteri

Berkembang biak pada


Resiko infeksi Memproduksi toksin permukaan mukosa
saluran nafas bagian
atas

Sel mati, respon inflasi Menghambat


lokal pembentukan protein Lokal Seluruh tubuh
dalam sel toksin

Psudomembran (eksudat,
fibrin, sel radang, eritrosit, Jantung Saraf Ginjal
nekrosis, sel-sel epitel)

Nekrosis toksik dan Neurotististoksik dengen Tampak perda-


degenarasi hialin degenerasi lemah pada rahan adrebnal
Udem sof tissue selaput melien dan nekrosis
tubular adekuat

Obstruksi saluran Miokarditis payah jantung


Paralisis
pernafasan toksin
dipalatumole, Proteinuria
otot mata,
Edema kongesti
ekstremitas
Menyumbat jalan infiltrasi sel mono
inferior Inkotinensia
nafas nuclear pada
urine aliran
serat dan sistem
berlebih
konduksi
Ketidakefektifan pola
nafas Kelebihan volume
cairan penurunan Ansietas Hambatan
curah jantung gangguan komunikasi
menelan verbal

Gambar 1. Pathway Difteri


(NANDA, 2015. Sudoyo Aru, 2009)
2.8 Resume Jurnal
a) Jurnal I
1. Judul artikel: The maternal antibody against diphtheria, tetanus, and
pertussis showed distince regional difference in china
2. Penulis : Qinghong Meng, Dandan Liu, Wei Gao, Lin Yuan dan Kaihu
Liao
3. Tahun : 2019
4. Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui peran penting antibodi janin dalam
melindungi neonatus dan bayi muda sampai vaksinasi bayi di China
5. Metode Penelitian
Pada tahun 2018, 200 neonatus dirawat di bangsal neonatal dari
Shunyi perempuan dan anak di Hospital of Beijing anak dan 238 neonatus
dirawat di dipartemen pediatri dari Rumah sakit Qianjiang Central
dilibatkan dalam penelitian ini. untuk penyakit tidak menular,mereka
dirawat di rumah sakit dan untuk neonatus dengan infeksi yang
mencurigakan tidak terlibat dalam penelitian ini. Penelitian menggunakan
pengujian serologis yang diukur dengan ELISA (Euroimmun, Lubeck,
Jerman) dan nilai-nilai cut off untuk melakukan tafsiran berdasarkan
produsen dan penelitian sebelumnya.
6. Hasil Penelitian
Didapatkan hasil tingkat antibodi pada neonatus dari Qianjiang
secara drastis lebih rendah dari pada neonatus yang berada di Shunyi dan
diantara Shunyi dan Qianjiang rata-rata konsentrasi antibodi tidak berbeda
secara signifikan antara pria dan wanita, bayi prematur dan persalinan
normal atau SC.
7. Kesimpulan
Perbedaan antara antibodi pelindung tingkat regional disebabkan
oleh cakupan vaksin yang berbeda, serta paparan pertussis. Hal ini
menunjukan pentingnya pemuat imunisasi untuk ibu hamil atau wanita
usia subur khususnya daerah-daerah yang belum mengembangkan vaksin
tersebut. Perhatian khusus juga harus diberikan untuk pengendalian
penyakit menular di wilayah terpencil dan berpenghasilan rendah.

b) Jurnal II
1. Judul artikel : The outcome of resurgence of diphtheria in older children
in tertiary care hospital
2. Peneliti : Saachin K. R., Ramesh H., K.G., Siddhart E.S.
3. Tahun : 2019
4. Tujuan Penelitian: Untuk mengatahui hasil dari kebangkitan difteri pada
anak-anak yang lebih tua dalam rumah sakit perawatan tersier
5. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan inform consent yang digunakan untuk
merekam informasi yang relevan dari kaus-kasus individu yang dipilih
untuk study. Status imunisasi di dokumentasikan sesuai dengan infiormasi
yang diberikan oleh orang tua. Semua pasien yang terdaftar dibawah
penelitian ini diberi antibiotic yang tepat dan serum antidiphtheritic
(ADS).
6. Hasil Penelitian
Dari penelitian ini diperoleh 15 kasus diduga memiliki difteri pada
pemeriksaan klinis dengan usia rata-rata adalah 7,5 tahun. Dengan gejala
umum dan tanda-tandanya seperti demam, sakit tenggorokkan, kesulitan
menelan, leher bengkak, dan patch rongga mulut. Selain itu, dari penelitian
ini diperoleh sebanyak 40% angka kematian pada kasus ini.
7. Kesimpulan
Mengingat kasus yang tinggi tingkat kematian dan tingginya
tingkat insiden komplikasi darah, sangat penting bahwa tingkat tinggi
kekebalan diselenggarakan dalam masyarakat melalui imunisasi dasar
serta penguat untuk mencegah kebangkitan difteri. Isi antigen difteri saat
ini harus di evaluasi. Berdasarkan penelitian ini dan tinjauan literatur,
cangkupan imunisasi jauh dari memuaskan di india.

BAB III. ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Kasus
Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun masuk IGD dengan keluhan sesak
napas sejak 5 hari yang lalu, dan tidak nafsu makan karena nyeri saat menelan.
Hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran somnolen, bunyi napas stridor, terdapat
dispnea, dan leher terlihat membesar. TTV nadi 120x/menit, pernapasan
40x/menit, suhu 38℃ dan tekanan darah 100/60 mmHg.

3.2 Pengkajian
Data Etiologi Masalah
DS: Obstruksi jalan nafas Ketidakefektifan bersihan
 “Sesak nafas 2 hari jalan nafas
yang lalu”

DO:
 Kesadaran somnolen
 Bunyi nafas stridor
 Dispnea
 Nadi 120x/menit
 Pernafasan 40x/menit
 Suhu 38 ℃
 Tekanan darah 100/60
mmHg

DS: Proses infeksi Hipertermi


“Badannya terasa panas”
DO:
 Leher terlihat
membesar
 Nadi 120x/menit
 Pernafasan 40x/menit
 Suhu 38 ℃
 Tekanan darah 100/60
mmHg

DS: Asupan nutrisi yang Ketidakefektifan nutrisi


 “Anak tidak nafsu tidak adekuat kurang dari kebutuhan
makan” tubuh
 “Nyeri saat
menelan“

DO:
 Leher terlihat
membesar
 Nadi 120x/menit
 Pernafasan 40x/menit
 Suhu 38 ℃
 Tekanan darah 100/60
mmHg

3.3 Intervensi Keperawatan


Rencana Keperawatan
Diagnosa
No. Tujuan Dan Kriteria
Keperawatan Intervensi Rasional
Hasil
1 Ketidakefektifan NOC : 1. Kaji keluhan pasien. 1. Informasi ini
bersihan jalan Setelah dilakukan 2. Observasi status menentukan data dasar
nafas b.d obstruksi keperawatan 3x24 jam pernafasan anak, kondisi pasien dan
jalan nafas. maka didapatkan irama, frekuensi, memandu intervensi
kriteria hasil: kedalaman dan bunyi keperawatan.
 Jalan nafas anak pernafasan. 2. Untuk mendeteksi tanda
efektif 3. Berikan posisi yang awal bahaya pada
 Pernafasan dalam nyaman seperti pasien.
batas normal diliat fowler atau semi- 3. Memudahkan ekspansi
dari frekuensi, fowler. paru.
kedalaman dan irama 4. Latihan batuk efektif. 4. Membantu
5. Lakukan fisioterapi membersihkan mukus
dada. dan memudahkan
6. Lakukan pengisapan oksigenasi.
atau suction jika 5. Membantu
sekret tidak bisa menghilangkan dan
keluar dengan batuk mengeluarkan sekret
efektif dan fisioterapi serta membantu
dada. efisiensi penggunaan
7. Berikan oksigen otot paru.
sebelum dan sesudah 6. Membantu pengeluaran
suction. sekret.
8. Lakukan intubasi jika 7. Untuk mengurangi
diperlukan. hipoksia dan
kegelisahan.
8. Memudahkan jalan
nafas.

2 Hipertermi b.d. NOC : 1. Kaji keluhan anak. 1. Informasi ini


proses infeksi Setelah dilakukan 2. Observasi vital sign. menentukan data dasar
keperawatan 3x24 jam 3. Berikan minum yang kondisi pasien dan
maka didapatkan banyak. memandu intervensi
kriteria hasil : 4. Jelaskan manfaat keperawatan.
 Suhu tubuh dalam cairan metabolik. 2. Untuk mendeteksi tanda
rentang normal 5. Gunakan pakaian awal bahaya pada
 Anak Nampak tenang yang longgar, tipis pasien.
dan menyerap 3. Mencegah tanda tanda
keringat. dehidrasi.
6. Atur suhu ruangan 4. Pencegahan dehidrasi.
senyaman mungkin. 5. Meningkatkan
7. Lakukan kompres air kenyamanan dan
biasa (water tepid menurunkan suhu
sponge). tubuh.
8. Berikan antipiretik. 6. Lingkungan yang sejuk
dapat membantu
menurunkan suhu tubuh
dengan cara radiasi.
7. Air hangat dapat
menurunkan suhu
dengan cara evakorasi
tanpa menyebabkan
anak menggigil.
8. Obat penurun panas.

3 Ketidakefektifan NOC : 1. Kaji keluhan anak. 1. Informasi ini


nutrisi kurang dari Setelah dilakukan 2. Observasi tanda tanda menentukan data dasar
kebutuhan tubuh keperawatan 3x24 jam kekurangan nutrisi. kondisi pasien dan
b.d. asupan nutrisi maka didapatkan 3. Berikan makanan memandu intervensi
yang tidak adekuat kriteria hasil : yang disukai anak keperawatan..
 Nutrisi anak terpenuhi jika tidak ada kontra 2. Untuk mendeteksi tanda
ditandai dengan indikasi. awal bahaya pada
peningkatan berat 4. Berikan makanan pasien.
badan, lingkar lengan dengan porsi kecil 3. Menambah nafsu
dalam batas normal tapi sering. makan.
sesuai usia. 5. Berikan makanan 4. Mencegah distensi
pengganti jika lambung dan
 Anak mau makan makanan utama tidak mengurangi penggunaan
menghabiskan porsi dimakan. energi untuk makan.
yang disediakan. 6. Berikan suplemen 5. Untuk memenuhi
 Anak tenang dan tidak penambah nafsu kebutuhan nutrisi.
muntah. makan. 6. Mengembalikan nutrien
7. Pasang NGT jika yang hilang dan
perlu. meningkat kan status
nutrisi.
7. Memungkinkan anak
untuk mendapatkan
nutrisi yang adekuat.

3.4 Implementasi
No Diagnosa Keperawatan Implementasi Keperawatan
1 Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Mengkaji keluhan pasien.
nafas b.d obstruksi jalan nafas 2. Mengobservasi status pernafasan anak,
irama, frekuensi, kedalaman dan bunyi
pernafasan.
3. Memberikan posisi yang nyaman seperti
fowler atau semi-fowler.
4. Melatih batuk efektif.
5. Melakukan fisioterapi dada.
6. Melakukan pengisapan atau suction jika
sekret tidak bisa keluar dengan batuk efektif
dan fisioterapi dada.
7. Memberikan oksigen sebelum dan sesudah
suction.
8. Melakukan intubasi jika diperlukan.
2 Hipertermi b.d. proses infeksi 1. Mengkaji keluhan anak
2. Mengobservasi vital sign
3. Memberikan minum yang banyak
4. Menjelaskan manfaat cairan metabolis
5. Menggunakan pakaian yang longgar, tipis
dan menyerap keringat
6. Mengatur suhu ruangan senyaman mungkin
7. Melakukan kompres air biasa (water tepid
sponge)
8. Memberikan antipiretik

3 Ketidakefektifan nutrisi kurang 1. Mengkaji keluhan anak.


dari kebutuhan tubuh b.d. 2. Mengobservasi tanda tanda kekurangan
asupan nutrisi yang tidak nutrisi.
adekuat 3. Memberikan makanan yang disukai anka
jika tidak ada kontra indikasi.
4. Memberikan makanan dengan porsi kecil
tapi sering.
5. Memberikan makanan pengganti jika
makanan utama tidak dimakan.
6. Memberikan suplemen penambah nafsu
makan.
7. Memasang NGT jika perlu.

3.4 Evaluasi

No. Masalah Evaluasi


Ketidakefektifan bersihan jalan S:
1 nafas b.d obstruksi jalan nafas Pasien mengatakan sudah bisa bernapas seperti
biasa
O:
 Bunyi napas vesikular
 Tidak dispnea
 RR 30x/menit
A:
Masalah teratasi
P:
Intervensi dihentikan
Hipertermi b.d. proses infeksi S:
“Panasnya sudah mulai turun”
O:
 Suhu 37,5 ℃
2
A:
Hipertermi teratasi
P:
Intervensi dihentikan
Ketidakefektifan nutrisi kurang S:
dari kebutuhan tubuh b.d. Pasien sudah mau makan dengan teratur
asupan nutrisi yang tidak O:
adekuat Berat badan bertambah dan membaik
3
A:
Masalah teratasi
P:
Intervensi dihentikan

Anda mungkin juga menyukai